Tuesday, December 27, 2011

Lengkung Bias Hati


Senyuman adalah bias-bias warna dari hati. 
Seperti pelangi yang merupakan bias-bias warna pada udara.

Sunday, December 25, 2011

Salam Damai Natal


Selamat Natal 2011 bagi kita yang merayakannya.
Salam Damai Natal.

Semoga damai dan sukacita senantiasa hadir dalam hati kita.

Semoga keragaman menjadikan negeri ini semakin kaya dan bahagia.

Semoga keragaman menjadikan kita semakin kuat dan percaya bahwa Bhinneka Tunggal Ika masih ada.

Tuhan memberkati :)

Natal



Tinggal dalam keluarga multiagama menjadikan perayaan Natal bagi saya tiap tahunnya sama saja. Hambar. Hampa.

Sudah jelas Natal bukan hanya soal perayaan, bukan hanya sekadar hiasan pohon natal atau kue-kue kering yang tersaji di atas meja, namun paling tidak saya merindukan suasana Natal yang seperti itu. Suasana Natal yang saya lihat pada siaran televisi, yang saya dengar dari kisah-kisah para kawan. Suasana Natal penuh kehangatan bersama keluarga.

Mengenai agama ini toh pilihan saya sendiri. Jelas orangtua tidak melarang, bahkan menasihati jika memang itu yang terbaik, jalanilah. Keputusan yang sulit waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Bahkan belum genap 17 tahun.

Dulu, saya bahkan lebih sendiri ketimbang sekarang. Dulu saya kadang ke gereja ketika perayaan-perayaan hari besar bersama tetangga. Atau bahkan saya memutuskan untuk ke gereja sendirian jika teman-teman saya hadir bersama keluarganya. Dulu, saya kesepian meski melihat wajah-wajah yang familiar.

Namun kini, ketika saya sudah bisa ke gereja bersama kakak dan adik saya, bahkan bersama om, tante, dan para sepupu saya, perasaan itu masih tetap sama. Saya toh tidak pernah menyesal memilih Katolik sebagai agama yang saya imani. Tidak pernah sekali pun saya menyesal. Saya malah bangga menjadi berbeda dalam keluarga dan mungkin saja karena saya beberapa saudara bahkan mengikuti jejak saya.

Mungkin Tuhan memang tidak mengharapkan saya menyambut kehadiran-Nya dalam gemerlap perayaan. Mungkin Tuhan ingin saya lebih mempersiapkan diri saya untuk menyambut kehadiran-Nya di hati saya. Saya senantiasa bersyukur karena mengenal-Nya dan mengimani-Nya.

Puji Tuhan saya masih bisa merayakan Natal dalam berbagai keragaman. Puji Tuhan saya masih diperbolehkan menjalani agama yang saya yakini. Segala puji-pujian untuk-Nya.

Hendaklah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorai di hadapan wajah Tuhan kar'na Ia sudah datang.

Wednesday, December 21, 2011

Dunia Fantasi


Awalnya liburan kemarin (yakin liburan?) saya dan seorang sahabat saya merencanakan perjalanan ke Jogja, namun karena satu dan lain hal saya memutuskan untuk tidak pergi. Tidak perginya saya pasti membuat kecewa sahabat saya itu, namun kemudian kami menyusun rencana lain, ke Dufan.

Entah kenapa dari dulu ketika saya merencanakan sebuah liburan di suatu tempat bersama teman-teman dari jauh-jauh hari, biasanya liburan itu gagal. Ketika rencana liburan itu diadakan dadakan, malah terlaksana. Pergilah kami berdua tanggal 13 Desember kemarin.

Dufan cukup ramai, tapi antrian permainan di beberapa tempat malah tidak panjang. Puaslah saya menikmati wahana-wahana yang membuat saya berteriak dan tertawa terpingkal-pingkal.

Saya selalu suka Dufan. Tempat itu selalu membuat saya santai dan membuat perasaan saya jadi menyenangkan. Pasti banyak yang merasa demikian karena Dufan taklepas dari para pengunjung yang datang padanya.

Ada dua permainan yang paling saya sukai di Dufan. Pertama Kora-kora dan kedua Ontang-anting. Kemarin saya dua kali naik Kora-kora dan tiga kali naik Ontang-anting. Jika sahabat saya itu lebih berani, nampaknya saya akan berkali-kali lagi naik Kora-kora. Kali ini dua kali sudah cukup menyenangkan buat saya.

Banyak yang takut naik Kora-kora, tidak dengan saya. Saya selalu duduk di bangku paling belakang karena tempat itu akan naik paling tinggi dan meluncur seolah-olah saya akan jatuh. Ketika meluncur, saya akan berdiri dan menaikkan kedua tangan saya. Rasanya menyenangkan ketika angin menderu, lekat pada kedua telapak tangan saya. Saya juga bisa berteriak sepuasnya sambil tertawa.

Sahabat saya bertanya kenapa saya suka sekali naik Kora-kora. Saya bilang ketika naik Kora-kora, saya bisa teriak sepuasnya. Dia berkata, kalau ingin berteriak kenapa tidak di pantai saya, letaknya toh tidak jauh dari Dufan. Ketika berteriak di pantai, pemincu untuk berteriak tidak ada. Pantai membuat saya santai tapi tidak ada pemicu yang bisa membuat saya berteriak sampai tenggorokkan saya sakit. Naik Kora-kora, ketinggian, luncuran, dan teriakan pemain yang lain bisa menjadi sebuah pemicu bagi saya untuk teriak sepuasnya. Rasanya lebih plong, lagi pula.

Ontang-anting wahana yang biasa-biasa saja. Wahana itu hanya berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga nampaknya akan menabrak tembok-tembok pembatas. Kecepatan itu yang membuat saya senang menaikinya. Entah mengapa ketika menaiki wahana itu, saya tidak bisa berhenti tertawa. Saya suka ketika badan saya tidak bisa saya kontrol karena terbawa ke kanan, mengikuti kecepatan permainan.

Rasa letih yang saya rasakan sebanding dengan rasa senang yang saya dapatkan. Dengan hati yang masih riang, pulanglah kami ketika matahari sudah pergi ke bumi bagian lain. Naiklah kami bus Trans Jakarta, menuju Cawang, tempat kosan sahabat saya itu.

Tempat duduk sudah penuh, kami pun berdiri. Saya tidak keberatan karena perasaan saya ketika itu sangat baik. Namun ketika di setiap halte penumpang makin banyak memenuhi isi bus, kebahagiaan saya pun makin terhisap ke bawah, seolah-olah diambil oleh mereka yang melewati saya. Ketika itu saya berdiri di dekat pintu. Saya bisa melihat wajah-wajah letih orang-orang yang baru pulang kerja, yang berharap paling tidak mendapatkan sebuah tempat berdiri yang nyaman di dalam bus.

Pembagian tempat, perempuan di bagian depan dan laki-laki di bagian belakang awalnya berjalan dengan baik. Namun karena padatnya penumpang, akhirnya kami bercampur baur. Agak membuat saya tidak nyaman, tapi mau bagaimana lagi, semua orang ingin pulang dan sarana yang digunakan terbatas.

Di satu halte, masuklah seorang perempuan muda. Usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari saya. Dengan muka masam ia mencoba masuk. Dengan nada gusar ia berkata, “Geser dong. Gimana sih, kok ngga mau geser.” Seketika orang-orang memperhatikannya. Saya melihat ke dalam dan berpikir ke mana lagi kami harus menggeser tubuh-tubuh lelah kami ketika tangan yang memegang pegangan pun harus berbagi dengan dua-tiga tangan lainnya.

Saya tahu perempuan itu lelah. Tapi tahukan dia semua orang di dalam bus itu juga lelah? Rasanya keterlaluan ia tidak tahu. Itu jam orang pulang kerja, sudah pasti banyak orang dalam bus itu juga lelah, seperti dia. Saya pikir mungkin dia mendapatkan hari yang buruk. Mungkin ia dimarahi bosnya, atau bertengkar dengan teman kantornya, atau dengan pacarnya, atau apa pun. Namun, apakah wajib ia memberikan suasana yang tidak menyenangkan kepada penumpang lain?

Kebahagiaan saya hilang seketika. Seolah-olah saya dikelilingi oleh para Dementor (yang baca buku dan nonton film Harry Potter pasti tahu :P). Yang tersisa hanya tubuh yang semakin lelah, tertarik ke depan dan belakang ketika pedal rem dan gas diinjak bergantian.

Lalu di beberapa halte berikutnya terjadi sebuah kejadian yang tidak menyenangkan. Sopir salah membuka pintu. Tidak hanya pintu bagian kanan yang dibuka, bagian kiri pun ikut terbuka. Seorang pria terjepit di pintu kiri bagian belakang. Saya tidak bisa melihatnya, tubuhnya terhalang oleh tubuh-tubuh lain dalam bus itu. Dari suaranya saya tahu ia nampak kesakitan, dan beberapa penumpang pun berekspresi kesakitan ketika melihatnya. Para penumpang kemudian berteriak, minta pintu itu dibuka kembali karena ada seorang terjepit. Butuh beberapa menit untuk sopir memahami apa yang terjadi di dalam bus itu. Sudah pasti tidak hanya para penumpang saya yang lelah, sopir pun jelas kelelahan.

Setelah terbebas dari pintu, pria yang terjepit itu langsung berteriak memarahi sopir. Berbagai makian kasar ia keluarkan. Ia lampiaskan kepada sopir yang tidak bisa ia lihat itu. Kejadian itu makin membuat keadaan yang sudah tidak menyenangkan semakin tidak menyenangkan.

Saya tahu dia marah dan kesakitan, namun apa perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas pada sarana umum yang isinya tidak hanya penumpang dewasa? Lagipula ia tidak berani mencaci-maki ketika tubuhnya terjepit di pintu. Ketika lepas, bukan rasa syukur yang diucapkannya malah makian yang bertubi-tubi. Apakah tidak berani ia mencaci ketika ia terjepit? Apakah ia takut ternyata cacian itu malah menjadikan keadaannya semakin buruk, seperti tangan atau kaki yang patah? Apakah setelah ia baik-baik saja dengan seenaknya ia bisa mencaci sopir yang tidak tahu apa-apa? Rasanya banyak penumpang yang kaget seperti saya, karena bus itu tiba-tiba hening, hanya ada teriakan pria yang terjepit itu.

Tidak adil rasanya menimpalkan semua kesalahan pada salah satu pihak. Dua-duanya jelas salah. Namun secara intuisi manusia akan mencari kesalahan pada diri orang lain untuk melindungi dirinya, terlebih pada saat seperti itu.

Terlepas dari suasana bus yang tidak menyenangkan, saya puas bisa bermain di Dufan. Tapi rasa puas itu akan hilang dan terlupa ketika badan dan kepala saya sudah penat oleh hal-hal yang tidak terduga. Saya akan mengunjunginya lagi, secepatnya :D


Sekadar


Puji Tuhan saya masih dikeliling oleh orang-orang yang baik. Keluarga, saudara, sahabat, teman, dosen, dan orang-orang yang tidak saya kenal yang acap kali saya temui di jalan. Puji Tuhan.

Puji Tuhan saya masih diberikan teguran lewat kata-kata yang terlontar dari mereka, masih diberikan pujian dengan senyuman yang tulus dari bibir mereka. Puji Tuhan.

Melihat anak-anak kecil sedang jajan di warung-warung pinggir jalan, melihat anak-anak lelaki bermain bola di depan rumah, melihat kakak dan adik-adik sibuk dengan urusan mereka masing-masing selalu menyadarkan saya bahwa hidup masih panjang. Mereka merupakan cermin bahwa hidup memang masih panjang.

Kita tidak tahu kapan kematian akan datang, dan kita selalu berharap esok masih dapat menghirup udara pagi dan masih bisa memejamkan mata di kasur yang nyaman. Harapan yang membuat kita percaya bahwa hidup masih panjang.

Acap kali saya menerima pesan yang menanyakan kabar. Kadang saya senang, kadang saya kesal. Tapi saya tetap bersyukur karena masih banyak teman yang peduli pada saya. Kadang saya menerima pesan yang begitu menggugah, membuat saya berpikir bahwa saya ini begitu egois. Puji Tuhan saya diberikan para sahabat yang begitu perhatian.

Puji Tuhan ternyata para tetangga masih mau bertanya keadaan saya ketika saya muncul dari balik pagar rumah. Saya yang acap kali berdiam di rumah, ternyata masih diperhatikan oleh mereka. Mereka masih mendoakan yang terbaik untuk saya.

Ini bukan hanya sekadar tulisan menjelang Natal. Bukan pula sekadar instropeksi diri dan perwujudan rasa syukur menjelang Natal. Entah kebetulan atau tidak, banyak pesan yang masuk kepada saya. Pesan di handphone, di jejaring sosial, dan pesan yang disampaikan langsung kepada saya. Kalimat-kalimat yang mereka lontarkan begitu mengena pada diri saya, yang mungkin memang sedang membutuhkan itu.

Dulu saya sempat kesal jika banyak orang yang perhatian pada saya, tapi kali ini saya begitu bersyukur bahwa saya tidak sendirian. Perhatian mereka begitu meluap sehingga tidak dapat saya tampung. Saya tidak berharap perhatian mereka kali ini menjadikan saya semakin patah arang, semakin terperosok dan tertekan. Saya berharap kali ini perhatian mereka dapat saya olah menjadi sumber semangat bagi saya untuk terus melangkah sampai ke tepian.

Doakan saya, kawan :)

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. (Pengkotbah 3:1)

Thursday, December 15, 2011

Tembok, Sahabat Sederhana

Ada kalanya ketika saya ingin sekali bercerita tapi ternyata saya bingung harus bercerita kepada siapa. Akhirnya saya bercerita kepada tembok-tembok kamar saya. Dia adalah sahabat sederhana saya. Sahabat yang saya buat sendiri, yang paling dapat mengerti apa yang saya maksud.

Ada kalanya pula saya hanya ingin didengar, tidak ingin ditanggapi. Hanya sekadar meluapkan apa yang saya rasakan dan tembok adalah sahabat yang paling tepat pada masa-masa seperti itu.

Sering kali komentar dari seorang teman bukan menjadikan semangat bagi kita. Ketika kita sedih, kita dihibur. Tapi kadang kita malah merasa muak akan hiburan seperti itu. Ketika kita bahagia, teman juga turut bahagia. Tapi kadang kita egois karena tidak ingin membagikan kebahagiaan yang kita rasakan kepada siapa pun. Cobalah tembok kalau begitu.

Dengan kokohnya dia menjadi tempat sandaran untuk kita. Dengan sabarnya dia akan mendengarkan semua cerita yang keluar dari mulut kita. Dia tidak akan membantah, dia tidak akan menanggapi, dia akan tetap abadi dalam kebisuan benda mati. Setiap tembok adalah sahabat ideal bagi semua jenis pribadi.

Entah sudah berapa banyak kisah yang saya sampaikan pada tembok-tembok kamar saya. Setiap kisah, yang paling rahasia sekali pun akan abadi bersamanya, sampai kelak ia tinggal puing-puing yang terlupakan. Rahasia akan tetap menjadi rahasia.

Saya suka tembok kamar saya. Saya suka keheningan yang diciptakannya, membuat saya berpikir panjang akan setiap masalah yang saya hadapi. Dengan tembok saya rasanya dapat belajar menjadi bijaksana. Dengan kata lain, diri kita sendirilah yang menjadikan diri kita bijaksana.

Selamat hari Kamis. Semoga hari ini berwarna seperti permen-permen lolipop yang manis ^.^

obrolan tembok #3

Nyatanya malam adalah waktu untukmu. Tapi mengapa ketika aku bangun di pagi hari kau masih juga terpaku di kedua kelopak mataku?

Saturday, December 10, 2011

Akung


Dalam perjalanan pulang dari Lebak Bulus ke Ciledug kemarin, saya satu angkutan dengan seorang kakek. Ia duduk di serong kanan depan saya. Udara yang panas dalam angkutan itu nyatanya takbanyak mengganggunya. Dengan sabar ia duduk menunggu angkutan itu penuh penumpang.

Usia kakek itu mungkin sudah 70 tahun. Rambutnya sudah putih benar. Kerut-kerut memenuhi seluruh badannya. Bola matanya pun sudah banyak diselimuti warna putih. Bercak-bercak khas orang tua dapat dilihat pada lengan-lengannya yang tidak ditutupi kemeja batik cokelat mudanya.

Sesekali ia tertidur. Sesekali pula ia terbangun ketika jalanan rusak. Sesekali matanya beradu dengan mata saya. Mungkin dia tahu saya lama sekali memperhatikannya.

Melihat kakek itu saya teringat dengan kakek saya, papa Mama saya. Dalam bayangan samar kemudian saya mengingat seperti apa rupa kakek saya. Akung atau Kung-kung, begitulah saya memanggilnya.

Akung saya meninggal pada tanggal 18 Februari 2002, tepat di hari ulang tahun saya yang ke 14. Hari itu hari kedua perayaan Imlek. Menurut kalender Cina, hari lahir saya tepat di hari kedua Imlek. Keluarga besar saya pun selalu merayakan ulang tahun saya di hari kedua Imlek. Baru tahun itu ulang tahun saya berdasarkan tanggalan Cina dan tanggalan internasional bertepatan. Pada hari kedua Imlek dan tepat pada hari ulang tahun saya, Akung saya dipanggil oleh Yang Maha Pencipta.

Masih teringat jelas situasi di rumah ketika itu. Kala itu musim hujan. Beberapa tempat dikawasan kami tinggal masih terendam air, termasuk lapangan bola yang terletak di depan rumah. Agak ke bawah. Lapangan yang menyerupai danau dijadikan tempat pemancingan tiba-tiba oleh Papa saya siang itu. Alat pancing yang dipegangnya seketika dilempar ketika Papa mendengar berita kematian Akung.

Mama saat itu sedang memasak ketika telepon berdering. Dari Bangka, rumah Akung saya berada. Para saudara akan datang malam hari. Kami berkumpul untuk berbagi kebahagiaan Imlek. Beberapa sudah datang membantu menyiapkan makanan. Isak tangis Mama takkunjung reda meskipun sudah berapa tangan yang mengelus punggungnya. Makanan takkunjung selesai dimasak karena semua orang kemudian lupa bahwa hari itu adalah hari kedua Imlek.

Saya masih ingat apa yang saya rasakan. Saya yang tadinya gembira karena akhirnya saya dapat berulang tahun di tanggal yang benar, baik tanggalan Cina maupun tanggalan internasional, tiba-tiba merasa bersalah karena Akung meninggal. Memang bukan salah saya Akung meninggal, tapi saya malah merasa bersalah karena Akung meninggal di hari ulang tahun saya.

Setelah itu situasi rumah menjadi kacau. Papa dan Mama saya segera mencari tiket pesawat ke Bangka. Kegiatan memasak dipegang oleh beberapa tante saya. Malam harinya kami masih berkumpul, tapi tidak ada suasana gembira, masing-masing turut dalam kesedihan yang dirasakan Mama. Saya pun tidak gembira menerima ucapan selamat ulang tahun dari saudara-saudara saya, saya masih merasa bersalah.

Berbulan kemudian, saya sekali memimpikan Akung. Saya tidak dekat dengan Akung karena sudah lama saya meninggalkan Bangka dan jarang pulang ke sana. Ketika saya menceritakan mimpi saya kepada Mama dan kemudian Mama menceritakannya kepada Nenek saya (Pho-pho), Pho-pho heran mengapa Akung malah datang ke mimpi saya. Pho-pho tahu saya tidak dekat dengan Akung, jelas saja dia heran.

Di mimpi saya, Akung terbujur kaku. Sudah meninggal nampaknya. Akung ditidurkan di atas sebuah meja panjang, memakai kaos singlet putih kegemarannya dan celana pendek yang biasa Akung gunakan di rumah. Seketika saya tahu Akung ingin sekali merokok. Bahkan sampai sekarang jika saya mengingat Akung, saya tidak lupa membayangkan sebuah lintingan tembakau di mulut Akung. Lintingan itu tidak pernah lepas dari mulutnya. Badannya pun lebih mirip bau tembakau.

Dalam setahun, ada beberapa sembahyangan diadakan dalam keluarga kami untuk menghormati arwah leluhur. Berbagai sajian digelar di atas meja. Sejak saya menceritakan mimpi saya, tidak lupa sebatang rokok kemudian dibakar untuk roh Akung saya. Tidak ada yang membantah. Kami semua tahu betapa eratnya hubungan Akung dengan rokok.

Sampai hari ini saya masih memikirkan kenapa saya bisa memimpikan Akung seperti itu. Sebuah mimpi yang manis bagi saya. Karena tidak ada yang memimpikan Akung seperti saya memimpikannya. Mungkin Akung tahu rasa bersalah saya, sehingga Akung datang dalam mimpi. Entah. Siapa yang tahu apa sebenarnya misteri bunga tidur itu. 

Sunday, December 4, 2011

Makrab Gelanggang 2011


Tahun ini awal tahun keenam saya di bangku kuliah. Saya masih menghadiri acara malam keakraban dengan status sebagai mahasiswa. Bertemu dengan wajah-wajah baru, yang makin lama makin sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Soal nama? Baru lima menit berkenalan pun kadang saya bisa lupa.

Rasanya semakin sedih melihat teman seangkatan saya yang datang makin berkurang. Kali ini saya dan tiga teman lainnya. Cukup kami berempat untuk mewakili 69 orang lainnya yang terdaftar tahun 2006. Rasanya waktu kami semakin sempit.

Acara pun tidak sepenuhnya bisa saya nikmati. Ini bukan kali pertama acara selalu dipenuhi dengan petikan gitar dan nyanyian-nyanyian. Dan ini bukan kali pertama saya tidak bisa menikmatinya. Tapi saya mencoba bertahan. Toh saya tahu mereka membuat acara seperti ini juga untuk saya dan teman-teman yang lainnya. Sebuah kewajiban yang akan selalu menjadi pertanyaan dan kritikan bagi banyak orang.

Perbedaan usia lima tahun ternyata begitu jauh. Saya merasa diri saya sudah jauh lebih tua dibanding tahun sebelumnya. Ini masa-masa mereka. Banyak sekali teman yang mengatakan ini. Tidak jarang pula saya bergumam, “Ini masa mereka”.

Baru lepas dari bangku SMA tidak menjadikan mereka keluar dari sifat-sifat masa remaja mereka. Masih suka bergerombol dengan teman yang punya hobi atau sifat yang sama. Masih butuh diakui di tempat yang baru mereka tempati. Saya dulu juga merasakannya. Entah sudah berapa ‘kelompok’ teman yang saya singgahi. Saya masih menjajaki. Namun, saya yakin ketika kelak mereka melihat dari sudut pandang yang sama dengan saya, mereka akan mengerti bahwa ternyata mereka akan muncul sebagai pribadi yang berbeda. Tidak lagi berkelompok karena wajah-wajah yang kita kenal mulai terbatas. Tidak ada pilihan. Rasanya kejam menjadikan sebuah pertemanan itu adalah pilihan, namun memang kenyataannya demikian bukan?

Menyenangkan bisa menghirup aura positif dan energi yang begitu meluap dari wajah-wajah baru tersebut. Menyenangkan bisa berkumpul bersama dari berbagai angkatan. Namun, tetap saja kami akan selalu terpisah berdasarkan tahun kami masuk. Rasa saling mengerti pun saya rasa makin lama akan semakin memudar. Saya masih belum bisa mencari cara yang tepat untuk melunturkan hal-hal yang sudah dibawa bertahun-tahun dari setiap generasi. Tapi hidup itu penuh dengan proses, saya yakin kelak sistem akan diperbaiki jauh lebih baik.

Desember


Ketika 30 hari sudah berlalu baru kita merasakan bahwa ternyata waktu cepat sekali berganti. Bahkan ini sudah hari keempat di bulan terakhir di tahun 2011 ini. Pasti kalian juga sering mendengar hal-hal seperti baru kemarin 2011 dimulai dan ternyata kurang dari 25 hari tahun ini akan berakhir.

Padahal detik masih sama. Waktu sehari pun masih sama. Aktivitas dan keinginan kitalah yang berbeda. Ada kalanya hari berlalu lambat dan ada kalanya hari terlalu singkat untuk dilalui.

Tinggal 21 hari lagi menuju Natal. Saya selalu menunggu saat-saat itu. Sendirian. Sekadar informasi, orang tua dan seorang adik saya beragama Budha. Kakak, saya, dan seorang adik saya yang lain beragama Katolik. Keluarga kami tidak mengharuskan kami mengimani kepercayaan yang sama. Kami bebas memilih dan ini pilihan kami.

Sekadar selingan, sepupu saya bahkan keluarganya lebih beragam dalam beragama. Sepupu saya seorang Katolik, kakaknya Islam, adiknya Protestan, dua adiknya yang lain dan kedua orang tuanya Budha.

Karena jauh dari rumah, saya menantikan Natal sendirian. Tidak ada hiasan Natal, tidak ada lagu-lagu pujian bergema. Hanya ada saya. Mempersiapkan hati, berusaha selalu menjadi pribadi yang lebih baik.

Impian saya, kelak saya ingin merayakan Natal bukan di Indonesia. Saya ingin merasakan Natal di negara-negara yang saya lihat di film. Seluruh pelosok kota penuh dengan nuansa Natal. Nuansa Natal memang bukan hal yang terlalu penting, namun itu baginya merupakan suatu dorongan semangat untuk selalu ingat bahwa hari besar bagi banyak orang akan datang.

Rasanya Desember akan segera berakhir. Masihkah harus saya mengeluh apa yang sudah saya kerjakan dengan penuh kesadaran? Rasanya tidak adil karena jika harus menyalahkan, saya hanya bisa menyalahkan diri saya sendiri.

Semoga kamu manis Desember. Kamu anak bungsu yang selalu dipuja dan disayang.