Ketika sedang latihan teater di kampus, secara kebetulan ternyata di kampus saya akan ada pementasan teater hari itu juga. Yang menyelenggarakan GSSTF. Kami putuskan untuk menyaksikan pementasan itu. Benar-benar kebetulan karena kami tidak tahu ada pementasan teater di gedung yang pelatarannya kami buat untuk tempat latihan.
Acara katanya dimulai pukul 19.00, tapi seperti yang kami duga pementasan dimulai sekitar pukul 19.30. Pementasan pertama dengan naskah monolog Mulut karya Putu Wijaya. Pemainnya Deandra S., atau panggil saja Iska.
Iska mengenakan kebaya berwarna hijau daun segar dengan kain samping sebatas lutut dan memakai tas selempang abu-abu kecil, tanpa sepatu atau sendal. Mulutnya tertutup oleh lakban cokelat. Ia membawa sebuah rebana dan ia mainkan ketika layar dibuka. Hal pertama yang mengganggu saya adalah kaos hitam yang dipakainya di balik kebaya. Hal itu mencolok bagi mata saya karena efeknya jadi tidak indah. Padahal kebaya yang ia pakai warnanya indah.
Hal lain yang saya sayangkan adalah tatanan rambut dan riasan wajahnya. Rambutnya hanya diikat satu biasa di belakang kepala, dengan poni yang panjangnya di bawah mata, dibiarkan tanpa dijepit. Saya menebak bahwa ia akan sibuk dengan poninya nanti dan tebakan saya benar. Riasan wajahnya sederhana, yang terlihat hanya sapuan blush-on cokelat di pipi.
Ketika rebana dimainkan, saya lagi-lagi menyayangkan kenapa rebananya hanya dimainkan seperti itu. Katanya ia pengamen, tapi ‘jarak’ antara rebana dengan dirinya sungguh jauh.
Vokalnya kuat, artikulasinya bagus meskipun tempo bicaranya terlalu cepat. Tapi, intonasi suaranya tidak bervariasi. Terlebih ketika ia menjadi tokoh hansip dan perempuan tanpa mulut. Intonasi tiap tokoh tidak ada yang berbeda, yang berbeda hanya ketegasan dan gaya bicara. Lalu, logat Jawa yang dibawakan juga muncul-tenggelam. Hanya sedikit terasa ketika ia berbicara dengan bahasa Jawa, sisanya, ketika berbicara dengan bahasa Indonesia logatnya tidak muncul sama sekali.
Saya lagi-lagi terganggu dengan gerakan tangannya yang membetulkan kumis ketika ia menjadi tokoh hansip. Mungkin kumis itu akan jatuh, tapi gerakan tangannya yang sesekali membenahi kumis sangat mengganggu. Padahal itu bisa diantisipasi, misalnya jadikan itu kebiasaan hansip untuk mengelus kumisnya ketika ia berbicara. Beberapa orang punya kebiasaan seperti menaikan kacamata, yang meskipun tidak melorot itu akan jadi kebiasaan, sama juga dengan kebiasaan mengelus kumis. Lalu, ketika ia tidak menjadi hansip, kembali menjadi tokoh pengamen, dia lupa bahwa pengamen tidak punya kumis, jadi seharusnya ia tidak membetulkan letak kumis tersebut. Kalau toh memang harus jatuh, ya biarkanlah, toh memang waktunya kumis itu harus jatuh.
Saya rasa ia salah tingkah dengan tubuhnya. Hal itu terlihat dari gerakan tangan dan kakinya yang tidak bisa diam. Saya sendiri merasakan hal seperti itu, ketika saya tidak tahu mau diapakan tangan saya, saya kemudian membuat gerakan aneh. Saran saya, pikirkan sebuah motif. Jadikan motif itu alasan untuk bergerak. Kadang itu efektif, itu membantu berkonsentrasi dan itu juga membantu untuk membuat gerakan-gerakan yang tidak perlu.
Setelah pementasan pertama selesai, ada pembacaan cerpen. Seorang perempuan muncul ketika layar dibuka dan ia mengambil mikrofon yang telah disediakan. Judul cerpen itu saya lupa, pengarangnya Gus T.F..
Saya tidak bisa menikmati sama sekali pembacaan cerpen itu. Perempuan itu terganggu dengan kabel mikrofon yang terbatas. Ketika ia ingin bergerak lebih jauh, ia tidak bisa karena keterbatasan kabel. Padahal saya membayangkan ia akan lebih baik bercerita sambil duduk. Itu akan lebih membuat ia tenang dan membuat fokus pentonton terjaga. Apalagi ia harus membalik kertas yang ia baca.
Lalu, pementasan yang kami tunggu dimulai. Pementasan kedua dengan naskah Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintro. Sebuah kursi taman diapit dua lampu taman ada di atas panggung. Di sebelah kiri belakang duduk seorang pria yang sedang bermain gitar. Suaranya sayup-sayup bahkan mungkin kurang terdengar.
Ketidaktenangan saya ketika pembacaan cerpen terbayar oleh pementasan kedua ini, meskipun ada saja hal yang mengganggu saya.
Sosok perempuan tua, Laura, muncul dari panggung sebelah kanan, dipapah oleh seorang gadis, Petra. Ia duduk di kursi, di sebelah kiri. Pemain tokoh Laura cakap. Gesturnya baik hanya saja gerak tangannya terlalu lama. Gerak tangan itu bukan gerak tangan seorang yang sudah tua, tapi gerak tangan yang temponya dilambatkan. Hal kecil yang terlupakan, ketika ia menyebarkan remah-remah roti ternyata remah-remahnya tidak cukup banyak menurut saya. Saya bisa hitung hanya ada empat atau lima remah roti yang terlempar dihadapannya, padahal burung yang datang tidak mungkin hanya mendapat satu remah roti untuk satu burung.
Lalu, muncul sosok lelaki tua, Gonzalo, dipapah oleh seorang pemuda, Juanito, dari panggung sebelah kiri. Saya agak terganggu dengan gerak kepala Juanito yang terlalu berlebihan ketika mencari-cari kursi lain di taman. Gerakan statis ke kanan dan ke kiri yang diulang beberapa kali.
Pemain tokoh Gonzalo juga cakap. Sosok lelaki tua keras yang tidak suka mengalah berhasil dimainkan olehnya. Ia duduk di kursi, sebelah kanan.
Lalu, ada hal lagi yang saya sayangkan dari tokoh Laura. Ia tidak dapat mempertahankan tokoh Laura dengan baik ketika penonton mulai bereaksi dengan dialog-dialog yang diucapkannya. Padahal seharusnya ia tidak boleh terpengaruh dan kemudian terlena pada reaksi yang diberikan oleh penonton. Reaksi itu muncul dari senyum di wajahnya yang berubah ketika penonton juga turut tertawa dan berkata (atau mengerang?), “Cieeeeeee...”. Pemain yang baik adalah pemain yang bisa berkonsentrasi dengan tokoh yang dibawakannya agar karakternya tidak berubah menjadi tokoh yang diharapkan oleh penonton.
Lalu, pria yang bermain gitar di kiri belakang panggung terlihat sekali ‘mati gaya’ (saya bingung menggunakan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa itu ‘mati gaya’). Ia kentara sekali menunggu dialog-dialog yang tepat untuk dapat memainkan gitarnya. Padahal bisa saja dia asyik dengan gitarnya dan tetap berkonsentrasi dengan dialog. Bukankah dia diletakan di sana sebagai pemusik jalanan?
Lepas dari pementasan, naskah Pagi Bening adalah naskah yang indah dan menyenangkan. Saya sendiri ketika membacanya ingin memindahkan khayalan saya di atas sebuah panggung. Semoga nanti ketika saya siap dan saya mampu, saya dapat merealisasikannya.
Ini hanyalah sebuah pengamatan sederhana dari saya yang menyukai teater. Saya tahu kapasitas saya sebagai orang yang terlibat dalam dunia yang saya sukai ini terbatas. Tapi semoga ini menjadi pembelajaran bagi para penikmat teater dan bagi saya sendiri yang terus ingin memahami teater.
NB1: Permainan lighting kurang halus.
NB2: MC terlihat sombong dan tidak bersahabat :P
No comments:
Post a Comment