Tinggal dalam keluarga multiagama menjadikan perayaan Natal bagi saya tiap
tahunnya sama saja. Hambar. Hampa.
Sudah jelas Natal bukan hanya soal perayaan, bukan hanya sekadar hiasan
pohon natal atau kue-kue kering yang tersaji di atas meja, namun paling tidak
saya merindukan suasana Natal yang seperti itu. Suasana Natal yang saya lihat
pada siaran televisi, yang saya dengar dari kisah-kisah para kawan. Suasana
Natal penuh kehangatan bersama keluarga.
Mengenai agama ini toh pilihan saya sendiri. Jelas orangtua tidak melarang,
bahkan menasihati jika memang itu yang terbaik, jalanilah. Keputusan yang sulit
waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Bahkan belum genap 17 tahun.
Dulu, saya bahkan lebih sendiri ketimbang sekarang. Dulu saya kadang ke
gereja ketika perayaan-perayaan hari besar bersama tetangga. Atau bahkan saya
memutuskan untuk ke gereja sendirian jika teman-teman saya hadir bersama
keluarganya. Dulu, saya kesepian meski melihat wajah-wajah yang familiar.
Namun kini, ketika saya sudah bisa ke gereja bersama kakak dan adik saya,
bahkan bersama om, tante, dan para sepupu saya, perasaan itu masih tetap sama.
Saya toh tidak pernah menyesal memilih Katolik sebagai agama yang saya imani.
Tidak pernah sekali pun saya menyesal. Saya malah bangga menjadi berbeda dalam
keluarga dan mungkin saja karena saya beberapa saudara bahkan mengikuti jejak
saya.
Mungkin Tuhan memang tidak mengharapkan saya menyambut kehadiran-Nya dalam
gemerlap perayaan. Mungkin Tuhan ingin saya lebih mempersiapkan diri saya untuk
menyambut kehadiran-Nya di hati saya. Saya senantiasa bersyukur karena
mengenal-Nya dan mengimani-Nya.
Puji Tuhan saya masih bisa merayakan Natal dalam berbagai keragaman. Puji
Tuhan saya masih diperbolehkan menjalani agama yang saya yakini. Segala
puji-pujian untuk-Nya.
Hendaklah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorai di hadapan wajah Tuhan kar'na Ia sudah datang.
No comments:
Post a Comment