Aha! Selamat tanggal 28 Oktober pemuda dan pemudi Indonesia. Semoga kaum muda Indonesia semakin satu dan padu.
Selamat ulang tahun juga untuk adik saya, Okky, yang ke-19. Semoga menjadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih bijaksana. Semoga kamu bisa mengerti kalau dunia ini ternyata begitu rumit untuk dicerna :)
Friday, October 28, 2011
Oktober dan Bahasa
Bertepatan dengan peringatan bulan bahasa pada
bulan Oktober ini, Gelanggang, Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad,
mengadakan sebuah acara Kami, Oktober, dan Bahasa tanggal 26-27 Oktober
kemarin di Auditorium Bale Santika Unpad. Rangkaian acaranya berupa lomba
pidato untuk mahasiswa asing, lomba pidato untuk mahasiswa Indonesia, lomba membuat
puisi, diskusi, dan beberapa hiburan seni.
Saya tidak mengikuti acara ini dari awal. Saya
hanya hadir pada hari kedua ketika ada pementasan Teater Djati. Setelah pementasan
rencananya saya akan pulang, tapi ternyata ditahan oleh seorang teman untuk
mengikuti diskusi. Diskusi ini bertema Bahasa dalam Dunia Media Massa Kini
dengan pembicaran Bapak Teddi Muhtadin dan Bapak S. Sahala Tua Saragih. Diskusi
ini lebih mengerucut pada penggunaan bahasa Inggris pada berita di media massa,
atau lebih dikenal dengan istilah campur kode (kalau istilah Pak Sahala bahasa
gado-gado).
Ternyata tidak salah saya ditahan oleh teman
saya untuk mengikuti diskusi ini. Diskusi berjalan dengan baik dan menarik
untuk saya. Mahasiswa yang hadir, meskipun kebanyakan adalah panitia, cukup
tertib menyimak berbagai persoalan yang disampaikan.
Ketika sesi tanya-jawab dimulai, berbagai
pertanyaan muncul. Ada yang pro, ada yang kontra. Semua dapat ditanggapi dengan
jawaban yang dapat memuaskan saya.
Satu hal yang dapat saya simpulkan dari
diskusi ini, yang sudah disimpulkan pula oleh moderator (Indra Sarathan),
adalah untuk dapat mencintai bahasa Indonesia kita harus mencintai tanah air
kita ini.
Pernyataan kedua teman saya, Eka dan Upil,
pada sesi tanya-jawab menggugah saya, agak membuat saya risih. Eka mengatakan
bahwa bahasa Inggris lebih praktis dibandingkan bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Indonesia, ada banyak kata yang harus ditempatkan pada hal yang tepat,
misalnya, kata ‘saya’ mempunyai begitu banyak variasi, seperti aku, hamba,
beta, dan sebagainya, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada satu, yaitu ‘I’.
Upil pun sepakat dengan pernyataan Eka.
Menurut saya, penggunaan kata saya, aku,
hamba, beta justru malah akan membuat bahasa kita semakin unik. Penggunaan kata-kata
tersebut di saat yang tepat tentu akan menjadikan makna yang dihasilkan
berbeda. Kata ‘saya’ lebih formal daripada kata ‘aku’, penggunaan kata ini pun
akan memperlihatkan jarak antara dua orang yang sedang berbincang. Kata ‘hamba’
kerap digunakan untuk orang yang status sosialnya lebih rendah dibanding orang
yang diajak bicara, banyak kita temui dalam cerita-cerita kerajaan pada masa
lalu. Sedangkan kata ‘I’ akan menyamaratakan dan tidak menjadikan perbedaan
antara orang yang diajak bicara.
Saya punya pendapat sendiri mengapa banyak
orang yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam
penggunaannya sehari-hari. Objek yang saya perhatikan adalah remaja-remaja dan
orang-orang yang saya temui dalam keseharian saya. Banyak yang menggunakan kata-kata
dalam bahasa Inggris untuk menyampaikan maksudnya karena tidak dapat menemukan
padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Zaman sekarang banyak yang sudah
diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak mereka masih kecil, sehingga
kata-kata itu lebih melekat pada mereka. Ini artinya mereka memang sudah
terbiasa dengan bahasa Inggris sehingga jauh lebih mengenal bahasa Inggris
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Ada pula yang menggunakan bahasa Inggris
karena dengan bahasa Inggris mereka akan lebih terpandang (hmmm.. mungkin
istilah kasarnya akan terlihat lebih gaul). Saya tidak hanya semata-mata
menyimpulkan secara kasar karena hal ini berdasarkan kenyataan. Ada beberapa
teman yang mengaku bahwa jika ia berbicara campur kode seperti itu ia akan
terlihat lebih keren. Padahal belum tentu bahasa Inggris yang digunakan benar.
Teringat sebuah percakapan antara saya dan
seorang teman, Si A. Di timeline twitter kami ada seorang teman, Si B,
yang belakangan lebih sering berujar dengan menggunakan bahasa Inggris padahal Si
B ini satu jurusan dengan saya. Memang tidak ada salahnya ia menggunakan bahasa
Inggris, tapi ternyata bahasa Inggris yang digunakan oleh Si B ini berantakan. Kemudian
saya menilai, saya tentu mengenal dengan baik Si B ini, bahwa ketika ia
menuliskan kalimat-kalimat dengan menggunakan bahasa Inggris, ia merasa
dipandang lebih keren oleh orang-orang yang membaca twitter-nya.
Dari dulu saya selalu tertarik dengan bahasa
Indonesia. Mungkin karena saya suka membaca. Kebiasaan membaca membuat saya
kemudian masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Tapi tidak semua mahasiswa Sastra
Indonesia mengagung-agungkan bahasa Indonesia, apalagi teman-teman sepermainan
saya. Banyak yang bertanya (aku ini mau jadi apa *lho kok nyanyi :P) mengapa
saya masuk Sastra Indonesia, apakah saya tidak cukup belajar bahasa Indonesia
dari TK sampai SMA. Begitu pesimisnya mereka terhadap Sastra Indonesia dan
bahasa Indonesia.
Belajar bahasa Indonesia kerap kali membuat
telinga saya agak sensitif terhadap penggunaan kata-kata yang salah. Acap kali
saya membetulkan kata yang diucapkan seorang teman ketika ia bicara, misalnya
ia menggunakan kata ’dirubah’ dan kemudian saya membetulkannya menjadi ‘diubah’.
Kadang ada yang menerima, kadang ada yang kesal saya sok-sokan membetulkan
ucapannya. Maksud saya toh baik, paling tidak saya bisa memberitahu mereka mana
kata yang tepat dan mana yang tidak. Tapi ternyata tidak semua teman menganggap
hal itu penting.
Tidak ada yang bisa disalahkan ketika tidak
semua orang Indonesia bangga pada bahasa Indonesia. Dunia sekarang begitu maju,
banyak kebutuhan lain yang lebih penting. Tapi apakah melestarikan dan
mengembangkan bahasa Indonesia tidak cukup penting? Mungkin memang banyak yang
tidak cinta pada tanah air kita ini, atau mereka cinta tapi tidak begitu
memperdulikan bahasa yang menyatukan berbagai suku dan budaya ini.
Tuesday, October 25, 2011
Les Choristes (The Chorus)
Film Les Choristes (The Chorus) dibuat
pada tahun 2004. Kalau tidak salah pertama kali saya tonton film ini sekitar
tahun 2008/2009. Dan belakangan ini, saya berkali-kali lagi menontonnya.
Masalah muncul ketika seorang anak nakal, Mondain, pindah ke sana. Ia tidak mau menaati peraturan. Ia menghasut beberapa anak untuk tidak percaya pada guru, bahkan pada diri mereka sendiri. Mondain beberapa kali terlibat masalah, beberapa kali pula ia dikurung. Sampai pada akhirnya ia kabur dan ditangkap oleh polisi. Ia dibawa kembali ke Fond de L’Etang. Ia juga dituduh mencuri uang untuk kebutuhan sekolah. Dan kemudian dia dikembalikan ke sekolahnya yang dulu.
Film ini bercerita tentang seorang pengawas
sekolah bernama Clement Mathieu. Mathieu mulai bekerja di Fond de L’Etang pada
tanggal 15 Januari 1949. Fond de L’Etang adalah sebuah sekolah dan
asrama milik pemerintahan yang menampung anak-anak miskin dan terlantar.
Mathieu pada dasarnya seorang musisi. Awalnya
ia tidak ingin melanjutkan hasrat menulis musiknya, namun ketika ia mendengar
anak-anak itu bernyanyi, ia mulai menemukan ide-idenya. Ia kemudian membentuk
paduan suara. Anak-anak yang kebanyakan nakal itu dilatihnya bernyanyi.
Tidak hanya mengajarkan musik, Mathieu pun
membawa suasana baru di tempat itu. Kepala sekolahnya, Rachin, merupakan
seorang pria yang keras dan disiplin. Motonya adalah Action, Reaction! Jika
seorang anak berbuat salah, ia akan mendapatkan hukuman yang setimpal, biasanya
hukuman kurungan, pukulan, dan membersihkan sekolah. Tapi Mathieu tidak turut
menerapkan displin semacam itu.
Clement Mathieu |
Seorang anak dengan suara indah memikat Mathieu
dan saya (lho). Anak itu bernama Pierre Morhange. Wajahnya tampan, menarik,
bahkan dapat dikatakan cantik. Julukannya adalah wajah malaikat. Tapi ia nakal.
Ia mencoba untuk menjadi anak nakal. Mungkin untuk menujukkan bahwa ia seorang
anak lelaki, tidak peduli wajahnya rupawan.
Lagu-lagu indah disajikan dalam film ini. Dengan
suara emas Morhange dan keahlian Mathieu, musik dapat didengar dipenjuru
sekolah. Bangunan yang tadinya suram tampak lebih hidup.
Pierre Morhange |
Masalah muncul ketika seorang anak nakal, Mondain, pindah ke sana. Ia tidak mau menaati peraturan. Ia menghasut beberapa anak untuk tidak percaya pada guru, bahkan pada diri mereka sendiri. Mondain beberapa kali terlibat masalah, beberapa kali pula ia dikurung. Sampai pada akhirnya ia kabur dan ditangkap oleh polisi. Ia dibawa kembali ke Fond de L’Etang. Ia juga dituduh mencuri uang untuk kebutuhan sekolah. Dan kemudian dia dikembalikan ke sekolahnya yang dulu.
Kebaikan dan kepercayaan Mathieu terhadap
anak-anak dan musik membawa pengaruh baik pada sekolah itu. Guru-guru lain yang
awalnya keras, mulai menunjukkan sifat aslinya. Bahkan sifat keras Rachin pun
mulai sedikit mencair.
Di akhir diceritakan terjadi kebakaran di Fond
de L’Etang. Saat itu tidak ada siapa-siapa di sana. Rachin sedang
menghadiri rapat, guru-guru sedang pergi berlibur, dan Mathieu mengajak
anak-anak keluar untuk menikmati udara musim panas. Ternyata kebakaran itu
disebabkan oleh Mondain. Mungkin ia kabur dari sekolahnya. Ia dendam pada
Rachin yang menuduhnya mencuri uang sekolah, yang memang bukan ia yang
mencurinya, dan akhirnya membakar Fond de L’Etang.
Rachin memecat Mathieu karena Mathieu
meninggalkan sekolah bersama murid-muridnya tanpa persetujuan Rachin. Mathieu
pun pergi tanpa perpisahan dengan anak didiknya. Namun anak-anak itu tahu ia
dipecat. Mereka menerbangkan kertas-kertas yang bertuliskan ‘Selamat tinggal’
kepada Mathieu dari jendela kelas. Mereka melambaikan tangan dan bernyanyi. Mereka
bahkan mengunci diri mereka di kelas.
Pepinot, seorang anak yatim-piatu, memaksa
ikut dengannya. Awalnya Mathieu menolak, namun akhirnya ia membawa serta
Pepinot.
Setelah Mathieu pergi, guru-guru yang lain,
Chambert dan Mr. Langlois, serta penjaga sekolah, Maxence, melaporkan
keburukan-keburukan Rachin. Rachin pun harus pergi dari Fond de L’Etang.
Morhange keluar dari sekolah itu. Ia hidup bersama ibunya dan bersekolah di
Lyon.
Pepinotlah yang membawa buku harian Mathieu
kepada Morhange lima puluh tahun kemudian. Ia memberikan buku harian itu untuk
menujukkan kebenaran yang terjadi selama hidup di Fond de L’Etang. Morhange
saat itu sudah menjadi seorang komposer yang terkenal. Berkat Mathieulah, Morhange
mendapatkan beasiswa di sekolah musik Lyon.
Alasan saya menyukai film ini mungkin karena
dalam film ini ada lagu-lagu indah yang nyaman di telinga saya. Saya suka film
yang berkaitan dengan musik dan lagu-lagu, seperti Tangled, Copying
Beethoven, August Rush, Lion King, dan sebagainya.
Tidak hanya lagu, saya suka pemikiran Mathieu
yang percaya bahwa kekerasan bukanlah jalan satu-satunya untuk menerapkan
disiplin. Ia menggunakan bakat, intuisi, dan kesabaran. Ia merangkul satu
persatu anak. Ia beri mereka kepercayaan dan harapan. Dan itu berhasil. Anak-anak
yang awalnya nakal itu berubah. Mereka dapat menjadi lebih disiplin
dibandingkan ketika mereka diberi kekerasan.
Mathieu juga bukan orang yang memikirkan diri
sendiri. Ia jatuh cinta kepada ibu Morhange, Violetta. Namun ternyata cintanya
taksampai. Violetta menemukan pria lain dan menganggap Mathieu adalah seorang
yang membawa keberuntungan bagi hidupnya. Bisa saja ia melampiaskan rasa patah
hatinya kepada Morhange, tapi memang pada dasarnya ia baik hati, ia malah terus
mendorong Morhange untuk berkarya.
Sunday, October 23, 2011
Aksi dan Reaksi
Ada aksi, ada reaksi.
Aksi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) memiliki empat arti, yaitu 1 gerakan; 2 tindakan; 3 sikap (gerak-gerak,
tingkah laku) yang dibuat-buat; 4 elok sekali (tentang pakaian, tingkah laku,
dan sebagainya) (Alwi, dkk, 2007: 22).
Reaksi, menurut KBBI memiliki tiga arti, yaitu
1 kegiatan (aksi, protes) yang timbul akibat suatu gejala atau suatu peristiwa;
2 tanggapan (respon) terhadap suatu aksi; 3 perubahan yang terjadi karena
bekerjanya suatu unsur (obat) (Alwi, dkk, 2007: 936).
Kalimat “Ada aksi, ada reaksi” sering kali
muncul dalam film The Chorus ‘Les Choristes’. Moto ini digunakan untuk
mendisiplinkan anak-anak lelaki dalam sekolah (?) untuk anak-anak yang nakal
dan yatim piatu. Saya tidak akan membahas film itu kali ini. Mungkin di kali
lain saya akan membahasannya. Pesan saya, sila tonton film ini!
Arti ‘aksi’ yang saya maksud adalah tindakan
dan arti ‘reaksi’ yang saya maksud adalah tanggapan (respon) terhadap suatu
aksi.
Contoh sederhananya, ketika seseorang
memukulmu (sebuah aksi) tanggapan yang akan kamu lakukan 1 menjerit kesakitan;
2 membalas memukul; 3 marah dan pergi; atau pun tanggapan yang lain (reaksi). Contoh
sederhana lainnya, ketika kamu diberi makanan atau minuman kamu akan
membalasanya dengan ucapan “Terima kasih”.
Aksi dan reaksi ini selalu akrab di kehidupan
kita tiap harinya, sadar atau tidak sadar. Semua penuh dengan aksi dan reaksi. Tidur
adalah reaksi dari rasa kantuk, makan adalah reaksi dari rasa lapar, membalas
adalah reaksi dari memberi. Yak, tulisan saya mulai berputar-putar.
Menonton film ini (saya sudah bilang saya
tidak akan membahasnya) menyadarkan saya bahwa saya sepenuhnya sadar akan aksi
dan reaksi yang ada di kehidupan saya sehari-hari. Ketika saya disakiti, saya
akan mempertahankan diri sebisa saya, dan ketika sudah tidak bisa bertahan saya
akan balas menyakiti. Ada kalanya saya sadar bahwa reaksi yang saya munculkan
itu sebenarnya negatif. Saya sadar sepenuhnya. Sangat sadar. Ada kalanya juga
saya memberikan diri saya sebuah tantangan ketika saya memberikan suatu reaksi.
Misalnya, saya (diberi aksi) ditanya kapan saya lulus oleh seorang teman yang
belum lulus, kemudian saya (akan bereaksi) bertanya balik kepada teman saya
itu. Reaksi yang saya berikan kemudian akan menjadi sebuah aksi bagi teman saya
yang kebanyakan hanya memberikan senyuman masam dan kecut sampai bisa diperas
sampai menjadi segelas es jeruk yang nikmat
Kadang reaksi yang saya munculkan, yang kemudian
menjadi aksi bagi orang lain itu, menjadi negatif. Reaksi akhirnya adalah muka
yang sangat masam seperti sebuah jeruk yang busuk, reaksi paling akhirnya
adalah tidak saling menyapa alias diam-diaman. Saya diam di sini, dia diam di
sana.
Reaksi diam ini juga sebenarnya merupakan
sebuah aksi tantangan bagi saya dan bagi orang itu. Siapa yang mampu berdiam
diri paling lama adalah dia yang menang. Tentu saja tidak benar! Tidak ada yang
menang dan tidak ada yang kalah dalam aksi-reaksi seperti ini. Ini merupakan
sebuah tindakan bodoh (sebenarnya saya tidak suka kata ini, tapi saya ‘mati
gaya’) yang biasa dilakukan oleh anak kecil ketika ia minta permen kepada
orangtuanya tapi tidak diberikan. Anak kecil itu ngambek. Sedangkan saya
sudah bukan anak kecil lagi, meskipun banyak yang bilang saya seperti anak
kecil. Tapi, mana ada anak kecil yang bisa nulis (sok) bijaksana seperti ini. Hahahaha...
Ada yang berkata bahwa reaksi yang paling
spontan adalah reaksi yang paling jujur yang diberikan orang itu. Misalnya,
seorang bertanya, “Emangnya saya jelek, yah?” lalu lawan bicara menjawab, “Iya.
Eh, ngga juga kok.”. Jawaban yang paling jujur adalah “Iya” karena itu reaksi
spontan yang ia keluarkan. Kata “Eh, ngga juga kok.” sebenarnya merupakan suatu
aksi yang dimunculkan agar orang tersebut tidak terlalu sakit hati.
Sakit hati atau tidak sakit hati merupakan
persoalan lain. Ia berasal dari pengolahan aksi dan reaksi. Hal itu bisa saja ditentukan
dari berapa persen kadar kedewasaan yang kamu miliki. Semakin kamu dewasa, kamu
akan tahu bahwa kadang kejujuran itu sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri.
Semakin kamu bisa mengembangkan diri, kamu akan semakin dewasa. Lagi-lagi, ada
aksi, ada reaksi.
Kadang, tidak ada salahnya kita memikirkan
kembali reaksi yang akan kita munculkan. Waktu toh bisa menunggu. Ketika reaksi
yang kita berikan malah menjadi sebuah aksi yang tidak menguntungkan kedua
belah pihak, waktu tidak akan berjalan mundur untuk memberikan kesempatan kita
memperbaikinya.
Kadang pula, kata “Maaf” itu merupakan kata
ajaib yang bisa melunturkan tembok yang dibangun dengan semen berkualitas
terbaik. Kadang pula lagi, kata “Maaf” itu perlu diucapkan bagi mereka yang
sering kalian sakiti.
Tuesday, October 18, 2011
Bruno Mars - Count on Me
Berawal dari buka jejaring sosial Facebook saya melihat video ini di-share oleh teman saya. Lagu Bruno Mars dengan judul Count on Me. Seketika saya langsung mencintai lagu ini. Sederhana, lucu, dan menarik. Sila dilihat.
If you ever find yourself lost in the dark and you can't see
I'll be the light to guide you
Find out what we're made of
What we are called to help our friends in need
You can count on me like one, two, three
I'll be there and I know when I need it
I can count on you like four, three, two
And you'll be there 'cause that's what friends
Are supposed to do, oh yeah, ooh, ooh
You'll always have my shoulder when you cry
I'll never let go, never say goodbye
Monday, October 17, 2011
Mei 1998
Hakuna matata. Jangan khawatir.
Sebuah broadcast message singgah di handphone
saya. Isinya tentang peringatan kepada orang-orang keturunan Tionghoa di
Jakarta dan sekitarnya. Kabarnya akan ada aksi demo untuk menurunkan presiden,
seperti peristiwa tahun 1998 yang lalu. Dikhawatirkan akan ada peristiwa
kerusuhan lagi seperti tahun berdarah itu. Ini bukan kali pertama saya
mendapatkan message seperti itu. Dan tiap kali saya membacanya,
kerongkongan saya seperti disumbat.
Saya coba berpikir positif. Saya berpikir
bahwa kerusuhan itu tidak akan pernah terjadi lagi. Manusia akan terus berubah.
Pasti menuju hal yang lebih baik. Namun, tetap saja kegelisahan dan kenangan
pahit menderas di kepala saya.
Peristiwa Mei 1998 itu muncul di mata saya. Lagi-lagi
bukan kali pertama. Dan perasaan saya tetap sama. Saya masih takut.
Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 4
SD, hanya seorang anak kecil yang awalnya tidak tahu apa-apa. Pagi itu saya
marah kepada papa saya yang tidak mengizinkan saya sekolah. Tidak ada pesan
apa-apa, saya hanya disuruh berganti baju dan disuruh tidak meninggalkan rumah.
Berkelebat bayangan papa saya yang putus asa
di depan telepon menanti kabar, bayangan saya dan seisi keluarga menunggu mama
yang takkunjung pulang dari toko, memantau televisi yang isinya berita-berita
mengerikan, bayangan papa yang menyuruh kami lari ke sawah jika rumah kami diserbu
oleh orang-orang yang pasti tidak kami kenal, bayangan kegelisahan dan
kesedihan.
Peristiwa satu hari yang membekas sampai hari
ini. Selalu diingatkan bahwa saya dan keluarga harus hati-hati. Saya masih
bertanya-tanya, bahkan sampai sekarang, apa salah kami orang yang hanya
keturunan Tionghoa? Undian apa yang menyebabkan kami terpilih menjadi korban? Saya
tetap tidak menemukan jawabannya.
Sering kali kata ”Cina” membuat pikiran saya
terlontar pada peristiwa Mei tersebut. Saya gusar. Bahkan saya lebih suka
mengatakan bahwa saya ini bukan orang Cina, saya orang Indonesia. Kadang saya
merasakan bahwa ketika saya berkata seperti itu saya marah. Saya marah karena
saya tidak dianggap Indonesia seperti orang Indonesia lainnya. Kalimat itu juga
merupakan bentuk kekecewaan saya pada orang-orang yang tidak bisa lepas dari
kenangan masa lalu. Hidupnya hanya berputar, menjadikan masa lalu sebagai
pedoman hidup.
Saya berkali-kali gelisah, berharap kejadian
Mei itu tidak akan pernah terulang lagi di negara yang saya cintai ini. Di mana
saya harus tinggal selain di rumah sendiri? Tapi bahkan rumah itu sering kali
membuat sekat yang meninggalkan jejak busuk. Saya gelisah. Gelisah.
Hakuna matata. Jangan khawatir.
Friday, October 7, 2011
abaikan ini :P
Semua akan lebih mudah dan lebih indah kalau kamu memandangnya dari pandangan orang yang berbeda. Entah itu tentang kuliah, pekerjaan, cinta, keluarga, dan sebagainya.
Kadang, kita merasa iri akan hidup orang lain. Seperti saya iri pada tokoh-tokoh utama dalam film-film yang happy ending. Kita iri karena mereka mendapatkan apa yang tidak kita dapatkan. Tapi, apakah kita sadari bahwa sesungguhnya setiap pribadi pasti punya masalah yang tentu saja tidak kita ingini? Kadang kita lupa itu. Kita hanya tahu sebuah akhir yang bahagia. Kita iri pada pekerjaan teman yang jauh lebih baik ketimbang pekerjaan yang kita kerjakan. Kita iri pada seorang putri yang hidup mewah tanpa beban dan senyum senantiasa singgah di bibir eloknya. Kita iri pada banyak hal.
Tidak ada yang hidup sempurna. Semua punya permasalahannya masing-masing. Hal lain yang kita lupa, kita lupa bersyukur. Saya yang sering lupa bersyukur atas apa yang saya terima.
Okey, tulisan ini agak mengganggu. Saya jadi sok bijaksana :P
Kadang, kita merasa iri akan hidup orang lain. Seperti saya iri pada tokoh-tokoh utama dalam film-film yang happy ending. Kita iri karena mereka mendapatkan apa yang tidak kita dapatkan. Tapi, apakah kita sadari bahwa sesungguhnya setiap pribadi pasti punya masalah yang tentu saja tidak kita ingini? Kadang kita lupa itu. Kita hanya tahu sebuah akhir yang bahagia. Kita iri pada pekerjaan teman yang jauh lebih baik ketimbang pekerjaan yang kita kerjakan. Kita iri pada seorang putri yang hidup mewah tanpa beban dan senyum senantiasa singgah di bibir eloknya. Kita iri pada banyak hal.
Tidak ada yang hidup sempurna. Semua punya permasalahannya masing-masing. Hal lain yang kita lupa, kita lupa bersyukur. Saya yang sering lupa bersyukur atas apa yang saya terima.
Okey, tulisan ini agak mengganggu. Saya jadi sok bijaksana :P
Tuesday, October 4, 2011
Khayalan Penghilang Stress
Berkhayal adalah salah satu cara yang mudah untuk lari dari stress. Saya suka melakukannya. Bukan berkhayal tentang masa depan, tapi berkhayal kita ada di suatu tempat yang damai. Yang perlu kamu lakukan hanyalah memejamkan mata dan biarkan imajinasimu berkerja. Sedikit senyum di bibir kadang bisa membantu :)
Dalam khayalan saya, kamar saya berubah menjadi padang rumput yang tenang. Kasur dan karpet berubah menjadi rerumpuan hijau yang halus di ujung telapak kaki ketika mereka menyentuhnya. Air yang mengalir dari keran kamar mandi berubah menjadi deretan sungai jernih yang dangkal. Di sana ikan-ikan bersayap jingga berloncat-berlomba mencari udara. Cahaya mouse berubah menjadi lengkung pelangi di seberang sungai.
Matahari berwarna kuning telur. Awan-awan berbentuk permen lolipop dengan senyum teruntai di wajahnya. Langit biru, jernih.
Ada suara burung. Burung-burung kertas hinggap di tangkai-tangkai pohon ara. Suranya beradu dengan simfoni ricik air dan denting bel sapi perah. Klining. Klining. Klining.
Bunga-bunga beraneka warna ajaib memekarkan mahkotanya. Mereka menabur madu, mengundang kupu-kupu kuning cerah, putih gading, biru kehijauan, merah merona untuk hinggap di atasnya. Kunang-kunang hilir-mudik membawa wangi yang manis pada tubuhnya yang menyala oranye.
Angin-angin centil bermain di ujung telinga. Lalu ia singgah di pipi dan mulai menarik-narik ujung rambut. Suaranya riang, mereka minta diperhatikan. Mereka menyanyi lagu senang. Mereka sibuk menari. Mereka tersenyum.
Kelinci-kelinci berbulu kapas muncul dari balik pohon. Mereka mendekat, meninggikan telinga. Minta dielus kedua telinganya. Halus.
Saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan. Saya bernyanyi bersama angin, menari bersama kupu-kupu dan para kelinci, saya berlomba dengan ikan-ikan bersayap jingga, saya nikmati manis awan permen lolipop. Saya berada di dunia yang menyenangkan.
Saran saya, jangan terlalu lama kamu berkhayal. Khayalan memang indah, tapi ia semu. Cukupkan. Mudah-mudahan setelah sadar dari khayalanmu, kamu akan merasa sedikit segar dan menemukan semangat baru. Selamat mencoba :)
Dalam khayalan saya, kamar saya berubah menjadi padang rumput yang tenang. Kasur dan karpet berubah menjadi rerumpuan hijau yang halus di ujung telapak kaki ketika mereka menyentuhnya. Air yang mengalir dari keran kamar mandi berubah menjadi deretan sungai jernih yang dangkal. Di sana ikan-ikan bersayap jingga berloncat-berlomba mencari udara. Cahaya mouse berubah menjadi lengkung pelangi di seberang sungai.
Matahari berwarna kuning telur. Awan-awan berbentuk permen lolipop dengan senyum teruntai di wajahnya. Langit biru, jernih.
Ada suara burung. Burung-burung kertas hinggap di tangkai-tangkai pohon ara. Suranya beradu dengan simfoni ricik air dan denting bel sapi perah. Klining. Klining. Klining.
Bunga-bunga beraneka warna ajaib memekarkan mahkotanya. Mereka menabur madu, mengundang kupu-kupu kuning cerah, putih gading, biru kehijauan, merah merona untuk hinggap di atasnya. Kunang-kunang hilir-mudik membawa wangi yang manis pada tubuhnya yang menyala oranye.
Angin-angin centil bermain di ujung telinga. Lalu ia singgah di pipi dan mulai menarik-narik ujung rambut. Suaranya riang, mereka minta diperhatikan. Mereka menyanyi lagu senang. Mereka sibuk menari. Mereka tersenyum.
Kelinci-kelinci berbulu kapas muncul dari balik pohon. Mereka mendekat, meninggikan telinga. Minta dielus kedua telinganya. Halus.
Saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan. Saya bernyanyi bersama angin, menari bersama kupu-kupu dan para kelinci, saya berlomba dengan ikan-ikan bersayap jingga, saya nikmati manis awan permen lolipop. Saya berada di dunia yang menyenangkan.
Saran saya, jangan terlalu lama kamu berkhayal. Khayalan memang indah, tapi ia semu. Cukupkan. Mudah-mudahan setelah sadar dari khayalanmu, kamu akan merasa sedikit segar dan menemukan semangat baru. Selamat mencoba :)
Kesenangan dan Keharusan
Dua hal yang paling penting di masa saya saat ini berebutan minta diperhatikan. Yang satu bernama Kesenangan dan yang satu bernama Keharusan. Saya sudah kenal dengan Kesenangan sejak saya menjadi mahasiswa. Keharusan malah lebih lama lagi, entah sejak kapan saya kenal dengannya.
Keduanya saling iri hati. Keduanya tidak mau diabaikan. Dan keduanya tidak bisa disatukan. Saya tahu saya harus memilih dan saya tahu pula apa pilihan saya. Saya harus memilih Keharusan. Tapi, saya tidak rela jika Kesenangan saya tinggalkan di belakang. Saya bimbang. Saya sedih. Saya frustasi.
Saya takut Kesenangan akan perlahan hancur ketika saya tinggalkan. Bukannya saya egois tidak mau percaya dengan teman yang lain, tapi mereka sendiri yang membuat saya tidak percaya dengan diri mereka.
Betapa kecewanya saya ketika apa yang diucapkan hanya sekadar singgah di mulut saja. Tidak lebih. Hanya membangkitkan semangat, tapi semu, sementara. Ketika harinya tiba, kalian di mana?
Saya rasa ini memang salah saya yang terlambat menyadarkan diri saya sendiri pada keadaan yang tidak bisa saya atur. Saya rasa saya terlalu nyaman dengan pujian dan harapan semua orang terhadap Kesenangan. Saya rasa saya terlena, terlalu terlena sehingga saya lupa bahwa sayalah yang sedikit demi sedikit menghancurkannya. Tapi, apakah tidak ada yang bisa menghentikan saya? Apakah yang lain hanya diam dan memaksa dirinya ikut terlena?
Ke mana orang-orang yang selama ini berkata selalu siap membantu? Di mana mereka ketika bantuan itu dibutuhkan sekarang? Saya kecewa. Mereka hanya memberi janji-janji menggiurkan, mereka semu.
Keharusan bahkan mulai menghimpit saya dengan keadaannya. Waktu teman setianya. Saya tahu saya harus berdamai dengan Keharusan, tapi saya saja tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya terlalu takut. Entah pada apa. Ketakutan itu hilir-mudik di kepala saya. Semua absurd.
Saya benci pilihan. Saya bukan orang yang bisa memilih. Tapi kali ini, saya harus memilih. Saya tahu kadang Kesenangan malah menjadi sebuah pelarian, pelarian dari Keharusan. Saya kali ini benar-benar ada di persimpangan jalan. Saya harus memilih dan meninggalkan Kesenangan untuk sementara di belakang.
Keduanya saling iri hati. Keduanya tidak mau diabaikan. Dan keduanya tidak bisa disatukan. Saya tahu saya harus memilih dan saya tahu pula apa pilihan saya. Saya harus memilih Keharusan. Tapi, saya tidak rela jika Kesenangan saya tinggalkan di belakang. Saya bimbang. Saya sedih. Saya frustasi.
Saya takut Kesenangan akan perlahan hancur ketika saya tinggalkan. Bukannya saya egois tidak mau percaya dengan teman yang lain, tapi mereka sendiri yang membuat saya tidak percaya dengan diri mereka.
Betapa kecewanya saya ketika apa yang diucapkan hanya sekadar singgah di mulut saja. Tidak lebih. Hanya membangkitkan semangat, tapi semu, sementara. Ketika harinya tiba, kalian di mana?
Saya rasa ini memang salah saya yang terlambat menyadarkan diri saya sendiri pada keadaan yang tidak bisa saya atur. Saya rasa saya terlalu nyaman dengan pujian dan harapan semua orang terhadap Kesenangan. Saya rasa saya terlena, terlalu terlena sehingga saya lupa bahwa sayalah yang sedikit demi sedikit menghancurkannya. Tapi, apakah tidak ada yang bisa menghentikan saya? Apakah yang lain hanya diam dan memaksa dirinya ikut terlena?
Ke mana orang-orang yang selama ini berkata selalu siap membantu? Di mana mereka ketika bantuan itu dibutuhkan sekarang? Saya kecewa. Mereka hanya memberi janji-janji menggiurkan, mereka semu.
Keharusan bahkan mulai menghimpit saya dengan keadaannya. Waktu teman setianya. Saya tahu saya harus berdamai dengan Keharusan, tapi saya saja tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya terlalu takut. Entah pada apa. Ketakutan itu hilir-mudik di kepala saya. Semua absurd.
Saya benci pilihan. Saya bukan orang yang bisa memilih. Tapi kali ini, saya harus memilih. Saya tahu kadang Kesenangan malah menjadi sebuah pelarian, pelarian dari Keharusan. Saya kali ini benar-benar ada di persimpangan jalan. Saya harus memilih dan meninggalkan Kesenangan untuk sementara di belakang.
Subscribe to:
Posts (Atom)