Penulis : Ahmad
Tohari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Novel ini
merupakan gabungan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri dari Catatan
buat Emak, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala. Novel
ini menceritakan tentang kehidupan seorang ronggeng yang baru, Srintil, di
sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk. Sudah sekian lama di Dukuh Paruk tidak
terdengar suara-suara calung dan ronggeng. Dan Dukuh Paruk bukanlah Dukuh Paruk
tanpa adanya suara calung dan ronggeng. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana
ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada
ronggeng bersama perangkat calungnya. Akhirnya Sakarya mengetahui bahwa indang ronggeng telah masuk ke dalam
tubuh cucunya itu.
Dalam buku
pertama, Catatan Buat Emak, merupakan awal mula bangkitnya seorang
ronggeng Dukuh Paruk. Di samping tokoh Srintil, ada juga tokoh Rasus yang
menjadi tokoh utama di buku pertama ini. Rasus, sama seperti kebanyakan
anak-anak Dukuh Paruk, seorang anak laki-laki yatim-piatu. Mereka menjadi
yatim-piatu karena musibah yang terjadi dulu. Musibah keracunan tempe bongkrek.
Dalam buku ini
dikisahkan bagaimana Rasus merindukan sosok seorang emak. Dia akhirnya
membayangkan sosok itu dalam tubuh Srintil dan lama kelamaan sosok emak itu
sangat melekat pada tubuh Srintil. Sehingga ketika Srintil akan diangkat
menjadi ronggeng, Rasus tidak menerimanya karena Srintil akan menjadi milik
masyarakat, bukan menjadi miliknya lagi.
Berbagai cara
Rasus upayakan agar Srintil mau berteman lagi dengannya. Dengan memberikan
sebuah keris yang merupakan pusaka keluarganya, Rasus mendapatkan apa yang
diinginkannya. Serintil menjadi temannya lagi. Malah, syarat bukak-klambu, syarat terakhir agar resmi
menjadi ronggeng, Srintil berikan kepada Rasus.
Rasus dengan
bayangan-bayangan emaknya pergi meninggalkan Dukuh Paruk dan bekerja di desa
Dawuan. Rasus selalu bertanya dalam hatinya
apakah emaknya itu sudah meninggal atau masih hidup dan tinggal bersama
mantri yang telah menyelamatkan hidupnya.
Di sana dia
akhirnya bekerja pada markas tentara di bawah kepemimpinan Sersan Slamet. Sosok
kehidupan emaknya itu sangat menghantui Rasus, hingga pada akhirnya meledak
pada saat perburuan bersama Sersan Slamet. Ketika para tentara tertidur, Rasus
mengambil bedil dan menempatkan sebongkah batu cadar di atas sebuah tonggak
kayu. Dengan pisau, Rasus mengukir batu itu menjadi sesosok wajah yang mirip
mantri yang dibayangkannya. Lalu dengan hati-hati, Rasus mengambil jarak dan
memastikan bahwa bedil tidak akan salah sasaran. Rasus menembak bongkahan batu
itu. Dia tidak mempedulikan bertapa kerasnya suara bedil sehingga membangunkan
Sersan Slamet dan bawahannya. Rasus merasa puas telah membunuh mantri yang
telah mengambil ibunya itu. Mantri itu telah mati dan tidak bisa membawa emak,
sehingga Rasus bisa membawa pulang kembali emaknya. Rasus sangat merindukan
sosok emak. Dia selalu berharap emaknya bisa kembali, dan dia bisa menyebut
kata “Emak” seperti anak-anak yang lain memanggil emaknya.
Dalam suatu
insiden perampokkan membawa Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan berhasil
menjatuhkan perampok yang sedang beraksi. Hal tersebut mempertemukan kembali
Rasus dengan Srintil. Rasus kembali ke rumahnya, tempat ia tinggal bersama
neneknya yang sudah sangat renta. Srintil pun menemani. Keesokan paginya, saat
penduduk masih terlelap, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk.
Dalam buku ke
dua, Lintang Kemukus Dinihari, diceritakan bagaimana terpukulnya Srintil
setelah kepergian Rasus. Srintil tidak mau lagi menjadi ronggeng dan tidak mau
lagi melayani pria mana pun. Dia sangat menyayangi Rasus, namun di sisi lain
dia kecewa mengapa Rasus pergi meninggalkannya. Hal yang bisa membuat Srintil
bahagia hanyalah Goder, bayi sahabatnya.
Akhirnya dengan
berbagai pertimbangan, Srintil menerima tawaran manggung pada acara Agustusan.
Srintil tidak enak hati melihat kemelaratan keluarga Sakum karena tidak adanya
pemasukan. Srintil sadar bahwa dia menjadi tulang punggung banyak orang.
Meskipun ada
gangguan, tapi Srintil tetap memukau para pengunjung dan tawaran mulai
berdatangan seperti tawaran Sentika untuk menjad gowok anaknya, Waras. Awalnya Srintil menolak, tapi setelah melihat
sosok Waras, Srintil menerimanya. Selama menjadi gowok, Srintil belajar bahwa tidak semua pria seperti pria-pria
yang dijumpainya selama ini. Waras sangat berbeda dan muncul kasih sayang di
antara mereka.
Kehidupan Dukuh
Paruk berubah sejak masuknya partai yang dipimpin oleh Bakar. Pementasan
diadakan pada setiap rapat yang diadakan oleh Bakar. Pementasan ronggeng mulai
berubah. Banyak hal terjadi sampai akhirnya membawa Dukuh Paruk di ambang
kehancuran. Dukuh Paruk dibakar dan Srintil dipenjara karena telah dianggap
pemberontak seperti Bakar. Kejadian itu membuat Dukuh Paruk jatuh. Namun tidak
lama, karena Dukuh Paruk merupakan desa yang kuat dalam keterasingannya itu.
Dalam buku
ketiga, Jantera Bianglala, dimulai dengan kerinduan Rasus terhadap Dukuh
Paruk dan neneknya. Setelah mendapatkan izin, Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan
sedih ketika melihat Dukuh Paruk semakin hancur dan terlebih ketika nenek yang
ditinggalkannya itu ternyata telah meninggal.
Rasus, sebagai
anak Dukuh Paruk sekaligus seorang tentara, menjadi harapan besar bagi Sakarya
untuk bisa menemukan keberadaan Srintil. Sebuah perjalanan yang panjang dan
tidak mudah, tetapi pada akhirnya Rasus bisa menemukan Srintil, meski Srintil
sudah jauh berubah.
Srintil yang
dibebaskan tetap harus melaporkan dirinya setiap minggu di desa Dawuan.
Orang-orang Dawuan telah mengetahui bahwa Srintil adalah bekas tahanan.
Pandangan masyarakat pun berubah. Tadinya mereka sangat menghargai Srintil
sebagai seorang ronggeng, namun sekarang malah mencibir dan menghina. Hal ini
membuat Srintil memutuskan untuk menjadi wanita biasa dan berhenti menjadi
seorang ronggeng.
Lalu Srintil
mengenal Bajus, seorang laki-laki Jakarta yang sedang berkerja di proyek dekat
Dukuh Paruk. Bajus tidak seperti pria-prtia lain yang datang pada Srintil.
Bajus dianggap sopan dan tidak meminta hal yang aneh. Srintil merasa dihormati
sebagai perempuan dan ia menaruh harapan-harapan terhadap sosok Bajus. Sejak
lama Srintil memimpikan akan menajadi seorang istri dan ibu yang baik dan mimpi
itu ia yakinkan pada Bajus.
Namun semua
terbongkar. Ternyata Bajus menjual Srintil kepada pemimpinnya. Hal ini membuat
Srintril depresi. Semua harapannya sirna. Srintil hilang ingatan dan berubah
menjadi sosok yang lain.
Kemudian Rasus
kembali ke Dukuh Paruk dan menemukan bahwa Srintil sudah berubah menjadi
sesorang yang sudah tidak berniat hidup. Dia merasa sangat bersalah. Seandainya
Rasus mengikuti saran Sakum, maka tidak akan begini jadinya. Dan akhirnya,
Rasus membawa Srintil untuk berobat dan berjanji akan menikahi Srintil apa
adanya.
Novel ini sangat
menarik untuk dibaca. Banyak hal yang bisa dipelajari dari novel ini.
Bertemakan kehidupan masyarakat kecil dalam mempertahankan hidup. Banyak unsur
kebudayaan yang ditanamkan dalam buku ini.
Novel ini
mengenalkan pada kita adanya sebuah tarian adat di Dukuh Paruk. Menjadi seorang
ronggeng pun tidak mudah. Srintil harus mengikuti berbagai upacara syarat, dan ritual agar bisa sah menjadi
seorang ronggeng. Lalu setiap kali akan mengadakan pementasan, selalu diberikan
sesaji untuk menghormati para leluhur. Selain itu, dalam buku ini diceritakan
bagaimana orang-orang Dukuh Paruk sangat menghormati dan menjaga makan Ki
Secamenggala yang diyakini sebagai asal-muasal orang-orang Dukuh Paruk. Rasa
kekeluargaan dalam Desa itu pun sangat tampak. Mungkin karena mereka percaya
bahwa mereka berasalah dari satu moyang yang sama, yaitu Ki Secamenggala.
Novel ini juga
mengisahkan bagaimana semarakanya pemerintahan pada zaman itu. Meskipun sudah
merdeka, namun Dukuh Paruk tidak mengerti apa itu kemerdekaan. Hal itu dapat
dilihat ketika pementasan Agustusan di desa Dawuan. Para petinggi berpidato
tentang kemerdekaan tapi masyarakat Dukuh Paruk tidak mengerti apa yang mereka
biacarakan. Ternyata kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke telinga desa-desa
yang terpencil seperti Dukuh Paruk.
Tetap ada kebodohan dan kemiskinan di sana.
No comments:
Post a Comment