Tuesday, May 29, 2012

Cat Kuku


“Bu, liat deh. Masa kukunya warna-warni gitu. Yang itu item yang itu putih,” kata seorang anak laki-laki kepada ibunya sambil menujuk jejari saya sembunyi-sembunyi.

Saya pura-pura takmendengar. Sambil membereskan tas, saya sembunyikan kuku-kuku saya. Biar ibunya tidak bisa melihat. Tapi, akhirnya saya biarkan saja mereka membahas kuku-kuku saya. Saya sudah biasa.

Kuku saya minggu ini memang diwarnai dengan dua warna, hitam dan putih. Pada tangan kanan, jempol, telunjuk, dan jari tengah berwarna hitam dan sisanya warna putih. Pada tangan kiri, jempol dan telunjuk berwarna hitam dan sisanya berwarna putih.

Tidak jarang kuku jejari saya jadi pusat perhatian orang-orang yang melihatnya. Saya suka mengecat kuku saya dengan warna yang tidak hanya satu. Saya padu-padankan warna-warna cat kuku itu di kuku jejari saya.

Saya memiliki sepuluh kuku jari tangan, jadi untuk apa kesepuluhnya dicat dengan warna yang sama kalau setiap kuku bisa mendapatkan warna yang berbeda. Hahahaha... Hal itu pernah saya lakukan dan kapan-kapan mungkin saya akan mengulanginya lagi. Satu warna untuk satu kuku. Sepuluh warna untuk dua tangan.

Melihat kuku berwarna-warni itu bisa meningkatkan mood loh kalo menurut saya. Apalagi kalau cat yang digunakan warna-warna cerah. Anggap saya lirikan orang pada kuku-kuku lucu kalian itu adalah lirikan pujian. Hehehehe...

Lalu, ketika tadi saya melihat ada cat kuku baru, yang sedang nge-trend saat ini, berdiam diri di atas meja kamar, saya hapus cat kuku hitam-putih saya. Voila! Kali ini kuku-kuku saya berwarna biru dan merah jambu dengan corak retak di mana-mana.

Selamat menempuh cuaca panas! *kipas-kipas


Monday, May 28, 2012

obrolan tembok #6

Ketika semua yang seharusnya tuntas tapi nyatanya masih menggantung, tinggal kecewa yang tertinggal.

Apa yang selama ini kaulihat, kaudengar, dan kaurasakan tinggal bayang-bayang. Kenyataan tinggal bayang-bayang pudar, abu-abu.

Tidak semua yang kaupercayai bisa memberikan kepuasan. Tidak semua utuh pada garis kebenaran.

Ya, setiap manusia punya topeng, setipis apa pun.

Tuesday, May 22, 2012

obrolan tembok #5

Bukan hanya sekadar jawab yang ia inginkan. Pertanyaan sederhana pun cukup membuat ia tahu bahwa ia dikasihi.

Sebuah kotak yang berisi tanya dan jawab. Semoga pula berisi dengan kasih.

Doaku menyertaimu. Semoga senantiasa dikasihi dan bahagia.

Sunday, May 20, 2012

Cumi-cumi di dalam Kepala

"Ntar kalo gw udah gini, gw ngga mau gini."
"Gw juga. Gw ngga mau ini itu ini itu."

Kali ini teringatlah saya akan pembicaraan dengan beberapa orang teman tentang hal-hal yang ingin dan tidak ingin dilakukan bila sesuatu dapat dicapai. Secepat keinginan itu tercapai, cepat pula pembicaraan itu hilang dari ingatan. H plus sekian, ludah sudah kembali lagi tertelan. Kembali dijilat. Keinginan itu tinggal menjadi obrolan basa-basi-busuk.

Ketika saya berhadapan dengan hal itu, saya selalu ingat apa yang pernah saya janjikan. Janji itu lebih saya tujukan pada diri saya sendiri. Saya sedang belajar untuk menghargai sebuah janji. Saya tidak suka bila sebuah janji diingkari. Oleh karena itu, saya berusaha semampu saya untuk menepati janji yang bahkan janji itu untuk diri saya sendiri.

Apakah saya orang yang perfeksionis? Tidak. Saya sangat jauh dari sifat itu. Saya hanya tidak ingin apa yang pernah saya ucapkan jadi sekadar suara-suara kosong saja. Kurang lebih begitu. Saya terlalu keras pada diri saya sendiri? Mungkin. Tapi, jika kita tidak keras pada diri sendiri, kapan kita siap menghadapi hal-hal keras lain di sekeliling diri kita?

Ada kalanya saya berpikir untuk melanggar janji yang saya janjikan pada diri saya sendiri itu. Toh tidak akan ada yang dirugikan. Tapi kemudian saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa yang akan rugi adalah saya. Saya yang tahu kebenarannya dan saya yang akan menyesal jika janji itu saya ingkari, cepat atau lambat.

Katakanlah tulisan ini tentang rasa tidak puas saya pada orang-orang yang saya hargai. Ah, bukan hanya tidak puas, saya lebih merasa kecewa karena telah diselewengi oleh mereka. Mungkin saja mereka lupa. Mungkin saja ternyata ingatan saya yang kelewat tajam untuk pembicaraan-pembicaraan ‘kecil’ tersebut.

Selamat hari Minggu. Semoga baik :)

Monday, May 14, 2012

Wisuda, 9 Mei 2012


Lutut seketika kehilangan kendalinya untuk tegak ketika kami menyanyikan Hymne Unpad. Bayangan-bayangan masa lalu pun seketika terkelebat, lewat di dalam kepala. Lagu itu menandakan bahwa saya harus pergi, meninggalkan segala sesuatu yang saya sayangi selama hampir enam tahun ini, para sahabat, para dosen, gedung-gedung kampus, suasana yang menyenangkan, dan Djati. Mereka harus saya tinggalkan.

Ketika sesi pengucapan terima kasih kepada orang tua yang diwakili oleh beberapa wisudawan tampak pada layar besar di depan, di sana-sini terdengar tepuk tangan pula sedu-sedan. Tanda haru dan bahagia. Ketika doa ucapan syukur dikumandangkan, lagi-lagi sedu-sedan menggema dalam ruang besar itu. Tapi keduanya tidak cukup membuat saya ikut terenyuh. Namun ketika kami menyanyikan Hymne Unpad, segala pertahanan saya runtuh. Saya jatuh pada kesedihan yang tidak bisa saya hapuskan. Lagu itu tiba-tiba mengingatkan saya pada semua hal yang pernah saya rasakan dan harus saya tinggalkan. Dan ketika Djati pun turut serta masuk ke kepala saya, saya takbisa menahannya. Sakit.

Akhirnya hari itu terlalui. 9 Mei 2012 masih 24 jam, masih bisa dilalui. Banyak wisudawan bergembira, larut dalam euforia. Namun lagi-lagi tidak bagi saya. Ini sudah bukan lagi euforia, ini sudah jadi antiklimaks bagi saya. Jika hidup bisa semudah film-film yang saya tonton, saya berharap bisa mempercepat hari kemarin dengan remot kontrol. Dengan setengah hati hari itu harus saya lalui. Dengan hal-hal yang tidak bisa saya pahami kenapa harus terjadi, hari itu dapat saya lalui.

Kini, ada sesuatu yang kopong tertinggal. Bukan lega yang saya dapat, tapi ketiadaan yang harus saya terima. Kopong yang hanya bisa diisi dengan waktu yang akan semakin dewasa. Bayangan yang selama ini samar di mata saya ternyata semakin samar ketika bayang sudah jadi nyata. Tidak seperti yang saya harap dapat saya rasakan.

Bahagia pasti. Rasa itu terselip di sudut terdalam. Apalagi bisa memakai jubah kebanggaan, keluar dari Graha Sanusi bersama para sahabat di waktu yang memang tepat bagi kami. Tapi, banyak kata tapi yang kemudian mejadikan semuanya bertentangan dan berhalangan.

Ah, terima kasih almamaterku, Padjadjaran. Banyak hal tentangmu yang masih patut diperjelas dan dipertanggungjawabkan. Dan banyak hal tentangmu pula yang masih patut dikenang. 

Terima kasih beribu kepada para sahabat yang telah menyempatkan diri hadir dan menanti di halaman untuk sekadar mengucap selamat dan memberi peluk hangat. Tuhan memberkati :) 


Friday, May 4, 2012

Modus Anomali



Para mahasiswa di kawasan pendidikan ini berduyun-duyun datang ke bioskop. Film Modus Anomali sedang tayang. Penasaran. Saya pun turut serta dalam rombongan untuk menonton film itu.

Saya datang agak terlambat. Ketika membeli tiket, setengah bioskop sudah terisi penuh. Terpaksalah saya menerima nomer bangku yang sebenarnya tidak nyaman untuk menonton layar lebar tersebut.

Film sudah beberapa menit dimulai. Saya masih harus beradaptasi dengan film yang minim cahaya itu. Saya juga harus berkonsentrasi agar tidak terganggu oleh para penonton yang tiap beberapa menit masuk karena juga terlambat.

Secara keseluruhan film ini menarik. Suasana tegang, gelisah, dan menyeramlan dapat saya tangkap. Sering kali saya harus menutup telinga karena bahkan suara jangkrik pun sangat membuat film ini mencekam. Sering kali saya harus menyipitkan mata karena gerak kamera yang membuat mata tidak fokus malah menjadikan saya gelisah akan apa yang tidak dapat saya lihat.

Beberapa pertanyaan muncul ketika film sampai di tengah waktu. Apa maksudnya? Saya yakin banyak penonton yang seperti saya, karena ruang bioskop ramai-redam oleh bisik-bisik gelisah. Toh saya mencoba menebak dan mencoba sabar menemukan jawabannya sampai film ini berakhir.

Bagi saya film ini mengingatkan saya dengan beberapa film yang saya kenal. Sekilas seperti film Shutter Island, sekilas seperti film Dream House, sekilas seperti film Inception. Ada beberapa hal yang bisa saya kaitkan dalam Modus Anomali dengan ketiga film tersebut.

Di tengah film saya menebak bahwa sebenarnya tokoh Ayahlah yang membunuh istrinya, namun ia tidak sadar bahwa ialah yang membunuh. Seperti dalam Dream House, yang belum pernah saya tonton tapi sudah saya baca sinopsisnya. Sekadar informasi, saya sengaja tidak membaca sinopsis Modus Anomali.

Lalu, alarm jam yang ditempatkan di berbagai tempat mengingatkan saya pada film Inception. Jam di Modus Anomali berfungsi sebagai petunjuk tempat dan waktu. Mirip dengan konsep “kick” dalam Inception.

Dan setelah film ini berakhir, saya merasa film ini mirip dengan film Shutter Island. Bedanya tokoh Ayah sadar dan sengaja membuat dirinya tidak sadar dalam pengaruh obat. Imajinasi yang diinginkan Ayah selalu lebih liar setiap kali aksi membunuhnya.

Warna cairan dalam suntikan untuk membuat Ayah berimajinasi liar berwarna hijau terang, hijau stabilo. Warna itu kemudian mengingatkan saya pada darah monster. Monster yang memang sengaja dibangkitkan dari dalam diri Ayah.

Adegan muntah adalah adegan yang paling mengganggu dalam film ini. Dua adegan muntah tersebut membuat saya yakin bahwa muntahan memang tidak keluar dari mulut Ayah. Selain karena sudut pengambilan gambar, curahan muntah yang keluar terlalu deras bagi saya. Seperti muntah yang disemprotkan lewat selang. Atau, memang begitu tekniknya.

Ya, untuk ukuran film Indonesia belakangan ini, Modus Anomali memang patut dibicarakan dan diapresiasi. Alur cerita yang menarik, sudut pengambilan gambar yang cermat, dan minim backsound, yang malah menjadikan keheningan begitu mendominasi dan mencekam, mampu membangun film ini menjadi film yang patut diapresiasi. Lepas dari penggunaan bahasa Inggris dalam film ini, kita patut berbangga hati ada film Indonesia yang tidak biasa.

Selamat menonton Modus Anomali. Selamat bingung dan gelisah.

Lilin yang Takselalu Menyala*


*Judul ini dipakai dalam naskah drama karangan Abroorza A. Yusra

Semalam Jatinangor gelap. Karena gardu yang mengaliri listrik ke daerah Jatinangor meledak dan terbakar, maka Jatinangor gelap. Para penghuninya pun berlomba-lomba mencari tempat terang. Agar nyaman sepertinya.

Tadinya saya juga turut seperti mereka. Pergi mencari tempat terang. Rencananya ingin menonton sebuah film yang ternyata sudah tidak tayang lagi di sana. Ah, memang sudah takdir. Kembalilah saya dalam keremangan lilin di dalam kamar.

Tidak tahu apa yang harus saya lakukan, saya pun memandangi lilin. Lilin pertama sudah hampir habis. Dan saya baru menyadari bahwa lelehan lilin itu membentuk gumpalan-gumpalan yang indah. 

  
Ketika lilin di sekitar sumbu meleleh, cahaya api berkedip-kedip, agak redup. Namun ketika lelehannya turun, cahaya kemudian stabil dan terang kembali. Lelehan itu kemudian menjalar, melewati gumpalan yang sudah kering dan kemudian membentuk gumpala baru di sebelahnya. Jadilah gumpalan-gumpalan itu di sekeliling sumbu yang masih menyala.

Di penghujung akhirnya, sumbu lilin masih berusaha keras bersinar. Setelah habis ia terjatuh dan padam dalam lelehan lilin yang tidak bisa pergi ke mana-mana. Bahkan menonton penghabisan lilin itu pun waktu telah berjalan setengah jam. Tidak terasa memang. Karena mereka memang indah.


Beralihlah saya pada lilin kedua yang masih berdiri mulus dan tegap. Lelehannya masih sedikit, masih menggantung di badan lilin. Masih dapat bersinar lebih lama.

Lalu, saya pandangi bayang-bayang yang dihasilkan cahaya lilin di tembok kamar. Cahaya yang mengenai gantungan baju seperti tangan dengan tiga jarinya berdiri, yang lainnya seperti seorang wanita sedang memanjat. Pompa air minum seperti robot yang sedang menggapai langit-langit. Dan bayang-bayang itu bergoyang seiring gerak api. Mereka menari.

Sekarang listrik telah menyala lagi dan dua lilin itu tinggal menjadi gumpalan-gumpalan lelehan yang membeku.

Wednesday, May 2, 2012

Sastra


Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.
(Pramoedya Ananta Toer)


Kiranya perkataan Pram di atas sangat mencerminkan diri saya. Saya begitu menyukai sastra. Diperkenalkan tidak oleh siapa-siapa, saya sendiri yang mencarinya. Berangkat dari kegemaran membaca, awalnya majalah anak-anak, komik, berlanjut hingga buku-buku novel, saya menemukan diri saya di dalam mereka.

Lewat lembaran kertas itu saya mulai belajar. Banyak hal yang dapat saya tangkap dari cerita-cerita fiksi. Relasi antara setiap manusia, kesetiaan, kecemasan, ketakutan, kebahagiaan, dan fakta-fakta yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya.

Karya sastra, terutama novel, tidak bisa lepas dari kehidupan saya sehari-hari. Buku-buku itu tidak hanya sekadar hiburan bagi saya, mereka juga menjadi gudang ilmu. Terlebih pengetahuan atas kebudayaan yang belum pernah saya jamah selama ini. Pelajaran singkat lewat media bahasa dan cerita rekaan.

Karya sastra membuat saya dapat menyelami diri saya sendiri. Lewat perenungan panjang, saya lama-kelamaan bisa jujur terhadap diri sendiri. Banyak orang yang paham atas dirinya, namun tidak sedikit pula di antara mereka yang tidak pernah jujur pada dirinya. Kejujuran pada diri sendiri itu kemudian berimbas pada perlakukan kita pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita dapat menjadi lebih peka atas segala sesuatu yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita.

Karya sastra akan semakin berkembang seiring dengan pemikiran manusia. Perkembangan karya sastra berarti menjadikan manusia juga semakin berkembang pemikirannya. Dan bagi saya karya sastra itu lebih dekat ke hati. Mengembangkan apa yang ada di hati saya.

Oleh karena itu, perkataan Pram yang saya kutip di atas begitu mengena pada diri saya. Segala pelajaran yang selama ini saya terima hanya untuk diri saya, tapi dengan mencintai sastra saya sadar bahwa ilmu yang saya dapatkan bukan sekadar ilmu yang ada di kepala saya. Ilmu itu dapat berkembang pula di hati saya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Selamat tanggal 2 Mei. Selamat berbagi ilmu dan berkat.

Senyum


Pertanyaan yang muncul di kepala saya belakangan ini, mengapa banyak orang yang saya temui sulit sekali untuk tersenyum? Orang banyak itu adalah pekerja-pekerja yang saya temui dalam berbagai aktivitas saya. Jenuhkah mereka? Lelahkah mereka? Penatkah mereka sehingga mereka lupa caranya tersenyum?

Tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan nyatanya jauh dari yang saya harapkan. Saya bertanya dengan sopan, dengan senyum, namun dijawab dengan ketus, asal-asalan, dan takbalas senyum. Saya sadar ketika saya tersenyum dengan seseorang, paling tidak saya ingin mendapatkan balasan senyum singkat dari mereka. Begitu juga ketika ada orang yang tersenyum pada saya, saya tahu mereka juga mengharapkan senyum dari saya.

Bagi saya hal ini bukan hal sepele karena masalah senyum itu bisa membuat hari saya berantakan. Terlebih dua hari kemarin, ketika saya bertemu dengan penjaga-penjaga toko yang lebih rajin bergosip dibandingkan membantu pelanggan memilih barang, dan petugas-petugas administrasi yang bahkan melihat saya dengan pandangan judes. Ke mana senyum itu mereka simpan?

Sungguh, jika saya mengingat kejadian dua hari kemarin, saya kesal! Mungkin mereka jarang menemukan orang yang bisa menghargai usaha mereka, namun mengapa mereka putus asa dan menyerah di tengah jalan? Yah, hubungan antar manusia memang rumit. Itu hubungan dua arah, bukan hanya satu arah.

Semoga saja ketika kelak saya masuk ke dunia nyata, lekat dengan rasa lelah, frustasi, dan sebagainya, saya tidak lupa untuk meletakan senyum di bibir saya.

NB: Terima kasih Abang angkot Kalapa-Dago yang sudah begitu menghibur dengan kejujuran dan kekasarannya Senin malam kemarin. Luapan emosi yang jujur itu lebih manusiawi, Bang! Semoga Abang dan keluarga senantiasa diberikan kebahagiaan dan rezeki. Amin.