Rintik hujan mulai turun. Ara bergegas
mengeluarkan payung birunya. Ada gunanya juga punya payung, pikirnya. Segera
rintik menderas, membuat suara berisik ketika bersentuhan dengan kain payung
Ara. Orang-orang di sekitar jalan mulai menyingkir, mencari atap-atap untuk
berteduh. Pengendara motor segera menepi, mencari jas hujan yang terselip di
bawah jok motornya. Hanya pengendara mobil yang lancar melintasi jalan.
Hujan semakin deras tapi Ara tetap berjalan. Ia
ingin segera pulang ke rumahnya. Kasur dan selimut hangat sudah menunggu. Tadi
pagi ditinggalkan buru-buru karena Ara sudah terlambat.
Ara tidak peduli ketika ada beberapa mulut
usil yang berteriak agar ia menepi. Hujan katanya. Ara tahu saat itu hujan.
Tapi ia punya payung biru. Paling tidak ia aman dari serangan air bertubi-tubi.
Di jalan setapak itu, bukan hanya Ara yang
berani menjejak tanahnya. Seorang pria berjaket biru berjalan di bawah derasnya
air. Ah, itu dia. Pria yang menghantui malam-malam di kala ia tidak bisa lelap.
Beranikah ia menyapanya? Untuk apa? Tangkai payung semakin ia genggam erat.
Semakin dekat menuju rumahnya, Ara pelankan
langkah. Ia ingin berbagi ruang di bawah payung birunya pada pria itu. Pria
berbulu mata lentik dengan bola mata yang menari-nari di pikirannya.
Pria itu menuju sebuah belokan di ujung jalan.
Tolong, pelankan langkahmu. Hanya kata-kata tanpa suara yang mampu Ara ucapkan.
Ambil payung biruku agar kamu takkuyup disiram hujan.
Rasanya, ingin Ara percepat langkah, samai
langkah pria itu. Lalu diberikan payung birunya agar pria itu takusah lagi
berjalan terburu-buru. Ara hanya bisa memandangi punggungnya menghilang ke
sudut jalan itu. Hujan makin deras. Tinggal Ara dan payung biru, serta bayangan
pria itu.
No comments:
Post a Comment