Ola! Setelah sekian lama saya ngga curhat di blog ini, kini saya muncul lagi. Hahaha... Apa sih? Catatan kali ini sudah kelewat lama tersimpan dan baru sempat saya post hari ini. Mungkin agak sedikit basi, tapi karena catatan ini memang saya tulis untuk blog, jadi yah di sinilah dia.
Heidegger mengatakan (dalam Budiman, 2007: 62)
bahwa kita gembira dan menjadi bahagia seperti juga mereka; kita membaca dan
menilai kesusasteraan seperti cara mereka membaca dan menilainya; kita menjadi
terkejut tentang hal-hal yang mereka anggap mengejutkan. Mereka, yang
dalam kenyataannya kita tidak tahu siapa, adalah salah satu bentuk dari bereksistensi
kita.
Ini adalah cara bereksistensi dari kebanyakan
orang yang oleh Heidegger disebut dengan istilah Das Man. Hidupnya
hanyalah mengikuti “seperti yang dilakukan oleh semua orang” dan kalau kita
tanyakan kepada tiap orang yang ada, ternyata tiap orang ini mengikuti “semua
orang” ini. Sehingga “semua orang” ini sama dengan “tidak seorang pun”, dia
hanyalah alasan untuk membenarkan cara bereksistensi kita, yang menolak
kemerdekaan (Budiman, 2007:62).
Dua paragraf di atas kemudian menjadikan
tulisan ini begitu berat dan mungkin terasa pintar. Pakailah kutipan yang
meyakinkan, voila, jadilah tulisan ini begitu serius. Tapi saya yakinkan
kalian, isi tulisan ini jauh dari pintar dan tidak ada kaitannya dengan
pembahasan eksistensi apa pun. Tulisan ini lebih banyak berisi rasa kesal dan
kegelisahan saya semata.
Hari ini, 27 Maret 2012, Indonesia bertemu
lagi dengan ribuan atau mungkin puluh ribuan atau mungkin ratus ribuan pendemo yang bisa jadi terlihat lebih banyak karena bercampur baur dengan aparat keamanan,
media, orang-orang yang numpang lewat, dan mereka yang sekadar ingin tahu. Aksi
demo diadakan untuk menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dan
saya, tidak akan ikut-ikutan merasa pintar berkomentar tentang itu.
Saya sadari saya pura-pura bodoh (atau memang
benar-benar bodoh) untuk mengerti mengapa BBM harus naik ataukah mengapa BBM
tidak boleh naik. Ruang lingkup saya kecil, hanya empat dinding ini yang
senantiasa menemani saya sepanjang hari, setahun belakang. Saya toh tidak mau
ambil pusing terhadapnya karena sudah cukup banyak orang-orang yang rela
berpusing-pusingan untuk memikirkannya.
Jika kalian bilang harga minyak mentah dunia
naik, saya akan mengerenyitkan alis. Hal itu di luar pengetahuan saya. Dunia
lebih luas dari yang saya bisa jangkau, jadi untuk apa saya berusaha menjangkau
apa yang tidak perlu saya jangkau. Jika kalian bilang seribu, lima ratus, atau
berapa rupiah pun itu berharga bagi orang banyak, begitu pula dengan saya. Bagi
saya, kehilangan seratus rupiah berarti kehilangan seribu rupiah. Apa artinya
sembilan ratus jika tidak ada seratus rupiah?
Mengarah pada perkataan Heidegger di atas,
itulah yang terjadi beberapa hari belakangan. Lini masa Twitter penuh
dengan kata-kata BBM, demo, mahasiswa, aparat, koalisi, dan sebagainya dan
sebagainya. Tidak mengherankan kemudian saya menjadi muak membaca lini masa
yang berisi pikiran-pikiran dan caci-maki para kawan. Mereka kemudian menjadi
merasa pintar telah masuk ke ranah itu. Saya sendiri termasuk orang
mencaci-maki mereka yang berkomentar tentang itu.
Kalian berpikir, salah siapa punya Twitter,
untuk apa ikut campur pada urusan mereka, dan unfollow saja cukup. Tidak
bagi saya. Karena mereka berhak mengeluarkan pendapat mereka, saya juga berhak
mengeluarkan pendapat saya di lini masa tersebut. Mereka beramai-ramai berkomentar karena yang lain berkomentar dan
saya pun berkomentar karena yang lain juga berkomentar. Saya toh termasuk mereka.
Apa yang menjadi kegelisahan mereka juga
menjadi kegelisahan saya, tapi nyatanya kegelisahan saya jauh lebih dalam dari
mereka. Kegelisahan saya berbeda. Sejarah menjadikan semuanya tidak bisa saya
nikmati.
Ketika isu kenaikan BBM dan demo meruak,
muncul pula orang-orang yang tidak bertanggungjawab menyebarkan isu pengulangan
Mei 1998. Membaca “Mei 1998” saja sudah membuat perut saya bergejolak, membuat
saya berdebar-debar, dan sulit tidur. Bagi mahasiswa dan aparat, Mei 1998
tentang anarkis. Bagi saya, Mei 1998 sebuah sejarah yang tidak mau kembali saya
ingat.
Media komunikasi yang semakin canggih kemudian
menjadikan setiap isu berkembang, lebih berkembang dari tangan ke tangan.
Inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang tiba-tiba muncul atas dasar agama
dan suku. Mereka dengan seenak jidatnya berlaku seperti orang tidak beradab.
Membuat tulisan-tulisan menghasut, menjadikan orang-orang mencaci-maki dan
mengeluarkan sumpah serapah yang paling kotor, dan mereka mungkin hanya
tertawa-tawa melihatnya.
Saya begitu kesal pada seorang teman yang
mengirimkan berita akan adanya isu pembantaian beberapa suku pada hari ini.
Orang yang membuat isu itu bodoh, tapi lebih bodoh lagi teman saya yang
menyebarkannya tanpa membaca dan mengkritisinya lebih jauh. Namun, jika dia
saya katakan bodoh, maka masih banyak orang bodoh lain yang sama
terpengaruhnya.
Tidak heran kemudian saya menjadi muak melihat
isi lini masa yang berlomba-lomba menelurkan kalimat-kalimat paling bijak atau
kalimat-kalimat yang dirasa mencerminkan masa sekarang. Tidak melihat lini
masa, saya tidak tahu berita, membuat saya lebih cemas membayangkan hal yang
tidak-tidak. Melihat lini masa, mau takmau berita bercampur dengan
komentar-komentar para kawan. Serba salah.
Kegelisahan saya berbeda dengan kegelisahan
mereka. Kami sama-sama gelisah. Tapi jika BBM tetap naik atau tidak naik,
kegelisahannya akan hilang. Akan ada hasil akhir yang sudah ditetapkan. Toh
kegelisahan mereka hanya di permukaan. Kegelisahan saya bercampur dengan rasa
takut dan muak dengan keadaan. Ketika nanti ternyata BBM naik dan banyak orang
tidak setuju, demo berjalan lagi. Dan terus dan terus dan terus. Dan saya akan
terus gelisah.
Banyak yang mungkin tidak mengerti kegelisahan
yang saya rasakan. Toh katanya masa itu sudah lama berlalu. Di alam bawah sadar
saya mereka tidak pernah berlalu. Banyak masa kecil saya yang tidak bisa saya
ingat, tapi kenangan ketakutan pada saat itu malah tidak bisa saya lupakan.
Tidak usah ikut-ikutan merasa yang paling
pintar. Saya membenahi diri sendiri saja susah. Tapi nampaknya banyak orang
yang sudah hidup dalam kebenaran yang dianggapnya paling benar.
Semua berubah. Waktu menjadikan manusia
berubah. Tapi tidak disangka, menjadi dewasa malah membawa perubahan yang tidak
pernah saya bayangkan. Yah, apa yang saya baca dengan apa yang mereka baca
berbeda. Saya tenggelam dalam kisah-kisah petualangan anak-anak, dan mereka,
entah apa. Mungkin, saya saja yang tidak berkembang.
___________________
Budiman, Arief. 2007. Chairil Anwar Sebuah
Pertemuan. Tegal: Wacana Bangsa.