Tahun ini tahun kabisat. Hari ini tanggal 29
Februari, tanggal yang hanya muncul setiap empat tahun sekali.
Saya suka tanggal 29 Februari karena dengan
munculnya tanggal ini, bulan Februari dapat berlalu lebih lama sehari dari
biasanya.
Bulan ini istimewa. Ia bulan kedua, bulan
kabisat, ia genap, namun 29 bukan angka yang genap. Lalu? Takada lalu.
Selamat datang hai kamu 29 Februari. Hari ini
usiamu 503 tahun. Semoga kamu menjadi penutup yang manis bagi Februari. Mari kita
berjumpa empat tahun lagi, dengan harapan yang baru dan rasa manis yang baru. Selamat
tiba, 29 Febuari.
Dan akhirnya Februari ini masih bukan tentang
aku. Aku masih berjalan bersama detik waktu, dalam sepi resah angin sore.
Cinta datang dari mata, baru masuk ke hati.
Sedangkan sayang datang dari hati dan memancar lewat mata.
Cinta dan sayang apa bedanya? Jika kita
merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata arti cinta dan
sayang itu kurang lebih sama, suka sekali, amat suka akan ... Jika kita
menerjemahkan dua kata itu dalam bahasa Inggris, kata yang dihasilkan akan sama,
love. Tapi hidup tidak hanya berdasarkan kamus bukan? Apalagi cinta dan
sayang selalu menyangkut masalah hati. Dan hati lebih dekat pada perasaan.
Siapa yang tidak punya rasa cinta dan sayang?
Setiap manusia yang mempunyai hati pasti pernah merasakan kedua rasa itu.
Sekecil apa pun itu.
Bagi saya rasa sayang sifatnya lebih permanen
dibandingkan rasa cinta. Sayang hanya bisa tumbuh tanpa kita paksakan,
sedangkan cinta dapat ditanamkan, ditumbuhkan, diperbaharui, dan dapat
dihilangkan. Cinta lebih rumit dari sayang.
Ketika kita memandang seseorang, kita tahu
kita jatuh cinta padanya. Tapi kita belum tentu akan menyayangi orang itu.
Cinta datang dari mata, baru masuk ke hati. Sedangkan sayang datang dari hati
dan memancar lewat mata.
Kita mengenal cinta monyet, cinta
pada pandangan pertama, patah hati karena cinta, tapi tidak mengenal
sayang monyet, sayang pada pandangan pertama, dan patah hati
karena sayang. Agaknya akan lucu jika kita mengatakan sayang monyet
pada orang pertama yang kita sukai :P
Bisa jadi karena penggunaan ungkapan itu
membuat kita membedakan cinta dan sayang. Cinta tidak abadi dan sayang lebih
abadi. Cinta lebih pada perasaan kita kepada lain jenis (gebetan, pacar, dan
sebagainya) dan sayang lebih pada perasaan kita pada banyak hal, pada orang
tua, pada bunga, pada guling, pada apa pun lainnya.
Saya pikir cinta lebih dua arah dan sayang
lebih satu arah. Jika kita mencintai seseorang, kita mengharapkan dia juga akan
mencintai kita. Sedangkan jika kita menyayangi seseorang, kita tidak akan
pamrih pada orang itu.
Cinta itu ibarat cicak. Jika ekornya putus, ia butuh
sebuah kesabaran agar bisa tumbuh kembali. Dan sayang itu ibarat bunga
matahari, ia akan senantiasa menemani matahari sampai matahari tidur di
sebelah barat dan menunggunya terbangun di sebelah timur.
Apa pun perbedaan cinta dan sayang tersebut,
bagi saya mereka tidak akan indah jika tidak digabungkan bersama. Kedua rasa
itu diciptakan agar manusia semakin bahagia dan dapat melihat lebih jelas bahwa
ternyata dunia lebih indah daripada yang mereka bayangkan.
Menonton film yang sasarannya remaja itu
kadang bisa jadi alternatif yang menyenangkan loh. Apalagi kalau filmnya
tentang cinta dan persahabatan. Bikin saya ketawa-ketawa sendiri.
Film yang saya tonton kali ini adalah film
dari Thailand. Judulnya SuckSeed. Film ini sederhana, mengisahkan
perjalanan hidup Ped dari ia kecil sampai ia menjadi sedikit lebih tua dari
remaja.
Pelajaran menyanyi adalah pelajaran yang
paling tidak Ped senangi ketika SD. Ped sampai berkeringat ketika ia disuruh
bernyanyi di depan kelas. Ia tidak bisa mengingat satu kata pun dari lagu yang
dinyanyikan. Dan Ern pun memberi bantuan pada Ped. Sayangnya, meskipun lirik
lagu yang diberitahu Ern benar, Ped tidak bisa menyanyikannya dengan nada yang
benar. Meledaklah seluruh murid dalam tawa.
Pulang sekolah, ibu guru menyuruh Ped
memberitahu Ern bahwa neneknya sudah datang menjemput. Sambil menuju gerbang,
Ern memberikan sebelah earphones-nya kepada Ped. Lagu yang diputar
adalah lagu kesukaan Ern. Lagu-lagu itu disimpan dalam sebuah kaset dan
dimainkan dalam sebuah walkman. Ern pun meminjamkan kaset itu kepada Ped
dan menyuruhnya untuk mengembalikan secepatnya karena Ern akan pindah ke
Bangkok.
Di kamarnya, Ped langsung memutar kaset Ern.
Bahkan ia belum melepas sepatu dan menaruh tas sekolahnya. Ia pun berpikir akan
merekam lagu yang tadi siang tidak dapat ia nyanyikan di sekolah dalam kaset
Ern itu.
Ern pergi ke rumah Koong, sahabatnya. Koong
memiliki sebuah gitar dan Ped bermaksud meminjamnya. Ia ingin belajar bermain
gitar agar bisa menyanyikan lagu yang diinginkannya.
Selesai merekam, Ped memacu sepedanya ke rumah
Ern. Rumah Ern adalah sebuah toko musik dan sudah tutup ketika Ped tiba di
sana. Ped pun menelepon. Ayah Ern yang mengangkatnya dan berkata bahwa Ern
sudah tidur. Ayah Ern marah karena Ped tidak tahu aturan menelepon Ern
malam-malam. Ia bertanya siapa nama Ped dan Ped menjawab namanya adalah Koong.
Ern pindah ke Bangkok dan Ped tidak berani
mengembalikan kaset Ern. Ia tidak berani memberitahu bahwa ia menyukai Ern.
Waktu berlalu dan mereka pun sudah SMA.
Adegan dimulai di halaman sekolah. Ada sebuah
band yang sedang tampil. Lalu ada Ped dan Koong yang sedang asyik menonton.
Ternyata band itu adalah band Kay, kembaran Koong.
Koong melihat ke sekeliling, mencari murid
wanita yang cantik. Tidak berapa lama ia menemukannya. Tapi hanya sebatas itu.
Koong tidak berkenalan dengan murid perempuan itu.
Tersebar berita bahwa ada murid perempuan yang
baru pindah ke sekolah itu. Tidak disangka ternyata murid itu adalah Ern.
Koong membentuk sebuah band bersama Ped dan
Ex. Koong pada gitar dan vokal, Ped pada bass, dan Ex pada drum. Mereka ingin
mengalahkan band Kay pada acara HotWave Awards, ajang bergengsi
untuk anak sekolah. Ern yang bisa bermain gitar pun diajak bergabung.
Konflik dimulai ketika ternyata Koong menyukai
Ern. Ketika Koong memberitahu Ern, Ern berkata bahwa jangan lagi Koong berkata
seperti itu. Koong patah hati dan Ern keluar dari band itu kemudian bergabung
dengan band Kay. Band Koong tidak patah semangat, mereka terus berusaha membuat
lagu cinta yang menjadi persyaratan lomba itu.
Ped berhasil membuat sebuah lagu. Suatu hari
ia mengembalikan sejumlah kaset yang dipinjamnya dari Ern, termasuk kaset yang
dipinjamnya waktu SD. Ern menelepon Ped dan bertanya apakah Ped menyukai Ern.
Ped bilang ia dulu menyukai Ern, tapi sekarang sudah tidak lagi.
Karena menyesal tidak mengakui kejujurannya,
Ped pergi ke rumah Ern dan menyanyikan lagu ciptaannya di depan rumah Ern. Ern
pun berkata bahwa ia juga menyukai Ped. Sejak saat itu mereka menjadi sepasang
kekasih.
Band Koong masuk nominasi 20 besar. Acara
lomba dimulai. Band Koong tampil setelah band Kay dan tidak disangka ternya Ern
menyanyikan lagi ciptaan Ped. Koong marah karena ternyata Ped memberikan lagu
itu untuk Ped dan Koong marah karena Ped tidak memberitahu bahwa ia juga
menyukai Ern. Persahabatan mereka usai sampai di situ. Hubungan Ped dengan Ern
juga berakhir.
Setahun-dua tahun kemudian, mereka mengadakan
reuni di sekolah. Band Kay dan Ern, Arena, sudah sukses. Ped bertemu Ern dan
meminta tanda tangan Ern pada CD Arena yang Ped beli. Ern menuliskan bahwa ia
rindu pada masa-masanya bersama Ped.
Koong juga hadir, namun Koong dan Ped tidak
bertegur sapa. Sampai akhirnya, ketika acara berakhir, Ped naik ke atas
panggung dan mengambil bass lalu bernyanyi lagu yang tidak selesai mereka
bawakan dulu di Hot Wave Awards. Akhirnya mungkin dapat kalian tebak.
Ya, Koong dan Ex pun mengambil posisi masing-masing dan menyanyikan lagu itu
bersama-sama.
Yang jelas ditampilkan dalam setiap perjalanan
Ped adalah alat untuk mendengarkan lagu. Ketika SD Ped mendengarkan walkman.
Ketika SMA Ped mendengarkan diskman. Dan ketika reuni ped mendengarkan
mp3 player. Perubahan umur diikuti dengan perkembangan teknologi.
Ceritanya ringan, banyak hal yang bisa ditebak
ketika menontonnya. Tapi karena cerita yang ringan itulah yang membuat saya
tersenyum-senyum ketika menontonnya. Film ini ditayangkan tahun kemarin.
Berarti kisah percintaan masa remaja memang tidak jauh beda dari tahun ke
tahunnya. Ada sedikit banyak pertentangan antara cinta dan persahabatan.
Rasanya memang lucu sekali, bagi seumuran saya, jika mengingat-ingat hal itu.
Terlebih saya tidak akrab dengan bahasa Thailand, sehingga mendengarnya saja
kadang membuat saya tertawa :P
Tidak ada salahnya jika kadang-kadang kita
menonton film-film remaja seperti ini. Lumayan untuk menyegarkan pikiran.
Selamat menonton :)
Novel ini
merupakan gabungan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri dari Catatan
buat Emak, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala. Novel
ini menceritakan tentang kehidupan seorang ronggeng yang baru, Srintil, di
sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk. Sudah sekian lama di Dukuh Paruk tidak
terdengar suara-suara calung dan ronggeng. Dan Dukuh Paruk bukanlah Dukuh Paruk
tanpa adanya suara calung dan ronggeng. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana
ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada
ronggeng bersama perangkat calungnya. Akhirnya Sakarya mengetahui bahwa indang ronggeng telah masuk ke dalam
tubuh cucunya itu.
Dalam buku
pertama, Catatan Buat Emak, merupakan awal mula bangkitnya seorang
ronggeng Dukuh Paruk. Di samping tokoh Srintil, ada juga tokoh Rasus yang
menjadi tokoh utama di buku pertama ini. Rasus, sama seperti kebanyakan
anak-anak Dukuh Paruk, seorang anak laki-laki yatim-piatu. Mereka menjadi
yatim-piatu karena musibah yang terjadi dulu. Musibah keracunan tempe bongkrek.
Dalam buku ini
dikisahkan bagaimana Rasus merindukan sosok seorang emak. Dia akhirnya
membayangkan sosok itu dalam tubuh Srintil dan lama kelamaan sosok emak itu
sangat melekat pada tubuh Srintil. Sehingga ketika Srintil akan diangkat
menjadi ronggeng, Rasus tidak menerimanya karena Srintil akan menjadi milik
masyarakat, bukan menjadi miliknya lagi.
Berbagai cara
Rasus upayakan agar Srintil mau berteman lagi dengannya. Dengan memberikan
sebuah keris yang merupakan pusaka keluarganya, Rasus mendapatkan apa yang
diinginkannya. Serintil menjadi temannya lagi. Malah, syarat bukak-klambu, syarat terakhir agar resmi
menjadi ronggeng, Srintil berikan kepada Rasus.
Rasus dengan
bayangan-bayangan emaknya pergi meninggalkan Dukuh Paruk dan bekerja di desa
Dawuan. Rasus selalu bertanya dalam hatinya
apakah emaknya itu sudah meninggal atau masih hidup dan tinggal bersama
mantri yang telah menyelamatkan hidupnya.
Di sana dia
akhirnya bekerja pada markas tentara di bawah kepemimpinan Sersan Slamet. Sosok
kehidupan emaknya itu sangat menghantui Rasus, hingga pada akhirnya meledak
pada saat perburuan bersama Sersan Slamet. Ketika para tentara tertidur, Rasus
mengambil bedil dan menempatkan sebongkah batu cadar di atas sebuah tonggak
kayu. Dengan pisau, Rasus mengukir batu itu menjadi sesosok wajah yang mirip
mantri yang dibayangkannya. Lalu dengan hati-hati, Rasus mengambil jarak dan
memastikan bahwa bedil tidak akan salah sasaran. Rasus menembak bongkahan batu
itu. Dia tidak mempedulikan bertapa kerasnya suara bedil sehingga membangunkan
Sersan Slamet dan bawahannya. Rasus merasa puas telah membunuh mantri yang
telah mengambil ibunya itu. Mantri itu telah mati dan tidak bisa membawa emak,
sehingga Rasus bisa membawa pulang kembali emaknya. Rasus sangat merindukan
sosok emak. Dia selalu berharap emaknya bisa kembali, dan dia bisa menyebut
kata “Emak” seperti anak-anak yang lain memanggil emaknya.
Dalam suatu
insiden perampokkan membawa Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan berhasil
menjatuhkan perampok yang sedang beraksi. Hal tersebut mempertemukan kembali
Rasus dengan Srintil. Rasus kembali ke rumahnya, tempat ia tinggal bersama
neneknya yang sudah sangat renta. Srintil pun menemani. Keesokan paginya, saat
penduduk masih terlelap, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk.
Dalam buku ke
dua, Lintang Kemukus Dinihari, diceritakan bagaimana terpukulnya Srintil
setelah kepergian Rasus. Srintil tidak mau lagi menjadi ronggeng dan tidak mau
lagi melayani pria mana pun. Dia sangat menyayangi Rasus, namun di sisi lain
dia kecewa mengapa Rasus pergi meninggalkannya. Hal yang bisa membuat Srintil
bahagia hanyalah Goder, bayi sahabatnya.
Akhirnya dengan
berbagai pertimbangan, Srintil menerima tawaran manggung pada acara Agustusan.
Srintil tidak enak hati melihat kemelaratan keluarga Sakum karena tidak adanya
pemasukan. Srintil sadar bahwa dia menjadi tulang punggung banyak orang.
Meskipun ada
gangguan, tapi Srintil tetap memukau para pengunjung dan tawaran mulai
berdatangan seperti tawaran Sentika untuk menjad gowok anaknya, Waras. Awalnya Srintil menolak, tapi setelah melihat
sosok Waras, Srintil menerimanya. Selama menjadi gowok, Srintil belajar bahwa tidak semua pria seperti pria-pria
yang dijumpainya selama ini. Waras sangat berbeda dan muncul kasih sayang di
antara mereka.
Kehidupan Dukuh
Paruk berubah sejak masuknya partai yang dipimpin oleh Bakar. Pementasan
diadakan pada setiap rapat yang diadakan oleh Bakar. Pementasan ronggeng mulai
berubah. Banyak hal terjadi sampai akhirnya membawa Dukuh Paruk di ambang
kehancuran. Dukuh Paruk dibakar dan Srintil dipenjara karena telah dianggap
pemberontak seperti Bakar. Kejadian itu membuat Dukuh Paruk jatuh. Namun tidak
lama, karena Dukuh Paruk merupakan desa yang kuat dalam keterasingannya itu.
Dalam buku
ketiga, Jantera Bianglala, dimulai dengan kerinduan Rasus terhadap Dukuh
Paruk dan neneknya. Setelah mendapatkan izin, Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan
sedih ketika melihat Dukuh Paruk semakin hancur dan terlebih ketika nenek yang
ditinggalkannya itu ternyata telah meninggal.
Rasus, sebagai
anak Dukuh Paruk sekaligus seorang tentara, menjadi harapan besar bagi Sakarya
untuk bisa menemukan keberadaan Srintil. Sebuah perjalanan yang panjang dan
tidak mudah, tetapi pada akhirnya Rasus bisa menemukan Srintil, meski Srintil
sudah jauh berubah.
Srintil yang
dibebaskan tetap harus melaporkan dirinya setiap minggu di desa Dawuan.
Orang-orang Dawuan telah mengetahui bahwa Srintil adalah bekas tahanan.
Pandangan masyarakat pun berubah. Tadinya mereka sangat menghargai Srintil
sebagai seorang ronggeng, namun sekarang malah mencibir dan menghina. Hal ini
membuat Srintil memutuskan untuk menjadi wanita biasa dan berhenti menjadi
seorang ronggeng.
Lalu Srintil
mengenal Bajus, seorang laki-laki Jakarta yang sedang berkerja di proyek dekat
Dukuh Paruk. Bajus tidak seperti pria-prtia lain yang datang pada Srintil.
Bajus dianggap sopan dan tidak meminta hal yang aneh. Srintil merasa dihormati
sebagai perempuan dan ia menaruh harapan-harapan terhadap sosok Bajus. Sejak
lama Srintil memimpikan akan menajadi seorang istri dan ibu yang baik dan mimpi
itu ia yakinkan pada Bajus.
Namun semua
terbongkar. Ternyata Bajus menjual Srintil kepada pemimpinnya. Hal ini membuat
Srintril depresi. Semua harapannya sirna. Srintil hilang ingatan dan berubah
menjadi sosok yang lain.
Kemudian Rasus
kembali ke Dukuh Paruk dan menemukan bahwa Srintil sudah berubah menjadi
sesorang yang sudah tidak berniat hidup. Dia merasa sangat bersalah. Seandainya
Rasus mengikuti saran Sakum, maka tidak akan begini jadinya. Dan akhirnya,
Rasus membawa Srintil untuk berobat dan berjanji akan menikahi Srintil apa
adanya.
Novel ini sangat
menarik untuk dibaca. Banyak hal yang bisa dipelajari dari novel ini.
Bertemakan kehidupan masyarakat kecil dalam mempertahankan hidup. Banyak unsur
kebudayaan yang ditanamkan dalam buku ini.
Novel ini
mengenalkan pada kita adanya sebuah tarian adat di Dukuh Paruk. Menjadi seorang
ronggeng pun tidak mudah. Srintil harus mengikuti berbagai upacara syarat, dan ritual agar bisa sah menjadi
seorang ronggeng. Lalu setiap kali akan mengadakan pementasan, selalu diberikan
sesaji untuk menghormati para leluhur. Selain itu, dalam buku ini diceritakan
bagaimana orang-orang Dukuh Paruk sangat menghormati dan menjaga makan Ki
Secamenggala yang diyakini sebagai asal-muasal orang-orang Dukuh Paruk. Rasa
kekeluargaan dalam Desa itu pun sangat tampak. Mungkin karena mereka percaya
bahwa mereka berasalah dari satu moyang yang sama, yaitu Ki Secamenggala.
Novel ini juga
mengisahkan bagaimana semarakanya pemerintahan pada zaman itu. Meskipun sudah
merdeka, namun Dukuh Paruk tidak mengerti apa itu kemerdekaan. Hal itu dapat
dilihat ketika pementasan Agustusan di desa Dawuan. Para petinggi berpidato
tentang kemerdekaan tapi masyarakat Dukuh Paruk tidak mengerti apa yang mereka
biacarakan. Ternyata kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke telinga desa-desa
yang terpencil seperti Dukuh Paruk.
Tetap ada kebodohan dan kemiskinan di sana.
Bukan uang yang dibutuhkan di dunia itu, tapi
waktu. Bisa jadi tepat kata sebuah pribahasa “Waktu adalah uang”. Setiap
manusia mempunyai jam hidupnya masing-masing. Mereka dapat jelas melihat di
lengan kiri masing-masing. Cahayanya hijau stabilo. Mereka pun bekerja, upahnya
waktu bukan uang.
Konsep waktu hidup itulah yang diangkat dalam
film In Time (2011). Tokoh utama film ini adalah Will Salas yang
diperankan oleh Justin Timberlake. Will hidup bersama ibunya, Rachel (Olivia
Wilde), yang hari itu genap berusia 50 tahun. Mereka hidup di daerah bernama Ghetto,
tempat orang-orang miskin waktu.
Ketika berkunjung dalam sebuah bar, Will
bertemu dengan Henry Hamilton. Henry memiliki sisa waktu hidup satu abad, waktu
yang sangat banyak dan itu membuatnya menjadi orang terkaya di Ghetto. Will
menasihati Henry agar segera pergi dari tempat itu karena banyak orang yang
ingin mencuri waktunya. Benarlah, taklama kemudian masuk segerombolan pencuri
waktu.
Will tidak menyangkan bahwa menyelamatkan
Henry akan mengubah hidupnya. Percakapan singkat dengan Will membuat Henry
sadar ia telah menyia-nyiakan hidupnya. Ia pun memberikan seluruh sisa hidupnya
pada Will. Dengan detik-detik terakhir, Henry duduk di pinggir jembatan dan
‘deg’ jantungnya berhenti tepat ketika waktu menujukkan angka nol.
Will memberikan waktu sepuluh tahun kepada
sahabatnya, Borel (Johnny Galecki). Ia pun menunggu ibunya di tempat yang
mereka sepakati. Tapi kesedihan ternyata menunggu Will. Ibunya tidak dapat
membayar tarif bus. Tarif bus malam itu dua jam sedangkan waktunya hanya sisa
satu setengah jam. Dengan berlari, Rachel menuju anaknya. Tapi waktunya habis,
jantungnya pun berhenti berdetak.
Banyak orang yang mati kehabisan waktu karena
tiap hari semua tarif naik. Pajak di mana-mana pun naik. Yang miskin akan cepat
mati, sedangkan yang kaya akan hidup abadi. Termasuk Rachel, setelah melunasi beberapa
hutang, malam itu ia kehabisan waktu. Bahkan untuk berlari pun tidak bisa tepat
waktu.
Setelah kematian ibunya, Will memutuskan
pindah ke New Grenich, tempat para orang kaya waktu. Ia ingin mencuri waktu
orang-orang kaya itu. Will dendam karena orang-orang itu kaya di atas
penderitaan banyak orang. Perjalanan ke sana pun memerlukan biaya waktu satu
tahun.
Will tidak dapat beradaptasi dengan cepat. Di
Ghetto semua berjalan cepat. Ia harus berlari jika tidak ingin kehabisan waktu.
Namun di New Grenich, setiap orang punya banyak waktu. Segalanya berjalan
lambat. Tidak usah lari terburu-buru, waktu mereka sangat banyak.
Ketergesaannya membuat ia diperhatikan oleh
Sylvia Weis (Amanda Seyfried). Ternyata Sylvia merupakan anak dari Philippe
Weis (Vincent Kartheiser), seorang pengusaha yang memiliki banyak sekali waktu.
Will bertemu dengan Philippe di sebuah kasino dan menang banyak dari Philippe.
Di pihak lain ada Raymond Leon (Cillian
Murphy), penjaga waktu yang mengejar Will. Raymond beranggapan bahwa Will telah
mencuri waktu dari Henry. Ketika pesta di rumah Philippe, Raymond membekuk Will
dan menyita waktunya hingga tersisa dua jam.
Will menculik Sylvia, membawanya kabur kembali
ke Ghetto. Dalam perjalanannya mereka bertemu dengan pencuri waktu. Mencuri
banyak dari Sylvia. Dan Will pun menyelamatkan hidupnya.
Singkat cerita, Sylvia sadar bahwa banyak
orang yang sangat memerlukan waktu. Banyak yang hanya memiliki waktu untuk satu
hari. Dan dalam satu hari pun mereka bisa melakukan banyak hal. Hal-hal itu
tidak pernah ia temui dalam kehidupan mewahnya. Sylvia bahkan mencuri dari
brankas ayahnya sendiri. Waktu sebanyak satu juta tahun. Dan waktu yang ia curi
itu kemudian ia bagikan kepada orang-orang.
Sylvia hidup sebagai pencuri bersama Will.
Mereka terus mencuri dan membagikan waktu kepada yang membutuhkan. Yah, kurang
lebih seperti kisah Robbin Hood lah :P
Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari berkisah tentang kegelisahan Kabul, seorang
insinyur, saat menjadi pelaksana pembangunan jembatan Cibawor. Kabul ingin
pembangunan jembatan itu sesuai dengan standar yang dipelajarinya di bangku
kuliah, namun nyatanya praktik tidak sejalan dengan teorinya.
Banyak terjadi penyimpangan selama
berlangsungnya proyek ini. Berbagai material dibeli jauh dari standar.
Kayu-kayu dan kantong-kantong semen berpindah tangan. Uang mengalir taktentu
arah dan Kabul tidak bisa berbuat apa-apa.
Pembangunan jembatan ini pun tidak lepas dari
pengaruh politik. Pembuatannya harus cepat, agar dapat diresmikan ketika HUT
partai GLM (Golongan Lestari Menang). Partai ini sedang berkuasa, atau mungkin
memaksa untuk berkuasa pada masa itu. Pembangunan jembatan ini pun merupakan
salah satu cara untuk menarik perhatian warga.
Kabul yang dulu merupakan aktivis di
kampusnya, yang giat menentang ketidakadilan dan koruptor tidak dapat berbuat
banyak. Puncaknya, karena idealismenya, Kabul pun mengundurkan diri dari proyek
itu. Sudah terlalu banyak hal yang tidak dapat ditoleransi oleh dirinya. Uang
rakyat dihamburkan dengan tidak layak, bahkan tidak menghasilkan apa pun yang
bermanfaat bagi rakyat.
Kabul kecewa pada sahabat semasa kuliahnya,
teman aktivisnya yang menjadi kepala desa itu, Basar. Basar yang semasa mudanya
berdiri di garis depan bersama Kabul ternyata tidak pula dapat berbuat apa-apa
dalam kehidupan nyata. Basar takut jika ia tidak mendukung GLM, posisinya
sebagai kepala desa dapat dilepas.
Kabul kecewa pula pada seniornya yang pula
menjadi atasan Kabul, Dalkijo. Padahal Dalkijo merupakan insinyur dengan satu
almamater dengan Kabul. Kisah hidupnya pun takjauh beda, berangkat dari
kemiskinan menjadi insinyur. Namun Dalkijo merasa ‘permainan proyek’ itu
sah-sah saja. Jika jembatan itu hancur dalam waktu satu-dua tahun, itu malah
merupakan keuntungan baginya karena kelak ia akan mendapatkan proyek perbaikan.
Uang akan mengalir pula ke kantongnya.
Selain itu, Ahmad Tohari menyisipkan kisah
asmara dalam novel ini. Wati, satu-satunya perempuan dalam proyek ini jatuh
cinta pada Kabul. Wati tadinya sudah punya pacar, namun yang namanya jatuh
cinta siapa dapat menahannya. Kabul tidak mau menggangu pacar orang. Dia pun
beberapa kali menjaga jarak pada Wati. Tapi kenyataan berkata lain, Wati putus
dengan pacarnya. Pada akhirnya Wati akan menjadi istri Kabul.
Dikisahkan pula kehidupan buruh bangunan dan
tukang-tukang yang bekerja dalam proyek itu. Mereka kebanyakan berasal dari
desa setempat. Pemuda-pemuda yang putus sekolah, menjadi buruh untuk dapat
membiayai kehidupan satu keluarga.
Kiranya kisah yang mengambil wajah Orde Baru
ini masih sangat familiar di masa sekarang. Siapa yang tidak dekat dengan
korupsi? Berita belakangan ini berkoar-koar tentang masalah itu. Tidak usah
terlalu jauh memandang, bahkan mungkin di sekitar kita pun mereka ada di
mana-mana.
“Mereka, orang-orang proyek, baik dari pihak pemilik
maupun pemborong, sama saja. Mereka tahu dan sadar akan kegilaan mereka. Dan
nampaknya mereka tak peduli. Bagi mereka proyek apa saja dan di mana saja
adalah ajang bancakan. Dan
karena kebiasaan itu, kata ‘proyek’ pun kini memiliki tekanan arti yang khas.
Yakni semacam kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk
jalan pintas menjad kaya. Maka, apa saja bisa diproyekkan.”
“Apa
saja?”
“Ya, apa saja bisa diproyekkan.
Tidak hanya pembangunan jembatan atau infrastruktur lain, tapi juga pengadaan
kotak pemilu, pembagian sembako untuk orang miskin, pengadaan bacaan untuk anak
sekolah, program transmigrasi, program penanggulangan bencana alam. Bahkan
Sidang Umum MPR dan penyusunan undang-undang bisa mereka jadikan proyek yang
mendatangkan duit. Orang-orang proyek rakus dan licin, dan mereka ada di
mana-mana.”
“Kegilaan besar-besaran ini akan berlansung
sampai kapan, Mas?”
Kabul tidak segera menjawab.
Wajahnya beku. Pandangannya seakan buntu. Lalu tangannya bergerak untuk memutar
kunci kontak.
“Rayap baru berhenti makan bila kayu
yang digerogotinya sudah habis. Atau bila mereka disiram racun antiserangga.”(Orang-orang Proyek, 219)
Tiba-tiba saya teringat seorang anak kecil
yang saya temui ketika saya sedang menunggu teman keluar dari ruang wisuda.
Pagi itu, saya sedang asik dengan gorengan yang saya kunyah sampai akhirnya
saya merasa ada yang memerhatikan saya.
Mata anak perempuan itu lekat pada mata saya.
Jari telunjuk kanannya terselip di mulutnya, di cela giginya yang tanggal.
Rambutnya ikal, ada bando pink melintang, serasi dengan bajunya. Segera saya
alihkan pandangan saya. Saya terlalu lapar untuk bisa fokus pada hal-hal selain
itu.
Gorengan hampir habis dan anak itu tidak lepas
pula matanya dari wajah saya. Bodohnya, saya tidak sadar bahwa mungkin anak itu
ingin pula gorengan yang saya makan. Sudah saya jelaskan, saya terlalu lapar
untuk bisa mengerti apa yang terjadi di sekitar saya.
Saya panggil, dia bereaksi. Membuat gerakan
khas anak-anak. Malu-malu. Menghindar. Saya kira selesai. Sudah.
Nyatanya anak itu mondar-mandir di sekitar
tempat saya duduk. Saya heran, di mana orangtuanya. Kenapa anak itu bisa duduk
sendirian di situ. Beberapa kali saya memutar kepala, mencari kira-kira siapa
yang bersama anak itu tapi jawab taktemu.
Tarik-ulur itu berlangsung sampai mungkin
setengah jam lebih. Akhirnya ia mendekat. Berani duduk di sebelah saya.
“Nama kamu siapa?”
Dia diam. Hanya tersenyum malu sambil mengulum
jari telunjuk kanannya. Saya pun takmau memaksa. Saya diam.
Beberapa menit kemudian pertanyaan saya ulang
dan dia tetap diam. Lagi-lagi kami bermain tarik-ulur. Sampai akhirnya dia mau
menggerakkan bibirnya. Tanpa suara.
“Yolanda? Nama kamu Yolanda?”
Dia mengangguk. Ya, saya dapatkan namanya.
Pertanyaan demi pertanyaan pun saya dan teman
saya lontarkan. Ceritanya membuat kami terkejut.
Yolanda ditinggal sendirian di luar. Ia datang
bersama mama, tante, dan kakaknya. Kakaknya di wisuda saat itu. Karena dalam
peraturan dikatakan bahwa anak kecil tidak diperbolehkan masuk ruang wisuda, ia
ditinggal sendirian di luar.
Saya dan teman saya heran, kenapa orangtuanya
berani meninggalkan anaknya yang baru lima tahun sendirian di luar, di tempat
asing pula.
“Kamu ngga takut sendirian di sini?”
“Ngga?” Kepalanya menggeleng dan jarinya tetap
dikulum.
Saya tarik jari itu dari mulutnya.
“Ngga boleh ngulum jari. Banyak cacingnya,
nanti kamu sakit perut.”
Ia pun segera menarik tangannya ke belakang.
Tapi dasar anak kecil, atau memang dasar kebiasaan, jarinya naik lagi ke mulut.
Dan lagi saya tarik tangannya.
Satu jam lebih kami bersama Yolanda. Berbagai
pertanyaan kami ajukan. Begitu pula dengan dia.
“Kakak ngga wisuda?” Tanyanya pada saya.
“Belum, Yola. Kakak belum wisuda. Hehehe...”
Ekspresi yang sama saya berikan pada Yola, ekspresi ketika para handai taulan
bertanya tentang kelulusan. Malu.
Pintu ruang wisuda dibuka. Saya pamit pada
Yolanda.
“Kamu jangan ke mana-mana yah. Tunggu mama
kamu di sini. Kalau liat mama, kamu panggil. Jangan ke mana-mana.”
Yolanda pun mengangguk. Jelas dia anak yang
pintar dan berani. Anak perempuan yang hebat!
Kabar dari teman saya, Yolanda berhasil
bertemu dengan keluarganya. Mamanya memanggil namanya dengan sukacita. Saya
rasa mamanya pasti bangga pada anak perempuannya itu.
Kamu apa kabar, Yolanda? Masih suka mengulum
jari telunjuk?