Beberapa hari yang lalu, teman saya bercerita
tentang masalah adiknya. Sebut saja nama adik teman saya itu Bunga. Dulu,
ketika naik kelas 2 SMA ia diharuskan memilih (atau dipilihkan) jurusan, IPA
atau IPS. Dilihat dari nilai akademiknya, Bunga bisa masuk IPA, Bunga menempati
tiga terbesar di kelasnya. Namun sayangnya guru berpendapat lain. Bunga tidak
diperbolehkan masuk IPA. Ia ditolak. Alasannya? Alasan guru ini begitu
mengejutkan saya.
Bunga beragama minoritas di sekolah itu. Salah
satu sekolah di Jakarta Selatan (sekali, selatan sekali). Ia ditolak masuk IPA
karena di kelas IPA sudah banyak murid yang beragam minoritas. Karena sudah
banyak, ia tidak bisa masuk ke kelas itu. Tentu bukan itu alasan yang diucapkan
oleh guru di depan murid dan orang tuanya. Guru itu berkata bahwa Bunga pernah
dipergoki sedang menyontek. Alasan itulah yang katanya menjadikan Bunga tidak
bisa masuk IPA.
Teman saya geram, ketika bercerita pun ia
geram. Alasan itu sungguh tidak masuk akal. Mungkinkah selama guru itu mengajar
hanya adiknya saja yang pernah ketahuan menyontek? Apakah murid-murid yang lain
tidak pernah mengenal contek-menyontek? Lagipula Bunga berkata bahwa ia yang
dicontek, bukan ia yang menyontek.
Alasan mengenai agama itu pun baru Bunga
ketahui ketika menjelang lulus. Nasi sudah basi dan murid tetap murid.
Bersyukurlah Bunga tidak merasa terganggu meskipun ia harus masuk IPS. Bahkan ia
menjadikan tolakan itu sebagai batu pijaknya untuk belajar lebih giat.
Cerita itu membuat saya geleng-geleng kepala
berkali-kali. Saya tahu tidak semua orang yang bisa menghargai perbedaan, tapi
saya tidak menyangka bahwa bahkan yang katanya seorang guru tidak bisa
memandang muridnya dengan objektif. Seorang yang katanya guru (geleng-geleng
kepala).
Kenapa hal-hal seperti itu seolah dijadikan
mainan dan tidak serius? Apakah kehidupan orang lain bukan dinamakan kehidupan?
Punya hak apa mereka melarang sesuatu karena apa yang diyakininya? Seorang yang
katanya guru! Astaga!