Dalam perjalanan pulang dari Lebak Bulus ke
Ciledug kemarin, saya satu angkutan dengan seorang kakek. Ia duduk di serong
kanan depan saya. Udara yang panas dalam angkutan itu nyatanya takbanyak
mengganggunya. Dengan sabar ia duduk menunggu angkutan itu penuh penumpang.
Usia kakek itu mungkin sudah 70 tahun. Rambutnya
sudah putih benar. Kerut-kerut memenuhi seluruh badannya. Bola matanya pun
sudah banyak diselimuti warna putih. Bercak-bercak khas orang tua dapat dilihat
pada lengan-lengannya yang tidak ditutupi kemeja batik cokelat mudanya.
Sesekali ia tertidur. Sesekali pula ia
terbangun ketika jalanan rusak. Sesekali matanya beradu dengan mata saya. Mungkin
dia tahu saya lama sekali memperhatikannya.
Melihat kakek itu saya teringat dengan kakek
saya, papa Mama saya. Dalam bayangan samar kemudian saya mengingat seperti apa
rupa kakek saya. Akung atau Kung-kung, begitulah saya memanggilnya.
Akung saya meninggal pada tanggal 18 Februari
2002, tepat di hari ulang tahun saya yang ke 14. Hari itu hari kedua perayaan
Imlek. Menurut kalender Cina, hari lahir saya tepat di hari kedua Imlek. Keluarga
besar saya pun selalu merayakan ulang tahun saya di hari kedua Imlek. Baru tahun
itu ulang tahun saya berdasarkan tanggalan Cina dan tanggalan internasional bertepatan.
Pada hari kedua Imlek dan tepat pada hari ulang tahun saya, Akung saya
dipanggil oleh Yang Maha Pencipta.
Masih teringat jelas situasi di rumah ketika
itu. Kala itu musim hujan. Beberapa tempat dikawasan kami tinggal masih
terendam air, termasuk lapangan bola yang terletak di depan rumah. Agak ke
bawah. Lapangan yang menyerupai danau dijadikan tempat pemancingan tiba-tiba
oleh Papa saya siang itu. Alat pancing yang dipegangnya seketika dilempar
ketika Papa mendengar berita kematian Akung.
Mama saat itu sedang memasak ketika telepon
berdering. Dari Bangka, rumah Akung saya berada. Para saudara akan datang malam
hari. Kami berkumpul untuk berbagi kebahagiaan Imlek. Beberapa sudah datang
membantu menyiapkan makanan. Isak tangis Mama takkunjung reda meskipun sudah
berapa tangan yang mengelus punggungnya. Makanan takkunjung selesai dimasak
karena semua orang kemudian lupa bahwa hari itu adalah hari kedua Imlek.
Saya masih ingat apa yang saya rasakan. Saya yang
tadinya gembira karena akhirnya saya dapat berulang tahun di tanggal yang
benar, baik tanggalan Cina maupun tanggalan internasional, tiba-tiba merasa
bersalah karena Akung meninggal. Memang bukan salah saya Akung meninggal, tapi
saya malah merasa bersalah karena Akung meninggal di hari ulang tahun saya.
Setelah itu situasi rumah menjadi kacau. Papa dan
Mama saya segera mencari tiket pesawat ke Bangka. Kegiatan memasak dipegang
oleh beberapa tante saya. Malam harinya kami masih berkumpul, tapi tidak ada
suasana gembira, masing-masing turut dalam kesedihan yang dirasakan Mama. Saya pun
tidak gembira menerima ucapan selamat ulang tahun dari saudara-saudara saya,
saya masih merasa bersalah.
Berbulan kemudian, saya sekali memimpikan
Akung. Saya tidak dekat dengan Akung karena sudah lama saya meninggalkan Bangka
dan jarang pulang ke sana. Ketika saya menceritakan mimpi saya kepada Mama dan
kemudian Mama menceritakannya kepada Nenek saya (Pho-pho), Pho-pho heran
mengapa Akung malah datang ke mimpi saya. Pho-pho tahu saya tidak dekat dengan
Akung, jelas saja dia heran.
Di mimpi saya, Akung terbujur kaku. Sudah meninggal
nampaknya. Akung ditidurkan di atas sebuah meja panjang, memakai kaos singlet
putih kegemarannya dan celana pendek yang biasa Akung gunakan di rumah. Seketika
saya tahu Akung ingin sekali merokok. Bahkan sampai sekarang jika saya
mengingat Akung, saya tidak lupa membayangkan sebuah lintingan tembakau di
mulut Akung. Lintingan itu tidak pernah lepas dari mulutnya. Badannya pun lebih
mirip bau tembakau.
Dalam setahun, ada beberapa sembahyangan
diadakan dalam keluarga kami untuk menghormati arwah leluhur. Berbagai sajian
digelar di atas meja. Sejak saya menceritakan mimpi saya, tidak lupa sebatang
rokok kemudian dibakar untuk roh Akung saya. Tidak ada yang membantah. Kami semua
tahu betapa eratnya hubungan Akung dengan rokok.
Sampai hari ini saya masih memikirkan kenapa
saya bisa memimpikan Akung seperti itu. Sebuah mimpi yang manis bagi saya. Karena
tidak ada yang memimpikan Akung seperti saya memimpikannya. Mungkin Akung tahu
rasa bersalah saya, sehingga Akung datang dalam mimpi. Entah. Siapa yang tahu
apa sebenarnya misteri bunga tidur itu.
No comments:
Post a Comment