Thursday, March 28, 2013

Pulang?

Rumah adalah tempat untuk pulang. Rumah yang bagaimana? Pulang yang bagaimana? Bagi saya rumah selalu untuk pulang. Sekadar pulang. Karena saya selalu ingin pergi dari rumah dan nanti harus kembali lagi untuk pulang.

Tangerang, Ciledug. Berbelas tahun di kota ini. Mengenal setiap jalan dan merasa tenang ketika melewatinya. Terkadang terbawa amarah karena panas dan macet yang selalu datang bertubi-tubi. Pulang. Mereka jalan pulang.

Perihal pulang dan rumah bukan selalu menjadi hal yang saya rindukan. Ada kalanya ketika di ruang lain di kota sana, saya rindu sudut-sudut rumah. Namun, ketika bertemu sudut itu, rasanya pulang bukan lagi jadi alasan yang tepat.

Jakarta itu keras. Tangerang apalagi. Rumah? Tidak perlu ditanyakan. Berusaha mencari kenyamanan tapi tidak selalu didapatkan. Berbagai alasan muncul ketika pulang adalah hal yang menyakitkan.

Pulang? Ya, saya akan tetap pulang. Rumah adalah tempat untuk pulang.

Wednesday, March 27, 2013

Kebiasaan

Ketika minum dengan menggunakan sedotan, gigi saya langsung menggigit sedotan itu. Mau kecil, mau besar, keras, lunak, punya sendiri atau punya orang, pasti gigi saya refleks menggigitnya. Saya lupa kapan kebiasaan itu muncul. Rasanya tidak dari saya kecil. Tiba-tiba sedotan yang saya gigit menjadi hal yang bisa menenangkan. Terlebih jika makan bersama teman. Seusai makan akan mengobrol. Kesempatan menggigit-gigit sedotan makin banyak dan makin lama. Baru berhenti sampai lidah atau bibir saya perih, atau jika si sedotan sudah kacau bentuknya dan air liur saya sudah ada di mana-mana. Hahahaha... Untungnya sejauh ini belum ada yang protes dengan kebiasaan saya menggigit-gigit sedotan. Mungkin banyak pula di luar sana yang punya kebiasaan seperti ini. Ah, teman saya juga ada.

Menemukan buku-buku yang kertasnya sudah menguning jauh lebih menyenangkan ketimbang menemukan buku-buku yang masih baru dan tersampul. Buku-buku dengan kertas menguning itu kemudian akan saya buka lembar-lembarnya dan saya hirup aromanya. Saya sangat suka mencium aroma buku-buku yang menguning. Apalagi kalau bukunya sudah lama sekali. Baunya perpaduan antaran bau cokelat dan bau kenangan. Lho, mana adaaaaa... Kadang ada aroma debu yang membuat hidung saya tergelitik. Tapi perpaduan itu pas kok. Sama seperti ketika mendengar atau melihat rintik hujan yang jatuh di luar sana. Hidung saya akan sigap mengendus aroma rintik yang bertemu dengan tanah. Siapa yang tidak jatuh cinta apa aroma petrichor itu? Baunya seperti... Hmmm... Seperti perjumpaan! Hahahahaha...

Sulit tidur adalah salah satu hal yang sudah saya maklumi sejak dulu. Jika saya sudah berada di tempat tidur pukul 00.00, belum tentu pukul 02.00 saya sudah di alam mimpi. Bisa jadi saya masih berguling-guling di tempat tidur dan baru bisa tertidur dua sampai tiga jam kemudian. Posisi yang paling nyaman untuk tidur adalah badan menghadap ke kiri sambil memeluk guling. Sudah lama saya ingin mengubah posisi tidur ini karena jika tidak menemukan guling, saya akan semakin susah tidur. Awalnya mencoba posisi badan menghadap ke kanan, tapi ternyata lekuk badan tidak terbiasa dan jadi kaku. Siasat lain, tidur tengkurap. Agak berhasil tapi lebih sering bikin leher salah urat. Jadi, setelah berguling-guling di tempat tidur, saya akan benar-benar pulas jika badan sudah di posisi yang benar.

Nah, kalau yang ini saya baru sadar. Ternyata ketika menemukan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) yang salah, kaki atau tangan saya akan bereaksi. Seperti terkejut. Bahkan ujung alis saya kadang berkedut. Ini baru saya sadari tadi ketika membaca sebuah buku dan menemukan banyak EYD yang salah. Setiap menemukan EYD yang salah, tangan atau kaki saya akan bergerak sedikit. Lalu mata saya akan susah berkonsentrasi kembali pada bagian yang salah. Agak lucu sih sebenarnya. Agak berlebihan pula. Maklum, dari SMP saya sudah pakem sama yang namanya EYD. Terima kasih loh Pak Harri. Pelajaran yang Bapak kasih ngga sia-sia :D

Kalau diperhatikan, banyak kebiasaan yang membuat kita berpikir "Kok bisa yah?", "Apa enaknya?", "Aneh banget!". Namanya juga kebiasaan, yah bisa dong. Awalnya mencari rasa nyaman. Ketika ditemukan lalu menjadi proses yang dilakukan berulang-ulang sampai akhirnya bertemu pada yang namanya ketagihan. Jadilah ia kebiasaan.

Ada yang pernah memperhatikan saya? Selain di atas, apa lagi yah kebiasaan saya? :P

Saturday, March 23, 2013

SEMARANG!

SEMARANG! SAYA KE SEMARANG! DAN SAYA RASA SAYA JATUH CINTA PADANYA.

Bermula dari rasa jenuh yang saya dan teman saya alami. Mulailah kami merencanakan berpetualang. Pilihannya tiga tempat: Lampung, Cilacap, atau Semarang. Bahkan jika tidak ada teman lain yang mau ikut, kami sepakat berdua saja harus berangkat.

Rencana itu tiba-tiba mulai jadi semangat untuk kami berdua. Sampai akhirnya kami putuskan akan ke Semarang. Ajakan pun diajukan dan siapa sangka banyak yang ingin turut. Dari berdua menjadi sembilan orang. Dan kami putuskan untuk membeli tiket kereta. Sayangnya, formasi berubah. Ada yang tidak jadi ikut dan ada yang ingin ikut. Dari sembilan tinggal kami bertujuh. Dan kami berhasil!

Dengan bodohnya kami membeli tiket kereta tanpa tahu arah, risiko, dan rencana. Dari Bandung kami ke Jogjakarta. Lalu dari sana langsung menuju Semarang. Siapa sangka Jogja-Semarang bukan Cicaheum-Jatinangor. Hahahaha...

Halte Trans Jogja (By Isur)

Perjalanan dari Jogja menuju semarang kami tempuh kira-kira tiga jam dengan bus ekonomi. Melewati Muntilan, Ambarawa, Magelang, dan saya lupa. Untungnya pemandangan di luar jendela tidak membosankan. Pun energi kami masih banyak.

Setelah tiba, kami mencari tempat menginap. Sampai di kawasan kampus, kami ditawari kos-kosan. Terimalah kami, berbenah, dan kemudian pergi lagi. Saya janjian dengan teman SMA saya. Ia meminjami kami mobil. Lalu kami ke Lawang Sewu. Semarang itu Lawang Sewu. Kami harus ke sana, ikut wisata malam. Padahal awalnya saya tidak berniat ikut, tapi apa daya, sudah jauh-jauh masa tidak masuk.

Lawang Sewu (By Mas-masnya)

Keesokannya, kami ke Vihara Buddagaya Watugong, Vihara Sam Po Kong, Mesjid Agung Raya Semarang, Kota Lama, dan malamnya ke Pecinan. Kalian harus ke kedua vihara itu dan mesjidnya. Mereka keren! Terlebih Vihara Buddagaya Watugong. Suasananya nyaman dan pemandangan pagodanya keren!

Pagoda Vihara Buddagaya (By Fega)
Sam Po Kong (By Isur)
Mesjid Agung Raya Semarang (By Fega)
Gereja Bleduk, Kota Lama (By Isur)
Besoknya, kami ke Museum Ronggowarsito, Toko Oen, dan pergi membeli oleh-oleh. Menurut saya, Museum Ronggowarsito ini keren! Hahahaha... Toko Oen juga keren, tapi harganya tidak cocok buat kantong saya dan teman-teman saya. Lagipula, es krimnya biasa saja di lidah saya.

Museum Ronggowarsito (By Leni)
Toko Oen (By Lam)

Waktu dan uang menipis. Kami harus berpisah dengan Semarang. Dengan sisa-sisa tenaga, kami tempuh panas pagi itu. Sarapan dan kemudian menuju Trans Semarang. Kembali lagi naik bus menuju Jogja karena kami akan pulang ke Bandung naik kereta dari Jogja.

Kami tiba di Jogja sekitar pukul 15.30 dengan tiket kereta pukul 20.30. Berbagi tugas menjaga tas, kami bergantian berbelanja. Dapat membeli barang-barang dengan harga murah membuat kami senang dan tidak sadar kami harus bergegas menuju stasiun.

Ada dua hal yang tidak kami sangka. Pertama, ternyata jadwal keberangkatan kereta bukan pukul 20.30 seperti yang kami duga melainkan pukul 20.23. Kedua, perjalanan dari Malioboro menuju Stasiun Lempuyangan ternyata jauh! Daaaannnnnnnn.... Setelah lari-larian kami masih juga ketinggalan kereta. Melayanglah tiket kereta ekonomi seharga Rp38.000 itu. Hhhhh... Percuma berandai-andai, toh kami tetap ketinggalan kereta. Setelah berunding, kami menuju Stasiun Tugu, karena akan ada kereta menuju Bandung. Siapa sangka ternyata harga tiket kereta ekonomi dan bisnis sama malam itu, Rp170.000! Oke, kami pulang! Hahahaha...

Meskipun panas (pake banget nget nget), Semarang menyenangkan. Untuk berjalan-jalan, Semarang menyenangkan. Lain kali saya akan berkunjung lagi ke sana. Tunggu saya, Semarang!

Perhatian

Seorang ibu masuk bersama anaknya. Tempat duduk dalam mobil ini sudah nyaris penuh. Mereka harus duduk terpisah. Sang anak duduk di depan saya dan ibu itu duduk di pintu. Sebelum anaknya duduk, ibu itu tidak mau duduk. Setelah memastikan anaknya nyaman, baru ia duduk dan kemudian tersenyum pada anaknya.

Anak perempuan ini kira-kira berusia tujuh-delapan tahun. Tapi, ia tidak seperti anak-anak perempuan lainnya. Saya tidak tahu apakah ia mengidap penyakit tertentu, tapi wajah anak itu berbeda. Matanya besar, mungkin dua kali lipat dari mata anak seumurannya. Pun lebih besar dari mata saya. Kepalanya pun lebih besar dari anak-anak kebanyakan. Mulutnya terus tersenyum. Kadang tersenyum pada ibunya, kadang tersenyum jika ia memandang keluar jendela.

Bukan hanya saya yang memperhatikan perbedaan anak itu. Saya kemudian beralih pada orang-orang di dalam angkutan umum. Seorang bapak yang duduk di sebelah kanannya jelas-jelas memandang dengan rasa ingin tahu. Beberapa kali ia menolehkan kepala, bahkan badannya, agar bisa melihat dengan lebih baik. Dahinya berkerut-kerut, bukan hal yang baik pikir saya.  Di sebelah kiri anak itu, ada seorang ibu. Terlihat ibu itu juga penasaran, tapi pandangannya lebih lembut. Ibu itu duduk bersama anaknya dan mungkin itulah yang membandingkan pandangan seorang bapak di sebelah kanan dan seorang ibu di sebelah kiri.

Lalu, teringat seorang teman yang pernah saya tanya, "Kamu ngga risih apa diliatin orang mulu gara-gara rambut kamu pirang gitu?" Ia menjawab, "Oiya? Aku ngga meratiin. Tapi emang sih dulu agak risih, tapi lama-lama biasa juga kok." Sekitar setengah-satu jam kemudian, saya mendapati ia mengetwit bahwa bahkan tidak ada yang mau duduk di sebelahnya dalam angkutan umum itu. Saya merasa bersalah. Padahal jika sebelumnya saya tidak bertanya, tentu ia akan biasa-biasa saja dan tidak akan memperhatikan sekitarnya.

Anak kecil dan teman saya itu berbeda. Anak kecil dengan wajah sepeti orang dewasa. Teman saya, perempuan, dengan gaya yang berani serta rambut pirangnya. Mereka jadi bulan-bulanan mata orang-orang. Ada yang melihat dengan aneh, penasaran, bingung, melecehkan, dan tidak mengerti. Namun dua orang perempuan ini punya caranya masing-masing untuk tidak peduli pada tatapan seperti itu.

Saya tidak bisa demikian. Saya merasa rikuh jika diperhatikan oleh orang-orang yang tidak saya kenal. Buat apa memandang kalau dalam pandangan itu penuh dengan sorot yang negatif. Membuat saya begitu tidak nyaman.

Apakah hal yang tidak wajar selalu patut dijadikan tontonan? Apakah perlu orang tidak dikenal itu bereaksi dengan gelengan kepala, sama seperti yang saya lihat di angkutan umum ketika teman saya yang berambut keren itu duduk?

Rasanya mengurusi urusan sendiri jauh lebih penting daripada ikut campur dan mau tahu urusan orang lain. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal.

Friday, March 22, 2013

Gadis Kretek dan Amba (lalu Entrok)



Bisa jadi akhirnya saya jatuh cinta pada penulis Ratih Kumala. Dua bukunya, Kronik Betawi dan Gadis Kretek membawa saya pada pengalaman membaca yang berbeda. Ia tidak terlalu serius tapi juga tidak cengeng. Tidak mengandai-andai dan juga tidak berlebihan. Mengangkat kisah cinta sebagai fondasinya kemudian dilebur bersama kekhasan suku tertentu. Gadis Kretek membawa kita pada aroma kretek dari masa penjajahan Jepang sampai Indonesia menjadi modern seperti sekarang. Bagaimana kretek menjadi suatu hal yang penting untuk kebutuhan sehari-hari, menjadi sumber kekuasaan dan pertikaian, menjadi alat propaganda, menjadi bukti cinta, dan menjadi hal yang menyedihkan.

Lalu saya berlanjut ke buku Amba karya Laksmi Pamuntjak. Keinginan menyelesaikan buku ini begitu tertatih-tatih. Bagi saya Amba terlalu “kering” dan energi yang dikerahkan penulis tidak merata di setiap babnya. Saya begitu memaksakan diri menyelesaikan buku ini, sampai-sampai terus melihat halaman, sudah di halaman berapa saya membaca buku ini. Nyatanya ini bukan hanya dialami saya saja. Menurut dua teman saya, mereka juga mengalami hal yang serupa.

Sekarang saya sedang membaca Entrok karya Okky Madasari. Saya belum bisa bercerita banyak tentang buku ini karena masih dibaca. Tapi sejauh ini saya tidak mendapat gangguan yang berarti ketika membaca buku ini.

Tiga buku tentang perempuan dan ditulis oleh perempuan ini saya baca dalam waktu yang berurutan. Sayangnya sebelum membaca Entrok saya tergoda oleh buku terjemahan, A Beautiful Lie karya Irfan Master. Niatnya, di bulan ini saya hanya akan membaca buku (novel) Indonesia yang ditulis oleh perempuan. Tidak ada alasan khusus, hanya tiba-tiba saya ingin menyempatkan diri.

Jeng Yah bagi saya bukan tokoh utama dalam Gadis Kretek. Meskipun kisah tentangnya kuat, tapi ia bukan tokoh utama. Tokoh Amba dalam Amba membuat saya kecewa. Katanya ia perempuan yang kuat. Apalagi cover buku ini meyakinkan saya bahwa tokoh Amba adalah sosok yang kuat. Terlebih, ini tentang 65. Sayangnya, kekuatan Amba akan luluh jika berhadapan dengan Bisma dan seks. Kalau Entrok sih sejauh ini baik-baik saja. Hahahaha…

The Man Who Forgot How To Read - Howard Engel




Saya tidak bisa membayangkan jika suatu hari saya tidak bisa membaca. Jika huruf-huruf yang muncul seolah berubah menjadi bahasa yang tidak saya kenal. Jika setiap kata dan kalimat tidak bisa saya mengerti artinya. Tidak bisa membayangkan jika saya mengalami nasib yang sama dengan Howard Engel.

Howard Engel tiba-tiba tidak bisa membaca setiap tulisan di koran paginya. Ia merasa kata-kata itu berubah bentuk menjadi bahasa yang tidak ia pahami. Pergilah ia ke dokter dan divonis bahwa ia menderita stroke. Ia yang seorang penulis tidak bisa membaca.

Setelah diperiksa, Engel dinyatakan masih bisa menulis namun tidak bisa membaca, bahkan tulisan yang baru saya ia tulis. Bagaimana ia tetap bisa menjadi seorang penulis bahkan tulisannya sendiri pun tidak bisa ia baca?

The Man Who Forgot How to Read bisa dikatakan sebuah autobiografi yang ditulis oleh Engel sendiri. Ia mengalami suatu kondisi langka yang disebut alexia sine agraphia. Ia bisa tetap menulis, tapi takmampu lagi membaca. Buku ini mengisahkan bagaimana perjuangan Engel menghadapi sakitnya sampai akhirnya ia pelan-pelan bisa membaca lagi.

Buku ini saya temukan di area diskon. Judul itu menarik bagi saya yang gemar membaca. Tapi sayangnya, buku ini (bukan termasuk pengalaman penulis) tidak begitu memikat saya sebagai pembaca. Bahkan saya membutuhkan waktu sebulan lebih—dengan terpaksa—untuk menyelesaikannya.

Bagaimana kalau suatu saat saya tidak lagi bisa menikmati setiap kata yang muncul di mata saya? Bagaimana kalau sesuatu yang membuat saya nyaman itu direnggut dari diri saya?