November ini usiamu akan genap 11 tahun, Djati. Kau beranjak remaja. Tapi langkahmu masih pelan, jalanmu masih tertatih. Takapa, jalan di depan masih panjang. Aku hanya berharap umurmu juga sepanjang jalan-jalan di depan.
Sudah lima tahun saya hidup di dalam Djati dan
Djati pun hidup di dalam saya. Sudah begitu banyak pelajaran yang saya terima
dari Djati. Rumah ini penuh dengan banyak hal. Banyak pula orang yang sudah
lalu-lalang. Lima tahun dalam perjalanan penuh semak dan duri. Lima tahun dalam
perjalanan penuh bunga dan aroma manis. Lima tahun ia mencoba bertahan.
Ketika mengenang perjalanan selama lima tahun
bersamanya, saya selalu merasa saya rindu. Padahal ia begitu dekat, tapi ia
sulit dijangkau. Saya mencoba merangkulnya, tidak sendiri, dan ia tetap
terasing sepi dalam sudut remang. Ia terkucilkan. Saya tahu. Saya bisa
merasakan kesedihan dan kesendiriannya.
Banyak orang yang sudah hilir-mudik datang
silih-berganti. Banyak yang melupakannya, banyak pula yang merindukannya.
Banyak pula yang bertanya, “Oh, Djati masih ada?” Ah, ini yang namanya sakit
teriris sembilu. Pilu.
Sebegitu taknampakkah ia di mata orang-orang
yang mengenalnya? Sebegitu terasingkah dia?
Kini kami yang masih bertahan dan kami yang
baru memulai mengenal Djati, berusaha semampu kami untuk menopangnya agar tetap
tegak. Kami masih terus membimbingnya berjalan dengan langkah tegap. Kami masih
terus sabar menjawab bahwa Djati masih hidup, bahwa ia butuh sentuhan dan
perlakuan tidak hanya janji-janji kosong yang menggiurkan.
Saya tahu saya egois. Perihal Djati saya
selalu egois. Saya hanya ingin membuatnya selalu bertahan dan mengurangi rasa
sakit yang menggerus tubuhnya terus-menerus.
Saya rindu ketika kami latihan kami serius
latihan. Kami ingin tahu apa itu teater, apa itu keajaiban yang bisa kami
hasilkan dengan organ-organ tubuh kami. Saya rindu pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik kepala. Saya rindu usulan-usulan yang saking berlimpahnya tidak dapat
kami tampung. Saya rindu mereka yang benar-benar ingin hidup di dalam Djati.
Djati bukan hanya tempat persinggahan. Bukan
itu yang ia inginkan. Ia ingin mereka menetap, walau sejenak. Ia ingin mereka
menyerap apa yang dapat mereka serap. Ia ingin mereka dapat bersatu, dalam satu
nafas.
Bagi saya Djati bukan hanya sekadar nama, bukan
hanya sekadar perkumpulan, bukan hanya sekadar tempat untuk menunjukan jati
diri. Bagi saya ia... Bahkan saya pun takmampu menjelaskan apa arti Djati bagi
saya. Akarnya sudah menancap begitu dalam. Gairahnya begitu bergelora dalam
semilir darah saya. Mungkin menurut sebagian dari kalian apa yang saya utarakan
itu berlebihan, tapi bagi kalian yang mengenal saya dan mengenal Djati, kalian
akan mengerti.
Saya senantiasa berharap ia akan hidup sampai
tidak terhitung generasi yang dihasilkannya. Saya berharap masih banyak orang
yang senantiasa akan membantu ketika ia merangkak menuju ketidakpastian. Saya
hanya berharap paling tidak masih ada segelintir orang yang menyayanginya.
Semoga kegelisahan saya tidak beralasan. Saya
hanya terlalu sentimen ketika berbicara tentangnya.
Di sini kita bersama melangkah sesuka hati
Takberhenti bagai rumput liar di dalam
taman kehidupan
Di sini cerita kita mencoba takmengenal
lelah
Mengukir langit nan tinggi selami lautan
imaji
Djati, sampaikan diri pada langit harapan
Djati, warnai diri dengan sejuta angan
Di sini rumah sederhana terbuka untuk siapa
saja
Berkisah, bersama, takbiarkan mimpi-mimpi
mati
(Jingle Djati)
No comments:
Post a Comment