Saturday, October 27, 2012

Skripsi, Kualitas atau Kuantitas?



Meskipun saya akhirnya sudah tidak mengenyam bangku pendidikan formal di universitas, tapi masalah kualitas dan kuantitas skripsi masih jadi pertanyaan yang menyentil bagi saya. Jelas saya mengalaminya. Jelas pula bukan hanya saya sendiri yang mengalaminya.

Skripsi saya terdiri dari 85 halaman, sampai daftar pustaka. Jika lembar data pribadi dan lembar ucapan terima kasih turut dihitung, skripsi ini berakhir di halaman 93. Bukan jumlah yang banyak bagi kebiasaan jurusan saya. Saya bisa mengatakan demikian karena sejauh yang saya tahu, masih ada dosen yang menuntut lembaran yang lebih banyak dalam skripsi tersebut.

Waktu itu saya pernah diberitahu, “Ini masih bisa lebih tebal lagi.” Kontan saya kaget dengan pernyataan itu. Saya tidak menyangka ternyata bukan mahasiswa yang menuntut tebal atau tipisnya skripsi yang ia kerjakan, melainkan dosen yang membimbingnya. Dan setelah saya bercakap-cakap dengan para kawan, jadilah dosen itu menjadi para dosen. Pantas saja mahasiswa saling membandingkan tebal-tipisnya skripsi dengan kawan-kawannya lain, toh dosen pula yang memulai menanyakan kenapa sebuah skripsi harus tipis kalau bisa dibuat tebal.

Kemudian, seorang junior yang menceritakan masalah yang sama kepada saya. Skripsinya sudah lebih dari cukup, sudah melewati batas halaman yang ditentukan dalam penulisan skripsi. Tapi nyatanya tidak cukup tebal di mata dosen yang bersangkutan. Bukan dosen pembimbinganya yang berkomentar, melainkan dosen lain yang tidak satu penjurusan dengannya. Menurut saya tidak adil membandingkan ketebalan skripsi dengan penjurusan yang berbeda. Objek pembahasan jelas berbeda, referensi, sumber data, dan lampiran jelas akan membedakan ketebalan skripsi. Tapi, lepas dari itu apakah wajar kalimat yang menanyakan ketebalan skripsi itu keluar dari mulut seorang pendidik yang kami hormati?

Saya suka jurusan saya. Saya juga menghormati para dosen di jurusan saya. Tapi ada kalanya, banyak hal yang begitu bertentangan dengan pemikiran saya. Salah satunya masalah tebal-tipis skripsi ini. Saya cukup mampu menjawab ketika dosen mempertanyakan ketipisan skripsi saya, “Saya udah ngga bisa ngarang lagi, Pak.” Jawaban yang kasar memang, tapi itu reaksi paling jujur yang bisa saya keluarkan.

Saya sadar bahwa kualitas skripsi saya sendiri masih jauh dari sempurna. Skripsi saya masih bisa dikembangkan dan diperbaiki. Namun, 85 halaman itu adalah jerih payah saya yang sudah saya kerjakan kurang lebih setahun lima bulan. Begitu juga skripsi teman-teman saya yang lain, yang menurut dosen masih bisa lebih tebal lagi. Itu adalah jerih usaha yang bisa kami kerjakan. Tidak heran jawaban, “Udah mentok” pun bisa keluar dari mulut kami, karena memang bukan masalah tebalnya skripsi yang kami pikirkan, namun bagaimana menjadikan skripsi itu selesai.

Semoga saja tidak akan ada lagi pertanyaan ataupun pernyataan tentang tebal-tipisnya skripsi dari mulut seorang dosen. Jangan menjadikan pandangan bahwa skripsi itu harus tebal. Toh, jika tebal dan isinya tidak berkualitas sama saja bukan? Terlebih, apakah nanti skripsi yang tebal itu akan dibaca sampai selesai?

Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta - Di Kaki Bukit Cibalak

Dua buku kecil kali ini menemani liburan singkat saya. Cukup kecil sehingga saya memutuskan untuk membaca mereka di kala mood membaca sedang naik-turun. Buku yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis SepĂșlveda dan Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari, merupakan buku yang menarik.



Buku pertama, seperti judulnya, menceritakan seorang pria tua yang gemar membaca kisah cinta. Pak Tua itu bisa membaca tapi tidak bisa menulis. Begitu ia membaca buku tentang kisah cinta, ia seketika jatuh cinta. Jatuh cinta tapi menderita dan yang akhirnya bahagia. Buku-buku yang seperti itu yang ia cari. 

Tapi buku itu tidak juga sepenuhnya membicarakan Pak Tua dengan buku tentang cinta yang dibacanya. Di dalamnya, dikisahkan perjuangan melawan macan kumbang betina yang mengamuk dan mengancam keselamatan orang-orang di sekitar desa tempat Pak Tua tinggal. Dan ketika membaca buku ini, saya teringat dengan buku Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.


Buku kedua berkisah tentang keteguhan hari seorang pria di desa Tangir bernama Pambudi. Bahkan pada saat itu korupsi sudah merajarela di pelosok desa. Sang lurah dengan seenaknya memupuk pundi uang dari hasil kerja keras warganya. Pambudi yang benci hal tersebut memutuskan keluar dari pekerjaannya di Balai Desa.

Selain tentang kasus yang populer bahkan sampai hari ini, dalam buku itu diceritakan pula bagaimana Pambudi termenung di malam hari memikirkan seorang wanita. Selain itu dikisahkan pula kepercayaan masyarakat pada hal-hal yang gaib.

Kalau diperhatikan, kedua judul buku ini begitu menarik jika dipertemukan: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta di Kaki Bukit Cibalak. Hahaha...

Thursday, October 25, 2012

Fakultas Ilmu Budaya, Mahasiswa Berbudaya?

Fakultas Sastra Unpad sudah tidak ada lagi. Namanya sudah berganti menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Seberapa besar perubahan nama ini memengaruhi isinya? Perubahan yang saya perhatikan, terutama tentang mahasiswa yang berada di bawah naungannya, tidak ada.

Sebuah pertunjukan teater berlangsung kemarin, 24 Oktober 2012, di PSBJ. Teater itu, Teater Djati, bermain dalam acara Bulan Bahasa. Nyatanya Fakultas Ilmu Budaya belum tentu memiliki mahasiswa yang bisa menghargai budaya. Ketika teriakan-teriakan keluar dari mulut aktor, dari luar ruangan terdengar teriakan yang sama. Teriakan menghina. Banggakah kamu yang berteriak di luar sana? Beranikah kamu mengaku bahwa kamu adalah mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya?

Seketika saya kesal, sesak, putus asa, dan ingin marah. Bukan kali pertama hal ini terjadi. Orang yang berteater masih dilekatkan pada suatu kejanggalan. Bicara yang macam-macam, pakai baju yang aneh-aneh, laki-laki kok dandan, teriak-teriak tidak jelas, ya, itu masih melekat di mata mereka tentang teater. Tapi ini Fakultas Ilmu Budaya bukan?

Di mana mahasiswa yang benar-benar ingin belajar tentang sastra dan budaya sedang duduk saat ini? Banyak yang saya lihat, mereka kuliah hanya tuntutan keadaan, bukan karena benar-benar ingin belajar. Tai kucinglah dengan niat itu! Jangan masuk fakultas ini jika kamu hanya sekadar ingin mendapat gelar sarjana! Serendah itukah nama Fakultas Ilmu Budaya di mata mereka mahasiswa pencari gelar?

Bahkan kegiatan berbudaya pun masih dianggap hal yang aneh. Seharusnya mereka itu hidup beribu tahun lalu, biar isi kepalanya lebih terisi.

Sunday, October 14, 2012

Kita di Masa Lalu

Ketika kita mencoba dewasa dan lebih dari apa yang diharapkan di luar diri kita, kita akan segera lupa bahwa masa lalulah yang mengajarkan kita. Bukankah kita pernah berkata bahwa bila kita nanti berada di masa depan, kita tidak akan menjadi manusia yang sama-sama kita benci? Dan ketika masa depan sudah seiring jalan, nyatanya kita lupa.

Ketika telinga dibutakan oleh bisikan kenikmatan pikiran, bau menyeruak selimuti diri kita di masa lalu. Mata kita yang merah tidak melihat bahwa ia adalah kita di masa lalu. Kita lupa karena kita masuk dalam euforia yang dibangun pikiran kita.

Tidakkah kita sadari bahwa kita menyakiti diri kita sendiri? Tidak menghargai mulut dan hati kita yang jujur di masa lalu. Mengikuti nafsu jahanam yang dulu kita caci-maki.

Apa bedanya kita dengan mereka yang dulu kita benci? Rupa kita nyata sama. Laku kita ikuti jejak gelap dalam kenangan haru-biru.

Banggakah kita pada apa yang kita lakukan? Tidak malukah kita pada diri kita di masa lalu? Kepada siapa selamat harus kita sampaikan kalau bukan kepada diri kita sendiri yang telah berhasil memasuki ranah kemunafikan sementara.

Kita seharusnya tidak pernah lupa bahwa dulu air mata yang menyatukan segala titik emosi, kecemasan, ketakutan, dan kelegaan. Kita seharusnya tidak pernah lupa bahwa luka yang ditoreh pada diri kita begitu sakit sampai kita mengutuk. Kita seharusnya selalu ingat bahwa kita berada di posisi yang sama hanya dipisahkan jarak waktu.

Ketika tangan-tangan dewasa, mulut-mulut dewasa, dan pikiran-pikiran kita yang dewasa mulai tumbuh, hilanglah semua kata-kata tulus yang dulu pernah mengingatkan kita bahwa kita dibangun oleh rasa sakit. Mata merah kita abai pada raut mereka yang butuh pertolongan, bukan hanya dorongan dan cacian.

Kenapa kita lupa? Kenapa kita mencoba lupa?

Hati saya ngilu ketika lihat masa lalu kita dikoyak-hancur oleh tangan kita sendiri.

Pantas luka tidak pernah kering dari detik ke detik. Kita yang tahu, kita yang acuh.

Spion

Jangan lupa pasang spion kanan dan kirimu dengan sudut yang tepat sebelum kamu melangkah. Spion akan sangat memandumu agar kau tidak disakiti dari belakang, agar kau belajar peduli bukan hanya yang ada di hadapanmu tapi juga di belakang matamu.

Tapi, jangan pula terlalu sering melihat spion sehingga kamu lupa bahwa jarak di depanmu ternyata sudah habis dimakan ketergesaan. Kau tidak hanya akan menyakiti dirimu tapi juga sesamamu.

Tidak habis bercermin, tidak habis waktu berjalan sia-sia karena sebuah cermin. Semua berbuah manis jika pupuk yang kau gunakan sesuai dengan kebutuhan. Jangan berlebihan. Jangan melenceng dari aturan. Sirami dengan penuh pengertian dan kesabaran. Dan lihat, bahwa kamu tidak berjalan sendirian.

Monday, October 1, 2012

Selamat Tiba, Oktober

Bulan favorit saya setelah bulan Februari adalah bulan Oktober. Dan kali ini ia datang tepat waktu. Eh, kapan sih waktu tidak tepat waktu? :P

Secara kebetulan banyak hal yang saya tunggu di bulan ini tahun ini. Salah duanya, peluncuran buku pertama dari penerbit tempat saya bekerja (Puji Tuhan!) dan datangnya (satu-satunya) boyband Korea yang saya sukai ke Indonesia, Bigbang. Hahahaha... Agak kontras yah yang saya tunggu-tunggu bulan ini :D

Selamat tiba kembali, Oktober. Semoga kamu menakjubkan dan diberkati. Mari berjalan beriringan bersama angin manis yang bermain di ujung jemarimu :)