Tiba-tiba saya teringat seorang anak kecil
yang saya temui ketika saya sedang menunggu teman keluar dari ruang wisuda.
Pagi itu, saya sedang asik dengan gorengan yang saya kunyah sampai akhirnya
saya merasa ada yang memerhatikan saya.
Mata anak perempuan itu lekat pada mata saya.
Jari telunjuk kanannya terselip di mulutnya, di cela giginya yang tanggal.
Rambutnya ikal, ada bando pink melintang, serasi dengan bajunya. Segera saya
alihkan pandangan saya. Saya terlalu lapar untuk bisa fokus pada hal-hal selain
itu.
Gorengan hampir habis dan anak itu tidak lepas
pula matanya dari wajah saya. Bodohnya, saya tidak sadar bahwa mungkin anak itu
ingin pula gorengan yang saya makan. Sudah saya jelaskan, saya terlalu lapar
untuk bisa mengerti apa yang terjadi di sekitar saya.
Saya panggil, dia bereaksi. Membuat gerakan
khas anak-anak. Malu-malu. Menghindar. Saya kira selesai. Sudah.
Nyatanya anak itu mondar-mandir di sekitar
tempat saya duduk. Saya heran, di mana orangtuanya. Kenapa anak itu bisa duduk
sendirian di situ. Beberapa kali saya memutar kepala, mencari kira-kira siapa
yang bersama anak itu tapi jawab taktemu.
Tarik-ulur itu berlangsung sampai mungkin
setengah jam lebih. Akhirnya ia mendekat. Berani duduk di sebelah saya.
“Nama kamu siapa?”
Dia diam. Hanya tersenyum malu sambil mengulum
jari telunjuk kanannya. Saya pun takmau memaksa. Saya diam.
Beberapa menit kemudian pertanyaan saya ulang
dan dia tetap diam. Lagi-lagi kami bermain tarik-ulur. Sampai akhirnya dia mau
menggerakkan bibirnya. Tanpa suara.
“Yolanda? Nama kamu Yolanda?”
Dia mengangguk. Ya, saya dapatkan namanya.
Pertanyaan demi pertanyaan pun saya dan teman
saya lontarkan. Ceritanya membuat kami terkejut.
Yolanda ditinggal sendirian di luar. Ia datang
bersama mama, tante, dan kakaknya. Kakaknya di wisuda saat itu. Karena dalam
peraturan dikatakan bahwa anak kecil tidak diperbolehkan masuk ruang wisuda, ia
ditinggal sendirian di luar.
Saya dan teman saya heran, kenapa orangtuanya
berani meninggalkan anaknya yang baru lima tahun sendirian di luar, di tempat
asing pula.
“Kamu ngga takut sendirian di sini?”
“Ngga?” Kepalanya menggeleng dan jarinya tetap
dikulum.
Saya tarik jari itu dari mulutnya.
“Ngga boleh ngulum jari. Banyak cacingnya,
nanti kamu sakit perut.”
Ia pun segera menarik tangannya ke belakang.
Tapi dasar anak kecil, atau memang dasar kebiasaan, jarinya naik lagi ke mulut.
Dan lagi saya tarik tangannya.
Satu jam lebih kami bersama Yolanda. Berbagai
pertanyaan kami ajukan. Begitu pula dengan dia.
“Kakak ngga wisuda?” Tanyanya pada saya.
“Belum, Yola. Kakak belum wisuda. Hehehe...”
Ekspresi yang sama saya berikan pada Yola, ekspresi ketika para handai taulan
bertanya tentang kelulusan. Malu.
Pintu ruang wisuda dibuka. Saya pamit pada
Yolanda.
“Kamu jangan ke mana-mana yah. Tunggu mama
kamu di sini. Kalau liat mama, kamu panggil. Jangan ke mana-mana.”
Yolanda pun mengangguk. Jelas dia anak yang
pintar dan berani. Anak perempuan yang hebat!
Kabar dari teman saya, Yolanda berhasil
bertemu dengan keluarganya. Mamanya memanggil namanya dengan sukacita. Saya
rasa mamanya pasti bangga pada anak perempuannya itu.
Kamu apa kabar, Yolanda? Masih suka mengulum
jari telunjuk?
No comments:
Post a Comment