Hidup saya tidak luput dari segala bentuk kecemasan, baik kecemasan yang muncul akibat lingkungan sekitar maupun kecemasan yang muncul akibat pemikiran diri sendiri. Sejak saya mengenal rasa cemas, ia terus mengganggu. Bahkan saya membiarkannya terus berkembang, tanpa mencari tahu bagimana cara menghilangkannya. Saya hanya abai, tanpa berusaha keluar dari zona ketidaknyamanan itu.
Setelah nyaris tujuh tahun hidup dalam zona nyaman lingkungan kampus, saya harus kembali pulang. Mungkin kalian yang dekat dengan saya, atau yang mengikuti perkembangan catatan saya di blog ini akan bosan mengetahui bagaimana saya membicarakan hidup saya. Tapi, tulisan adalah satu-satunya cara (yang saya kuasai) untuk melepaskan kecemasan itu.
Pulangnya saya membuat kecemasan bukannya berkurang. Saya dihadapkan lagi dengan proses adaptasi. Betapa tidak saya merasa canggung melihat lingkungan tempat saya tumbuh telah berubah, berproses tanpa saya hadir di dalamnya.
Sampai sekarang saya masih canggung bertemu dengan tetangga-tetangga yang dulu rumahnya masih berupa lahan kosong tempat ilalang berkembang. Ingatan saya hanya sebatas masa lalu, tidak mengikuti proses lingkungan yang ada. Saya kembali harus beradaptasi.
Tapi, saya menyadari toh semua bertumbuh. Saya seketika takjub melihat anak-anak di sekitar saya tumbuh begitu menakjubkan. Terlebih tiga anak laki-laki. Dulu, tiba-tiba saya benci kata ini, mereka masih kecil, masih menggayut di tangan ibu. Mereka masih anak-anak lucu yang menyapa-disapa. Mengetahui tubuh mereka berkembang begitu indah begitu menakjubkan. Mereka menjadi sosok laki-laki di awal kedewasaannya.
Saya merasa kecil, merasa tidak berkembang melihat pertumbuhan mereka. Betapa mereka tiba-tiba menjauh dan asing. Merindukan suara-suara teriakan di sela permainan mereka. Mereka bertumbuh dan saya harus beradaptasi dengan itu.
Kecemasan tidak berhenti di sana. Ia kemudian muncul dalam bentuk perbandingan dan pertanyaan. Harus memulai menjawab tanya tanpa bisa lepas bertanya. Anak kecil tumbuh dengan bertanya. Saya, di usia saya sekarang, tumbuh dengan menjawab. Menjawab segala pertanyaan yang tidak ada habisnya. Menjawab pertanyaan yang tidak pernah saya sukai. Tapi sebagai orang dewasa, saya harus menjawab demi etika dan teman-temannya.
Ada kalanya saya menyalahi kecemasan. Kenapa hidup tidak hanya sekadar memikirkan hari ini. Padahal Tuhan telah bersabda bahwa cukuplah kekhawatiran sehari hanya untuk sehari karena besok akan ada lekhawatirannya sendiri. Tapi saya berlomba-lomba mengumpulkan kecemasan bahkan untuk tahun depan.
Mulut berkata "masa bodoh", tapi hati yang paling tahu. Ia merenyit, mengatakan bahwa bohong pada diri sendiri itu jauh lebih menyakitkan daripada membohongi orang lain.
Dulu saya menghibur diri dengan mengatakan bahwa saya sedang jalan-jalan santai bersama angin yang membelai pipi, tapi benarkah angin punya waktu untuk jalan santai bersama saya?
No comments:
Post a Comment