*Judul ini dipakai dalam naskah drama karangan
Abroorza A. Yusra
Semalam Jatinangor gelap. Karena gardu yang
mengaliri listrik ke daerah Jatinangor meledak dan terbakar, maka Jatinangor
gelap. Para penghuninya pun berlomba-lomba mencari tempat terang. Agar nyaman
sepertinya.
Tadinya saya juga turut seperti mereka. Pergi
mencari tempat terang. Rencananya ingin menonton sebuah film yang ternyata
sudah tidak tayang lagi di sana. Ah, memang sudah takdir. Kembalilah saya dalam
keremangan lilin di dalam kamar.
Tidak tahu apa yang harus saya lakukan, saya
pun memandangi lilin. Lilin pertama sudah hampir habis. Dan saya baru menyadari
bahwa lelehan lilin itu membentuk gumpalan-gumpalan yang indah.
Ketika lilin di sekitar sumbu meleleh, cahaya
api berkedip-kedip, agak redup. Namun ketika lelehannya turun, cahaya kemudian
stabil dan terang kembali. Lelehan itu kemudian menjalar, melewati gumpalan
yang sudah kering dan kemudian membentuk gumpala baru di sebelahnya. Jadilah
gumpalan-gumpalan itu di sekeliling sumbu yang masih menyala.
Di penghujung akhirnya, sumbu lilin masih
berusaha keras bersinar. Setelah habis ia terjatuh dan padam dalam lelehan
lilin yang tidak bisa pergi ke mana-mana. Bahkan menonton penghabisan lilin itu
pun waktu telah berjalan setengah jam. Tidak terasa memang. Karena mereka
memang indah.
Lalu, saya pandangi bayang-bayang yang
dihasilkan cahaya lilin di tembok kamar. Cahaya yang mengenai gantungan baju
seperti tangan dengan tiga jarinya berdiri, yang lainnya seperti seorang wanita
sedang memanjat. Pompa air minum seperti robot yang sedang menggapai
langit-langit. Dan bayang-bayang itu bergoyang seiring gerak api. Mereka
menari.
Sekarang listrik telah menyala lagi dan dua
lilin itu tinggal menjadi gumpalan-gumpalan lelehan yang membeku.
No comments:
Post a Comment