Malam ini saya kembali menemukan harta karun!
Ketika sedang beres-beres, saya menemukan sebuah buku yang dulu saya dan
sahabat-sahabat saya namakan Buku Persahabatan. Beneran deh, bukan
kalian aja yang berjengit ketika membaca judul norak itu. Saya saja sekarang tiba-tiba
mikir kok bisa yah dulu namain buku itu dengan judul senorak itu. Hahahaha...
Jadi, ketika saya, Sisca, dan Vika berpisah di
bangku SMA dan melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda-beda, kami
masing-masing memegang Buku Persahabatan ini dan mengisinya sebisa
mungkin. Dan ketika kini saya temukan lagi buku itu, saya percaya bahwa saya
dan mereka benar-benar pernah muda! Hahahaha...
Secara garis besar isinya tidak penting!
Sungguh! Kalau dibaca sekarang, isinya bener-bener ngga penting! Ya ampunnn!
Rasanya ingin mengetik ‘hahahaha’ sebanyak-banyaknya. Ini lucu! Ya, semua hal
yang sudah terjadi, seburuk apapun itu, akan jadi lucu ketika kita memandangnya
dari kacamata yang berbeda. Apalagi buku itu ditulis antara tahun 2006-2007,
ketika kami masih 18-19 tahun.
Ada satu catatan yang membuat saya tertawa
terguling-guling. Catatan ini saya tulis pada tanggal 19 Februari 2007, yang
menceritakan sebuah kejadian yang saya dan Vika alami.
Saat itu saya dan Vika sedang berada di mobil
yang dibawa ayah Vika. Karena hujan turun, ayah Vika berbaik hati mengantar
kami ke gereja. Dalam perjalanan, tiba-tiba ayah Vika bertanya. Kira-kira
begini dialognya.
Om:
Fega, gimana kamu sama keponakan saya itu?
Saya:
Keponakan? (Bertanya dengan bingung, belum ngerti maksudnya)
Om:
Itu. Si R****. Gimana kamu sama dia?
(Seketika saya dan Vika tertawa
terbahak-bahak, diikuti dengan tawa ayah Vika)
Saya:
Yah ngga gimana-gimana, Om.
Om:
Masa kalian putus di tengah jalan sih.
Saya:
Ngga di tengah jalan kok, Om. Masih di awal. Hehehe...
Om:
Kan si R**** itu ganteng.
(Tambah terbahak-bahak lah kami bertiga)
Om:
Emang sih mamanya itu galak.
(Mobil bergoncang saking kerasnya kami
tertawa)
Dan bahkan ketika saya menulis ini, dagu saya
sampai keram karena tertawa. Sungguh! Kejadian ini benar-benar lucu bagi saya.
Si R**** itu bisa dianggap keponakannya ayah
Vika berdasarkan marganya. Jadi ayah Vika tahu ketika dulu saya berhubungan
khusus dengan keponakannya itu. Bahkan sampai sekarang pun ayah Vika masih
menayakan kabar saya dengan si R itu. Karena saya tahu ayah Vika penuh dengan
humor, jadi saya biasa-biasa saja.
Untungnya percakapan itu harus dihentikan
karena ada tetangga Vika yang turut menumpang. Saya terselamatkan :D
Sebenarnya tulisan ini sama tidak pentingnya,
tapi karena geli dan saya harus mengingat kejadian hari ini, tertulislah
catatan ini. Senangnya bisa menemukan harta karun lagi. Paling tidak buku ini
bisa dijadikan cermin bahwa sekarang saya lebih dewasa dibandingkan saya enam
tahun yang lalu. Ya! Saya pernah muda!
Selalu ada buku pertama dari setiap pengarang yang harus
kita baca agar kita bisa tahu seperti apa gaya penulisan pengarang tersebut.
Bagi saya, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye merupakan
buku perdananya yang saya baca. Ketika selesai membacanya, saya menyesal.
Mengapa saya baru bertemu dengannya sekarang? Mengapa saya tidak berusaha
membaca buku-bukunya yang lain, yang jauh lebih lama terbit dibandingkan Kau,
Aku, dan Sepucuk Angpau Merah?
Saya bisa membayangkan bahwa novel ini akan bercerita
tentang cinta. Dari judulnya saya tahu ini kisah tentang cinta dan menyangkut
budaya. Siapa tidak kenal dengan ‘angpau’ yang mengacu pada satu kebudayaan
tertentu. Tapi, saya belum bisa membayangkan sepenuhnya imajinasi apa yang akan
Tere Liye sajikan dalam 507 halaman tersebut.
Tere Liye tidak hanya berkisah tentang percintaan saja,
tetapi lebih luas dari hal itu. Mungkin cinta bisa kita simpulkan sebagai tema
utama novel tersebut, tapi tanpa unsur-unsur lain seperti budaya, persahabatan,
dan falsafah hidup, buku ini akan menjadi hambar. Dengan racikan dan permainan
kata yang pas, novel ini kemudian menjadi sangat menarik untuk dibaca.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah berkisah tentang Borno, seorang pemuda Pontianak lulusan SMA yang harus
masuk ke dunia kerja karena memang keadaannya demikian. Ayahnya meninggal
ketika Borno berusia dua belas tahun, meninggalkan Borno dan ibunya. Tapi Gang
Sempit tempat mereka tinggal memang sempit, Borno dan ibunya tidak ditinggalkan
sendiri. Masih ada sahabat-sahabat ayahnya yang turun membantu keluarga kecil
itu.
Novel ini dibuka dengan prolog yang menceritakan kematian
ayah Borno. Ayahnya meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Tersengat
ubur-ubur. Alangkah tidak terimanya Borno ketika ia diberitahu bahwa dada
ayahnya akan dibelah, jantungnya akan didonorkan pada orang lain yang saat itu
sedang kritis, di rumah sakit yang sama. Borno yang baru berusia dua belas tahun
tidak mengerti mengapa ayahnya yang sebenarnya masih bisa bertahan hidup harus
dibelah dadanya dan diambil jantungnya. Ia hanya bisa menangis dan berteriak di
lorong rumah sakit itu. Tapi siapa sangka, ternyata prolog yang penuh dengan
sedu-sedan itulah yang pada akhirnya menjadi benang merah dari keseluruhan
novel ini.
Setelah lulus SMA Borno bekerja. Pekerjaan pertamanya di
pabrik karet. Dari muak sampai terbiasa dengan bau karet yang busuk, Borno
bekerja. Sayangnya pabrik itu harus tutup dan Borno harus mencari pekerjaan
yang lain. Kali kedua Borno pergi ke kantor syahbandar Pontianak, berharap akan
mendapatkan pekerjaan. Namun syahbandar itu hanya menerima pekerja yang cakap
sedangkan Borno hanya lulusan SMA. Untungnya syahbandar itu orang yang baik, ia
merekomendasikan Borno ke Kepala Operator Feri Kapuas dan Borno diterima
sebagai pemeriksa karcis.
Dewi Fortuna memang tidak bersama Borno kala itu. Para
pengemudi sepit mengucilkan Borno karena ia bekerja di dermaga feri. Dermaga
feri merupakan musuh besar bagi pengemudi sepit. Sejak ada feri di sepanjang
sungai Kapuas tersebut, penghasilan pengemudi sepit jauh berkurang dan bahkan
harus ada yang gulung tikar. Hal itu pula yang menimpa kakek Borno. Karena hal
itulah Borno dianggap sebagai anak durhaka, bekerja di tempat yang sudah
membuat keluarga pengemudi sepit merana.
Borno tetap bekerja di Pelampung, istilah yang digunakan
oleh pengemudi sepit untuk menyebut feri, meskipun ia harus menanggung resiko.
Setiap hari Borno pergi dan pulang kerja dengan menggunakan angkutan umum
karena Bang Togar memasang pengumuman bahwa tidak ada satu pun sepit yang boleh
mengantar Borno sampai Borno keluar dari tempat kerjanya itu. Betapa tidak
merana hati Borno dikucilkan oleh orang-orang terdekatnya, namun asalkan uang
kerjanya itu halal ia tidak masalah.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menjauh dari Borno. Borno merasa ia
harus keluar dari dermaga itu karena ternyata penarik tiket yang lain berbuat
curang dengan jumlah tiket. Mereka korupsi. Borno yang hatinya selurus sungai
Kapuas merasa tidak nyaman dan keluarlah ia dari sana.
Beranjaklah Borno menuju gedung-gedung tinggi. Ia hendak
mencari kerja lagi. Kata yang punya gedung pekerjaannya sepele tapi uang yang
dihasilkan begitu melimpah. Hanya urusan ludah-meludah yang pada akhirnya
membuat Borno harus merelakan pekerjaan itu. Ia tidak bisa bekerja dikelilingi
burung. Apalagi urusan ludah-meludah ini ternyata adalah sarang burung walet.
Kembali menjauhlah Dewi Fortuna dari sisi Borno.
Sepit. Ide itu yang muncul kemudian dari ibu Borno setelah
ia melihat Borno kerja luntang-lantung membantu tetangga di sekitar rumah.
Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit karena itulah wasiat dari Bapaknya,
jangan menjadi pengemudi sepit. Tapi setelah dijelaskan oleh ibunya, Pak Tua,
Koh Acong, dan Cik Tulani, Borno pun sepakat akan belajar mengemudi sepit.
Borno pasti tidak pernah menyangka bahwa dari sepit inilah
kehidupannya nanti akan berubah. Meskipun hari-hari awal ia belajar sepit, ah
tidak, lebih tepat dikatakan dijadikan pesuruh oleh Bang Togar, terasa berat,
Borno menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Untung ada Pak Tua yang senantiasa
menemani dan sangat bijaksana dalam melihat satu kejadian.
Kisahnya sebagai pemuda bermula pada sepucuk angpau merah
yang jatuh pada lantai sepitnya. Ia yakin pemilik angpau merah itu adalah
seorang gadis cantik berwajah oriental yang naik sepitnya. Takpelak lagi
bayang-bayang gadis itu muncul dalam kepala Borno.
Hari-hari berikutnya dilalui Borno dengan harapan dapat
bertemu dengan gadis itu. Ia ingin mengembalikan angpau itu, karena mungkin
angpau itu tidak sengaja jatuh ke sepitnya. Dan hari yang ditunggu pun tiba.
Ternyata gadis itu membawa angpau yang sama ketika Borno
bertemu dengannya. Saat itu menjelang imlek dan gadis itu sedang
membagi-bagikan angpau di dermaga sepit. Kecewalah hati Borno ketika tahu bahwa
ternyata angpau yang ia temukan ternyata tidak istimewa.
Namanya Mei. Nama yang berdasarkan bulan kelahiran yang
bagi Borno terlihat lucu. Hal itu pula yang ia sampaikan kepada Mei ketika kali
lain ia bertemu, ketika Borno mulai menunggu di urutan tiga belas. Urutan itu
sengaja diatur oleh Borno setelah ia tahu jadwal keberangkatan Mei.
Perjalanan yang disengaja, yang hanya memerlukan waktu lima
belas menit untuk mengarungi sungai Kapuas menjadi saat yang paling ditunggu
Borno. Perjalanan singkat yang membuat perasaan Borno makin kuat pada Mei. Mei
pun berbalas, menurut pandangan saya. Jika Mei tidak menaruh rasa pada Borno,
tidak mungkin Mei dengan senang hati bertemu dengan Borno apalagi sampai minta
diajarkan untuk mengemudi sepit.
Selain mengemudi sepit, Borno juga sering membantu di
bengkel sahabatnya, Andi. Dari bengkel itulah ternyata diketahui bakat lain
yang terpendam dalam diri Borno. Ia mahir dengan mesin. Ayah Andi pun menaruh
harapan besar pada Borno, berharap kelak dapat membesarkan bengkel bersama
Borno. Mei yang tahu kemahiran Borno terhadap mesin membelikan sebuah buku
tentang mesin, hadiah untuk Borno. Betapa senang hati Borno ketika ia
mendapatkan hadiah istimewa itu.
Perjalanan asmaranya tentu tidak berjalan mulus. Jika
cerita ini lancar-lancar saja, tentu novel ini akan menjadi hambar. Mei harus
kembali ke Surabaya, tempat kediamannya. Peristiwa ini membuat Borno
luluh-lantak. Sedih akan kepergian Mei. Tapi Borno selalu yakin bahwa Mei akan
kembali.
Pak Tua tiba-tiba jatuh sakit. Badannya yang sudah tua
tidak mampu menerima segala macam makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Asam
uratnya menjadikan tubuh Pak Tua ringkih. Ketika tahu ada terapi asam urat di
Surabaya, Pak Tua mengajak Borno untuk ikut dengannya. Ini kesempatan untuk
bertemu dengan Mei, pikir Borno.
Hidup ini penuh dengan kebetulan. Itu pun yang dialami oleh
Borno. Ternyata tempat terapi Pak Tua sama dengan tempat terapi nenek Mei. Borno
pun kebetulan bertemu di tempat itu. Pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan
pula Borno dengan ayah Mei.
Ayah Mei melarang Borno untuk bertemu dengan Mei. Borno
ketar-ketir. Ia pun berpikir, siapalah dirinya ini hingga pantas untuk Mei.
Keluarga mereka jelas-jelas berbeda. Mei dari keluarga berada sedangkan Borno
hanyalah pengemudi sepit yang tidak jelas masa depannya. Kembalinya Borno ke
Pontianak disertai pula dengan perasaan yang mengganjal tentang Mei dan
ayahnya.
Pertemuan dengan dokter gigi cantik, Sarah, merupakan kisah
yang menarik dalam novel ini. Lagi-lagi hidup penuh dengan kebetulan. Sarah
merupakan anak perempuan yang ayahnya merupakan penerima donor jantung ayah
Borno. Sarah dan keluarganya tidak pernah lupa akan kebaikan hati ayah Borno
karena berkat jantung itu ayah Sarah mampu bertahan jauh lebih lama dari yang
diharapkan.
Sarah merupakan sosok yang berbeda dibandingkan dengan Mei.
Ia gadis yang manis, ceria, periang, dan baik hati. Meskipun seorang dokter, ia
tidak segan-segan masuk dalam pergaulan Borno dan Gang Sempit. Sosok gadis ini
menjadikan novel ini lebih berwarna.
Awalnya saya mengira bahwa Borno akan jatuh hati pada
Sarah, tapi saya berpikir ulang bahwa cerita tidak akan semudah itu
dibayangkan. Dan benar saja, konflik puncak yang berhubungan dengan Mei pun
muncul.
Mei yang telah kembali ke Pontianak tiba-tiba tidak ingin
bertemu dengan Borno. Ia tidak lagi datang dan naik sepit urutan tiga belas.
Borno yang tidak mengerti berusaha mencari cara untuk bertemu dengan Mei.
Sayangnya, Mei tetap tidak memberikan jawabannya, tetap menolak untuk bertemu
dengan Borno.
Sampai akhirnya di akhir cerita, ketika sedang diadakan
final mengemudi sepit dalam rangka tujuh belasan, bibi yang bekerja di rumah
Mei mengabarkan bahwa Mei akan pergi ke Surabaya dan ia sedang sakit keras.
Semua jawaban atas pertanyaan di kepala Borno ada pada sepucuk angpau merah
yang dulu dijatuhkan oleh Mei di lantai sepit. Angpau yang bukan kebetulan
jatuh melainkan dijatuhkan dengan sengaja.
Angpau itu berisi surat pengakuan Mei. Mei adalah anak dari
dokter yang melakukan operasi ayah Borno dulu. Ibu Mei saat itu sedang haus
akan nama kebesarannya sebagai dokter. Ayah Borno sebenarnya masih bisa
diselamatkan, tapi karena hati ibu Mei yang telah dibutakan oleh nama besar, ia
lebih memilih nama besarnya dibandingkan keselamatan ayah Borno.
Ibu Mei merasa bersalah dan terus menerus memikirkan
peristiwa itu. Apalagi bayang-bayang Borno yang berteriak dan menangis membuat
ibu Mei sangat merasa bersalah. Rasa bersalahnya itu kemudian menjadikan
penyakit bagi ibu Mei. Hal itu pula yang terjadi pada Mei. Rasa bersalah Mei
pada Borno menjadikan Mei jatuh sakit. Sakit yang tidak bisa diobati oleh
dokter dan obat mana pun.
Benang merah yang dibangun oleh Tere Liye begitu rapi dan
menarik. Peristiwa-peristiwa yang disajikan juga membangun cerita ini menjadi
menarik. Setiap peristiwa membangun pula karakter dari setiap tokoh dalam novel
ini. Mungkin ada kalimat yang mengatakan bahwa hati Borno adalah hati yang
paling lurus, seperti sungai Kapuas. Tapi karakter itu tidak akan kuat ketika
peristiwa yang disajikan tidak mendukung pembentukan karakter dari setiap
tokohnya.
Kisah cinta merupakan kisah yang paling banyak dituangkan
ke dalam bentuk fiksi. Kisah ini menjadi begitu populer untuk dibaca. Meskipun
begitu, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tidak menjadikan kisah
cinta sesuatu yang menye-menye, yang labil. Dengan kedewasaan yang pas
pada pemilihan tokohnya, menjadikan novel ini dewasa dan di satu sisi tidak
meninggalkan greget masa muda.
Humor-humor ringan pun disajikan dengan pas, tidak
berlebihan. Humor yang sederhana. Ketika membacanya, pada halaman tertentu kita
bisa mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, dan di halaman berikutnya kita
bisa pula ikut tertawa bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Humornya tidak pasaran,
tidak kita temui di buku lain yang mungkin memilih humor yang sedang menjadi
tren.
Selain itu, novel ini juga berisi sentilan-sentilan bagi
masyarakat modern masa sekarang. Ketika banyak novel membicarakan cinta dan
metropolitan, Tere Liye malah memilih sungai Kapuas, Pontianak, bengkel, Gang
Sempit, dan dermaga sepit. Tokoh Mei dan Sarah sendiri menjadi tokoh
‘pemberontak’ yang diciptakan Tere Liye untuk menggambarkan bahwa status sosial
bukanlah hal yang membuat suatu jarak.
Selain itu, penamaan tokoh dalam novel ini pun memberitahu
kita bahwa bangsa kita, Pontianak khususnya, penuh dengan kebudayaan. Perbedaan
budaya itu, Borno yang asli Pontianak, Bang Togar yang orang Batak, Koh Acong
yang orang Tionghoa, Cik Tulani yang melayu, merupakan perbedaan yang
memperkuat, bukan perbedaan yang malah menjatuhkan.
Saya rasa, novel ini menjadi angin segar bagi pembaca muda
ketika kita kehilangan arah untuk memilih sebuah bacaan. Tidak perlu mengarah
ke barat untuk mengenal yang lain, cukup bukalah novel ini dan kita pun tahu
bahwa ada penulis yang bisa menulis dengan baik.
Jika kita tidak mendapatkan atau sedikit
mendapatkan sesuatu ketika kita selesai menonton sebuah film, paling tidak ada
dua faktor yang bisa kita kaitkan dengan hal tersebut. Pertama, film yang kita
tonton tidak (terlalu) bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kedua,
kita tidak bisa menangkap apa yang disampaikan film tersebut.
Rasa kantuk dan bosan serta tidak mengena
adalah rasa yang ada ketika saya menonton film Soegija. Film yang dari
sebulan kemarin sudah diumbar wajib ditonton oleh umat Katolik ini ternyata
film yang mengecewakan bagi saya. Tidak seperti yang saya bayangkan dan apa
yang saya tangkap masih samar-samar.
Gereja menghimbau agar umat mencontoh sikap
Romo Soegija, tokoh pribumi pertama yang diangkat sebagai uskup, yang arif,
bijaksana, dan penuh dengan belas kasih. Sosok yang bukan hanya sebagai seorang
agamawan tetapi juga pahlawan pada masa itu. Tetapi, karena sosok tersebut
ditampilkan dalam media film, maka yang harus dicari permasalahannya adalah
film itu, bukan sosok asli Romo Soegija.
Para aktor utama tidak kuat memainkan
tokohnya. Nirwan Dewanto sebagai Soegija terlalu kaku, terlalu berjarak bagi
saya. Tidak seperti sosok yang dekat dengan umatnya, yang dipercaya, dan
dihormati. Tokoh itu malah seperti tokoh pemimpin yang berjarak dengan
sekitarnya, bahkan dengan tokoh Koster Toegimin (Butet Kertarajasa). Malah,
tokoh Toegimin malah lebih menarik bagi saya dibandingkan Soegija. Tokoh
tesebut lebih terlihat manusiawi.
Lepas dari apakah sosok Romo Soegija yang asli
seperti itu atau tidak, penonton yang tidak mengenal akan mencaritahu bagaimana
karakter dari Romo Soegija dari peran Nirwan Dewanto. Dan bagi saya, jika
berdasarkan film tersebut, Romo Soegija adalah sosok yang kaku, yang menutup
diri, tidak bersahabat, dan bukan sosok sebagai seorang pemimpin. Saya rasa
bukan sosok itu yang ingin disampaikan. Saya rasa.
Lalu ada tokoh Mariyem yang diperankan oleh
Annisa Hertami. Saya sebel dengan tokoh ini. Tokoh ini begitu membingungkan,
sosok yang banyak ditemukan pada masa sekarang. Sosok perempuan muda yang masih
labil. Mariyem diceritakan sebagai seorang perawat dengan karakter yang baik,
pengasih, dan sensitif. Terlalu sensitif malah. Di kala waktu, ia terlihat
begitu bahagia dalam percintaannya dengan seorang pemuda Belanda, Hendrick. Di kala
lain, ia begitu meledak-ledak dalam amarah ketika Hendrick disangkanya
menyinggungnya sebagai perempuan pribumi. Karakter Mariyem membingungkan buat saya.
Bukan berarti saya membenarkan kata-kata Hendrick yang kadang memang
membingungkan. Saya lebih menyayangkan penggambaran tokoh Mariyem yang tidak
stabil. Padahal tokoh ini merupakan tokoh sentral.
Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu
dan tidak masuk akal. Adegan pertama adalah adegan seperti gambar di bawah ini.
Pada gambar tersebut ada pertengkaran antara
dua laki-laki, saya lupa namanya. Adegan itu bagi saya tidak masuk akal karena
paduan suara tetap menyanyi sepanjang pertengkaran dua lelaki tersebut. Padahal
pertengkaran terjadi di depan barisan paduan suara. Logikanya, ketika ada yang
bertengkar pasti pusat perhatian akan tertuju pada yang bertengkar dan seketika
kegiatan akan terhenti. Tapi paduan suara tersebut tetap bernyanyi bahkan
terlihat begitu menikmati pertengkaran tersebut.
Adegan kedua adalah adegan seperti gambar di
bawah ini.
Adegan itu menurut saya tidak penting dan
tidak perlu dimasukkan. Untuk apa menunjukkan bahu Mariyam yang terbuka? Apa
motifnya? Lagipula, Mariyam sedang berganti pakaian dan menurut saya tidak
masuk akal saja ketika Mariyam melihat-lihat kondisi bahunya padahal ia hanya ingin memakai baju.
Lalu, adegan seperti gambar di bawah ini
seperti adegan di film Titanic. Pemain musik dalam kedua film tersebut
sama-sama melanjutkan permainan musik mereka meskipun bahaya sedang mengancam. Yang
menjadikannya berbeda adalah dalam film Soegija terlihat sekali tidak
naturalnya para pemain. Lebih pada sebuah paksaan. Berbeda dengan film Titanic
yang bermain musik karena keinginan masing-masing.
Dua tokoh pemimpin penjajah digambarkan
sebagai dua sosok. Pertama sebagai sosok pemimpin yang kejam. Kedua sebagai
sosok seorang ayah yang luluh pada anak kecil. Hal ini menyimpulkan bahwa
perang sebenarnya tidak lebih dari paksaan, bahkan bagi para pemimpinnya. Ketika
dihadapkan dengan anak-anak dan keluarga, hati mereka seketika rindu akan kehidupan dan tanah
air mereka sendiri.
Simpulannya, film ini tidak fokus akan hal
yang dibicarakan. Meskipun tokoh yang diangkat adalah tokoh Soegija, film ini
tidak banyak membicarakan tokoh tersebut. Saya lebih melihat banyaknya
pemusatan cerita pada tokoh Mariyem. Sehingga “Soegija, 100% Katolik 100%
Indonesia” kurang saya dapatkan dalam film ini.
Bukan hanya cerita yang penting diperhatikan
dalam pembuatan kisah fiksi, banyak hal kecil lain yang juga harus
diperhatikan. Apalagi film ini film yang bisa saja jadi sebuah hal yang
dipertentangkan dalam negeri ini. Tapi saya cukup bangga ternyata ada yang bisa
mengangkat peristiwa-peristiwa penting yang bukan hanya tentang agama, tapi
juga tentang sejarah bangsa dan kebangsaan.
Saya harap tidak semua penonton yang
mengartikan secara harafiah hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam film ini.
Banyak hal yang harus dicaritahu kebenarannya sehingga tidak timbul pemikiran
pribadi yang subjektif. Mari menjadi pentonton yang bijak.
Cerita tujuh hari yang lalu sudah selesai. Jurnal
perjalanan ini pun sudah selesai saya laporkan. Berharap paling tidak saya
sendiri yang membaca akan merasakan bahwa tulisan ini masih jauh dari baik. Eh,
ini apa sih? Hahahaha...
Nampaknya saya masih belum bangun 100%, saya
masih ngelantur di pagi yang malas ini :D
Simpulan (duileehh, masih kebawa suasana skripsi nih yeee) setelah empat hari di KL antara lain: 1. Udara di KL lebih panas ketimbang udara di sini. Atau mungkin saya saja yang tidak pernah keluar rumah sehingga perbandingannya kurang meyakinkan :D 2. Lalu lintas di KL jauh lebih tertib dibandingkan di sini. Saya menikmati sekali perjalanan di KL karena warganya tertib. Menyeberang jalan saja tidak membuat saya ketar-ketir seperti di sini. 3. KL jauh lebih bersih dibandingkan di sini. Orang-orang respek pada sampah dan tempat sampah, meskipun pemandangan kota dan jalannya tidak jauh-jauh dengan pemandangan di Jakarta dan sekitarnya. 4. LTR dan monorailnya tepat waktu, tertib, dan sangat memudahkan. 5. Budayanya menakjubkan karena di KL terhimpun oleh orang-orang Melayu, China, dan India. Bahasanya jadi campur aduk. Saran saya, kalau kamu bisa berbahasa Indonesia, lebih baik gunakan bahasa Indonesia karena lebih dekat dengan bahasa Melayu. Jadi kesannya kita lebih akrab dengan orang-orang di sana. 6. Mungkin karena banyak pendatang atau karena kebudayaannya, mereka tidak terlalu memperhatikan turis yang lalu-lalang. Tidak seperti di sini yang melototin bule yang jalan di mana-mana. Hahahaha... 7. Porsi setiap makanan sangat banyak tapi orangnya tidak gendut-gendut (kaya saya :P). Jelas sehat, mereka jalan kaki ke mana-mana. Pantas saja kaki saya langsung gempor ketika beradaptasi dengan gaya hidup mereka.
Kira-kira itu sedikit simpulan yang bisa saya dapatkan dan saya pikirkan.
Ah, rasanya tidak sabar untuk kembali
menjajaki kota-kota yang lainnya. Tapi...
Ya, pada akhirnya saya harus kembali ke rumah.
Kembali pada rutinitas yang takpernah memuaskan. Selalu bosan di tengah
perjalanan kemudian merencanakan kembali sebuah liburan. Saya pun harus mulai
masuk dalam rutinitas yang saya tidak tahu kapan harus saya mulai.
Ini waktu saya bukan? Semoga memang waktu yang
tepat untuk memulai segala. Lagi pula, kapan waktu tidak pernah tepat waktu?
Selamat hari Selasa. Selamat menghirup udara
panas-pengap kota. Jangan lupa tersenyum, paling tidak pada telapak tanganmu :)
Harus ada perpisahan ketika kita bertemu
dengan sebuah perjumpaan. Liburan kali ini pun harus berakhir. Di hari keempat
ini, kami pulang.
Pesawat kami lepas landas pukul 11.30 waktu
Malaysia dari terminal LCCT. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke LCCT dari
tempat kami menginap sekitar satu jam. Jadi setelah kami membenahi
barang-barang, kami pun segera berangkat.
Sebelum pergi, saya baca kembali catatan yang
dibuat oleh para pengunjung di penginapan itu. Berharap nanti saya bisa kembali
ke tempat itu untuk memuaskan liburan yang lebih menyenangkan. Rasanya bersyukur
sekali ketika saya tahu bahwa berbagai orang dari berbagai penjuru negara sudah
singgah lebih dulu di tempat penginapan kecil itu. Kami sama-sama terikat pada
hal yang tidak terlihat. Hahaha...
Catatan yang ditulis dengan berbagai bahasa. Ketika
melihat ada catatan dengan bahasa Indonesia, segera saya rindu. Ya, saya akan
kembali mendengar bahasa itu dalam keseharian saya lagi.
Setelah siap kami berpamitan dengan penjaga
penginapan. Ucapan terima kasih pun tidak luput. Kami turuni lagi tangga-tangga
yang di awal kedatangan kami bagaikan musuh tubuh lelah kami.
Sekali lagi kami naik LTR menuju KL Sentral. Dari
KL Sentral kami naik bus menuju LCCT. Dan setelah check in serta melewati
petugas imigrasi, kami pun menunggu pesawat kami lepas landas.
Hari ketiga ini kami pergi ke Genting. Frasa Go
Genting! ini banyak terlihat di kaca bus yang menuju ke sana. Semakin membangkitkan
semangat agar bisa cepat sampai di sana. Goooooo Gentiinnnnggg!
Genting merupakan dataran tinggi di Malaysia. Waktu tempuh dari KL Sentral kurang lebih satu jam menggunakan bus,
tidak terlalu jauh ternyata. Lalu, untuk mencapai Genting Highland, kita bisa
menggunakan Genting Skyway, gondola! Waw! Ini yang paling saya tunggu-tunggu. Genting
Skyway yang kabarnya terpanjang dan tercepat se-Asia (Tenggara?).
Bus berhenti di terminal bus, tempat naiknya
gondola. Udara sejuk segera melingkupi. Selain naik gondola, kendaraan juga
bisa mencapai Genting Highland, tapi rasanya kurang pol kalau tidak naik
gondola. Selain itu, gondola sudah menjadi tiket gabungan dengan tiket bus. Lalu
kita juga bisa memilih tiket lain yaitu theme park atau lunch buffet.
Berhubung dana kami terbatas, kami hanya membeli tiket bus dan gondola :D
Antrian gondola ternyata panjaaaannnnnggggg
sekali. Ramai dengan keluarga karena itu hari Minggu. Kami mengantri satu jam
lebih. Meskipun lama, antrian itu tidak terlalu membosankan, mungkin karena
perasaan hati saya sedang senang :P Selain itu saya juga bisa melihat orang
dari berbagai suku bangsa dan negara, ya meskipun kebanyakan orang Malaysia,
tapi Malaysia saja banyak keberagamannya.
Selain itu ada dua orang badut yang senantiasa
membuat balon rupa-bentuk untuk diberikan kepada anak kecil yang turut
mengantri. Dua badut cantik itu pun menjadi pusat perhatian karena senyum tidak
pernah lepas dari mulut mereka. Sayangnya balon-balon itu hanya untuk anak
kecil, padahal saya juga mau :( Mereka juga
acap kali diajak foto bersama, termasuk dengan saya dan Sisca.
Ketika giliran kami tiba, saya pun mulai
merasakan degupan meningkat. Excited! Seiring berjalanannya gondola,
degupan makin cepat. Sebenarnya saya takut ketinggian tapi saya selalu senang
naik wahana yang membuat pacu jantung saya berdegup.
Perjalanan naik gondola sekitar 13 menit. Pemandangannya
berupa hutan, makin membuat saya ketar-ketir. Naik, turun, naik, turun, seperti
naik wahana di Dufan. Hahaha... Tempat tujuan masih belum terlihat dan saya pun
makin penasaran bagaimana caranya membangun tiang-tiang penahan gondola di
tengah hutan seperti itu.
Lalu, tidak berapa lama bangunan putih itu
mulai terlihat. Diselubungi kabut, oh bukan, itu awan! Genting Highland dikenal
juga sebagai Fun City Above The Cloud karena memang dikelilingi oleh
awan. Dingin!
Tibalah kami di pusat belanja yang megah. Saya
sebenarnya kecewa dengan apa yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan.
Sebelumnya saya tidak tahu ternyata ujung dari gondola yang saya naiki itu
ternyata sebuah mall yang megah. Hahaha... Bodohnya saya, saya tidak
mencari informasi terlebih dahulu mengenai Genting. Tadinya saya kira Genting
itu lebih mengutamakan pemandangan karena kita ke sana naik gondola, tapi
ternyata saya bertemu dengan mall. Yah, mungkin memang terlalu konsumtif
kali ya...
Tujuan pertama kami adalah mencari tempat
makan. Kami lapar! Sarapan hanya a la kadarnya dan saat itu sudah lewat dari
tengah hari. Wajar saja kami lapar. Putar-putar kami putari tempat besar itu
untuk mencari tempat makan yang cocok dan sampailah kami pada tempat perhentian
kami.
Tidak banyak yang bisa kami lihat selain
keramaian orang dan keramaian wahana-wahana outdoor dan indoor yang
disajikan. Karena kami tidak membeli paket wahana, kami jelas tidak bisa
memasuki wahana tersebut. Lagipula kami juga tidak terlalu berminat menaikinya.
Setelah lelah berjalan, kami putuskan untuk
kembali. Berharap antrian belum padat sehingga kami bisa berdua saja dalam satu
gondola. Sayangnya antrian mulai dipenuhi meskipun kami termasuk yang paling
depan. Kami pun harus membagi gondola dengan yang lainnya.
Perjalanan pulang naik gondola kali ini lebih
menegangkan karena kami akan turun sehingga jarak dari gondola ke bawah juga
semakin jauh. Pula, angin lebih kencang saat itu, sehingga gondola beberapa
kali berhenti. Wah, degdegdegdeg! Puji Tuhan kami selamat sampai di bawah.
Karena kami bisa pulang lebih awal, kami
putuskan untuk kembali memutari Chinatown. Saya masih harus membeli beberapa
oleh-oleh untuk para handai taulan. Saat itu Chinatown cukup ramai dan saya
baru sadar bahwa kali itu pertama kalinya kami ke sana ketika malam. Biasanya
kami ke sana pada siang hari atau malah terlalu malam sehingga kios-kios sudah
tutup. Saatnya aksi tawar-menawar! :D
Ah, hari ketiga yang menyenangkan itu harus
berakhir! Go Genting!
Biaya H 3:
Tiket LTR : 2 RM
Tiket bus + skyway PP KL Central – Genting –
KL Sentral sekitar : 21 RM
Perjalanan hari kedua ini merupakan hari yang
paling tidak beruntung dari empat hari saya di Malaysia. Bermula dari alergi Sisca
yang tiba-tiba muncul. Padahal seingatnya terakhir kali alerginya muncul itu
ketika ia kuliah. Kenapa bisa muncul lagi ketika kami sedang liburan seperti
ini? T___T
Kami berencana mengunjungi kota Melaka di hari
kedua itu. Konon kota Melaka merupakan kota yang cantik dengan
bangunan-bangunan tuanya. Selain itu, kami sudah penasaran ingin mencicipi rice
ball a la Melaka (tetep yee, ujung-ujungnya makanan :P).
Selain sebagai partner jalan-jalan,
Sisca juga sebagai tour guide saya. Sisca sudah pernah ke Malaysia
sekali, selama dua minggu. Namun ia belum pernah mengunjungi Melaka. Berbekal informasi
dari internet dan niat yang menggebu-gebu, kami nekat pergi ke Melaka.
Rencana awalnya kami pergi pukul 08.00, tapi
karena alergi Sisca keberangkatan kami mundur sampai sekitar pukul 10.30. Penundaan
keberangkatan itu disebabkan oleh belum bukanya apotek terdekat. Hahaha.. Dari
pada tidak ada yang bisa disalahkan :P Rata-rata toko di sana mulai buka pukul
09.00 atau 10.00. Waktu buka yang tidak sesuai dengan kebiasaan saya di sini. Karena
perbedaan waktu satu jam lebih awal, pukul 07.00 di Malaysia saja masih gelap. Wajar
saja toko buka agak siang di sana.
Kami harus naik LRT sekitar 15 menit untuk
sampai ke terminal bus TBS (Terminal Bersepadu Selatan). Bentuk terminalnya menurut saya lebih bagus
daripada terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, lebih bagus dari pada LCCT. Beneran
deh! Terminal bus ini bagus banget! *yak, saya mulai lebay
Antrian di depan loket tiket panjang. Dengan
sabar-tidak sabar kami ikut dalam antrian. Dapatlah tiket pukul 12.00 dan tiket
pulang pukul 20.00. Penjual tiket agak kaget ketika kami bilang membeli tiket
pulang malam itu juga. Dan benar saja, saya juga agak menyesal pada akhirnya.
Interior Bus TBS - Malaka Sentral
Ah, ada satu hal menyebalkan yang terjadi
ketika saya membeli minum di mini market di dalam terminal itu. Minuman yang saya
beli harganya 2.20 RM. Karena tidak punya uang kecil saya berikan 5 RM. Penjaga
kasir seketika bertanya, “Orang Indonesia ya?”, saya jawab, “Ya.” Seketika ia
mengomel dengan kata-kata yang cepat. Agak sulit saya tangkap kata demi
katanya, tapi intinya dia kesal saya orang Indonesia dan saya membayar dengan
uang 5 RM. Kejadian itu sampai melekat di kepala saya bahkan sampai saya pulang
dari Melaka!
Perjalanan membutuhkan waktu sekitar tiga jam
karena ternyata jalanan macet. Saya baru ingat hari itu hari Sabtu, pasti
banyak keluarga yang ingin berakhir pekan di Melaka. Ya, pergi jauh di akhir
pekan itu bukan pilihan yang baik. Jalanan padat, bahkan di dalam tol.
Tiba di Melaka Sentral sudah sekitar pukul
15.30 dan ternyata kami masih harus naik bus sekali untuk bisa sampai di tempat
yang ingin kami tuju. Melihat ada yang menjual rice ball di terminal
itu, kami mampir dulu. Dan sayang sungguh sayang, saking laparnya kami lupa
mengambil foto makanan itu. Padahal makanan itulah yang paling kami
tunggu-tunggu! Sebagai gambarannya, saya unduh gambarnya.
Kira-kira Penampakannya Seperti Ini
Kini cerita akan saya padatkan. Intinya kami
tidak berhasil sampai ke tempat tujuan kami karena masalah waktu. Kami berhasil
naik bus yang benar tapi tidak berhasil sampai tempat tujuan. Hari itu adalah
hari yang menegangkan bagi saya dan teman saya itu. Saya sadari kami kesal satu
dengan yang lain. Kurang tidur, alergi, lelah, perjalanan panjang, udara panas,
makin meningkatkan emosi kami. Tidak jarang nada suara kami mendadak jadi
tinggi.
Sudah saya duga liburan kami tidak mungkin
akan sempurna tiap harinya. Harus ada yang terjadi agar kami bisa belajar dari
hal-hal yang terjadi. Semoga saja ketegangan hari itu hanya terjadi pada hari
itu, tidak akan terulang lagi di hari-hari nanti ketika saya dan Sisca liburan
bersama lagi. Ah, semoga Sisca tidak kapok menemani saya :D
Dengan perasaan yang campur aduk, hari kedua
selesai!
Biaya H 2:
Tiket LRT sepanjang hari kira-kira : 7 RM
Tiket PP TBS – Melaka Sentral – TBS : 25 RM Bus Lokal : 2 RM
Sekitar pukul 05.30 sebuah taksi berhenti di
depan rumah. Sisca sudah datang menjemput. Saya pun bersegera. Bawaan saya satu
tas ransel dan tas selempang. Dengan kaos, celana panjang jeans, dan sepatu
sneakers, saya siap berangkat. Tujuan kami Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta.
Kami sangat bersemangat, sudah tidak sabar
ingin cepat-cepat sampai ke Malaysia, ke Kuala Lumpur. Setelah check in
dan melewati imigrasi, menunggulah kami, menunggu jam keberangkatan 07.30.
Lama terbang sekitar satu jam 45 menit dan
perbedaan waktu Malaysia dengan Indonesia adalah satu jam lebih cepat. Penerbangan
cukup menegangkan karena penuh dengan goncangan. Cuaca cerah bagi saya bukan
berarti cuaca cerah bagi pilot dan pesawat. Banyaknya awan membuat badan
pesawat bergoyang-goyang.
Kami pun tiba di Low Cost Carrier Terminal
(LCCT) Malaysia sekitar pukul 11.30 waktu Malaysia. Panas. Itu yang saya
rasakan ketika turun dari pesawat. Malaysia lebih panas dibandingkan Indonesia.
Dari LCCT naik bus sekali ke KL Sentral. Dari KL Sentral naik LRT ke terminal
Pasar Seni. Dan dari Pasar Seni kami berjalan kaki sebentar untuk sampai ke
tempat penginapan.
Bus dari LCCT ke KL Sentral
Penginapan kami bernama Submarine Guest Houseyang letaknya di dekat Central Market. Menurut alamat, tempatnya di
lantai dua, tapi setelah kami masuk dan sampai di lantai dua ada tulisan One
more level up. Oke, kami harus naik satu lantai lagi. Hosh hosh hosh...
Tidak besar namun bersih. Syukurlah. Saya lebih mengutamakan kebersihan dibanding tempat besar yang tidak nyaman. Lagi, tempat ini mirip kosan!
Setelah beberes ala kadarnya dan beristirahat sejenak,
kami mulai rencana jalan-jalan kami. Tempat yang akan kami kunjungi di hari pertama
ini adalah Central Market, Chinatown, Bukit Bintang, dan Petronas. Tujuannya:
belanja. Hahahaha... Hari pertama dan sudah belanja itu adalah pilihan yang
salah! Isi dompet tiba-tiba hilang setengahnya. Bahayaaa!
Ah, ya! Berpergian bersama sahabat yang
sama-sama suka makan juga bahaya. Ke mana-mana yang dilihat makanannya dan
kayanya merasa berdosa kalo ngga icip-icip makanan-makanan itu. Apalagi di
Central Market dan Chinatown penuh dengan jajanan kecil-kecilan dan letak dua
tempat itu tidak berdekatan. Hahahaha... Sudah dapat dipastikan pipi saya makin
membulat setelah liburan ini.
Central Market, Since 1888
Setelah jalan-jalan dan membeli beberapa
barang di Central Market dan Chinatown, kami naik LRT ke Bukit Bintang. Menyenangkan naik LRT, cepat! Hahaha.. Norak sekali saya ini! Habisnya terbisa terjebak macet di Indonesia jadi berasa gimana gitu pas ketemu lalu lintas yang lancar. Hahaha...
Bukit Bintang dan Petronas merupakan tempat belanja, yah mall lah namanya. Dan memang salah ke tempat itu pada hari pertama. Uang saya menipis seketikaaa! Apalagi keharusan membelikan oleh-oleh untuk para saudara yang sudah diwajibkan oleh Mama. Pusinglah saya!
Saya lupa pukul berapa saya dan sahabat saya kembali ke penginapan. Sepertinya sekitar pukul 22.00 atau 23.00. Tapi yang pasti saya ingat adalah kaki saya yang rasanya mau copot. Jalan-jalan seharian membuat kerja otot badan saya dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya. Apalagi belakangan ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan leptop, di dalam ruangan. Tidak heran kamar kami jadi bau balsam. Hahahaha..
Hari pertama selesai!
Biaya H 1:
1. Tiket PP Indonesia - KL - Indonesia : Rp525.000
2. Tax bandara Indonesia : Rp150.000 (padahal di KL ngga pake tax -.-)
3. Tiket bus LCCT - KL Sentral : 9 RM
4. Tiket LRT sepanjang hari kira-kira : 7 RM
5. Makan 2x kira-kira : 5-8 RM/makan (8 RM itu udah termasuk mewah!)
6. Penginapan 4 hari 3 malam sekitar : Rp270.000
Total: ITUNG SENDIRI :P (ngga termasuk biaya takterduga lainnya :P)
Perjalanan ini dimulai ketika seorang sahabat saya,
Sisca, mengetwit seperti ini pada tanggal 3 Mei kemarin.
Segeralah saya bertanya dan dengan segera pula
ia menjawab dan mengajak pergi ke negara tetangga, KL.
Setelah saya minta izin pada orang tua dan
Sisca minta izin cuti pada kantornya (sungguh, ini perbandingan yang sangat
kontras -.-), tiket pun dibeli dan hotel dicari. Mulailah isi kepala saya penuh
dengan nuansa liburan. Padahal masih sebulan lagi saya berangkat, 1 Juni.
Dan ya, seperti yang disangka, waktu berjalan
dengan irama yang taktentu. Kadang terasa lambat, kadang cepat sampai saya
harus berlari terengah-engah. Sampaaaiii... 1 Juni pun datang dan saya bersama
Sisca lepas landas meninggalkan langit Indonesia sejenak :)
Kami liburan!
Jurnal perjalanan singkat ini rencananya akan
saya tulis dalam empat bagian karena perjalanan ini terdiri dari empat hari. Semoga
saya tidak lupa menuliskannya dan semoga kalian tidak jenuh membacanya. Tunggu kesan-kesan
perjalanan saya yaaaa :P