Berapa menit waktu yang kamu butuhkan untuk benar-benar sadar dari bangun tidur?
Saya lebih suka terbangun karena saya sudah puas tidur ketimbang harus dibangunkan oleh orang atau pun alarm. Perasaan yang dihasilkan akan berbeda pula. Ketika tubuh saya sudah segar, tubuh saya akan terbangun dengan sendirinya. Lalu saya akan memandang langit-langit tempat saya tidur dan mulai membayangkan mau apa saya setelah bangun tidur ini.
Kadang pula saya menginstropeksi diri saya ketika pagi hari, ketika saya sudah benar-benar dapat berpikir lebih jernih tentang masalah yang saya hadapi di hari kemarin. Itu cukup membantu membangun mood yang lebih baik. Tubuh, pikiran, dan jiwa akan jauh lebih segar.
Karenanya, waktu yang saya butuhkan untuk benar-benar bangun itu cukup lama. Bisa sampai satu jam, kalau saya tidak ada kerjaan, saya merenung sambil memandangi langit-langit. Hal-hal semacam ini pasti akan menjadi sebuah hal yang istimewa ketika nanti saya terikat pada sebuah sistem.
Saya suka bangun pagi. Sayangnya, ketika tidak di rumah saya sulit bangun pagi. Saya pernah mendengar sebuah pepatah bahwa rezeki dan berkat diberikan Tuhan lewat malaikat yang muncul bersama matahari pagi. Saya percaya itu. Ketika di pagi hari saya bangun sebelum matahari terbit, saya suka melihat sinar matahari yang muncul perlahan-lahan. Itu sebuah berkat. Berkat di hari baru yang masih Tuhan berikan kepada saya.
Ada pula pepatah yang mengatakan bahwa rezeki akan dijauhkan dari orang yang bangun siang. Itu kebalikan dari pepatah yang pertama. Saya juga percaya itu. Ada baik, ada buruk. Ada kanan, ada kiri. Ada atas, ada bawah. Semua punya kebalikan.
Pagi hari mengingatkan saya akan banyak hal. Rutinitas menjelang sekolah, perjalanan menuju sekolah, kelas-kelas yang kosong karena belum banyak murid yang datang, hal-hal yang bertahun-tahun saya rindukan. Saya tidak suka dengan rutinitas, tapi ada kalanya saya rindu rutinitas seperti itu.
Selamat pagi. Semoga kita selalu bersyukur atas detak jantung di pagi hari, atas nafas yang masih berhembus, atas mimpi, atas segala hal yang diberikan-Nya kepada kita. Saya suka ucapan "Selamat pagi". jadi, selamat pagi :)
Tuesday, August 30, 2011
Monday, August 29, 2011
Disguised - Rita la Fontaine
Pernahkah kalian membaca atau melihat dari sudut pandang yang lain tentang penjajahan itu? Kalau belum pernah, silakan baca Disguised karya Rita la Fontaine.
Buku ini ditulis oleh Rita berdasarkan kisah yang dialaminya sendiri ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia. Waktu itu ia berusia sekitar 11 tahun. Rita merupakan anak campuran Belanda-Indonesia, ayahnya Belanda dan ibunya Indonesia. Tempat kejadiannya di pulau Sumatera, dari Jambi sampai pulau Bangka.
Ayahnya mendapat kabar bahwa tentara-tentara Jepang suka mendatangkan perempuan-perempuan penghibur ke kemah-kemah mereka. Perempuan-perempuan itu tidak hanya dari Jepang, bahkan pribumi dan orang-orang Belanda yang terhormat pun dipaksa untuk menghibur mereka. Berangkat dari kekhawatiran itu, ayah Rita mengubah penampilan Rita menjadi seorang anak laki-laki. Ia diubah penampilannya, gayanya, dan namanya. Rick adalah nama laki-laki Rita.
Kisah dari sudut pandang anak kecil selalu menarik. Anak kecil itu jujur, ia tidak melebih-lebihkan. Meskipun mungkin buku ini tidak Rita tulis ketika ia masih kecil, tapi kejujuran itu masih melekat pada karyanya ini. Lagipula saya percaya suatu kejadian buruk seperti itu tidak ingin diceritakan secara berlebihan, tidak ada yang bisa dibanggakan dari sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan.
Perang itu tidak ada yang menguntungkan. Bahkan Jepang sendiri pada akhirnya merasakan ketidakberuntungannya. Lewat Rita kita akan tahu bagaimana perjuangan bangsanya ketika masa perang itu terjadi. Dari buku ini kita akan tahu bahwa tidak hanya masyarakat Indonesia yang menderita ketika Jepang berkuasa. Orang-orang Belanda yang sudah beranak-cucu di Tanah Air pun turut merasakan kesengsaraannya, meskipun kadarnya berbeda.
Dikisahkan tawanan Belanda masih diperlakukan lebih manusiawi. Atau mungkin Rita dan kelompoknya lebih beruntung? Mereka harus berpisah dari orang-orang yang dikasihi. Kemah pria dan wanita dipisah. Mereka harus bekerja keras untuk bisa makan. Hal-hal yang tidak pernah mereka lakukan di kehidupan sebelumnya terpaksa mereka lakukan agar dapat bertahan.
Tapi, selama ada kemauan, usaha, kesabaran, cinta, dan doa, semua dapat dilakukan dengan lebih ringan. Harapan-harapan ditebarkan. Mereka percaya suatu saat nanti mereka akan bebas, entah kapan, tapi mereka percaya. Rita percaya bahwa usaha yang dilakukannya, penyamarannya, tidak akan sia-sia. Di usianya yang muda ia belajar bahasa Jepang dan bekerja pada pemerintah Jepang. Semua dilakukannya dengan keberanian dan kepercayaan. Dan akhirnya, bom atom Nagasaki dan Hirosima menjadi gong pembebasan mereka.
Tidak ada yang menyenangkan pada masa perang. Saya tidak percaya perang dapat memecahkan suatu masalah. Dia hanya menambah masalah baru dan mengucilkan manusia dari kebahagiaan dan kebebasan. Semuanya kembali pada hati manusia, jika semua masalah dapat diselesaikan dengan mudah dan indah untuk apa menyelesaikan masalah dengan rumit dan menyedihkan. Itu adalah pilihan yang seharusnya tidak menjadi sebuah pilihan. *saya mulai ngelantur :P
Wednesday, August 24, 2011
Telepon Rumah
Saya selalu suka dengan telepon rumah. Telepon rumah menjadikan pembicaraan lebih bersifat personal. Bukan berarti handphone tidak personal, tapi telepon rumah dengan kabel meliuknya, menjadikan pembicaraan lebih menyenangkan.
Dulu, ketika telepon di rumah saya masih sering berdering, saya suka menunggu nama saya dipanggil jika telepon itu untuk saya. Saya suka menebak siapakah yang menelepon. Teman sayakah, atau seorang lain yang saya tunggu. Kemudian berbicara tanpa takut hubungan diputus oleh operator tiap beberapa belas menitnya.
Masa-masa itu, masa-masa sekolah, pembicaraan tidak jauh dari sekolah. Tugas, ulangan, teman, musuh, dan hal remeh-temeh lain. Janjian berpergian pun dibicarakan lewat telepon. Jam bertemu yang pasti, tempat pertemuan yang pasti, dan orang-orang yang pasti. Tidak seperti sekarang, semua via SMS. Ajak si A, ajak si B, tinggal SMS. Lalu si A mengajak si C, si B mengajak si D, tinggal SMS. Ketika jam bertemu sudah pasti, ada yang telat tinggal di-SMS. Ah, saya jadi rindu masa-masa telepon rumah dahulu.
Telepon rumah saya sendiri sudah tidak ada kabel meliuknya, dia sudah portable. Salah satu alasan mengganti kabel dengan tanpa kabel mungkin masalah efisiensi tempat. Salah seorang dari kami dapat berbicara di tempat lain yang lebih pribadi, di kamar mandi mungkin :P
Sekarang, telepon rumah saya tidak terlalu sering berkicau seperti dahulu. Nama saya pun sudah jarang disebut ketika sekalinya dia berdering. Dia sudah jarang digunakan. Dia pun diletakan di tempat yang tidak terlalu strategis. Tapi dia dengan senang hati menunggu dering-dering dan tekanan jari-jari pada tubuhnya.
Rahasia Kecil
Saya punya satu rahasia kecil yang ingin saya ceritakan di sini (berarti dia tidak akan menjadi sebuah rahasia lagi). Rahasia kecil saya adalah sebuah loteng. Loteng di rumah saya. Tempat ini menjadi sebuah surga bagi saya dan rahasia kecil saya yang lain (yang ini tidak akan saya ceritakan, berarti dia akan abadi menjadi sebuah rahasia).
Di loteng ini saya terbebas dari segala persoalan, meskipun kadang saya memikirkan persoalan-persoalan itu di tempat ini. Hahaha... Pernyataan barusan agak khas saya, saya tidak mampu memertahankan apa yang saya omongkan :P
Di sini saya bisa menangkap jenis-jenis suara yang tidak saya dapat di dalam rumah. Di sini saya bisa bebas mendengar suara kicau burung, gesekan dedaunan, suara desau angin, dan suara matahari. Matahari bersuara, kawan. Coba kalian cari suaranya!
Di sini pula saya bisa menangkap hal-hal yang tidak bisa saya lihat di dalam rumah. Saya suka terangnya, saya suka keremangannya, saya suka kesendirian dan keterasingannya.
Di sini rahasia kecil saya abadi. Saya menyukainya. Saya senang saya mendapat sebuah ruang yang tidak bisa diganggu siapa pun. Saya menyukai rahasia kecil saya di rumah ini.
Siang, 23 Agustus 2011
Saya tidak terlalu nyaman dengan kota besar seperti Jakarta. Saya rikuh. Saya canggung. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang yang tidak sabar tapi masih saja tinggal di sana. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang tidak percaya bahwa masih banyak tempat selain Jakarta jika mereka ingin bertahan hidup.
Rumah saya di Tangerang, sama padatnya dengan Jakarta. Dan saya selalu takut untuk menjejaki setiap kilometer tanahnya. Saya sering tidak percaya dengan orang-orang asing yang lalu-lalang di sekitar saya. Saya sering tidak nyaman. Pikiran-pikiran negatif kadang muncul ketika melihat wajah-wajah yang tidak menyenangkan.
Tapi saya suka bangunan-bangunan tinggi di Jakarta. Entah sudah berapa ratus kali saya melihat gedung-gedung itu, saya tidak pernah bosan. Saya suka ketika cahaya-cahaya bermain di kaca gedung-gedung tinggi itu. Mereka indah. Mereka berkuasa di jalan-jalan padat Jakarta.
Kemarin, setelah hampir dua bulan saya menjauh dari Jakarta, saya pulang. Lewat di sebuah pasar, saya pusing. Banyak suara klakson kendaraan yang masuk ke telinga saya. Saya tidak terlalu suka dengan keramaian dan saya benci dengan suara klakson yang dibunyikan dengan bertubi-tubi. Banyak pengguna kendaraan yang suka menggunakan klakson. Mereka tidak sabaran. Mereka selalu ingin lebih dahulu dibanding pengendara yang lain. Mereka tidak peduli bahwa ada orang-orang seperti saya yang terganggu dengan suara klakson kendaraan mereka.
Saya putuskan untuk turun dan berjalan kaki. Seharusnya saya bisa naik angkutan umum atau naik ojek untuk sampai ke rumah saya. Tapi saya putuskan saya lebih baik berjalan kaki. Saya berhenti di depan perumahan. Saya dapat melewati jalan pintas di belakang perumahan tersebut untuk menuju perumahan saya. Daripada saya pusing karena polusi udara, polusi suara, dan polusi hati, lebih baik saya berjalan di bawah terik matahari. Untungnya, angin menemani saya.
Sepanjang perjalanan, saya tidak bertemu dengan pejalan kaki yang lain. Padahal itu sebuah perumahan. Motor lalu-lalang dan pengendaranya melihat saya dengan muka bertanya-tanya. Saya menyimpulkan dari mimik muka mereka bahwa mereka bingung kenapa saya berjalan kaki di siang bolong seperti itu. Saya kemudian menyayangkan bahwa mereka mungkin sudah lupa rasanya berjalan kaki. Mereka terlalu bergantung dengan kendaraan-kendaraan yang memudahkan mereka mencapai suatu tempat dengan waktu yang lebih cepat.
Saya sampai di rumah dengan perasaan yang lebih tenang. Panas sudah bukan kendala, karena saya berteman dengannya sejak saya turun dari angkutan umum. Hati saya pun lebih tenang, saya tidak marah-marah kepada pengguna kendaraan yang seenak tangannya memencet klakson.
Setelah menaruh barang, saya menuju dapur. Segelas sirup dingin melengkapi siang saya yang menyenangkan itu.
Tuesday, August 16, 2011
Bulan, Magis
Ketika saya sedang memandang bulan dan kemudian semilir angin datang bermain di sekitar rambut saya, saya langsung mencintainya. Seketika saya mencintai bulan purnama kuning keemasan itu, saya mencintai dinginnya angin, saya mencintai awan yang bergerak bersama angin. Saya mencintai mereka.
Dan meskipun saya tahu bagaimana pergerakan bumi, malam menjadi siang dan siang menjadi malam, saya tetap bertanya pada diri saya sendiri bagaimana bumi dapat melakukannya.
Beberapa hari ini bulan sangat cantik. Ia bulat sempurna dengan lingkaran halo di sekitar tubuhnya. Ia sedang berada di masa jayanya. Bahkan awan yang awalnya datang menutupi segera menghindar takut karena ulahnya manusia tidak bisa menikmati kecantikan bulan itu. Bintang pun taktampak. Mungkin ia malu. Bulan cantik itu seolah menyedot perhatian banyak hal.
Mungkin hal ini juga yang dirasakan oleh Miles ketika ia memandang bulan dari kayaknya pada malam-malam ia takdapat lelap. Ia begitu takjub dengan peran bulan yang dapat membuat air laut pasang dan surut. Karena bulanlah Miles dapat mencari binatang-binatang laut yang terdampar di pantai ketika air surut.
Saya suka The Highest Tide. Saya suka penggambaran Miles oleh Jim Lynch. Miles anak yang tidak spesial dengan tinggi badan yang kurang untuk remaja berusia tiga belas tahun. Tapi ia mencintai teluk tempat ia tinggal. Ia mencinta laut dengan segala kehidupan yang ada di dalamnya seperti ia juga mencintai Rachel Carson, penulis favoritya. Miles lebih nyaman berbicara tentang laut ketimbang berbicara tentang persahabatan dan cinta.
Membaca The Highest Tide membuat saya bertanya-tanya semagis apakah bumi, bulan, matahari, dan benda-benda angkasa lainnya. Seindah dan semenakutkan apakah lautan lepas, samudera luas, dan kedalaman yang takada cahaya. Dia membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah bumi ini sebenarnya. Saya tahu itu pertanyaan bodoh jika saya tanyakan sekarang, tapi seperti tersihir oleh bulan pertanyaan-pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Mungkin bulan tidak puas dengan berbagai pernyataan manusia yang terkadang sok tahu terhadap dirinya dan teman-temannya.
Saya tidak bisa bercerita banyak tentang buku ini karena banyak hal yang tertinggal ketika saya selesai membacanya. Rasanya saya ingin bermimpi berjalan di lumpur bersama Miles ketika ia menemukan keajaiban-keajaiban di teluk kecilnya.
Bulan kesepian. Itu yang saya rasakan ketika melihat bulan. Saya jadi turut kesepian. Ah, bulan itu magis. Ia menyimpan beribu misteri dalam cahaya keemasannya.
Dan meskipun saya tahu bagaimana pergerakan bumi, malam menjadi siang dan siang menjadi malam, saya tetap bertanya pada diri saya sendiri bagaimana bumi dapat melakukannya.
Beberapa hari ini bulan sangat cantik. Ia bulat sempurna dengan lingkaran halo di sekitar tubuhnya. Ia sedang berada di masa jayanya. Bahkan awan yang awalnya datang menutupi segera menghindar takut karena ulahnya manusia tidak bisa menikmati kecantikan bulan itu. Bintang pun taktampak. Mungkin ia malu. Bulan cantik itu seolah menyedot perhatian banyak hal.
Mungkin hal ini juga yang dirasakan oleh Miles ketika ia memandang bulan dari kayaknya pada malam-malam ia takdapat lelap. Ia begitu takjub dengan peran bulan yang dapat membuat air laut pasang dan surut. Karena bulanlah Miles dapat mencari binatang-binatang laut yang terdampar di pantai ketika air surut.
Saya suka The Highest Tide. Saya suka penggambaran Miles oleh Jim Lynch. Miles anak yang tidak spesial dengan tinggi badan yang kurang untuk remaja berusia tiga belas tahun. Tapi ia mencintai teluk tempat ia tinggal. Ia mencinta laut dengan segala kehidupan yang ada di dalamnya seperti ia juga mencintai Rachel Carson, penulis favoritya. Miles lebih nyaman berbicara tentang laut ketimbang berbicara tentang persahabatan dan cinta.
Membaca The Highest Tide membuat saya bertanya-tanya semagis apakah bumi, bulan, matahari, dan benda-benda angkasa lainnya. Seindah dan semenakutkan apakah lautan lepas, samudera luas, dan kedalaman yang takada cahaya. Dia membuat saya bertanya-tanya sebesar apakah bumi ini sebenarnya. Saya tahu itu pertanyaan bodoh jika saya tanyakan sekarang, tapi seperti tersihir oleh bulan pertanyaan-pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Mungkin bulan tidak puas dengan berbagai pernyataan manusia yang terkadang sok tahu terhadap dirinya dan teman-temannya.
Saya tidak bisa bercerita banyak tentang buku ini karena banyak hal yang tertinggal ketika saya selesai membacanya. Rasanya saya ingin bermimpi berjalan di lumpur bersama Miles ketika ia menemukan keajaiban-keajaiban di teluk kecilnya.
Bulan kesepian. Itu yang saya rasakan ketika melihat bulan. Saya jadi turut kesepian. Ah, bulan itu magis. Ia menyimpan beribu misteri dalam cahaya keemasannya.
Limit Sabar
Sometimes, it’s better to be alone because nobody can hurt you.- Hercules, 1997
Karena seorang teman saya menantikan tulisan saya kali ini, maka saya akan mencoba menulisnya. Teman saya, sebut saja namanya Imanuel Kristianto (oke, gw menyebutkan nama asli lo, No :P), ingin tahu apakah saya akan menuliskan kisah menyebalkan tadi subuh (14 Agustus 2011) di blog. Dan karena dia sangat penasaran, saya pun memutuskan untuk curhat lagi di sini. Makasih yah atas usulan lo tentang curhat di blog, No :D
Ceritanya hari ini saya ngambek. Ngambek itu istilah teman-teman saya. Saya sendiri kurang menyukainya. Menurut saya, saya bukan ngambek, tapi marah. Dan cara saya marah adalah saya memisahkan diri dari teman-teman saya. Alasannya, lebih baik saya marah kepada diri sendiri dari pada saya akhirnya meledak di depan teman-teman saya sehingga yang tersisa tinggal penyesalan. Saya cukup ahli untuk mendinginkan kepala dan hati, salah satu caranya adalah keramas di tengah subuh dingin, seperti tadi subuh.
Saya sering kecewa melihat cara teman-teman saya (dan saya sendiri) membuat lelucon. Salah satu caranya adalah menggunakan satu objek penderita untuk di’kata-katai’ atau diisengi. Dan saya sering kali menjadi objek penderita itu, seperti dua hari ini. Ini bukan kali pertama, dan saya tahu ini juga bukan kali terakhir. Saya biasa-biasa saja, saya juga menerima karena saya juga ikut tertawa dan kadang menjadi tersangka pembuat lelucon. Tapi, saya tahu batas ketika objek penderita itu sudah tidak mampu menerima lelucon atas dirinya, karena saya juga merasakannya.
Ketika lelucon-lelucon itu terus menerus diulang, hasilnya tidaklah lucu lagi. Sama halnya jika kamu makan nasi telor dadar selama seminggu tanpa menu variasi lain. Saya pun bosan mendengar hal-hal itu saja yang dibahas. Takada lagi tawa yang keluar dari mulut saya. Yang ada hanyalah rengutan muka masam dan takada kata yang harus saya katakan. Jika sudah seperti itu, saya lebih baik diam. Karena saya tahu jika saya marah-marah, suasana malah menjadi tidak nyaman.
Saya tidak masalah ketika saya dijadikan objek candaan. Teman-teman berkata bahwa saya tidak mudah marah, saya lucu, saya bla bla bla bla.. Saya senang mereka menilai saya seperti itu. Tapi, sama seperti manusia lainnya, saya juga punya batas kesabaran. Limit sabar saya tidak penuh setiap saat. Didorong dengan kurangnya tidur dan suasana dingin, saya pun selesai. Saya marah. Saya diam.
Jeleknya dari kediaman saya adalah banyak orang yang tidak seharusnya terlibat jadi ikut terlibat. Mood saya yang berantakan lantas tidak hanya ditujukan kepada para tersangka. Para saksi mata pun kadang kena imbasnya. Saya jadi kaku. Mulut saya tersenyum, saya bilang saya tidak apa-apa, tapi hati saya panas. Para saksi mata itu kadang merasa dirinya juga sebagai tersangka karena aksi diam saya. Itu buruk sekali. Saya masih belajar untuk mengendalikan emosi saya yang seperti itu.
Mungkin beberapa orang menganggap saya ngambek seperti anak kecil. Tidak masalah. Saya mengakui bahwa saya memang masih anak kecil. Saya belum siap untuk dewasa karena memecahkan masalah dengan cara dewasa itu rumit. Saya lebih baik berlindung di balik sisi anak kecil saya.
Semua orang boleh mengekspresikan rasa marahnya. Lalu kenapa saya tidak boleh mengekspresikan rasa marah saya dengan cara demikian? Apakah ekspresi orang marah yang lain tidak lebih jelek dari cara saya marah? Saya memilih jalan ini. Menurut orang itu aneh, menurut saya ini alternatif yang paling baik. Sendiri kadang lebih baik.
Saya tidak mengerti jika ada orang yang tidak mengerti kenapa saya bisa marah sedemikian rupa. Saya tidak mengerti ketika dia tidak menyadari bahwa dia juga masuk ke dalam orang-orang yang membuat saya marah. Dan saya tidak mengerti mengapa tidak ada yang pernah meminta maaf kepada saya. Bukannya saya haus dengan kata maaf, tapi terkadang saya butuh ucapan itu. Seingat saya, tidak ada satu teman pun yang mengucapkan kata itu, dan seingat saya lagi, banyak teman yang lari ketika saya katakan bahwa dia juga bersalah. Sering kali saya lalui hal ini. Dan saya pasti akan melalui hal ini lagi nanti.
Yah, karena bumi ini bulat dan jam selalu kembali ke pukul 00.00, saya harus setiap saat mengisi hati saya dengan kesabaran. Kali lain hal ini pasti akan terjadi. Saya harus siap dan mereka juga harus siap menanggapi rasa marah saya. Katanya orang sabar itu dikasihi Tuhan. Semoga Tuhan juga mengasihi saya seperti Dia juga mengasihi orang-orang yang tidak sabar. Amin.
Madre - Dee
Awalnya saya sedikit trauma membaca karya-karya Dewi Lestari atau yang juga dikenal dengan nama Dee. Buku pertama yang saya baca adalah Supernova: Akar (kalau saya tidak salah ingat). Saat itu saya masih SMA dan buku itu tidak selesai saya baca. Saya kaget ketika saya tahu ternyata saya tidak mengerti apa yang ingin Dee sampaikan lewat bukunya itu. Mungkin karena bacaan saya pada saat itu kurang bervariasi, dengan berat hati saya menutup dan melupakannya.
Bertemulah saya dengan Filosofi Kopi. Ironisnya saya lupa isi buku itu. Maafkan ingatan saya yang buruk. Tapi sampai sekarang saya tahu bahwa saya suka dengan judul bukunya dan saya tidak lepas dari rasa trauma ‘supernova’ itu.
Beberapa minggu lalu, beberapa kawan berkomentar bahwa kumpulan cerpen Dee yang terbaru bagus. Saya lihat bukunya. Madre, dengan cover berwarna oranye lembut. Gambar-gambar yang familiar, saya pernah melihat gambar sejenis itu tapi lagi-lagi saya lupa di mana (sepertinya saya butuh NZT untuk memaksimalkan kerja otak saya :P). Saya pun meminjam dan membacanya.
Beruntunglah saya menyukai cerpen pertama dalam buku itu, Madre. Ketika sampai pada penjelasan bahwa madre berasal dari bahasa Spanyol yang artinya 'ibu', saya bergumam, ”Nah, itu gambar Spanyol!”. Yak, agak kurang penting gumaman saya :P.
Singkatnya, setelah saya membaca buku ini, saya menarik kesimpulan bahwa tokoh utama laki-laki digambarkan terlalu halus. Saya awalnya malah menyangka bahwa tokoh utamanya adalah seorang perempuan.
Berangkat pada suatu pembicaraan dan pengamatan, saya menyakini bahwa cara berpikir laki-laki lebih dekat dengan kelogisan dan perempuan lebih dekat dengan perasaan. Misalnya, ketika melihat kendaraan dengan laju cepat lelaki lebih berkomentar, “Wah, kecepatannya sekitar 120 km/jam, tuh.” sedangkan perempuan lebih berkomentar. “Cepet banget!”. Itu kesimpulan saya semata.
Dan setelah berdiskusi dengan beberapa teman tentang buku ini, kami sepakat bahwa laki-laki dalam cerpen di buku ini lebih halus dibandingkan dengan laki-laki pada umumnya. Saya mengira-ngira apakah karena penulisnya seorang perempuan sehingga sosok lelaki yang digambarkannya jadi demikian. Saya pun membantah sendiri perkiraan saya itu.
Penggambaran cinta dalam setiap cerpen juga begitu lembut. Cinta yang tidak dipaksakan. Seolah-olah takut tokohnya akan bunuh diri karena kegagalan cinta. Ini penggambaran cinta yang khas dari Dee. Dari pengalaman barangkali. Lho :P
Akhirnya saya tidak lagi trauma membaca karyanya. Kali lain saya akan membaca buku-bukunya dan ingin lebih membuktikan cinta seperti apa yang ingin disampaikan oleh seorang Dee.
Bertemulah saya dengan Filosofi Kopi. Ironisnya saya lupa isi buku itu. Maafkan ingatan saya yang buruk. Tapi sampai sekarang saya tahu bahwa saya suka dengan judul bukunya dan saya tidak lepas dari rasa trauma ‘supernova’ itu.
Beberapa minggu lalu, beberapa kawan berkomentar bahwa kumpulan cerpen Dee yang terbaru bagus. Saya lihat bukunya. Madre, dengan cover berwarna oranye lembut. Gambar-gambar yang familiar, saya pernah melihat gambar sejenis itu tapi lagi-lagi saya lupa di mana (sepertinya saya butuh NZT untuk memaksimalkan kerja otak saya :P). Saya pun meminjam dan membacanya.
Beruntunglah saya menyukai cerpen pertama dalam buku itu, Madre. Ketika sampai pada penjelasan bahwa madre berasal dari bahasa Spanyol yang artinya 'ibu', saya bergumam, ”Nah, itu gambar Spanyol!”. Yak, agak kurang penting gumaman saya :P.
Singkatnya, setelah saya membaca buku ini, saya menarik kesimpulan bahwa tokoh utama laki-laki digambarkan terlalu halus. Saya awalnya malah menyangka bahwa tokoh utamanya adalah seorang perempuan.
Berangkat pada suatu pembicaraan dan pengamatan, saya menyakini bahwa cara berpikir laki-laki lebih dekat dengan kelogisan dan perempuan lebih dekat dengan perasaan. Misalnya, ketika melihat kendaraan dengan laju cepat lelaki lebih berkomentar, “Wah, kecepatannya sekitar 120 km/jam, tuh.” sedangkan perempuan lebih berkomentar. “Cepet banget!”. Itu kesimpulan saya semata.
Dan setelah berdiskusi dengan beberapa teman tentang buku ini, kami sepakat bahwa laki-laki dalam cerpen di buku ini lebih halus dibandingkan dengan laki-laki pada umumnya. Saya mengira-ngira apakah karena penulisnya seorang perempuan sehingga sosok lelaki yang digambarkannya jadi demikian. Saya pun membantah sendiri perkiraan saya itu.
Penggambaran cinta dalam setiap cerpen juga begitu lembut. Cinta yang tidak dipaksakan. Seolah-olah takut tokohnya akan bunuh diri karena kegagalan cinta. Ini penggambaran cinta yang khas dari Dee. Dari pengalaman barangkali. Lho :P
Akhirnya saya tidak lagi trauma membaca karyanya. Kali lain saya akan membaca buku-bukunya dan ingin lebih membuktikan cinta seperti apa yang ingin disampaikan oleh seorang Dee.
Friday, August 12, 2011
Cerita 11 Agustus 2011
Kemarin hari yang panjang dan melelahkan. Padahal durasi hari kemarin masih sama, 24 jam.
Dimulai dengan kebodohan yang luar biasa. Saya dibangunkan pukul 08.30 oleh seorang teman. Lalu saya menyalakan keran bak mandi, persiapan mandi. Karena masih menunggu bak air, saya pun tidur-tiduran yang akhirnya jadi tidur sungguhan. Jam menunjukan pukul 10.00 dan bak mandi isinya sudah tumpah ruah ke mana-mana.
11 Agustus 2011, adalah hari bersejarah bagi beberapa teman yang beruntung. Mereka diwisuda. Karena saya janjian pergi ke wisudaan itu dengan teman, segeralah saya mandi. Rusuh. Barang-barang saya lempar, kamar saya yang berantakan makin jadi lebih berantakan. Setelah selesai, berangkatlah saya.
Miskomunikasi pun terjadi. Akibatnya, saya yang seharusnya naik damri jurusan Jatinangor-DU malah naik damri jurusan Jatinangor-Elang. Pintarnya, saya tahu saya salah naik damri, untuk memastikannya saya menanyakan itu ke perempuan yang duduk di sebelah saya.
S: Teh, ini damri ke DU kan yah?
T: Bukan, teh. Ini ke... Eee... (Dia masih mencari-cari jawaban)
S: Ke Elang?
T: Iya, ke Elang.
S: Wah, saya salah naik. Nuhun, Teh.
Saya hampiri sopir dan berkata, "Maaf, Pak. Saya salah naik." dan turunlah saya sambil tertawa-tawa dan mengatai diri sendiri "Bodoh! Bodoh! Hahahahaha...". Untungnya, damri berjalan tidak terlalu jauh, jadi saya masih bisa naik damri dengan jurusan yang benar.
Ketika menunggu damri yang di dalamnya sudah ada teman janjian saya, saya disapa oleh teman saya. Dia sepupu teman saya yang diwisuda saat itu.
ST: Fega, mau ke mana?
S: DU.
ST: Ke wisudaan?
S: Iya.
ST: Yuk bareng. Gw nyewa mobil.
S: Oiya? Wah, boleh-boleh.
Saya lupa kalau saya sudah janjian dengan teman saya.
S: Eh, tapi gw bareng temen. Gimana dong? Boleh diajak?
ST: Wah? Berapa orang?
S: Satu aja kok.
ST: Oh, oke kalo gitu.
Di saat yang sama saya panik karena damri itu sudah ada di dekat saya. Saya telepon teman saya yang ternyata dia juga sedang menelepon saya. Karena mungkin lebih dulu menelepon, berbunyilah hape saya.
TS: Fe, ayo naik!
S: Ngga, lo turun! Buruan!
TS: Ngga, Fe! Buruan lo naik!
S: Kaga, Cha! Lo turun! Cepet!
TS: Ih, buruan naik!
S: Lo turun! Pokoknya lo turun!
Dan akhirnya saya yang memenangkan seruan via hape itu. Turunlah teman saya dengan muka kebingungan. Saya pun tertawa dan menjelaskan. Berangkatlah kami.
Sepupu teman saya mengendarai mobilnya dengan kencang. "Ngga usah pake rem," katanya. Wow... Saya cuma komat-kamit di dalam hati. Tidak berapa lama teman memberi kabar bahwa yang diwisuda sudah keluar dari ruangan. Makin ketar-ketirlah kami.Pedal gas semakin dalam.
Akhirnya kami sampai dan tempat itu sudah mulai sepi. Tapi, mereka yang diwisuda masih bertahan menunggu saya dan teman saya. Kami masih bertemu untuk mengucapkan selamat dan untuk berfoto bersama (itu juga bagian yang sangat penting :P).
Untungnya saya datang terlambat sehingga tidak ikut dalam perjuangan memendam air mata sampai mata merah seperti yang terlihat pada beberapa mata teman saya. Saya senang akhirnya mereka diwisuda dan saya juga sedih karena saya belum juga diwisuda. Hahaha...
Sisa harinya, nantilah saya lanjutkan. Perjalanan masih setengah hari dan tulisan ini sudah cukup panjang.
Selamat kepada para sahabat dan teman-teman sekalian yang kemarin diwisuda. Semoga sukses dan berhasil.
Dimulai dengan kebodohan yang luar biasa. Saya dibangunkan pukul 08.30 oleh seorang teman. Lalu saya menyalakan keran bak mandi, persiapan mandi. Karena masih menunggu bak air, saya pun tidur-tiduran yang akhirnya jadi tidur sungguhan. Jam menunjukan pukul 10.00 dan bak mandi isinya sudah tumpah ruah ke mana-mana.
11 Agustus 2011, adalah hari bersejarah bagi beberapa teman yang beruntung. Mereka diwisuda. Karena saya janjian pergi ke wisudaan itu dengan teman, segeralah saya mandi. Rusuh. Barang-barang saya lempar, kamar saya yang berantakan makin jadi lebih berantakan. Setelah selesai, berangkatlah saya.
Miskomunikasi pun terjadi. Akibatnya, saya yang seharusnya naik damri jurusan Jatinangor-DU malah naik damri jurusan Jatinangor-Elang. Pintarnya, saya tahu saya salah naik damri, untuk memastikannya saya menanyakan itu ke perempuan yang duduk di sebelah saya.
S: Teh, ini damri ke DU kan yah?
T: Bukan, teh. Ini ke... Eee... (Dia masih mencari-cari jawaban)
S: Ke Elang?
T: Iya, ke Elang.
S: Wah, saya salah naik. Nuhun, Teh.
Saya hampiri sopir dan berkata, "Maaf, Pak. Saya salah naik." dan turunlah saya sambil tertawa-tawa dan mengatai diri sendiri "Bodoh! Bodoh! Hahahahaha...". Untungnya, damri berjalan tidak terlalu jauh, jadi saya masih bisa naik damri dengan jurusan yang benar.
Ketika menunggu damri yang di dalamnya sudah ada teman janjian saya, saya disapa oleh teman saya. Dia sepupu teman saya yang diwisuda saat itu.
ST: Fega, mau ke mana?
S: DU.
ST: Ke wisudaan?
S: Iya.
ST: Yuk bareng. Gw nyewa mobil.
S: Oiya? Wah, boleh-boleh.
Saya lupa kalau saya sudah janjian dengan teman saya.
S: Eh, tapi gw bareng temen. Gimana dong? Boleh diajak?
ST: Wah? Berapa orang?
S: Satu aja kok.
ST: Oh, oke kalo gitu.
Di saat yang sama saya panik karena damri itu sudah ada di dekat saya. Saya telepon teman saya yang ternyata dia juga sedang menelepon saya. Karena mungkin lebih dulu menelepon, berbunyilah hape saya.
TS: Fe, ayo naik!
S: Ngga, lo turun! Buruan!
TS: Ngga, Fe! Buruan lo naik!
S: Kaga, Cha! Lo turun! Cepet!
TS: Ih, buruan naik!
S: Lo turun! Pokoknya lo turun!
Dan akhirnya saya yang memenangkan seruan via hape itu. Turunlah teman saya dengan muka kebingungan. Saya pun tertawa dan menjelaskan. Berangkatlah kami.
Sepupu teman saya mengendarai mobilnya dengan kencang. "Ngga usah pake rem," katanya. Wow... Saya cuma komat-kamit di dalam hati. Tidak berapa lama teman memberi kabar bahwa yang diwisuda sudah keluar dari ruangan. Makin ketar-ketirlah kami.Pedal gas semakin dalam.
Akhirnya kami sampai dan tempat itu sudah mulai sepi. Tapi, mereka yang diwisuda masih bertahan menunggu saya dan teman saya. Kami masih bertemu untuk mengucapkan selamat dan untuk berfoto bersama (itu juga bagian yang sangat penting :P).
Untungnya saya datang terlambat sehingga tidak ikut dalam perjuangan memendam air mata sampai mata merah seperti yang terlihat pada beberapa mata teman saya. Saya senang akhirnya mereka diwisuda dan saya juga sedih karena saya belum juga diwisuda. Hahaha...
Sisa harinya, nantilah saya lanjutkan. Perjalanan masih setengah hari dan tulisan ini sudah cukup panjang.
Selamat kepada para sahabat dan teman-teman sekalian yang kemarin diwisuda. Semoga sukses dan berhasil.
Batas
Terkadang mulut kita terlalu usil ketika membicarakan sesuatu, mengomentari sesuatu. Terkadang kita bahkan terlalu malas untuk menyadari bahwa kita sudah keterlaluan. Seharusnya kita ingat apa itu yang namanya batas. Saya di dalam, kamu di luar. Saya tidak boleh keluar terlalu luar dan kamu tidak boleh masuk terlalu dalam. Namun, banyak orang yang masuk terlalu dalam dan lupa membersihkan kakinya pada alas yang sudah disediakan di pintu masuk. Hasilnya adalah kekecewaan.
Saya ingat ketika saya sudah keluar terlalu dalam, saya ingat perasaan ketika saya menyesali apa yang telah lakukan. Tapi menyesal toh tidak ada gunanya karena satu detik sudah berlalu dan mulut sudah terlalu usil. Ucapan 'maaf' kemudian seolah-olah menjadi suatu kata ajaib yang harus diucapkan untuk memperbaiki hubungan yang tampak. Yang taktampak? Saya taktahu apakah itu dapat diperbaiki seperti semula ataukah menyisakan setitik noda.
Kadang kita menulis sesuatu ketika kita sedang marah. Hasilnya, tulisan itu juga dipenuhi dengan emosi marah. Beberapa orang berkomentar jauh-jauhlah kalian dari tulisan ketika sedang marah, itu malah akan memperkeruh keadaan. Tapi, ketika saya marah, saya malah dapat melihat keadaan dengan lebih jelas lebih nyata. Saya malah bisa berpikir lebih jernih.
Intinya adalah jangan lupa apa itu batas. Lebih baik jaga jarak jika tidak ingin tertabrak dan masuk ke rumah sakit :P
Saya ingat ketika saya sudah keluar terlalu dalam, saya ingat perasaan ketika saya menyesali apa yang telah lakukan. Tapi menyesal toh tidak ada gunanya karena satu detik sudah berlalu dan mulut sudah terlalu usil. Ucapan 'maaf' kemudian seolah-olah menjadi suatu kata ajaib yang harus diucapkan untuk memperbaiki hubungan yang tampak. Yang taktampak? Saya taktahu apakah itu dapat diperbaiki seperti semula ataukah menyisakan setitik noda.
Kadang kita menulis sesuatu ketika kita sedang marah. Hasilnya, tulisan itu juga dipenuhi dengan emosi marah. Beberapa orang berkomentar jauh-jauhlah kalian dari tulisan ketika sedang marah, itu malah akan memperkeruh keadaan. Tapi, ketika saya marah, saya malah dapat melihat keadaan dengan lebih jelas lebih nyata. Saya malah bisa berpikir lebih jernih.
Intinya adalah jangan lupa apa itu batas. Lebih baik jaga jarak jika tidak ingin tertabrak dan masuk ke rumah sakit :P
Thursday, August 4, 2011
Jatuh Cinta
Seorang teman bercerita pada saya bahwa ia sedang jatuh cinta. Saya tersenyum dan mengeluarkan erangan (atau kata?), “Cieeeeee...”. Saya senang ia memberitahu saya. Saya senang ia jatuh cinta. Saya senang dengan rasa jatuh cinta dan efek dari rasa jatuh cinta itu. Setiap orang pasti pernah jatuh cinta karena setiap orang pasti mempunyai hati.
Ia berkata bahwa ia tidak bisa berhenti tersenyum saat ia memikirkan lelaki itu. Tapi ia menikmatinya. Ia suka membayangkan kembali, menghadirkan kembali bayangan lelaki itu di kepalanya. Ia juga berkata ia sering salah tingkah di depan lelaki itu. Efeknya ia kemudian ia jaim (jaga image). Saya pun tertawa. Saya tahu apa yang ia rasakan. Saya toh pernah jatuh cinta.
Saya suka melihatnya bercerita. Ketika ia membicarakan lelaki itu, matanya berbinar dan mukannya merona (oke, oke, agak sedikit berlebihan :P). Wajah orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ketika menulis ini saya juga turut tersenyum seolah sayalah yang merasakannya.
Apakah setiap perempuan yang jatuh cinta akan memberikan reaksi yang sama seperti teman saya ini? Saya rasa iya. Saya rasa kebanyakan perempuan akan bereaksi sama ketika ia sedang jatuh cinta. Perempuan lebih dekat dengan perasaan.
Saya kemudian mengingat kapan terakhir kali saya jatuh cinta. Hmm... Kesimpulannya, saya jatuh cinta setiap hari! Ya! Setiap hari! Hahaha... Saya jatuh cinta pada orang-orang di sekeliling saya, saya jatuh cinta pada kakek yang menggandeng tangan istrinya ketika menyeberang, saya jatuh cinta pada angin yang bermain-main di dahan pohon yang rimbun, saya jatuh cinta pada kupu-kupu putih yang terbang lunggang-langgang dikejar kucing, saya jatuh cinta pada es teh tarik di siang terik. Saya jatuh cinta setiap hari!
Ini bukan pembelaan, juga bukan pembenaran, ini hanya kebetulan. Saya bisa dengan mudah jatuh cinta pada hal manis sekecil apapun. Saya bisa jatuh cinta pada siapa pun atau pada apapun. Ya, ya. Ini pembelaan :P
Selamat kepada setiap teman yang sedang jatuh cinta. Nikmatilah ketika degupan jantungmu seolah lebih berisik dibanding detik jam di malam yang sunyi. Nikmatilah ketika bibirmu takmau lepas pada satu garis lengkung. Nikmatilah ketika wajahmu memanas dan tidak bisa dikontrol. Nikmatilah hatimu. Toh hati memang mempunyai salah satu tugas seperti itu. Selamat jatuh cinta :)
Ia berkata bahwa ia tidak bisa berhenti tersenyum saat ia memikirkan lelaki itu. Tapi ia menikmatinya. Ia suka membayangkan kembali, menghadirkan kembali bayangan lelaki itu di kepalanya. Ia juga berkata ia sering salah tingkah di depan lelaki itu. Efeknya ia kemudian ia jaim (jaga image). Saya pun tertawa. Saya tahu apa yang ia rasakan. Saya toh pernah jatuh cinta.
Saya suka melihatnya bercerita. Ketika ia membicarakan lelaki itu, matanya berbinar dan mukannya merona (oke, oke, agak sedikit berlebihan :P). Wajah orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ketika menulis ini saya juga turut tersenyum seolah sayalah yang merasakannya.
Apakah setiap perempuan yang jatuh cinta akan memberikan reaksi yang sama seperti teman saya ini? Saya rasa iya. Saya rasa kebanyakan perempuan akan bereaksi sama ketika ia sedang jatuh cinta. Perempuan lebih dekat dengan perasaan.
Saya kemudian mengingat kapan terakhir kali saya jatuh cinta. Hmm... Kesimpulannya, saya jatuh cinta setiap hari! Ya! Setiap hari! Hahaha... Saya jatuh cinta pada orang-orang di sekeliling saya, saya jatuh cinta pada kakek yang menggandeng tangan istrinya ketika menyeberang, saya jatuh cinta pada angin yang bermain-main di dahan pohon yang rimbun, saya jatuh cinta pada kupu-kupu putih yang terbang lunggang-langgang dikejar kucing, saya jatuh cinta pada es teh tarik di siang terik. Saya jatuh cinta setiap hari!
Ini bukan pembelaan, juga bukan pembenaran, ini hanya kebetulan. Saya bisa dengan mudah jatuh cinta pada hal manis sekecil apapun. Saya bisa jatuh cinta pada siapa pun atau pada apapun. Ya, ya. Ini pembelaan :P
Selamat kepada setiap teman yang sedang jatuh cinta. Nikmatilah ketika degupan jantungmu seolah lebih berisik dibanding detik jam di malam yang sunyi. Nikmatilah ketika bibirmu takmau lepas pada satu garis lengkung. Nikmatilah ketika wajahmu memanas dan tidak bisa dikontrol. Nikmatilah hatimu. Toh hati memang mempunyai salah satu tugas seperti itu. Selamat jatuh cinta :)
Lambaian Tangan dan Orang yang Salah
Pernahkah kalian melambaikan tangan kepada orang yang kalian kira kalian kenal dan ternyata kalian salah orang? Yep, saya baru mengalaminya dan beberapa kali lain di hari-hari belakang. Malu. Itu rasa yang muncul ketika kejadian itu terjadi.
Kejadiannya, saya melihat seorang perempuan melambaikan tangan, saya kira kepada saya. Tapi, dari mimik muka bingung ketika ia melihat muka saya, tahulah saya bahwa saya salah orang. Dengan tangan saya yang masih melambai, saya pun membuat gerakan aneh dari akhir lambaian tangan. Ternyata perempuan itu melambai kepada teman saya, bukan saya. Saya kira ia salah satu kenalan saya karena memang wajahnya mirip salah seorang yang saya kenal. Dengan cepat saya berlalu darinya.
Yang bisa saya lakukan ketika berada agak jauh darinya hanya tertawa. Saya tertawa dan memukul kepala sendiri sambil berkata, “Bodoh!”. Hahahaha.. Itu bukan kejadian pertama dan saya masih tetap bodoh. Rasanya agak lucu ketika kita tahu bahwa diri kita bodoh, padahal tadinya kita masih percaya diri bahwa orang itu menyapa diri kita dan sudah seharusnya kita menyapanya kembali.
Tadinya saya ingin terus melambaikan lambaian tangan saya, seperti adegan di film-film, atau sinetron, atau apapun itu, ke arah orang yang berada di belakang orang yang saya salah kenal. Namun sayangnya saya tidak sendiri sehingga saya tidak bisa meneruskan aksi bodoh yang kedua itu. Untunglah tidak terjadi karena mungkin saya akan jadi orang yang bodoh kuadrat.
Lain kali, saya akan berpura-pura menjadi orang yang sombong. Tidak akan menyapa atau melambaikan tangan sebelum orang itu memanggil nama saya. Saya akan lakukan itu. Omong-omong, itu tips yang cukup cerdas :D
Kejadiannya, saya melihat seorang perempuan melambaikan tangan, saya kira kepada saya. Tapi, dari mimik muka bingung ketika ia melihat muka saya, tahulah saya bahwa saya salah orang. Dengan tangan saya yang masih melambai, saya pun membuat gerakan aneh dari akhir lambaian tangan. Ternyata perempuan itu melambai kepada teman saya, bukan saya. Saya kira ia salah satu kenalan saya karena memang wajahnya mirip salah seorang yang saya kenal. Dengan cepat saya berlalu darinya.
Yang bisa saya lakukan ketika berada agak jauh darinya hanya tertawa. Saya tertawa dan memukul kepala sendiri sambil berkata, “Bodoh!”. Hahahaha.. Itu bukan kejadian pertama dan saya masih tetap bodoh. Rasanya agak lucu ketika kita tahu bahwa diri kita bodoh, padahal tadinya kita masih percaya diri bahwa orang itu menyapa diri kita dan sudah seharusnya kita menyapanya kembali.
Tadinya saya ingin terus melambaikan lambaian tangan saya, seperti adegan di film-film, atau sinetron, atau apapun itu, ke arah orang yang berada di belakang orang yang saya salah kenal. Namun sayangnya saya tidak sendiri sehingga saya tidak bisa meneruskan aksi bodoh yang kedua itu. Untunglah tidak terjadi karena mungkin saya akan jadi orang yang bodoh kuadrat.
Lain kali, saya akan berpura-pura menjadi orang yang sombong. Tidak akan menyapa atau melambaikan tangan sebelum orang itu memanggil nama saya. Saya akan lakukan itu. Omong-omong, itu tips yang cukup cerdas :D
Penulis dan Pembaca
Salah satu motivasi saya membuat blog kembali mungkin ada campur tangan dari film Julie and Julia. Film ini salah satu film yang saya gemari karena keriangannya.
Awalnya saya menulis blog agar dapat membantu saya mengingat untuk terus belajar menulis. Menulislah dari hal kecil sekali pun. Tidak masalah ada seorang teman yang berkata kalau saya curhat di blog ini, tidak masalah. Karena saya tahu, sekecil apapun saya menulis, saya berusaha untuk belajar menulis.
Dan saya pun sadar bahwa akhirnya saya tidak hanya sakadar belajar menulis, saya butuh pembaca untuk menuntun saya menulis dengan lebih baik. Menulis hanya untuk dibaca diri sendiri itu tidak enak, tidak ada timbal baliknya. Seperti Julie, saya berharap paling tidak ada seseorang yang setia membaca blog saya.
Saya masih membangun kerajaan di blog saya ini. Saya masih tidak tahu sistem apa yang ingin saya terapkan. Saya hanya menulis dan menulis. Yang penting saya ingat kalau saya bisa menulis. Yah, semoga saja nantinya saya akan menemukan sesuatu yang paling berharga di luar diri saya.
Awalnya saya menulis blog agar dapat membantu saya mengingat untuk terus belajar menulis. Menulislah dari hal kecil sekali pun. Tidak masalah ada seorang teman yang berkata kalau saya curhat di blog ini, tidak masalah. Karena saya tahu, sekecil apapun saya menulis, saya berusaha untuk belajar menulis.
Dan saya pun sadar bahwa akhirnya saya tidak hanya sakadar belajar menulis, saya butuh pembaca untuk menuntun saya menulis dengan lebih baik. Menulis hanya untuk dibaca diri sendiri itu tidak enak, tidak ada timbal baliknya. Seperti Julie, saya berharap paling tidak ada seseorang yang setia membaca blog saya.
Saya masih membangun kerajaan di blog saya ini. Saya masih tidak tahu sistem apa yang ingin saya terapkan. Saya hanya menulis dan menulis. Yang penting saya ingat kalau saya bisa menulis. Yah, semoga saja nantinya saya akan menemukan sesuatu yang paling berharga di luar diri saya.
Subscribe to:
Posts (Atom)