Pernahkah kalian membaca Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi? Kalau sudah, tidak ada salahnya membaca karya beliau yang lain, Totto-chan's Children.
Sampul buku Totto-chan's Childern ini menarik. Dengan ilustrasi gambar anak-anak yang memikat, lucu, menyenangkan. Namun ternyata isinya tidak selucu dan semenyenangkan sampulnya. Tidak seperti Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela.
Saya diajak berkenalan oleh Tetsuko. Berkenalan dengan ribuan anak-anak yang berada di separuh bumi jauhnya dari tempat saya berada. Ribuan anak-anak yang tidak saya kenal. Namun Tetsuko membawa saya begitu dekat dengan mereka.
Anak-anak itu adalah anak-anak miskin di benua Afrika. Saya baru berkenalan dengan anak-anak di benua itu, karena saya baru menjajaki beberapa lembar buku ini dan tidak tahan untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan dalam bentuk tulisan.
Tetsuko yang pada saat itu didaulat menjadi duta UNICEF, memulai perjalanannya ke Afrika. Dan perjalanannya itu membuat saya tenggelam dalam haru-biru. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus berhadapan langsung dengan anak-anak yang hebat itu.
Mereka tumbuh dengan tidak sempurna. Bahkan ada yang tidak bisa bertahan menjadi dewasa karena tidak bisa bertahan dari keganasan dunia. Entah siapa yang harus disalahkan atas ketidakberuntungan mereka itu. Namun yang pasti, contoh ketidakberuntungan itu adalah anak-anak di sana.
Buku ini dilengkapi oleh foto-foto selama perjalanan Tetsuko. Foto anak-anak yang membuat kita merasa tersayat. Foto keluguan, keberanian, perjuangan hidup dalam diri anak-anak.
Saya sampai pada bab di mana terdapat anak-anak yang kekurangan gizi. Saking kurang gizinya, banyak anak yang tidak mampu berdiri, hanya bisa merangkak di atas tanah yang dingin. Tidak ada makanan dan bahkan tidak ada air bersih yang bisa diminum. Mereka harus menggali tanah, menunggu tanah itu mengeluarkan air, dan kemudian menampung air bercampur lumpur itu untuk dibawa ke rumah.
Membaca bagian ini, saya teringat akan sebuah peristiwa. Waktu itu saya berkumpul bersama beberapa teman di suatu tempat makan. Menjelang tengah malam ada tiga orang pemuda yang datang dan memesan makanan. Salah satunya memesan air mineral botol dingin. Saat itu saya merasa tidak ada yang luar biasa. Namun, setelah saya membaca buku ini, sesuatu mengusik hati saya.
Setelah makan, ketiga pemuda itu pulang. Pelayan membersihkan meja. Tidak lama, pelayan itu berkata, “Wah, airnya cuma diminum sedikit.” Saya dan teman-teman saya lantas melihat ke arah meja itu. Dan benar saja, botol air itu hanya berkurang seperempatnya saja. Bahkan masih terlihat seperti air yang baru dikeluarkan dari lemari pendingin. Dengan bergurau saya berkata, “Ya udah, habisin saja.” Serentak kami tertawa.
Jika waktu saya telah membaca buku ini, mungkin saya tidak akan tertawa. Saya pasti akan marah. Saya marah pada seorang pemuda yang memesan air mineral botol dingin dan tidak dihabiskan. Saya marah karena anak-anak dalam buku ini begitu menderitanya karena tidak ada air. Mereka rela berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan air bercampur lumpur untuk mereka minum. Dan di sini, di tempat saya berada ini, sebotol air tidak dianggap berharga.
Di kepala saya terekam dua buah gambar. Gambar pertama adalah sebuah meja yang di atasnya berdiri sebuah botol yang berisi air. Dari luarnya kita tahu bahwa air itu begitu dingin. Dan gambar kedua adalah dua orang anak yang sedang menampung air bercampur lumpur dalam cawan-cawan kecil, sebuah gambar yang ada di dalam buku ini. Kedua gambar itu begitu melekat di mata saya, sampai-sampai saya rasa saya bisa menyentuh botol air itu dan memberikannya kepada kedua anak-anak itu.
Lalu, saya kembali teringat akan suatu peristiwa yang saya alami sesaat sebelum saya membaca buku ini. Hujan lebat mengguyur daerah tempat saya tinggal. Hujan bercampur angin membuat saya takut berada sendirian di dalam kamar. Dan kemudian, saya merasakan ada yang basah di lantai kamar saya. Ternyata air sudah menggenang, air yang berasal dari pintu kamar saya. Rupanya angin membawa masuk air hujan ke dalam kamar saya.
Dengan kesal saya mengeluarkan air itu. Semakin kesal saya keluarkan, semakin banyak air yang masuk ke dalam kamar saya. Dan saat ini ketika saya telah membaca buku ini, saya menyesal telah menyalahkan air yang masuk ke dalam kamar saya.
Saya bisa membayangkan di saat saya memaki-maki air hujan yang masuk, di sana, di tempat anak-anak hebat itu berada, mereka sedang berjalan dalam terik matahari untuk mencari kehidupan. Di saat saya membuang air hujan itu ke kamar mandi, mereka sedang mengais tanah dan menunggu air keluar ke permukaannya. Bayangan mereka begitu membuat saya menderita akan kelakuan saya tadi. Bertapa saya pun hanya bisa marah-marah ketika air mengganggu saya.
Saya bisa membayangkan mereka menunggu datangnya hujan karena hujan bisa memuaskan rasa haus mereka. Dan saya bisa membayangkan banyak teman-teman saya yang mengutuk hujan turun begitu lebatnya sehingga mereka tidak bisa keluar untuk bersenang-senang di akhir pekan. Saya bisa membayangkan semuanya di depan mata saya.
Anak-anak itu begitu nyata dalam buku ini, dan mereka memang nyata. Saya hanyalah seorang pembaca yang tidak tahu harus berbuat apa ketika membaca buku ini. Saya hanya bisa merasa bersalah karena saya sebagai orang dewasa ternyata jauh lebih lemah dari pada mereka, anak-anak hebat itu.
Dalam buku ini ada seorang kepala desa yang sudah tua berkata kepada Tetsuko, “Miss Kuroyanagi, saat anda berada kembali ke Jepang, ada satu hal yang saya ingin Anda ingat: orang dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka, tapi anak-anak hanya diam. Mereka mati dalam kebisuan, di bawah daun-daun pisang, memercayai kita, orang-orang dewasa.” Ya, saya sebagai orang dewasa ternyata tidak lebih kuat dibandingkan seorang anak yang menunggu kematian dalam kebisuan di tanah kelahirannya.
No comments:
Post a Comment