“Kata Bapu Gandhi, ‘semua agama baik adanya’. Aku cuma ingin mengasihi Tuhan,” kataku, lalu aku menunduk dengan wajah merah.(Yann, Martel, 2007: 112)
Seorang anak lelaki India bernama Piscine
Molitor Patel—yang lebih ingin dipanggil dengan sebutan Pi Patel—berusia 16
tahun saat itu ketika ia dan keluarganya bertemu dengan seorang pastor, imam,
dan pedande. Ketiga pemimpin agama itu memuji Pi karena ia pemuda yang religius,
yang senantiasa beribadah dengan rajin. Terkejutlah semua yang ada di sana,
tidak bagi Pi. Masing-masing pemimpin agama yakin bahwa Pi memeluk agamanya dan
Pi hanya bisa diam sampai akhirnya ucapan yang saya kutip di atas menutup
perbincangan mereka. Kalimat itu mampu membuat pastor, imam, dan pedande pergi
dengan muka merah karena telah bertengkar dengan sesamanya.
Saat itu Pi memeluk tiga agama. Agama
pertamanya adalah Hindu karena ia dibesarkan dalam agama itu. Lalu, dalam
sebuah liburan, ia mengenal pastor Martin yang membawanya mengenal Yesus. Pada
waktu itu usianya 14 tahun. Di hari terakhir liburannya, ia kunjungi pastor
Martin dan minta dibabtis. Tidak sampai setahun kemudian ia mengenal Allah dan
Islam lewat seorang penjual roti.
Pi merasakan bisa dirinya bisa berhubungan
dengan Tuhan lewat tiga agama yang dikenalnya itu, lewat kisah-kisah Kristiani,
lewat shalat, dan lewat Dewa-Dewi Hindu. Ia menjadi pemeluk yang baik ketiga
agama itu.
Setelah ketiga pemimpin agama itu tahu bahwa
Pi memeluk tiga agama yang berbeda, Pi dikucilkan dari rumah ibadah
masing-masing. Mereka tidak bisa menerima Pi yang percaya pada Tuhan yang lain
selain agama mereka. Pi merasa sedih namun tetap percaya pada apa yang
diyakininya.
Konflik-konflik agama dalam novel ini begitu
segar dan membuat saya semakin mengerti bahwa kita tidak bisa lepas dari agama
yang lain. Saya penasaran apa reaksi mereka yang dangkal tentang agama ketika
membaca novel ini. Apa reaksi mereka ketika agama mereka dijadikan lelucon dalam
novel ini. Apakah mereka akan ikut tertawa atau marah-marah karena agamanya
dijadikan bahan tertawaan.
Bagi saya, Tuhan tidak seserius yang orang
bayangkan, yang tidak bisa ikut tertawa bersama umatnya. Bukannya kita ciptaan-Nya
dan kita dijadikan serupa dengan-Nya?
Ayah Pi pemilik suatu kebun binatang di
Pondicherry, India. Pi yang besar di kebun binatang turut belajar mengenal
binatang, mengenal kebiasaan dan sifat-sifat mereka. Dan ternyata, pelajaran itu
sangat membantu Pi ketika suatu peristiwa yang tidak dibayangkan terjadi.
Kemelut di India membuat ayah Pi memutuskan
pindah ke Kanada. Seluruh isi kebun binatang dijual. Pi dan keluarganya pindah
menumpang kapal barang Tsimtsum milik Jepang pada tanggal 21 Juni 1977.
Beberapa hewan turut bersama mereka dalam kapal itu, akan dijual di Amerika.
Siapa yang menyangka bahwa tenggelamnya kapan
hanya milik Titanic. Meskipun tidak menabrak batu es, kapal ini
tenggelam tanggal 2 Juli 1977 di samudera Pasifik. Hanya Pi yang selamat, menempati
sebuah sekoci bersama seekor hyena, zebra yang kakinya patah, orang utan betina,
dan seekor harimau royal bengal seberat 225 kg. Pertualangan bersama
para hewan ini dimulai dalam sekoci yang panjangnya 8 meter.
Pi berhasil bertahan selama—kalau saya tidak
salah ingat—227 hari, lebih dari tujuh bulan di atas sekoci. Sesuai hukum alam,
rantai makanan terjadi. Hyena yang awalnya ragu karena ada superior di atasnya,
harimau, akhirnya memakan zebra itu sedikit demi sedikit. Lalu pertarungan
antara hyena yang jantan dan orang utan betina dimenangkan oleh hyena jantan. Dan
akhirnya, keluarlah harimau itu, Richard Parker, dari tempat sembunyinya dan
menyerang hyena. Tinggal Pi dan Richard Parker yang selamat di atas kapal.
Pi sadar ia akan menjadi santapan berikutnya
kalau ia tidak melakukan sesuatu. Bertahan hidup di samudera luas berat dan
lebih berat lagi kalau hidup bersama harimau buas di samudera luas. Selama lebih
dari tujuh bulan itu Pi bertahan hidup dan mempelajari Richard Parker. Ia menyadari
jika hanya ia sendiri yang berada di atas sekoci itu, ia tidak akan hidup lebih
lama. Ia menyadari bahwa Richard Parker yang menjadi motivasinya untuk terus
bertahan hidup.
Kisah ini kisah nyata yang sekarang filmnya
sedang tayang di perbioskopan Indonesia. Karena gembar-gembor film itulah yang
membuat saya kemudian membaca novel ini dan bukannya berburu film di bioskop
terdekat. Saya penasaran akan seperti apa filmnya, akan seberapa banyak adegan
dalam novel ini dipotong agar bisa memenuhi durasi.
Pi Patel orang yang cerdas. Terbukti bagaimana
ia memandang agama, hewan, dan mampu bertahan hidup di samudera Pasifik selama
tujuh bulan lebih bersama seekor harimau bengala di atas sekoci.
No comments:
Post a Comment