Saturday, June 30, 2012

Harta Karun Tengah Malam


Malam ini saya kembali menemukan harta karun! Ketika sedang beres-beres, saya menemukan sebuah buku yang dulu saya dan sahabat-sahabat saya namakan Buku Persahabatan. Beneran deh, bukan kalian aja yang berjengit ketika membaca judul norak itu. Saya saja sekarang tiba-tiba mikir kok bisa yah dulu namain buku itu dengan judul senorak itu. Hahahaha...

Jadi, ketika saya, Sisca, dan Vika berpisah di bangku SMA dan melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda-beda, kami masing-masing memegang Buku Persahabatan ini dan mengisinya sebisa mungkin. Dan ketika kini saya temukan lagi buku itu, saya percaya bahwa saya dan mereka benar-benar pernah muda! Hahahaha...

Secara garis besar isinya tidak penting! Sungguh! Kalau dibaca sekarang, isinya bener-bener ngga penting! Ya ampunnn! Rasanya ingin mengetik ‘hahahaha’ sebanyak-banyaknya. Ini lucu! Ya, semua hal yang sudah terjadi, seburuk apapun itu, akan jadi lucu ketika kita memandangnya dari kacamata yang berbeda. Apalagi buku itu ditulis antara tahun 2006-2007, ketika kami masih 18-19 tahun.

Ada satu catatan yang membuat saya tertawa terguling-guling. Catatan ini saya tulis pada tanggal 19 Februari 2007, yang menceritakan sebuah kejadian yang saya dan Vika alami.

Saat itu saya dan Vika sedang berada di mobil yang dibawa ayah Vika. Karena hujan turun, ayah Vika berbaik hati mengantar kami ke gereja. Dalam perjalanan, tiba-tiba ayah Vika bertanya. Kira-kira begini dialognya.

Om      : Fega, gimana kamu sama keponakan saya itu?
Saya    : Keponakan? (Bertanya dengan bingung, belum ngerti maksudnya)
Om      : Itu. Si R****. Gimana kamu sama dia?
(Seketika saya dan Vika tertawa terbahak-bahak, diikuti dengan tawa ayah Vika)
Saya    : Yah ngga gimana-gimana, Om.
Om      : Masa kalian putus di tengah jalan sih.
Saya    : Ngga di tengah jalan kok, Om. Masih di awal. Hehehe...
Om      : Kan si R**** itu ganteng.
(Tambah terbahak-bahak lah kami bertiga)
Om      : Emang sih mamanya itu galak.
(Mobil bergoncang saking kerasnya kami tertawa)

Dan bahkan ketika saya menulis ini, dagu saya sampai keram karena tertawa. Sungguh! Kejadian ini benar-benar lucu bagi saya.

Si R**** itu bisa dianggap keponakannya ayah Vika berdasarkan marganya. Jadi ayah Vika tahu ketika dulu saya berhubungan khusus dengan keponakannya itu. Bahkan sampai sekarang pun ayah Vika masih menayakan kabar saya dengan si R itu. Karena saya tahu ayah Vika penuh dengan humor, jadi saya biasa-biasa saja.

Untungnya percakapan itu harus dihentikan karena ada tetangga Vika yang turut menumpang. Saya terselamatkan :D

Sebenarnya tulisan ini sama tidak pentingnya, tapi karena geli dan saya harus mengingat kejadian hari ini, tertulislah catatan ini. Senangnya bisa menemukan harta karun lagi. Paling tidak buku ini bisa dijadikan cermin bahwa sekarang saya lebih dewasa dibandingkan saya enam tahun yang lalu. Ya! Saya pernah muda!

Monday, June 25, 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah - Tere Liye



Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama

Selalu ada buku pertama dari setiap pengarang yang harus kita baca agar kita bisa tahu seperti apa gaya penulisan pengarang tersebut. Bagi saya, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye merupakan buku perdananya yang saya baca. Ketika selesai membacanya, saya menyesal. Mengapa saya baru bertemu dengannya sekarang? Mengapa saya tidak berusaha membaca buku-bukunya yang lain, yang jauh lebih lama terbit dibandingkan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah?
Saya bisa membayangkan bahwa novel ini akan bercerita tentang cinta. Dari judulnya saya tahu ini kisah tentang cinta dan menyangkut budaya. Siapa tidak kenal dengan ‘angpau’ yang mengacu pada satu kebudayaan tertentu. Tapi, saya belum bisa membayangkan sepenuhnya imajinasi apa yang akan Tere Liye sajikan dalam 507 halaman tersebut.
Tere Liye tidak hanya berkisah tentang percintaan saja, tetapi lebih luas dari hal itu. Mungkin cinta bisa kita simpulkan sebagai tema utama novel tersebut, tapi tanpa unsur-unsur lain seperti budaya, persahabatan, dan falsafah hidup, buku ini akan menjadi hambar. Dengan racikan dan permainan kata yang pas, novel ini kemudian menjadi sangat menarik untuk dibaca.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah berkisah tentang Borno, seorang pemuda Pontianak lulusan SMA yang harus masuk ke dunia kerja karena memang keadaannya demikian. Ayahnya meninggal ketika Borno berusia dua belas tahun, meninggalkan Borno dan ibunya. Tapi Gang Sempit tempat mereka tinggal memang sempit, Borno dan ibunya tidak ditinggalkan sendiri. Masih ada sahabat-sahabat ayahnya yang turun membantu keluarga kecil itu.
Novel ini dibuka dengan prolog yang menceritakan kematian ayah Borno. Ayahnya meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Tersengat ubur-ubur. Alangkah tidak terimanya Borno ketika ia diberitahu bahwa dada ayahnya akan dibelah, jantungnya akan didonorkan pada orang lain yang saat itu sedang kritis, di rumah sakit yang sama. Borno yang baru berusia dua belas tahun tidak mengerti mengapa ayahnya yang sebenarnya masih bisa bertahan hidup harus dibelah dadanya dan diambil jantungnya. Ia hanya bisa menangis dan berteriak di lorong rumah sakit itu. Tapi siapa sangka, ternyata prolog yang penuh dengan sedu-sedan itulah yang pada akhirnya menjadi benang merah dari keseluruhan novel ini.
Setelah lulus SMA Borno bekerja. Pekerjaan pertamanya di pabrik karet. Dari muak sampai terbiasa dengan bau karet yang busuk, Borno bekerja. Sayangnya pabrik itu harus tutup dan Borno harus mencari pekerjaan yang lain. Kali kedua Borno pergi ke kantor syahbandar Pontianak, berharap akan mendapatkan pekerjaan. Namun syahbandar itu hanya menerima pekerja yang cakap sedangkan Borno hanya lulusan SMA. Untungnya syahbandar itu orang yang baik, ia merekomendasikan Borno ke Kepala Operator Feri Kapuas dan Borno diterima sebagai pemeriksa karcis.
Dewi Fortuna memang tidak bersama Borno kala itu. Para pengemudi sepit mengucilkan Borno karena ia bekerja di dermaga feri. Dermaga feri merupakan musuh besar bagi pengemudi sepit. Sejak ada feri di sepanjang sungai Kapuas tersebut, penghasilan pengemudi sepit jauh berkurang dan bahkan harus ada yang gulung tikar. Hal itu pula yang menimpa kakek Borno. Karena hal itulah Borno dianggap sebagai anak durhaka, bekerja di tempat yang sudah membuat keluarga pengemudi sepit merana.
Borno tetap bekerja di Pelampung, istilah yang digunakan oleh pengemudi sepit untuk menyebut feri, meskipun ia harus menanggung resiko. Setiap hari Borno pergi dan pulang kerja dengan menggunakan angkutan umum karena Bang Togar memasang pengumuman bahwa tidak ada satu pun sepit yang boleh mengantar Borno sampai Borno keluar dari tempat kerjanya itu. Betapa tidak merana hati Borno dikucilkan oleh orang-orang terdekatnya, namun asalkan uang kerjanya itu halal ia tidak masalah.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menjauh dari Borno. Borno merasa ia harus keluar dari dermaga itu karena ternyata penarik tiket yang lain berbuat curang dengan jumlah tiket. Mereka korupsi. Borno yang hatinya selurus sungai Kapuas merasa tidak nyaman dan keluarlah ia dari sana.
Beranjaklah Borno menuju gedung-gedung tinggi. Ia hendak mencari kerja lagi. Kata yang punya gedung pekerjaannya sepele tapi uang yang dihasilkan begitu melimpah. Hanya urusan ludah-meludah yang pada akhirnya membuat Borno harus merelakan pekerjaan itu. Ia tidak bisa bekerja dikelilingi burung. Apalagi urusan ludah-meludah ini ternyata adalah sarang burung walet. Kembali menjauhlah Dewi Fortuna dari sisi Borno.
Sepit. Ide itu yang muncul kemudian dari ibu Borno setelah ia melihat Borno kerja luntang-lantung membantu tetangga di sekitar rumah. Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit karena itulah wasiat dari Bapaknya, jangan menjadi pengemudi sepit. Tapi setelah dijelaskan oleh ibunya, Pak Tua, Koh Acong, dan Cik Tulani, Borno pun sepakat akan belajar mengemudi sepit.
Borno pasti tidak pernah menyangka bahwa dari sepit inilah kehidupannya nanti akan berubah. Meskipun hari-hari awal ia belajar sepit, ah tidak, lebih tepat dikatakan dijadikan pesuruh oleh Bang Togar, terasa berat, Borno menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Untung ada Pak Tua yang senantiasa menemani dan sangat bijaksana dalam melihat satu kejadian.
Kisahnya sebagai pemuda bermula pada sepucuk angpau merah yang jatuh pada lantai sepitnya. Ia yakin pemilik angpau merah itu adalah seorang gadis cantik berwajah oriental yang naik sepitnya. Takpelak lagi bayang-bayang gadis itu muncul dalam kepala Borno.
Hari-hari berikutnya dilalui Borno dengan harapan dapat bertemu dengan gadis itu. Ia ingin mengembalikan angpau itu, karena mungkin angpau itu tidak sengaja jatuh ke sepitnya. Dan hari yang ditunggu pun tiba.
Ternyata gadis itu membawa angpau yang sama ketika Borno bertemu dengannya. Saat itu menjelang imlek dan gadis itu sedang membagi-bagikan angpau di dermaga sepit. Kecewalah hati Borno ketika tahu bahwa ternyata angpau yang ia temukan ternyata tidak istimewa.
Namanya Mei. Nama yang berdasarkan bulan kelahiran yang bagi Borno terlihat lucu. Hal itu pula yang ia sampaikan kepada Mei ketika kali lain ia bertemu, ketika Borno mulai menunggu di urutan tiga belas. Urutan itu sengaja diatur oleh Borno setelah ia tahu jadwal keberangkatan Mei.
Perjalanan yang disengaja, yang hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk mengarungi sungai Kapuas menjadi saat yang paling ditunggu Borno. Perjalanan singkat yang membuat perasaan Borno makin kuat pada Mei. Mei pun berbalas, menurut pandangan saya. Jika Mei tidak menaruh rasa pada Borno, tidak mungkin Mei dengan senang hati bertemu dengan Borno apalagi sampai minta diajarkan untuk mengemudi sepit.
Selain mengemudi sepit, Borno juga sering membantu di bengkel sahabatnya, Andi. Dari bengkel itulah ternyata diketahui bakat lain yang terpendam dalam diri Borno. Ia mahir dengan mesin. Ayah Andi pun menaruh harapan besar pada Borno, berharap kelak dapat membesarkan bengkel bersama Borno. Mei yang tahu kemahiran Borno terhadap mesin membelikan sebuah buku tentang mesin, hadiah untuk Borno. Betapa senang hati Borno ketika ia mendapatkan hadiah istimewa itu.
Perjalanan asmaranya tentu tidak berjalan mulus. Jika cerita ini lancar-lancar saja, tentu novel ini akan menjadi hambar. Mei harus kembali ke Surabaya, tempat kediamannya. Peristiwa ini membuat Borno luluh-lantak. Sedih akan kepergian Mei. Tapi Borno selalu yakin bahwa Mei akan kembali.
Pak Tua tiba-tiba jatuh sakit. Badannya yang sudah tua tidak mampu menerima segala macam makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Asam uratnya menjadikan tubuh Pak Tua ringkih. Ketika tahu ada terapi asam urat di Surabaya, Pak Tua mengajak Borno untuk ikut dengannya. Ini kesempatan untuk bertemu dengan Mei, pikir Borno.
Hidup ini penuh dengan kebetulan. Itu pun yang dialami oleh Borno. Ternyata tempat terapi Pak Tua sama dengan tempat terapi nenek Mei. Borno pun kebetulan bertemu di tempat itu. Pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan pula Borno dengan ayah Mei.
Ayah Mei melarang Borno untuk bertemu dengan Mei. Borno ketar-ketir. Ia pun berpikir, siapalah dirinya ini hingga pantas untuk Mei. Keluarga mereka jelas-jelas berbeda. Mei dari keluarga berada sedangkan Borno hanyalah pengemudi sepit yang tidak jelas masa depannya. Kembalinya Borno ke Pontianak disertai pula dengan perasaan yang mengganjal tentang Mei dan ayahnya.
Pertemuan dengan dokter gigi cantik, Sarah, merupakan kisah yang menarik dalam novel ini. Lagi-lagi hidup penuh dengan kebetulan. Sarah merupakan anak perempuan yang ayahnya merupakan penerima donor jantung ayah Borno. Sarah dan keluarganya tidak pernah lupa akan kebaikan hati ayah Borno karena berkat jantung itu ayah Sarah mampu bertahan jauh lebih lama dari yang diharapkan.
Sarah merupakan sosok yang berbeda dibandingkan dengan Mei. Ia gadis yang manis, ceria, periang, dan baik hati. Meskipun seorang dokter, ia tidak segan-segan masuk dalam pergaulan Borno dan Gang Sempit. Sosok gadis ini menjadikan novel ini lebih berwarna.
Awalnya saya mengira bahwa Borno akan jatuh hati pada Sarah, tapi saya berpikir ulang bahwa cerita tidak akan semudah itu dibayangkan. Dan benar saja, konflik puncak yang berhubungan dengan Mei pun muncul.
Mei yang telah kembali ke Pontianak tiba-tiba tidak ingin bertemu dengan Borno. Ia tidak lagi datang dan naik sepit urutan tiga belas. Borno yang tidak mengerti berusaha mencari cara untuk bertemu dengan Mei. Sayangnya, Mei tetap tidak memberikan jawabannya, tetap menolak untuk bertemu dengan Borno.
Sampai akhirnya di akhir cerita, ketika sedang diadakan final mengemudi sepit dalam rangka tujuh belasan, bibi yang bekerja di rumah Mei mengabarkan bahwa Mei akan pergi ke Surabaya dan ia sedang sakit keras. Semua jawaban atas pertanyaan di kepala Borno ada pada sepucuk angpau merah yang dulu dijatuhkan oleh Mei di lantai sepit. Angpau yang bukan kebetulan jatuh melainkan dijatuhkan dengan sengaja.
Angpau itu berisi surat pengakuan Mei. Mei adalah anak dari dokter yang melakukan operasi ayah Borno dulu. Ibu Mei saat itu sedang haus akan nama kebesarannya sebagai dokter. Ayah Borno sebenarnya masih bisa diselamatkan, tapi karena hati ibu Mei yang telah dibutakan oleh nama besar, ia lebih memilih nama besarnya dibandingkan keselamatan ayah Borno.
Ibu Mei merasa bersalah dan terus menerus memikirkan peristiwa itu. Apalagi bayang-bayang Borno yang berteriak dan menangis membuat ibu Mei sangat merasa bersalah. Rasa bersalahnya itu kemudian menjadikan penyakit bagi ibu Mei. Hal itu pula yang terjadi pada Mei. Rasa bersalah Mei pada Borno menjadikan Mei jatuh sakit. Sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter dan obat mana pun.
Benang merah yang dibangun oleh Tere Liye begitu rapi dan menarik. Peristiwa-peristiwa yang disajikan juga membangun cerita ini menjadi menarik. Setiap peristiwa membangun pula karakter dari setiap tokoh dalam novel ini. Mungkin ada kalimat yang mengatakan bahwa hati Borno adalah hati yang paling lurus, seperti sungai Kapuas. Tapi karakter itu tidak akan kuat ketika peristiwa yang disajikan tidak mendukung pembentukan karakter dari setiap tokohnya.
Kisah cinta merupakan kisah yang paling banyak dituangkan ke dalam bentuk fiksi. Kisah ini menjadi begitu populer untuk dibaca. Meskipun begitu, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tidak menjadikan kisah cinta sesuatu yang menye-menye, yang labil. Dengan kedewasaan yang pas pada pemilihan tokohnya, menjadikan novel ini dewasa dan di satu sisi tidak meninggalkan greget masa muda.
Humor-humor ringan pun disajikan dengan pas, tidak berlebihan. Humor yang sederhana. Ketika membacanya, pada halaman tertentu kita bisa mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, dan di halaman berikutnya kita bisa pula ikut tertawa bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Humornya tidak pasaran, tidak kita temui di buku lain yang mungkin memilih humor yang sedang menjadi tren.
Selain itu, novel ini juga berisi sentilan-sentilan bagi masyarakat modern masa sekarang. Ketika banyak novel membicarakan cinta dan metropolitan, Tere Liye malah memilih sungai Kapuas, Pontianak, bengkel, Gang Sempit, dan dermaga sepit. Tokoh Mei dan Sarah sendiri menjadi tokoh ‘pemberontak’ yang diciptakan Tere Liye untuk menggambarkan bahwa status sosial bukanlah hal yang membuat suatu jarak.
Selain itu, penamaan tokoh dalam novel ini pun memberitahu kita bahwa bangsa kita, Pontianak khususnya, penuh dengan kebudayaan. Perbedaan budaya itu, Borno yang asli Pontianak, Bang Togar yang orang Batak, Koh Acong yang orang Tionghoa, Cik Tulani yang melayu, merupakan perbedaan yang memperkuat, bukan perbedaan yang malah menjatuhkan.
Saya rasa, novel ini menjadi angin segar bagi pembaca muda ketika kita kehilangan arah untuk memilih sebuah bacaan. Tidak perlu mengarah ke barat untuk mengenal yang lain, cukup bukalah novel ini dan kita pun tahu bahwa ada penulis yang bisa menulis dengan baik.

Thursday, June 14, 2012

Samar-samar Tentang Soegija



Jika kita tidak mendapatkan atau sedikit mendapatkan sesuatu ketika kita selesai menonton sebuah film, paling tidak ada dua faktor yang bisa kita kaitkan dengan hal tersebut. Pertama, film yang kita tonton tidak (terlalu) bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kedua, kita tidak bisa menangkap apa yang disampaikan film tersebut.

Rasa kantuk dan bosan serta tidak mengena adalah rasa yang ada ketika saya menonton film Soegija. Film yang dari sebulan kemarin sudah diumbar wajib ditonton oleh umat Katolik ini ternyata film yang mengecewakan bagi saya. Tidak seperti yang saya bayangkan dan apa yang saya tangkap masih samar-samar.

Gereja menghimbau agar umat mencontoh sikap Romo Soegija, tokoh pribumi pertama yang diangkat sebagai uskup, yang arif, bijaksana, dan penuh dengan belas kasih. Sosok yang bukan hanya sebagai seorang agamawan tetapi juga pahlawan pada masa itu. Tetapi, karena sosok tersebut ditampilkan dalam media film, maka yang harus dicari permasalahannya adalah film itu, bukan sosok asli Romo Soegija.

Para aktor utama tidak kuat memainkan tokohnya. Nirwan Dewanto sebagai Soegija terlalu kaku, terlalu berjarak bagi saya. Tidak seperti sosok yang dekat dengan umatnya, yang dipercaya, dan dihormati. Tokoh itu malah seperti tokoh pemimpin yang berjarak dengan sekitarnya, bahkan dengan tokoh Koster Toegimin (Butet Kertarajasa). Malah, tokoh Toegimin malah lebih menarik bagi saya dibandingkan Soegija. Tokoh tesebut lebih terlihat manusiawi.

Lepas dari apakah sosok Romo Soegija yang asli seperti itu atau tidak, penonton yang tidak mengenal akan mencaritahu bagaimana karakter dari Romo Soegija dari peran Nirwan Dewanto. Dan bagi saya, jika berdasarkan film tersebut, Romo Soegija adalah sosok yang kaku, yang menutup diri, tidak bersahabat, dan bukan sosok sebagai seorang pemimpin. Saya rasa bukan sosok itu yang ingin disampaikan. Saya rasa.

Lalu ada tokoh Mariyem yang diperankan oleh Annisa Hertami. Saya sebel dengan tokoh ini. Tokoh ini begitu membingungkan, sosok yang banyak ditemukan pada masa sekarang. Sosok perempuan muda yang masih labil. Mariyem diceritakan sebagai seorang perawat dengan karakter yang baik, pengasih, dan sensitif. Terlalu sensitif malah. Di kala waktu, ia terlihat begitu bahagia dalam percintaannya dengan seorang pemuda Belanda, Hendrick. Di kala lain, ia begitu meledak-ledak dalam amarah ketika Hendrick disangkanya menyinggungnya sebagai perempuan pribumi. Karakter Mariyem membingungkan buat saya. Bukan berarti saya membenarkan kata-kata Hendrick yang kadang memang membingungkan. Saya lebih menyayangkan penggambaran tokoh Mariyem yang tidak stabil. Padahal tokoh ini merupakan tokoh sentral.

Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu dan tidak masuk akal. Adegan pertama adalah adegan seperti gambar di bawah ini.


Pada gambar tersebut ada pertengkaran antara dua laki-laki, saya lupa namanya. Adegan itu bagi saya tidak masuk akal karena paduan suara tetap menyanyi sepanjang pertengkaran dua lelaki tersebut. Padahal pertengkaran terjadi di depan barisan paduan suara. Logikanya, ketika ada yang bertengkar pasti pusat perhatian akan tertuju pada yang bertengkar dan seketika kegiatan akan terhenti. Tapi paduan suara tersebut tetap bernyanyi bahkan terlihat begitu menikmati pertengkaran tersebut.

Adegan kedua adalah adegan seperti gambar di bawah ini.


Adegan itu menurut saya tidak penting dan tidak perlu dimasukkan. Untuk apa menunjukkan bahu Mariyam yang terbuka? Apa motifnya? Lagipula, Mariyam sedang berganti pakaian dan menurut saya tidak masuk akal saja ketika Mariyam melihat-lihat kondisi bahunya padahal ia hanya ingin memakai baju.

Lalu, adegan seperti gambar di bawah ini seperti adegan di film Titanic. Pemain musik dalam kedua film tersebut sama-sama melanjutkan permainan musik mereka meskipun bahaya sedang mengancam. Yang menjadikannya berbeda adalah dalam film Soegija terlihat sekali tidak naturalnya para pemain. Lebih pada sebuah paksaan. Berbeda dengan film Titanic yang bermain musik karena keinginan masing-masing.


Dua tokoh pemimpin penjajah digambarkan sebagai dua sosok. Pertama sebagai sosok pemimpin yang kejam. Kedua sebagai sosok seorang ayah yang luluh pada anak kecil. Hal ini menyimpulkan bahwa perang sebenarnya tidak lebih dari paksaan, bahkan bagi para pemimpinnya. Ketika dihadapkan dengan anak-anak dan keluarga, hati mereka seketika rindu akan kehidupan dan tanah air mereka sendiri.

Simpulannya, film ini tidak fokus akan hal yang dibicarakan. Meskipun tokoh yang diangkat adalah tokoh Soegija, film ini tidak banyak membicarakan tokoh tersebut. Saya lebih melihat banyaknya pemusatan cerita pada tokoh Mariyem. Sehingga “Soegija, 100% Katolik 100% Indonesia” kurang saya dapatkan dalam film ini.

Bukan hanya cerita yang penting diperhatikan dalam pembuatan kisah fiksi, banyak hal kecil lain yang juga harus diperhatikan. Apalagi film ini film yang bisa saja jadi sebuah hal yang dipertentangkan dalam negeri ini. Tapi saya cukup bangga ternyata ada yang bisa mengangkat peristiwa-peristiwa penting yang bukan hanya tentang agama, tapi juga tentang sejarah bangsa dan kebangsaan.

Saya harap tidak semua penonton yang mengartikan secara harafiah hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam film ini. Banyak hal yang harus dicaritahu kebenarannya sehingga tidak timbul pemikiran pribadi yang subjektif. Mari menjadi pentonton yang bijak.

Tuesday, June 12, 2012

Penutup (Jurnal Perjalanan)


Cerita tujuh hari yang lalu sudah selesai. Jurnal perjalanan ini pun sudah selesai saya laporkan. Berharap paling tidak saya sendiri yang membaca akan merasakan bahwa tulisan ini masih jauh dari baik. Eh, ini apa sih? Hahahaha...

Nampaknya saya masih belum bangun 100%, saya masih ngelantur di pagi yang malas ini :D

Simpulan (duileehh, masih kebawa suasana skripsi nih yeee) setelah empat hari di KL antara lain:
1. Udara di KL lebih panas ketimbang udara di sini. Atau mungkin saya saja yang tidak pernah keluar rumah sehingga perbandingannya kurang meyakinkan :D
2. Lalu lintas di KL jauh lebih tertib dibandingkan di sini. Saya menikmati sekali perjalanan di KL karena warganya tertib. Menyeberang jalan saja tidak membuat saya ketar-ketir seperti di sini.
3. KL jauh lebih bersih dibandingkan di sini. Orang-orang respek pada sampah dan tempat sampah, meskipun pemandangan kota dan jalannya tidak jauh-jauh dengan pemandangan di Jakarta dan sekitarnya.
4. LTR dan monorailnya tepat waktu, tertib, dan sangat memudahkan.
5. Budayanya menakjubkan karena di KL terhimpun oleh orang-orang Melayu, China, dan India. Bahasanya jadi campur aduk. Saran saya, kalau kamu bisa berbahasa Indonesia, lebih baik gunakan bahasa Indonesia karena lebih dekat dengan bahasa Melayu. Jadi kesannya kita lebih akrab dengan orang-orang di sana.
6. Mungkin karena banyak pendatang atau karena kebudayaannya, mereka tidak terlalu memperhatikan turis yang lalu-lalang. Tidak seperti di sini yang melototin bule yang jalan di mana-mana. Hahahaha...
7. Porsi setiap makanan sangat banyak tapi orangnya tidak gendut-gendut (kaya saya :P). Jelas sehat, mereka jalan kaki ke mana-mana. Pantas saja kaki saya langsung gempor ketika beradaptasi dengan gaya hidup mereka.

Kira-kira itu sedikit simpulan yang bisa saya dapatkan dan saya pikirkan.

Ah, rasanya tidak sabar untuk kembali menjajaki kota-kota yang lainnya. Tapi...

Ya, pada akhirnya saya harus kembali ke rumah. Kembali pada rutinitas yang takpernah memuaskan. Selalu bosan di tengah perjalanan kemudian merencanakan kembali sebuah liburan. Saya pun harus mulai masuk dalam rutinitas yang saya tidak tahu kapan harus saya mulai.

Ini waktu saya bukan? Semoga memang waktu yang tepat untuk memulai segala. Lagi pula, kapan waktu tidak pernah tepat waktu?

Selamat hari Selasa. Selamat menghirup udara panas-pengap kota. Jangan lupa tersenyum, paling tidak pada telapak tanganmu :)

Fega - Sisca

Jurnal Perjalanan KL. H : 4


Harus ada perpisahan ketika kita bertemu dengan sebuah perjumpaan. Liburan kali ini pun harus berakhir. Di hari keempat ini, kami pulang.

Pesawat kami lepas landas pukul 11.30 waktu Malaysia dari terminal LCCT. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke LCCT dari tempat kami menginap sekitar satu jam. Jadi setelah kami membenahi barang-barang, kami pun segera berangkat.

Sebelum pergi, saya baca kembali catatan yang dibuat oleh para pengunjung di penginapan itu. Berharap nanti saya bisa kembali ke tempat itu untuk memuaskan liburan yang lebih menyenangkan. Rasanya bersyukur sekali ketika saya tahu bahwa berbagai orang dari berbagai penjuru negara sudah singgah lebih dulu di tempat penginapan kecil itu. Kami sama-sama terikat pada hal yang tidak terlihat. Hahaha...

Catatan yang ditulis dengan berbagai bahasa. Ketika melihat ada catatan dengan bahasa Indonesia, segera saya rindu. Ya, saya akan kembali mendengar bahasa itu dalam keseharian saya lagi.


Setelah siap kami berpamitan dengan penjaga penginapan. Ucapan terima kasih pun tidak luput. Kami turuni lagi tangga-tangga yang di awal kedatangan kami bagaikan musuh tubuh lelah kami.

Sekali lagi kami naik LTR menuju KL Sentral. Dari KL Sentral kami naik bus menuju LCCT. Dan setelah check in serta melewati petugas imigrasi, kami pun menunggu pesawat kami lepas landas.

Perjalanan membutuhkan waktu 1 jam 45 menit.

Selamat tiba di Indonesia. Liburan selesai.


Biaya H 4 :
Makan : 5 RM
Tiket LTR : 1 RM
Tiket bus KL Sentral – LCCT : 8 RM

Total : 14 RM

Monday, June 11, 2012

Jurnal Perjalanan KL. H : 3


Go Genting!

Hari ketiga ini kami pergi ke Genting. Frasa Go Genting! ini banyak terlihat di kaca bus yang menuju ke sana. Semakin membangkitkan semangat agar bisa cepat sampai di sana. Goooooo Gentiinnnnggg!


Genting merupakan dataran tinggi di Malaysia. Waktu tempuh dari KL Sentral kurang lebih satu jam menggunakan bus, tidak terlalu jauh ternyata. Lalu, untuk mencapai Genting Highland, kita bisa menggunakan Genting Skyway, gondola! Waw! Ini yang paling saya tunggu-tunggu. Genting Skyway yang kabarnya terpanjang dan tercepat se-Asia (Tenggara?).

Bus berhenti di terminal bus, tempat naiknya gondola. Udara sejuk segera melingkupi. Selain naik gondola, kendaraan juga bisa mencapai Genting Highland, tapi rasanya kurang pol kalau tidak naik gondola. Selain itu, gondola sudah menjadi tiket gabungan dengan tiket bus. Lalu kita juga bisa memilih tiket lain yaitu theme park atau lunch buffet. Berhubung dana kami terbatas, kami hanya membeli tiket bus dan gondola :D

Antrian gondola ternyata panjaaaannnnnggggg sekali. Ramai dengan keluarga karena itu hari Minggu. Kami mengantri satu jam lebih. Meskipun lama, antrian itu tidak terlalu membosankan, mungkin karena perasaan hati saya sedang senang :P Selain itu saya juga bisa melihat orang dari berbagai suku bangsa dan negara, ya meskipun kebanyakan orang Malaysia, tapi Malaysia saja banyak keberagamannya.

Selain itu ada dua orang badut yang senantiasa membuat balon rupa-bentuk untuk diberikan kepada anak kecil yang turut mengantri. Dua badut cantik itu pun menjadi pusat perhatian karena senyum tidak pernah lepas dari mulut mereka. Sayangnya balon-balon itu hanya untuk anak kecil, padahal saya juga mau :( Mereka juga acap kali diajak foto bersama, termasuk dengan saya dan Sisca. 


Ketika giliran kami tiba, saya pun mulai merasakan degupan meningkat. Excited! Seiring berjalanannya gondola, degupan makin cepat. Sebenarnya saya takut ketinggian tapi saya selalu senang naik wahana yang membuat pacu jantung saya berdegup.

Perjalanan naik gondola sekitar 13 menit. Pemandangannya berupa hutan, makin membuat saya ketar-ketir. Naik, turun, naik, turun, seperti naik wahana di Dufan. Hahaha... Tempat tujuan masih belum terlihat dan saya pun makin penasaran bagaimana caranya membangun tiang-tiang penahan gondola di tengah hutan seperti itu.

Lalu, tidak berapa lama bangunan putih itu mulai terlihat. Diselubungi kabut, oh bukan, itu awan! Genting Highland dikenal juga sebagai Fun City Above The Cloud karena memang dikelilingi oleh awan. Dingin!


Tibalah kami di pusat belanja yang megah. Saya sebenarnya kecewa dengan apa yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan. Sebelumnya saya tidak tahu ternyata ujung dari gondola yang saya naiki itu ternyata sebuah mall yang megah. Hahaha... Bodohnya saya, saya tidak mencari informasi terlebih dahulu mengenai Genting. Tadinya saya kira Genting itu lebih mengutamakan pemandangan karena kita ke sana naik gondola, tapi ternyata saya bertemu dengan mall. Yah, mungkin memang terlalu konsumtif kali ya...

Tujuan pertama kami adalah mencari tempat makan. Kami lapar! Sarapan hanya a la kadarnya dan saat itu sudah lewat dari tengah hari. Wajar saja kami lapar. Putar-putar kami putari tempat besar itu untuk mencari tempat makan yang cocok dan sampailah kami pada tempat perhentian kami.

Tidak banyak yang bisa kami lihat selain keramaian orang dan keramaian wahana-wahana outdoor dan indoor yang disajikan. Karena kami tidak membeli paket wahana, kami jelas tidak bisa memasuki wahana tersebut. Lagipula kami juga tidak terlalu berminat menaikinya.

Setelah lelah berjalan, kami putuskan untuk kembali. Berharap antrian belum padat sehingga kami bisa berdua saja dalam satu gondola. Sayangnya antrian mulai dipenuhi meskipun kami termasuk yang paling depan. Kami pun harus membagi gondola dengan yang lainnya.

Perjalanan pulang naik gondola kali ini lebih menegangkan karena kami akan turun sehingga jarak dari gondola ke bawah juga semakin jauh. Pula, angin lebih kencang saat itu, sehingga gondola beberapa kali berhenti. Wah, degdegdegdeg! Puji Tuhan kami selamat sampai di bawah.


Karena kami bisa pulang lebih awal, kami putuskan untuk kembali memutari Chinatown. Saya masih harus membeli beberapa oleh-oleh untuk para handai taulan. Saat itu Chinatown cukup ramai dan saya baru sadar bahwa kali itu pertama kalinya kami ke sana ketika malam. Biasanya kami ke sana pada siang hari atau malah terlalu malam sehingga kios-kios sudah tutup. Saatnya aksi tawar-menawar! :D

Ah, hari ketiga yang menyenangkan itu harus berakhir! Go Genting!

Biaya H 3:
Tiket LTR : 2 RM
Tiket bus + skyway PP KL Central – Genting – KL Sentral sekitar : 21 RM
Makan 2x kira-kira : 5-10 RM/makan

Total kira-kira : 43 RM

Friday, June 8, 2012

Jurnal Perjalanan KL. H : 2


Perjalanan hari kedua ini merupakan hari yang paling tidak beruntung dari empat hari saya di Malaysia. Bermula dari alergi Sisca yang tiba-tiba muncul. Padahal seingatnya terakhir kali alerginya muncul itu ketika ia kuliah. Kenapa bisa muncul lagi ketika kami sedang liburan seperti ini? T___T

Kami berencana mengunjungi kota Melaka di hari kedua itu. Konon kota Melaka merupakan kota yang cantik dengan bangunan-bangunan tuanya. Selain itu, kami sudah penasaran ingin mencicipi rice ball a la Melaka (tetep yee, ujung-ujungnya makanan :P).

Selain sebagai partner jalan-jalan, Sisca juga sebagai tour guide saya. Sisca sudah pernah ke Malaysia sekali, selama dua minggu. Namun ia belum pernah mengunjungi Melaka. Berbekal informasi dari internet dan niat yang menggebu-gebu, kami nekat pergi ke Melaka.

Rencana awalnya kami pergi pukul 08.00, tapi karena alergi Sisca keberangkatan kami mundur sampai sekitar pukul 10.30. Penundaan keberangkatan itu disebabkan oleh belum bukanya apotek terdekat. Hahaha.. Dari pada tidak ada yang bisa disalahkan :P Rata-rata toko di sana mulai buka pukul 09.00 atau 10.00. Waktu buka yang tidak sesuai dengan kebiasaan saya di sini. Karena perbedaan waktu satu jam lebih awal, pukul 07.00 di Malaysia saja masih gelap. Wajar saja toko buka agak siang di sana.

Kami harus naik LRT sekitar 15 menit untuk sampai ke terminal bus TBS (Terminal Bersepadu Selatan). Bentuk terminalnya menurut saya lebih bagus daripada terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, lebih bagus dari pada LCCT. Beneran deh! Terminal bus ini bagus banget! *yak, saya mulai lebay

Antrian di depan loket tiket panjang. Dengan sabar-tidak sabar kami ikut dalam antrian. Dapatlah tiket pukul 12.00 dan tiket pulang pukul 20.00. Penjual tiket agak kaget ketika kami bilang membeli tiket pulang malam itu juga. Dan benar saja, saya juga agak menyesal pada akhirnya.

Interior Bus TBS - Malaka Sentral
Ah, ada satu hal menyebalkan yang terjadi ketika saya membeli minum di mini market di dalam terminal itu. Minuman yang saya beli harganya 2.20 RM. Karena tidak punya uang kecil saya berikan 5 RM. Penjaga kasir seketika bertanya, “Orang Indonesia ya?”, saya jawab, “Ya.” Seketika ia mengomel dengan kata-kata yang cepat. Agak sulit saya tangkap kata demi katanya, tapi intinya dia kesal saya orang Indonesia dan saya membayar dengan uang 5 RM. Kejadian itu sampai melekat di kepala saya bahkan sampai saya pulang dari Melaka!

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar tiga jam karena ternyata jalanan macet. Saya baru ingat hari itu hari Sabtu, pasti banyak keluarga yang ingin berakhir pekan di Melaka. Ya, pergi jauh di akhir pekan itu bukan pilihan yang baik. Jalanan padat, bahkan di dalam tol.

Tiba di Melaka Sentral sudah sekitar pukul 15.30 dan ternyata kami masih harus naik bus sekali untuk bisa sampai di tempat yang ingin kami tuju. Melihat ada yang menjual rice ball di terminal itu, kami mampir dulu. Dan sayang sungguh sayang, saking laparnya kami lupa mengambil foto makanan itu. Padahal makanan itulah yang paling kami tunggu-tunggu! Sebagai gambarannya, saya unduh gambarnya.

Kira-kira Penampakannya Seperti Ini
Kini cerita akan saya padatkan. Intinya kami tidak berhasil sampai ke tempat tujuan kami karena masalah waktu. Kami berhasil naik bus yang benar tapi tidak berhasil sampai tempat tujuan. Hari itu adalah hari yang menegangkan bagi saya dan teman saya itu. Saya sadari kami kesal satu dengan yang lain. Kurang tidur, alergi, lelah, perjalanan panjang, udara panas, makin meningkatkan emosi kami. Tidak jarang nada suara kami mendadak jadi tinggi.

Sudah saya duga liburan kami tidak mungkin akan sempurna tiap harinya. Harus ada yang terjadi agar kami bisa belajar dari hal-hal yang terjadi. Semoga saja ketegangan hari itu hanya terjadi pada hari itu, tidak akan terulang lagi di hari-hari nanti ketika saya dan Sisca liburan bersama lagi. Ah, semoga Sisca tidak kapok menemani saya :D

Dengan perasaan yang campur aduk, hari kedua selesai!

Biaya H 2:
Tiket LRT sepanjang hari kira-kira : 7 RM
Tiket PP TBS – Melaka Sentral – TBS : 25 RM
Bus Lokal : 2 RM
Makan 2x kira-kira : 5-8 RM/makan

Total kita-kira : 50 RM

Wednesday, June 6, 2012

Jurnal Perjalanan KL. H : 1


Sekitar pukul 05.30 sebuah taksi berhenti di depan rumah. Sisca sudah datang menjemput. Saya pun bersegera. Bawaan saya satu tas ransel dan tas selempang. Dengan kaos, celana panjang jeans, dan sepatu sneakers, saya siap berangkat. Tujuan kami Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta.

Kami sangat bersemangat, sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai ke Malaysia, ke Kuala Lumpur. Setelah check in dan melewati imigrasi, menunggulah kami, menunggu jam keberangkatan 07.30.

Lama terbang sekitar satu jam 45 menit dan perbedaan waktu Malaysia dengan Indonesia adalah satu jam lebih cepat. Penerbangan cukup menegangkan karena penuh dengan goncangan. Cuaca cerah bagi saya bukan berarti cuaca cerah bagi pilot dan pesawat. Banyaknya awan membuat badan pesawat bergoyang-goyang.

Kami pun tiba di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) Malaysia sekitar pukul 11.30 waktu Malaysia. Panas. Itu yang saya rasakan ketika turun dari pesawat. Malaysia lebih panas dibandingkan Indonesia. Dari LCCT naik bus sekali ke KL Sentral. Dari KL Sentral naik LRT ke terminal Pasar Seni. Dan dari Pasar Seni kami berjalan kaki sebentar untuk sampai ke tempat penginapan.

Bus dari LCCT ke KL Sentral
Penginapan kami bernama Submarine Guest House yang letaknya di dekat Central Market. Menurut alamat, tempatnya di lantai dua, tapi setelah kami masuk dan sampai di lantai dua ada tulisan One more level up. Oke, kami harus naik satu lantai lagi. Hosh hosh hosh... Tidak besar namun bersih. Syukurlah. Saya lebih mengutamakan kebersihan dibanding tempat besar yang tidak nyaman. Lagi, tempat ini mirip kosan!


Setelah beberes ala kadarnya dan beristirahat sejenak, kami mulai rencana jalan-jalan kami. Tempat yang akan kami kunjungi di hari pertama ini adalah Central Market, Chinatown, Bukit Bintang, dan Petronas. Tujuannya: belanja. Hahahaha... Hari pertama dan sudah belanja itu adalah pilihan yang salah! Isi dompet tiba-tiba hilang setengahnya. Bahayaaa!

Ah, ya! Berpergian bersama sahabat yang sama-sama suka makan juga bahaya. Ke mana-mana yang dilihat makanannya dan kayanya merasa berdosa kalo ngga icip-icip makanan-makanan itu. Apalagi di Central Market dan Chinatown penuh dengan jajanan kecil-kecilan dan letak dua tempat itu tidak berdekatan. Hahahaha... Sudah dapat dipastikan pipi saya makin membulat setelah liburan ini.

Central Market, Since 1888
Setelah jalan-jalan dan membeli beberapa barang di Central Market dan Chinatown, kami naik LRT ke Bukit Bintang. Menyenangkan naik LRT, cepat! Hahaha.. Norak sekali saya ini! Habisnya terbisa terjebak macet di Indonesia jadi berasa gimana gitu pas ketemu lalu lintas yang lancar. Hahaha...

Bukit Bintang dan Petronas merupakan tempat belanja, yah mall lah namanya. Dan memang salah ke tempat itu pada hari pertama. Uang saya menipis seketikaaa! Apalagi keharusan membelikan oleh-oleh untuk para saudara yang sudah diwajibkan oleh Mama. Pusinglah saya!


Saya lupa pukul berapa saya dan sahabat saya kembali ke penginapan. Sepertinya sekitar pukul 22.00 atau 23.00. Tapi yang pasti saya ingat adalah kaki saya yang rasanya mau copot. Jalan-jalan seharian membuat kerja otot badan saya dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya. Apalagi belakangan ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan leptop, di dalam ruangan. Tidak heran kamar kami jadi bau balsam. Hahahaha..

Hari pertama selesai!

Biaya H 1:
1. Tiket PP Indonesia - KL - Indonesia : Rp525.000
2. Tax bandara Indonesia : Rp150.000 (padahal di KL ngga pake tax -.-)
3. Tiket bus LCCT - KL Sentral : 9 RM
4. Tiket LRT sepanjang hari kira-kira : 7 RM
5. Makan 2x kira-kira : 5-8 RM/makan (8 RM itu udah termasuk mewah!)
6. Penginapan 4 hari 3 malam sekitar : Rp270.000 

Total: ITUNG SENDIRI :P (ngga termasuk biaya takterduga lainnya :P)

*1 RM  kurang lebih Rp3.000

Tuesday, June 5, 2012

Pembuka (Jurnal Perjalanan)


Perjalanan ini dimulai ketika seorang sahabat saya, Sisca, mengetwit seperti ini pada tanggal 3 Mei kemarin.

 
Segeralah saya bertanya dan dengan segera pula ia menjawab dan mengajak pergi ke negara tetangga, KL.


 Setelah saya minta izin pada orang tua dan Sisca minta izin cuti pada kantornya (sungguh, ini perbandingan yang sangat kontras -.-), tiket pun dibeli dan hotel dicari. Mulailah isi kepala saya penuh dengan nuansa liburan. Padahal masih sebulan lagi saya berangkat, 1 Juni.

Dan ya, seperti yang disangka, waktu berjalan dengan irama yang taktentu. Kadang terasa lambat, kadang cepat sampai saya harus berlari terengah-engah. Sampaaaiii... 1 Juni pun datang dan saya bersama Sisca lepas landas meninggalkan langit Indonesia sejenak :)

Kami liburan!

Jurnal perjalanan singkat ini rencananya akan saya tulis dalam empat bagian karena perjalanan ini terdiri dari empat hari. Semoga saya tidak lupa menuliskannya dan semoga kalian tidak jenuh membacanya. Tunggu kesan-kesan perjalanan saya yaaaa :P

Friday, June 1, 2012

1 Juni

Hey, ini 1 Juni! Terima kasih atas 31 harimu, Mei. Kau sudah bekerja keras.

Memulai bulan ini dengan aktivitas menyenangkan bersama sahabat. Ya, semoga menyenangkan! Semoga Juni bulan baik, seperti bulan-bulan lainnya.

Selamat pagi. Tersenyumlah paling tidak pada cermin yang ada di dekatmu :)