Saya tidak terlalu nyaman dengan kota besar seperti Jakarta. Saya rikuh. Saya canggung. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang yang tidak sabar tapi masih saja tinggal di sana. Saya selalu tidak mengerti mengapa banyak orang tidak percaya bahwa masih banyak tempat selain Jakarta jika mereka ingin bertahan hidup.
Rumah saya di Tangerang, sama padatnya dengan Jakarta. Dan saya selalu takut untuk menjejaki setiap kilometer tanahnya. Saya sering tidak percaya dengan orang-orang asing yang lalu-lalang di sekitar saya. Saya sering tidak nyaman. Pikiran-pikiran negatif kadang muncul ketika melihat wajah-wajah yang tidak menyenangkan.
Tapi saya suka bangunan-bangunan tinggi di Jakarta. Entah sudah berapa ratus kali saya melihat gedung-gedung itu, saya tidak pernah bosan. Saya suka ketika cahaya-cahaya bermain di kaca gedung-gedung tinggi itu. Mereka indah. Mereka berkuasa di jalan-jalan padat Jakarta.
Kemarin, setelah hampir dua bulan saya menjauh dari Jakarta, saya pulang. Lewat di sebuah pasar, saya pusing. Banyak suara klakson kendaraan yang masuk ke telinga saya. Saya tidak terlalu suka dengan keramaian dan saya benci dengan suara klakson yang dibunyikan dengan bertubi-tubi. Banyak pengguna kendaraan yang suka menggunakan klakson. Mereka tidak sabaran. Mereka selalu ingin lebih dahulu dibanding pengendara yang lain. Mereka tidak peduli bahwa ada orang-orang seperti saya yang terganggu dengan suara klakson kendaraan mereka.
Saya putuskan untuk turun dan berjalan kaki. Seharusnya saya bisa naik angkutan umum atau naik ojek untuk sampai ke rumah saya. Tapi saya putuskan saya lebih baik berjalan kaki. Saya berhenti di depan perumahan. Saya dapat melewati jalan pintas di belakang perumahan tersebut untuk menuju perumahan saya. Daripada saya pusing karena polusi udara, polusi suara, dan polusi hati, lebih baik saya berjalan di bawah terik matahari. Untungnya, angin menemani saya.
Sepanjang perjalanan, saya tidak bertemu dengan pejalan kaki yang lain. Padahal itu sebuah perumahan. Motor lalu-lalang dan pengendaranya melihat saya dengan muka bertanya-tanya. Saya menyimpulkan dari mimik muka mereka bahwa mereka bingung kenapa saya berjalan kaki di siang bolong seperti itu. Saya kemudian menyayangkan bahwa mereka mungkin sudah lupa rasanya berjalan kaki. Mereka terlalu bergantung dengan kendaraan-kendaraan yang memudahkan mereka mencapai suatu tempat dengan waktu yang lebih cepat.
Saya sampai di rumah dengan perasaan yang lebih tenang. Panas sudah bukan kendala, karena saya berteman dengannya sejak saya turun dari angkutan umum. Hati saya pun lebih tenang, saya tidak marah-marah kepada pengguna kendaraan yang seenak tangannya memencet klakson.
Setelah menaruh barang, saya menuju dapur. Segelas sirup dingin melengkapi siang saya yang menyenangkan itu.
No comments:
Post a Comment