Ada aksi, ada reaksi.
Aksi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) memiliki empat arti, yaitu 1 gerakan; 2 tindakan; 3 sikap (gerak-gerak,
tingkah laku) yang dibuat-buat; 4 elok sekali (tentang pakaian, tingkah laku,
dan sebagainya) (Alwi, dkk, 2007: 22).
Reaksi, menurut KBBI memiliki tiga arti, yaitu
1 kegiatan (aksi, protes) yang timbul akibat suatu gejala atau suatu peristiwa;
2 tanggapan (respon) terhadap suatu aksi; 3 perubahan yang terjadi karena
bekerjanya suatu unsur (obat) (Alwi, dkk, 2007: 936).
Kalimat “Ada aksi, ada reaksi” sering kali
muncul dalam film The Chorus ‘Les Choristes’. Moto ini digunakan untuk
mendisiplinkan anak-anak lelaki dalam sekolah (?) untuk anak-anak yang nakal
dan yatim piatu. Saya tidak akan membahas film itu kali ini. Mungkin di kali
lain saya akan membahasannya. Pesan saya, sila tonton film ini!
Arti ‘aksi’ yang saya maksud adalah tindakan
dan arti ‘reaksi’ yang saya maksud adalah tanggapan (respon) terhadap suatu
aksi.
Contoh sederhananya, ketika seseorang
memukulmu (sebuah aksi) tanggapan yang akan kamu lakukan 1 menjerit kesakitan;
2 membalas memukul; 3 marah dan pergi; atau pun tanggapan yang lain (reaksi). Contoh
sederhana lainnya, ketika kamu diberi makanan atau minuman kamu akan
membalasanya dengan ucapan “Terima kasih”.
Aksi dan reaksi ini selalu akrab di kehidupan
kita tiap harinya, sadar atau tidak sadar. Semua penuh dengan aksi dan reaksi. Tidur
adalah reaksi dari rasa kantuk, makan adalah reaksi dari rasa lapar, membalas
adalah reaksi dari memberi. Yak, tulisan saya mulai berputar-putar.
Menonton film ini (saya sudah bilang saya
tidak akan membahasnya) menyadarkan saya bahwa saya sepenuhnya sadar akan aksi
dan reaksi yang ada di kehidupan saya sehari-hari. Ketika saya disakiti, saya
akan mempertahankan diri sebisa saya, dan ketika sudah tidak bisa bertahan saya
akan balas menyakiti. Ada kalanya saya sadar bahwa reaksi yang saya munculkan
itu sebenarnya negatif. Saya sadar sepenuhnya. Sangat sadar. Ada kalanya juga
saya memberikan diri saya sebuah tantangan ketika saya memberikan suatu reaksi.
Misalnya, saya (diberi aksi) ditanya kapan saya lulus oleh seorang teman yang
belum lulus, kemudian saya (akan bereaksi) bertanya balik kepada teman saya
itu. Reaksi yang saya berikan kemudian akan menjadi sebuah aksi bagi teman saya
yang kebanyakan hanya memberikan senyuman masam dan kecut sampai bisa diperas
sampai menjadi segelas es jeruk yang nikmat
Kadang reaksi yang saya munculkan, yang kemudian
menjadi aksi bagi orang lain itu, menjadi negatif. Reaksi akhirnya adalah muka
yang sangat masam seperti sebuah jeruk yang busuk, reaksi paling akhirnya
adalah tidak saling menyapa alias diam-diaman. Saya diam di sini, dia diam di
sana.
Reaksi diam ini juga sebenarnya merupakan
sebuah aksi tantangan bagi saya dan bagi orang itu. Siapa yang mampu berdiam
diri paling lama adalah dia yang menang. Tentu saja tidak benar! Tidak ada yang
menang dan tidak ada yang kalah dalam aksi-reaksi seperti ini. Ini merupakan
sebuah tindakan bodoh (sebenarnya saya tidak suka kata ini, tapi saya ‘mati
gaya’) yang biasa dilakukan oleh anak kecil ketika ia minta permen kepada
orangtuanya tapi tidak diberikan. Anak kecil itu ngambek. Sedangkan saya
sudah bukan anak kecil lagi, meskipun banyak yang bilang saya seperti anak
kecil. Tapi, mana ada anak kecil yang bisa nulis (sok) bijaksana seperti ini. Hahahaha...
Ada yang berkata bahwa reaksi yang paling
spontan adalah reaksi yang paling jujur yang diberikan orang itu. Misalnya,
seorang bertanya, “Emangnya saya jelek, yah?” lalu lawan bicara menjawab, “Iya.
Eh, ngga juga kok.”. Jawaban yang paling jujur adalah “Iya” karena itu reaksi
spontan yang ia keluarkan. Kata “Eh, ngga juga kok.” sebenarnya merupakan suatu
aksi yang dimunculkan agar orang tersebut tidak terlalu sakit hati.
Sakit hati atau tidak sakit hati merupakan
persoalan lain. Ia berasal dari pengolahan aksi dan reaksi. Hal itu bisa saja ditentukan
dari berapa persen kadar kedewasaan yang kamu miliki. Semakin kamu dewasa, kamu
akan tahu bahwa kadang kejujuran itu sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri.
Semakin kamu bisa mengembangkan diri, kamu akan semakin dewasa. Lagi-lagi, ada
aksi, ada reaksi.
Kadang, tidak ada salahnya kita memikirkan
kembali reaksi yang akan kita munculkan. Waktu toh bisa menunggu. Ketika reaksi
yang kita berikan malah menjadi sebuah aksi yang tidak menguntungkan kedua
belah pihak, waktu tidak akan berjalan mundur untuk memberikan kesempatan kita
memperbaikinya.
Kadang pula, kata “Maaf” itu merupakan kata
ajaib yang bisa melunturkan tembok yang dibangun dengan semen berkualitas
terbaik. Kadang pula lagi, kata “Maaf” itu perlu diucapkan bagi mereka yang
sering kalian sakiti.
No comments:
Post a Comment