Saya tiba-tiba teringat sebuah catatan di tahun 2009. Angkot yang berbeda, tujuan yang berbeda, dan pengalaman yang berbeda. Kali ini yang saya temui adalah anak SD. Silakan menikmati :)
-Jatinangor, 24 Agustus 2009, 23.39 PM-
Tadi siang saya melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Dari Jatinangor ke alun-alun kota Bandung. Dari alun-alun ke Gedebage. Saya ingin berbagi rasa ketika saya berada di angkutan umum.
Saya naik angkot jurusan Stasiun Hall – Gedebage. Di tengah perjalanan naiklah segerombolan anak-anak SD. Anak-anak yang riang meskipun udara sangat panas dan mereka sedang berpuasa. Gerombolan itu terdiri dari satu laki-laki dan lima perempuan. Mereka masuk dengan tertawa, dengan canda. Senang rasanya melihat canda dan tawa mereka. Tawa mereka membuat saya sejenak melupakan panas di dalam mobil itu.
Yang menjadi pusat perhatian saya adalah anak laki-laki. Anak itu berbadan lebih kecil dibandingkan teman-teman perempuannya. Wajar, karena pertumbuhan anak perempuan jauh lebih cepat. Anak itu penuh dengan canda. Teman-teman perempuannya dibuatnya tertawa karena candaan dan isengannya. Anak itu memamerkan sebuah koin satu sen. Dia menawarkan uang itu kepada teman-temannya. Dan dengan lugunya ada satu anak perempuan yang membeli uang satu sen itu dengan selembar uang seribuan. Sambil tertawa anak laki-laki itu memberikan uang satu sen itu dan berkata bahwa dia telah berbohong. Meledaklah tawa mereka di dalam mobil itu. Dan saya juga ikut tersenyum melihat adegan manis itu.
Lalu saya berpikir, apakah saya dulu seperti mereka? Rasanya tidak. Dulu saya naik jemputan. Mungkin banyak teman yang satu jemputan dengan saya, tapi saya tidak merasakan sensasi bahagia seperti mereka. Mereka yang masih SD itu sudah mandiri, pulang naik angkutan umum. Dan pikiran lain lewat, ke manakah orangtua mereka? Mengapa anak sekecil itu dibiarkan pulang naik angkutan umum? Yah, biarlah orangtua mereka yang menjawab.
Lalu kelima anak perempuan itu turun. Rupanya mereka hendak mengunjungi rumah salah satu temannya. Tinggallah anak laki-laki itu sendiri. Anak itu kemudian pindah tempat duduk. Dengan lucunya anak itu menggenggam koin satu sen dan kemudian berkomat-kamit. Entah apa yang ia maksudkan. Tapi adegan itu membuat saya kembali tersenyum. Lugunya anak laki-laki itu membuat saya iri.
Setelah bosan, anak itu memejamkan mata. Mungkin dia mengantuk. Udara yang panas dan perjalanan yang panjang membuatnya mengantuk. Tiba-tiba dia tersentak bangun dan menyadari bahwa dia sudah melewati tempat yang seharusnya dia turun. Dengan berbegegas dia menghentikan mobil dan turun. Lagi-lagi saya tertawa melihat kejadian itu. Dan panas pun mulai menyerang saya, dan saya merasa kehilangan peristiwa yang unik itu.
Saya berpikir, jika saya tetap berpikiran seperti mereka apa jadinya. Mereka yang masih lugu membuat saya terkagum-kagum akan keluguan mereka itu. Tanpa pikir panjang apa yang mereka pikirkan langsung mereka utarakan atau mereka lakukan. Sejenak saya iri dengan mereka. Namun saya tahu bahwa masa-masa seperti itu sudah lewat. Saya sudah lebih dahulu mengalami masa-masa seperti itu. Dan mudah-mudahan saja ketika mereka dewasa, mereka bisa bertemu dengan peristiwa manis itu.
No comments:
Post a Comment