Hakuna matata. Jangan khawatir.
Sebuah broadcast message singgah di handphone
saya. Isinya tentang peringatan kepada orang-orang keturunan Tionghoa di
Jakarta dan sekitarnya. Kabarnya akan ada aksi demo untuk menurunkan presiden,
seperti peristiwa tahun 1998 yang lalu. Dikhawatirkan akan ada peristiwa
kerusuhan lagi seperti tahun berdarah itu. Ini bukan kali pertama saya
mendapatkan message seperti itu. Dan tiap kali saya membacanya,
kerongkongan saya seperti disumbat.
Saya coba berpikir positif. Saya berpikir
bahwa kerusuhan itu tidak akan pernah terjadi lagi. Manusia akan terus berubah.
Pasti menuju hal yang lebih baik. Namun, tetap saja kegelisahan dan kenangan
pahit menderas di kepala saya.
Peristiwa Mei 1998 itu muncul di mata saya. Lagi-lagi
bukan kali pertama. Dan perasaan saya tetap sama. Saya masih takut.
Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 4
SD, hanya seorang anak kecil yang awalnya tidak tahu apa-apa. Pagi itu saya
marah kepada papa saya yang tidak mengizinkan saya sekolah. Tidak ada pesan
apa-apa, saya hanya disuruh berganti baju dan disuruh tidak meninggalkan rumah.
Berkelebat bayangan papa saya yang putus asa
di depan telepon menanti kabar, bayangan saya dan seisi keluarga menunggu mama
yang takkunjung pulang dari toko, memantau televisi yang isinya berita-berita
mengerikan, bayangan papa yang menyuruh kami lari ke sawah jika rumah kami diserbu
oleh orang-orang yang pasti tidak kami kenal, bayangan kegelisahan dan
kesedihan.
Peristiwa satu hari yang membekas sampai hari
ini. Selalu diingatkan bahwa saya dan keluarga harus hati-hati. Saya masih
bertanya-tanya, bahkan sampai sekarang, apa salah kami orang yang hanya
keturunan Tionghoa? Undian apa yang menyebabkan kami terpilih menjadi korban? Saya
tetap tidak menemukan jawabannya.
Sering kali kata ”Cina” membuat pikiran saya
terlontar pada peristiwa Mei tersebut. Saya gusar. Bahkan saya lebih suka
mengatakan bahwa saya ini bukan orang Cina, saya orang Indonesia. Kadang saya
merasakan bahwa ketika saya berkata seperti itu saya marah. Saya marah karena
saya tidak dianggap Indonesia seperti orang Indonesia lainnya. Kalimat itu juga
merupakan bentuk kekecewaan saya pada orang-orang yang tidak bisa lepas dari
kenangan masa lalu. Hidupnya hanya berputar, menjadikan masa lalu sebagai
pedoman hidup.
Saya berkali-kali gelisah, berharap kejadian
Mei itu tidak akan pernah terulang lagi di negara yang saya cintai ini. Di mana
saya harus tinggal selain di rumah sendiri? Tapi bahkan rumah itu sering kali
membuat sekat yang meninggalkan jejak busuk. Saya gelisah. Gelisah.
Hakuna matata. Jangan khawatir.
baca tulisanmu di atas, aku kayak baca novel dong. kejadian yang biasanya cuman aku liat di tipi, pilem, dan aku baca di novel, cerpen, atau berita, kini bener-bener aku baca dari blog seorang temen yang aku kenal. santai, fe, cina itu udah termasuk etnis Indonesia, etnis yang besar malahan. hampir di setiap daerah di jawa ada kawasan etnis cina. di semarang, misalnya, ada yang namanya kawasan pecinan dan itu sungguh-sungguh besar di semarang. :D
ReplyDeletemungkin karena aku sendiri yang ngalamin makanya aku jadi ngga bisa santai kali yah..
ReplyDeleteudah banyak banget temen yang ngingetin kalo zaman sekarang banyak yang berubah, tapi tetep aja rasa takut itu masih ada di dalam diri aku, wen..
makasi yah, wnn :*
teh fega
ReplyDeletetwo thumbs up!!!
ganbaru!!!
terima kasih.
ReplyDeletehmm.. kamu siapa yah? maap, maap. fotonya ngga keliatan jelasss >.<