Seorang ibu masuk bersama anaknya. Tempat duduk dalam mobil ini sudah nyaris penuh. Mereka harus duduk terpisah. Sang anak duduk di depan saya dan ibu itu duduk di pintu. Sebelum anaknya duduk, ibu itu tidak mau duduk. Setelah memastikan anaknya nyaman, baru ia duduk dan kemudian tersenyum pada anaknya.
Anak perempuan ini kira-kira berusia tujuh-delapan tahun. Tapi, ia tidak seperti anak-anak perempuan lainnya. Saya tidak tahu apakah ia mengidap penyakit tertentu, tapi wajah anak itu berbeda. Matanya besar, mungkin dua kali lipat dari mata anak seumurannya. Pun lebih besar dari mata saya. Kepalanya pun lebih besar dari anak-anak kebanyakan. Mulutnya terus tersenyum. Kadang tersenyum pada ibunya, kadang tersenyum jika ia memandang keluar jendela.
Bukan hanya saya yang memperhatikan perbedaan anak itu. Saya kemudian beralih pada orang-orang di dalam angkutan umum. Seorang bapak yang duduk di sebelah kanannya jelas-jelas memandang dengan rasa ingin tahu. Beberapa kali ia menolehkan kepala, bahkan badannya, agar bisa melihat dengan lebih baik. Dahinya berkerut-kerut, bukan hal yang baik pikir saya. Di sebelah kiri anak itu, ada seorang ibu. Terlihat ibu itu juga penasaran, tapi pandangannya lebih lembut. Ibu itu duduk bersama anaknya dan mungkin itulah yang membandingkan pandangan seorang bapak di sebelah kanan dan seorang ibu di sebelah kiri.
Lalu, teringat seorang teman yang pernah saya tanya, "Kamu ngga risih apa diliatin orang mulu gara-gara rambut kamu pirang gitu?" Ia menjawab, "Oiya? Aku ngga meratiin. Tapi emang sih dulu agak risih, tapi lama-lama biasa juga kok." Sekitar setengah-satu jam kemudian, saya mendapati ia mengetwit bahwa bahkan tidak ada yang mau duduk di sebelahnya dalam angkutan umum itu. Saya merasa bersalah. Padahal jika sebelumnya saya tidak bertanya, tentu ia akan biasa-biasa saja dan tidak akan memperhatikan sekitarnya.
Anak kecil dan teman saya itu berbeda. Anak kecil dengan wajah sepeti orang dewasa. Teman saya, perempuan, dengan gaya yang berani serta rambut pirangnya. Mereka jadi bulan-bulanan mata orang-orang. Ada yang melihat dengan aneh, penasaran, bingung, melecehkan, dan tidak mengerti. Namun dua orang perempuan ini punya caranya masing-masing untuk tidak peduli pada tatapan seperti itu.
Saya tidak bisa demikian. Saya merasa rikuh jika diperhatikan oleh orang-orang yang tidak saya kenal. Buat apa memandang kalau dalam pandangan itu penuh dengan sorot yang negatif. Membuat saya begitu tidak nyaman.
Apakah hal yang tidak wajar selalu patut dijadikan tontonan? Apakah perlu orang tidak dikenal itu bereaksi dengan gelengan kepala, sama seperti yang saya lihat di angkutan umum ketika teman saya yang berambut keren itu duduk?
Rasanya mengurusi urusan sendiri jauh lebih penting daripada ikut campur dan mau tahu urusan orang lain. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal.
No comments:
Post a Comment