Meskipun saya akhirnya sudah tidak mengenyam
bangku pendidikan formal di universitas, tapi masalah kualitas dan kuantitas skripsi masih jadi pertanyaan
yang menyentil bagi saya. Jelas saya mengalaminya. Jelas pula bukan hanya saya
sendiri yang mengalaminya.
Skripsi saya terdiri dari 85 halaman, sampai daftar
pustaka. Jika lembar data pribadi
dan lembar ucapan terima kasih turut dihitung, skripsi ini berakhir di halaman
93. Bukan jumlah yang banyak bagi kebiasaan jurusan saya.
Saya bisa mengatakan demikian karena sejauh yang saya tahu, masih ada dosen
yang menuntut lembaran yang lebih banyak dalam skripsi tersebut.
Waktu itu saya pernah diberitahu, “Ini masih
bisa lebih tebal lagi.” Kontan saya kaget dengan pernyataan itu. Saya tidak
menyangka ternyata bukan mahasiswa yang menuntut tebal atau tipisnya skripsi
yang ia kerjakan, melainkan dosen
yang membimbingnya. Dan setelah saya bercakap-cakap dengan
para kawan, jadilah dosen itu menjadi para dosen. Pantas saja mahasiswa saling
membandingkan tebal-tipisnya skripsi dengan kawan-kawannya lain, toh dosen pula
yang memulai menanyakan kenapa sebuah skripsi harus tipis kalau bisa dibuat
tebal.
Kemudian, seorang junior yang menceritakan
masalah yang sama kepada saya. Skripsinya sudah lebih dari cukup, sudah
melewati batas halaman yang ditentukan dalam penulisan skripsi. Tapi nyatanya tidak cukup tebal di mata dosen
yang bersangkutan. Bukan dosen pembimbinganya yang berkomentar, melainkan dosen
lain yang tidak satu penjurusan dengannya. Menurut saya tidak adil
membandingkan ketebalan skripsi dengan penjurusan yang berbeda. Objek
pembahasan jelas berbeda, referensi, sumber data, dan lampiran jelas akan
membedakan ketebalan skripsi. Tapi, lepas dari itu apakah wajar kalimat yang
menanyakan ketebalan skripsi itu keluar dari mulut seorang pendidik yang kami
hormati?
Saya suka jurusan saya. Saya juga menghormati
para dosen di jurusan saya. Tapi ada kalanya, banyak hal yang begitu
bertentangan dengan pemikiran saya. Salah satunya masalah tebal-tipis skripsi
ini. Saya cukup mampu menjawab ketika dosen mempertanyakan ketipisan skripsi
saya, “Saya udah ngga bisa ngarang lagi, Pak.” Jawaban yang kasar memang, tapi
itu reaksi paling jujur yang bisa saya keluarkan.
Saya sadar bahwa kualitas skripsi saya sendiri
masih jauh dari sempurna. Skripsi saya masih bisa dikembangkan dan diperbaiki.
Namun, 85
halaman itu adalah jerih payah saya yang sudah saya kerjakan kurang lebih
setahun lima bulan. Begitu juga skripsi teman-teman saya yang lain, yang
menurut dosen masih bisa lebih tebal lagi. Itu adalah jerih usaha yang bisa
kami kerjakan. Tidak heran jawaban, “Udah mentok” pun bisa keluar dari mulut
kami, karena memang bukan masalah tebalnya skripsi yang kami pikirkan, namun
bagaimana menjadikan skripsi itu selesai.
Semoga saja tidak akan ada lagi pertanyaan
ataupun pernyataan tentang tebal-tipisnya skripsi dari mulut seorang dosen.
Jangan menjadikan pandangan bahwa skripsi itu harus tebal. Toh, jika tebal dan
isinya tidak berkualitas sama saja bukan? Terlebih, apakah nanti skripsi yang
tebal itu akan dibaca sampai selesai?