Saturday, September 24, 2011
The Road
Jika bumi ini nanti tidak dapat menghasilkan apa-apa, manusia akan bertahan hidup dengan cara apa pun. Naluri bertahan sudah ada dalam tubuh manusia sejak ia dilahirkan. Ketika ia lapar, ia akan makan. Ketika haus, ia akan minum. Dan nanti, ketika bumi rusak, ketika tidak ada satu pohon pun atau satu hewan pun yang dapat dimakan, manusia mungkin saja memakan sesamanya. Nyatanya, sekarang saja ada manusia yang memakan sesamanya sendiri, meskipun bumi masih memberi kita sumber makanan.
Itulah kisah yang terjadi dalam novel The Road karya Cormac McCarthy. Novel ini memenangkan penghargaan Pulitzer Prize for Fiction 2007. Saya rasa novel ini memang layak untuk memenangkan penghargaan demikian. Berkisah tentang ayah dan anak yang mencoba bertahan hidup, berdua, di jalan.
Tujuan mereka ke selatan. Saya tidak menemukan alasan kenapa sang ayah memutuskan untuk berjalan ke selatan, atau memang saya yang kurang teliti sehingga tidak menangkap maksudnya. Mereka hidup di jalan. Jalan-jalan berdebu, rumah-rumah, rumput, pohon, bahkan manusia yang mereka temukan telah gosong terbakar api. Air yang mengeruh, berubah menjadi hitam. Mereka hanya berdua, ayah dan anak.
Dalam perjalanannya, sang ayah senantiasa memberitahukan hal yang positif kepada anaknya. Saya rasa itu juga membuat dirinya untuk terus berpikir positif. Ketika ia berkata positif, paling tidak aura positif itu tertinggal sedikit dalam pikirannya.
Mereka mencari makan di mana saja. Mereka masuk ke rumah-rumah tidak berpenghuni, ke toko-toko dan tempat-tempat yang sudah habis dijarah sejak bertahun-tahun lamanya. Mengambil apa yang bisa dimakan. Mengambil apa yang bisa digunakan.
Namun, naluri bertahan tidak hanya milik mereka. Di luar mereka berdua, masih banyak juga manusia yang mencoba bertahan hidup. Mereka pemakan manusia. Sang anak pernah memastikan kepada ayahnya bahwa selapar apapun mereka, mereka tidak boleh memakan manusia karena mereka orang baik.
Selama membaca novel ini, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan ayah dan anak itu di lembar-lembar berikutnya. Saya hanya dapat berpikir apakah mereka akan mendapat makanan dan minuman yang layak dan tempat yang aman untuk beristirahat. Saya was-was apakah nanti mereka akan bertemu dengan orang-orang jahat. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di lembar terakhir dalam novel ini. Saya bersama ayah dan anak itu hanya berpikir untuk bertahan hidup selama mungkin.
Lalu, saya teringat dengan sebuah film yang ceritanya hampir mirip dengan novel ini. Judul film itu adalah The Book of Eli. Kata seorang teman, novel The Road juga sudah diadaptasi ke dalam bentuk film, tapi saya belum menontonnya. Saya tidak tahu kebetulan apa yang terjadi antara novel dan buku ini. Yah, mungkin memang hanya sebuah kebetulan.
Film The Book of Eli kurang lebih sama. Tokoh bernama Eli sedang dalam perjalanan ke Barat. Ia membawa sebuah buku, buku terakhir yang ada di bumi, untuk diselamatkan agar berguna bagi manusia-manusia yang hidup pada masa itu. Dalam film itu digambarkan bahwa bumi telah hancur. Rumah, mobil, dan jalan sudah hancur. Dan manusia, seperti layaknya hukum rimba, bertahan hidup dengan cara apapun termasuk memakan sesamanya.
Lebih dalam, film ini menyatakan bahwa benua Amerikalah yang akan membawa perubahan. Kita tahu bahwa barat sendiri diasosiasikan ke sana. Di akhir cerita pun tergambar benua Amerika.
Kemudian saya berpikir, apakah ini hanya sekadar novel dan film ataukah nanti hal ini akan terjadi. Rasa-rasanya tidak sulit membayangkan kisah ini akan menjadi sebuah kisah nyata di tahun-tahun yang akan datang. Kisah bertahan hidup, percaya bahwa masih ada kehidupan yang lebih baik di ujung bumi bagian lainnya. Baiklah sejak sekarang kita hidup selain bertahan hidup untuk diri sendiri dan keluarga, kita juga mempertahankan hidup bumi kita ini. Semoga ini hanya sebuah kisah fiksi yang tidak akan menjadi kenyataan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment