Bertepatan dengan peringatan bulan bahasa pada
bulan Oktober ini, Gelanggang, Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad,
mengadakan sebuah acara Kami, Oktober, dan Bahasa tanggal 26-27 Oktober
kemarin di Auditorium Bale Santika Unpad. Rangkaian acaranya berupa lomba
pidato untuk mahasiswa asing, lomba pidato untuk mahasiswa Indonesia, lomba membuat
puisi, diskusi, dan beberapa hiburan seni.
Saya tidak mengikuti acara ini dari awal. Saya
hanya hadir pada hari kedua ketika ada pementasan Teater Djati. Setelah pementasan
rencananya saya akan pulang, tapi ternyata ditahan oleh seorang teman untuk
mengikuti diskusi. Diskusi ini bertema Bahasa dalam Dunia Media Massa Kini
dengan pembicaran Bapak Teddi Muhtadin dan Bapak S. Sahala Tua Saragih. Diskusi
ini lebih mengerucut pada penggunaan bahasa Inggris pada berita di media massa,
atau lebih dikenal dengan istilah campur kode (kalau istilah Pak Sahala bahasa
gado-gado).
Ternyata tidak salah saya ditahan oleh teman
saya untuk mengikuti diskusi ini. Diskusi berjalan dengan baik dan menarik
untuk saya. Mahasiswa yang hadir, meskipun kebanyakan adalah panitia, cukup
tertib menyimak berbagai persoalan yang disampaikan.
Ketika sesi tanya-jawab dimulai, berbagai
pertanyaan muncul. Ada yang pro, ada yang kontra. Semua dapat ditanggapi dengan
jawaban yang dapat memuaskan saya.
Satu hal yang dapat saya simpulkan dari
diskusi ini, yang sudah disimpulkan pula oleh moderator (Indra Sarathan),
adalah untuk dapat mencintai bahasa Indonesia kita harus mencintai tanah air
kita ini.
Pernyataan kedua teman saya, Eka dan Upil,
pada sesi tanya-jawab menggugah saya, agak membuat saya risih. Eka mengatakan
bahwa bahasa Inggris lebih praktis dibandingkan bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Indonesia, ada banyak kata yang harus ditempatkan pada hal yang tepat,
misalnya, kata ‘saya’ mempunyai begitu banyak variasi, seperti aku, hamba,
beta, dan sebagainya, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada satu, yaitu ‘I’.
Upil pun sepakat dengan pernyataan Eka.
Menurut saya, penggunaan kata saya, aku,
hamba, beta justru malah akan membuat bahasa kita semakin unik. Penggunaan kata-kata
tersebut di saat yang tepat tentu akan menjadikan makna yang dihasilkan
berbeda. Kata ‘saya’ lebih formal daripada kata ‘aku’, penggunaan kata ini pun
akan memperlihatkan jarak antara dua orang yang sedang berbincang. Kata ‘hamba’
kerap digunakan untuk orang yang status sosialnya lebih rendah dibanding orang
yang diajak bicara, banyak kita temui dalam cerita-cerita kerajaan pada masa
lalu. Sedangkan kata ‘I’ akan menyamaratakan dan tidak menjadikan perbedaan
antara orang yang diajak bicara.
Saya punya pendapat sendiri mengapa banyak
orang yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam
penggunaannya sehari-hari. Objek yang saya perhatikan adalah remaja-remaja dan
orang-orang yang saya temui dalam keseharian saya. Banyak yang menggunakan kata-kata
dalam bahasa Inggris untuk menyampaikan maksudnya karena tidak dapat menemukan
padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Zaman sekarang banyak yang sudah
diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak mereka masih kecil, sehingga
kata-kata itu lebih melekat pada mereka. Ini artinya mereka memang sudah
terbiasa dengan bahasa Inggris sehingga jauh lebih mengenal bahasa Inggris
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Ada pula yang menggunakan bahasa Inggris
karena dengan bahasa Inggris mereka akan lebih terpandang (hmmm.. mungkin
istilah kasarnya akan terlihat lebih gaul). Saya tidak hanya semata-mata
menyimpulkan secara kasar karena hal ini berdasarkan kenyataan. Ada beberapa
teman yang mengaku bahwa jika ia berbicara campur kode seperti itu ia akan
terlihat lebih keren. Padahal belum tentu bahasa Inggris yang digunakan benar.
Teringat sebuah percakapan antara saya dan
seorang teman, Si A. Di timeline twitter kami ada seorang teman, Si B,
yang belakangan lebih sering berujar dengan menggunakan bahasa Inggris padahal Si
B ini satu jurusan dengan saya. Memang tidak ada salahnya ia menggunakan bahasa
Inggris, tapi ternyata bahasa Inggris yang digunakan oleh Si B ini berantakan. Kemudian
saya menilai, saya tentu mengenal dengan baik Si B ini, bahwa ketika ia
menuliskan kalimat-kalimat dengan menggunakan bahasa Inggris, ia merasa
dipandang lebih keren oleh orang-orang yang membaca twitter-nya.
Dari dulu saya selalu tertarik dengan bahasa
Indonesia. Mungkin karena saya suka membaca. Kebiasaan membaca membuat saya
kemudian masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Tapi tidak semua mahasiswa Sastra
Indonesia mengagung-agungkan bahasa Indonesia, apalagi teman-teman sepermainan
saya. Banyak yang bertanya (aku ini mau jadi apa *lho kok nyanyi :P) mengapa
saya masuk Sastra Indonesia, apakah saya tidak cukup belajar bahasa Indonesia
dari TK sampai SMA. Begitu pesimisnya mereka terhadap Sastra Indonesia dan
bahasa Indonesia.
Belajar bahasa Indonesia kerap kali membuat
telinga saya agak sensitif terhadap penggunaan kata-kata yang salah. Acap kali
saya membetulkan kata yang diucapkan seorang teman ketika ia bicara, misalnya
ia menggunakan kata ’dirubah’ dan kemudian saya membetulkannya menjadi ‘diubah’.
Kadang ada yang menerima, kadang ada yang kesal saya sok-sokan membetulkan
ucapannya. Maksud saya toh baik, paling tidak saya bisa memberitahu mereka mana
kata yang tepat dan mana yang tidak. Tapi ternyata tidak semua teman menganggap
hal itu penting.
Tidak ada yang bisa disalahkan ketika tidak
semua orang Indonesia bangga pada bahasa Indonesia. Dunia sekarang begitu maju,
banyak kebutuhan lain yang lebih penting. Tapi apakah melestarikan dan
mengembangkan bahasa Indonesia tidak cukup penting? Mungkin memang banyak yang
tidak cinta pada tanah air kita ini, atau mereka cinta tapi tidak begitu
memperdulikan bahasa yang menyatukan berbagai suku dan budaya ini.
No comments:
Post a Comment