Pertanyaan yang muncul di kepala saya
belakangan ini, mengapa banyak orang yang saya temui sulit sekali untuk
tersenyum? Orang banyak itu adalah pekerja-pekerja yang saya temui dalam
berbagai aktivitas saya. Jenuhkah mereka? Lelahkah mereka? Penatkah mereka
sehingga mereka lupa caranya tersenyum?
Tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang saya
ajukan nyatanya jauh dari yang saya harapkan. Saya bertanya dengan sopan,
dengan senyum, namun dijawab dengan ketus, asal-asalan, dan takbalas senyum. Saya
sadar ketika saya tersenyum dengan seseorang, paling tidak saya ingin
mendapatkan balasan senyum singkat dari mereka. Begitu juga ketika ada orang
yang tersenyum pada saya, saya tahu mereka juga mengharapkan senyum dari saya.
Bagi saya hal ini bukan hal sepele karena
masalah senyum itu bisa membuat hari saya berantakan. Terlebih dua hari kemarin,
ketika saya bertemu dengan penjaga-penjaga toko yang lebih rajin bergosip
dibandingkan membantu pelanggan memilih barang, dan petugas-petugas
administrasi yang bahkan melihat saya dengan pandangan judes. Ke mana senyum
itu mereka simpan?
Sungguh, jika saya mengingat kejadian dua hari
kemarin, saya kesal! Mungkin mereka jarang menemukan orang yang bisa menghargai
usaha mereka, namun mengapa mereka putus asa dan menyerah di tengah jalan? Yah,
hubungan antar manusia memang rumit. Itu hubungan dua arah, bukan hanya satu
arah.
Semoga saja ketika kelak saya masuk ke dunia
nyata, lekat dengan rasa lelah, frustasi, dan sebagainya, saya tidak lupa untuk
meletakan senyum di bibir saya.
NB: Terima kasih Abang angkot Kalapa-Dago yang
sudah begitu menghibur dengan kejujuran dan kekasarannya Senin malam kemarin.
Luapan emosi yang jujur itu lebih manusiawi, Bang! Semoga Abang dan keluarga
senantiasa diberikan kebahagiaan dan rezeki. Amin.
No comments:
Post a Comment