Awalnya liburan kemarin (yakin liburan?) saya
dan seorang sahabat saya merencanakan perjalanan ke Jogja, namun karena satu
dan lain hal saya memutuskan untuk tidak pergi. Tidak perginya saya pasti
membuat kecewa sahabat saya itu, namun kemudian kami menyusun rencana lain, ke
Dufan.
Entah kenapa dari dulu ketika saya
merencanakan sebuah liburan di suatu tempat bersama teman-teman dari jauh-jauh
hari, biasanya liburan itu gagal. Ketika rencana liburan itu diadakan dadakan,
malah terlaksana. Pergilah kami berdua tanggal 13 Desember kemarin.
Dufan cukup ramai, tapi antrian permainan di
beberapa tempat malah tidak panjang. Puaslah saya menikmati wahana-wahana yang
membuat saya berteriak dan tertawa terpingkal-pingkal.
Saya selalu suka Dufan. Tempat itu selalu
membuat saya santai dan membuat perasaan saya jadi menyenangkan. Pasti banyak
yang merasa demikian karena Dufan taklepas dari para pengunjung yang datang
padanya.
Ada dua permainan yang paling saya sukai di
Dufan. Pertama Kora-kora dan kedua Ontang-anting. Kemarin saya dua kali naik
Kora-kora dan tiga kali naik Ontang-anting. Jika sahabat saya itu lebih berani,
nampaknya saya akan berkali-kali lagi naik Kora-kora. Kali ini dua kali sudah
cukup menyenangkan buat saya.
Banyak yang takut naik Kora-kora, tidak dengan
saya. Saya selalu duduk di bangku paling belakang karena tempat itu akan naik
paling tinggi dan meluncur seolah-olah saya akan jatuh. Ketika meluncur, saya
akan berdiri dan menaikkan kedua tangan saya. Rasanya menyenangkan ketika angin
menderu, lekat pada kedua telapak tangan saya. Saya juga bisa berteriak
sepuasnya sambil tertawa.
Sahabat saya bertanya kenapa saya suka sekali
naik Kora-kora. Saya bilang ketika naik Kora-kora, saya bisa teriak sepuasnya.
Dia berkata, kalau ingin berteriak kenapa tidak di pantai saya, letaknya toh
tidak jauh dari Dufan. Ketika berteriak di pantai, pemincu untuk berteriak
tidak ada. Pantai membuat saya santai tapi tidak ada pemicu yang bisa membuat
saya berteriak sampai tenggorokkan saya sakit. Naik Kora-kora, ketinggian,
luncuran, dan teriakan pemain yang lain bisa menjadi sebuah pemicu bagi saya
untuk teriak sepuasnya. Rasanya lebih plong, lagi pula.
Ontang-anting wahana yang biasa-biasa saja.
Wahana itu hanya berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga nampaknya akan
menabrak tembok-tembok pembatas. Kecepatan itu yang membuat saya senang
menaikinya. Entah mengapa ketika menaiki wahana itu, saya tidak bisa berhenti
tertawa. Saya suka ketika badan saya tidak bisa saya kontrol karena terbawa ke
kanan, mengikuti kecepatan permainan.
Rasa letih yang saya rasakan sebanding dengan
rasa senang yang saya dapatkan. Dengan hati yang masih riang, pulanglah kami
ketika matahari sudah pergi ke bumi bagian lain. Naiklah kami bus Trans
Jakarta, menuju Cawang, tempat kosan sahabat saya itu.
Tempat duduk sudah penuh, kami pun berdiri.
Saya tidak keberatan karena perasaan saya ketika itu sangat baik. Namun ketika
di setiap halte penumpang makin banyak memenuhi isi bus, kebahagiaan saya pun
makin terhisap ke bawah, seolah-olah diambil oleh mereka yang melewati saya.
Ketika itu saya berdiri di dekat pintu. Saya bisa melihat wajah-wajah letih
orang-orang yang baru pulang kerja, yang berharap paling tidak mendapatkan
sebuah tempat berdiri yang nyaman di dalam bus.
Pembagian tempat, perempuan di bagian depan
dan laki-laki di bagian belakang awalnya berjalan dengan baik. Namun karena
padatnya penumpang, akhirnya kami bercampur baur. Agak membuat saya tidak
nyaman, tapi mau bagaimana lagi, semua orang ingin pulang dan sarana yang
digunakan terbatas.
Di satu halte, masuklah seorang perempuan
muda. Usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari saya. Dengan muka
masam ia mencoba masuk. Dengan nada gusar ia berkata, “Geser dong. Gimana sih,
kok ngga mau geser.” Seketika orang-orang memperhatikannya. Saya melihat ke dalam
dan berpikir ke mana lagi kami harus menggeser tubuh-tubuh lelah kami ketika
tangan yang memegang pegangan pun harus berbagi dengan dua-tiga tangan lainnya.
Saya tahu perempuan itu lelah. Tapi tahukan
dia semua orang di dalam bus itu juga lelah? Rasanya keterlaluan ia tidak tahu.
Itu jam orang pulang kerja, sudah pasti banyak orang dalam bus itu juga lelah,
seperti dia. Saya pikir mungkin dia mendapatkan hari yang buruk. Mungkin ia
dimarahi bosnya, atau bertengkar dengan teman kantornya, atau dengan pacarnya,
atau apa pun. Namun, apakah wajib ia memberikan suasana yang tidak menyenangkan
kepada penumpang lain?
Kebahagiaan saya hilang seketika. Seolah-olah
saya dikelilingi oleh para Dementor (yang baca buku dan nonton film Harry
Potter pasti tahu :P). Yang tersisa hanya tubuh yang semakin lelah,
tertarik ke depan dan belakang ketika pedal rem dan gas diinjak bergantian.
Lalu di beberapa halte berikutnya terjadi
sebuah kejadian yang tidak menyenangkan. Sopir salah membuka pintu. Tidak hanya
pintu bagian kanan yang dibuka, bagian kiri pun ikut terbuka. Seorang pria
terjepit di pintu kiri bagian belakang. Saya tidak bisa melihatnya, tubuhnya
terhalang oleh tubuh-tubuh lain dalam bus itu. Dari suaranya saya tahu ia
nampak kesakitan, dan beberapa penumpang pun berekspresi kesakitan ketika
melihatnya. Para penumpang kemudian berteriak, minta pintu itu dibuka kembali
karena ada seorang terjepit. Butuh beberapa menit untuk sopir memahami apa yang
terjadi di dalam bus itu. Sudah pasti tidak hanya para penumpang saya yang
lelah, sopir pun jelas kelelahan.
Setelah terbebas dari pintu, pria yang
terjepit itu langsung berteriak memarahi sopir. Berbagai makian kasar ia
keluarkan. Ia lampiaskan kepada sopir yang tidak bisa ia lihat itu. Kejadian
itu makin membuat keadaan yang sudah tidak menyenangkan semakin tidak
menyenangkan.
Saya tahu dia marah dan kesakitan, namun apa
perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas pada sarana umum yang isinya
tidak hanya penumpang dewasa? Lagipula ia tidak berani mencaci-maki ketika
tubuhnya terjepit di pintu. Ketika lepas, bukan rasa syukur yang diucapkannya
malah makian yang bertubi-tubi. Apakah tidak berani ia mencaci ketika ia
terjepit? Apakah ia takut ternyata cacian itu malah menjadikan keadaannya
semakin buruk, seperti tangan atau kaki yang patah? Apakah setelah ia baik-baik
saja dengan seenaknya ia bisa mencaci sopir yang tidak tahu apa-apa? Rasanya
banyak penumpang yang kaget seperti saya, karena bus itu tiba-tiba hening,
hanya ada teriakan pria yang terjepit itu.
Tidak adil rasanya menimpalkan semua kesalahan
pada salah satu pihak. Dua-duanya jelas salah. Namun secara intuisi manusia
akan mencari kesalahan pada diri orang lain untuk melindungi dirinya, terlebih
pada saat seperti itu.
No comments:
Post a Comment