Sometimes, it’s better to be alone because nobody can hurt you.- Hercules, 1997
Karena seorang teman saya menantikan tulisan saya kali ini, maka saya akan mencoba menulisnya. Teman saya, sebut saja namanya Imanuel Kristianto (oke, gw menyebutkan nama asli lo, No :P), ingin tahu apakah saya akan menuliskan kisah menyebalkan tadi subuh (14 Agustus 2011) di blog. Dan karena dia sangat penasaran, saya pun memutuskan untuk curhat lagi di sini. Makasih yah atas usulan lo tentang curhat di blog, No :D
Ceritanya hari ini saya ngambek. Ngambek itu istilah teman-teman saya. Saya sendiri kurang menyukainya. Menurut saya, saya bukan ngambek, tapi marah. Dan cara saya marah adalah saya memisahkan diri dari teman-teman saya. Alasannya, lebih baik saya marah kepada diri sendiri dari pada saya akhirnya meledak di depan teman-teman saya sehingga yang tersisa tinggal penyesalan. Saya cukup ahli untuk mendinginkan kepala dan hati, salah satu caranya adalah keramas di tengah subuh dingin, seperti tadi subuh.
Saya sering kecewa melihat cara teman-teman saya (dan saya sendiri) membuat lelucon. Salah satu caranya adalah menggunakan satu objek penderita untuk di’kata-katai’ atau diisengi. Dan saya sering kali menjadi objek penderita itu, seperti dua hari ini. Ini bukan kali pertama, dan saya tahu ini juga bukan kali terakhir. Saya biasa-biasa saja, saya juga menerima karena saya juga ikut tertawa dan kadang menjadi tersangka pembuat lelucon. Tapi, saya tahu batas ketika objek penderita itu sudah tidak mampu menerima lelucon atas dirinya, karena saya juga merasakannya.
Ketika lelucon-lelucon itu terus menerus diulang, hasilnya tidaklah lucu lagi. Sama halnya jika kamu makan nasi telor dadar selama seminggu tanpa menu variasi lain. Saya pun bosan mendengar hal-hal itu saja yang dibahas. Takada lagi tawa yang keluar dari mulut saya. Yang ada hanyalah rengutan muka masam dan takada kata yang harus saya katakan. Jika sudah seperti itu, saya lebih baik diam. Karena saya tahu jika saya marah-marah, suasana malah menjadi tidak nyaman.
Saya tidak masalah ketika saya dijadikan objek candaan. Teman-teman berkata bahwa saya tidak mudah marah, saya lucu, saya bla bla bla bla.. Saya senang mereka menilai saya seperti itu. Tapi, sama seperti manusia lainnya, saya juga punya batas kesabaran. Limit sabar saya tidak penuh setiap saat. Didorong dengan kurangnya tidur dan suasana dingin, saya pun selesai. Saya marah. Saya diam.
Jeleknya dari kediaman saya adalah banyak orang yang tidak seharusnya terlibat jadi ikut terlibat. Mood saya yang berantakan lantas tidak hanya ditujukan kepada para tersangka. Para saksi mata pun kadang kena imbasnya. Saya jadi kaku. Mulut saya tersenyum, saya bilang saya tidak apa-apa, tapi hati saya panas. Para saksi mata itu kadang merasa dirinya juga sebagai tersangka karena aksi diam saya. Itu buruk sekali. Saya masih belajar untuk mengendalikan emosi saya yang seperti itu.
Mungkin beberapa orang menganggap saya ngambek seperti anak kecil. Tidak masalah. Saya mengakui bahwa saya memang masih anak kecil. Saya belum siap untuk dewasa karena memecahkan masalah dengan cara dewasa itu rumit. Saya lebih baik berlindung di balik sisi anak kecil saya.
Semua orang boleh mengekspresikan rasa marahnya. Lalu kenapa saya tidak boleh mengekspresikan rasa marah saya dengan cara demikian? Apakah ekspresi orang marah yang lain tidak lebih jelek dari cara saya marah? Saya memilih jalan ini. Menurut orang itu aneh, menurut saya ini alternatif yang paling baik. Sendiri kadang lebih baik.
Saya tidak mengerti jika ada orang yang tidak mengerti kenapa saya bisa marah sedemikian rupa. Saya tidak mengerti ketika dia tidak menyadari bahwa dia juga masuk ke dalam orang-orang yang membuat saya marah. Dan saya tidak mengerti mengapa tidak ada yang pernah meminta maaf kepada saya. Bukannya saya haus dengan kata maaf, tapi terkadang saya butuh ucapan itu. Seingat saya, tidak ada satu teman pun yang mengucapkan kata itu, dan seingat saya lagi, banyak teman yang lari ketika saya katakan bahwa dia juga bersalah. Sering kali saya lalui hal ini. Dan saya pasti akan melalui hal ini lagi nanti.
Yah, karena bumi ini bulat dan jam selalu kembali ke pukul 00.00, saya harus setiap saat mengisi hati saya dengan kesabaran. Kali lain hal ini pasti akan terjadi. Saya harus siap dan mereka juga harus siap menanggapi rasa marah saya. Katanya orang sabar itu dikasihi Tuhan. Semoga Tuhan juga mengasihi saya seperti Dia juga mengasihi orang-orang yang tidak sabar. Amin.
ngmg lgsg ke orangnya dong kk. capek klo harus selalu kompromi sm diri sendiri kan. sekali2 org laen yg harus kompromi sm kita.
ReplyDeletearif hidayah pernah minta maaf fe,tepat satu tahun yang lalu agustus ini.
ReplyDeletedan gw sepakat dengan komen noel di atas, kalian nampak harus mulai ngobrol dengan benar,hahahai
skripsi itu fe,masih sabar nunggu untuk dijamah,upssss :) punten feee
@noel: makasih loh sarannya, no. masalahnya, untuk ngomong langsung sama orangnya itu susah buat gw. gw selalu ngga bisa ngomong baik-baik secara verbal, yang ada nanti malah marah-marah ngga jelas. masih berusaha kok gw. makasih sekali lagi, kakakk :)
ReplyDelete@teti: yang mana yah, te? setahun kemarin? hmmm.. ingatan gw agak hilang. hahahaha.. beneran deh, gw lupaaaa..
kalian itu siapa, te? kuang spesifik kayanya.
skripsi? dia masih sabar di kamar saya.
PS: mungkin waktu tidak cukup sebentar untuk tahu kemasan dalam seorang teman. tidak ada yang sebentar atau yang lama untuk ingin tahu bagaimana sifat seseorang itu. jika tidak tahu sama sekali, apa artinya waktu yang sudah dihabiskan bersama orang itu? apakah detik demi detik yang kemudian tinggal kenangan tidak menjadi penting? (ini agak serius :P)
ah kamu mah fega,pas kita di garut itu si arif,hahahai
ReplyDeletetiba2 pengen peluk fegaaaaa
sabar itu gkda batasnya....ketika menemu batas sabar simple, berarti kita belum sepenuhnya bisa sabar...hehe...sama fe gue juga atau siapapun pasti punya titik seperti ini tapi semua orang pun punya cara yg beda2...kau dengan menuliskannya
ReplyDelete#eh ini emang buat arif ya?
bukan, chaaa.. ini bukan buat arip. ini buat aku sendiri. hahaha..
ReplyDelete