Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau
Merah
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Selalu ada buku pertama dari setiap pengarang yang harus
kita baca agar kita bisa tahu seperti apa gaya penulisan pengarang tersebut.
Bagi saya, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye merupakan
buku perdananya yang saya baca. Ketika selesai membacanya, saya menyesal.
Mengapa saya baru bertemu dengannya sekarang? Mengapa saya tidak berusaha
membaca buku-bukunya yang lain, yang jauh lebih lama terbit dibandingkan Kau,
Aku, dan Sepucuk Angpau Merah?
Saya bisa membayangkan bahwa novel ini akan bercerita
tentang cinta. Dari judulnya saya tahu ini kisah tentang cinta dan menyangkut
budaya. Siapa tidak kenal dengan ‘angpau’ yang mengacu pada satu kebudayaan
tertentu. Tapi, saya belum bisa membayangkan sepenuhnya imajinasi apa yang akan
Tere Liye sajikan dalam 507 halaman tersebut.
Tere Liye tidak hanya berkisah tentang percintaan saja,
tetapi lebih luas dari hal itu. Mungkin cinta bisa kita simpulkan sebagai tema
utama novel tersebut, tapi tanpa unsur-unsur lain seperti budaya, persahabatan,
dan falsafah hidup, buku ini akan menjadi hambar. Dengan racikan dan permainan
kata yang pas, novel ini kemudian menjadi sangat menarik untuk dibaca.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah berkisah tentang Borno, seorang pemuda Pontianak lulusan SMA yang harus
masuk ke dunia kerja karena memang keadaannya demikian. Ayahnya meninggal
ketika Borno berusia dua belas tahun, meninggalkan Borno dan ibunya. Tapi Gang
Sempit tempat mereka tinggal memang sempit, Borno dan ibunya tidak ditinggalkan
sendiri. Masih ada sahabat-sahabat ayahnya yang turun membantu keluarga kecil
itu.
Novel ini dibuka dengan prolog yang menceritakan kematian
ayah Borno. Ayahnya meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Tersengat
ubur-ubur. Alangkah tidak terimanya Borno ketika ia diberitahu bahwa dada
ayahnya akan dibelah, jantungnya akan didonorkan pada orang lain yang saat itu
sedang kritis, di rumah sakit yang sama. Borno yang baru berusia dua belas tahun
tidak mengerti mengapa ayahnya yang sebenarnya masih bisa bertahan hidup harus
dibelah dadanya dan diambil jantungnya. Ia hanya bisa menangis dan berteriak di
lorong rumah sakit itu. Tapi siapa sangka, ternyata prolog yang penuh dengan
sedu-sedan itulah yang pada akhirnya menjadi benang merah dari keseluruhan
novel ini.
Setelah lulus SMA Borno bekerja. Pekerjaan pertamanya di
pabrik karet. Dari muak sampai terbiasa dengan bau karet yang busuk, Borno
bekerja. Sayangnya pabrik itu harus tutup dan Borno harus mencari pekerjaan
yang lain. Kali kedua Borno pergi ke kantor syahbandar Pontianak, berharap akan
mendapatkan pekerjaan. Namun syahbandar itu hanya menerima pekerja yang cakap
sedangkan Borno hanya lulusan SMA. Untungnya syahbandar itu orang yang baik, ia
merekomendasikan Borno ke Kepala Operator Feri Kapuas dan Borno diterima
sebagai pemeriksa karcis.
Dewi Fortuna memang tidak bersama Borno kala itu. Para
pengemudi sepit mengucilkan Borno karena ia bekerja di dermaga feri. Dermaga
feri merupakan musuh besar bagi pengemudi sepit. Sejak ada feri di sepanjang
sungai Kapuas tersebut, penghasilan pengemudi sepit jauh berkurang dan bahkan
harus ada yang gulung tikar. Hal itu pula yang menimpa kakek Borno. Karena hal
itulah Borno dianggap sebagai anak durhaka, bekerja di tempat yang sudah
membuat keluarga pengemudi sepit merana.
Borno tetap bekerja di Pelampung, istilah yang digunakan
oleh pengemudi sepit untuk menyebut feri, meskipun ia harus menanggung resiko.
Setiap hari Borno pergi dan pulang kerja dengan menggunakan angkutan umum
karena Bang Togar memasang pengumuman bahwa tidak ada satu pun sepit yang boleh
mengantar Borno sampai Borno keluar dari tempat kerjanya itu. Betapa tidak
merana hati Borno dikucilkan oleh orang-orang terdekatnya, namun asalkan uang
kerjanya itu halal ia tidak masalah.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menjauh dari Borno. Borno merasa ia
harus keluar dari dermaga itu karena ternyata penarik tiket yang lain berbuat
curang dengan jumlah tiket. Mereka korupsi. Borno yang hatinya selurus sungai
Kapuas merasa tidak nyaman dan keluarlah ia dari sana.
Beranjaklah Borno menuju gedung-gedung tinggi. Ia hendak
mencari kerja lagi. Kata yang punya gedung pekerjaannya sepele tapi uang yang
dihasilkan begitu melimpah. Hanya urusan ludah-meludah yang pada akhirnya
membuat Borno harus merelakan pekerjaan itu. Ia tidak bisa bekerja dikelilingi
burung. Apalagi urusan ludah-meludah ini ternyata adalah sarang burung walet.
Kembali menjauhlah Dewi Fortuna dari sisi Borno.
Sepit. Ide itu yang muncul kemudian dari ibu Borno setelah
ia melihat Borno kerja luntang-lantung membantu tetangga di sekitar rumah.
Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit karena itulah wasiat dari Bapaknya,
jangan menjadi pengemudi sepit. Tapi setelah dijelaskan oleh ibunya, Pak Tua,
Koh Acong, dan Cik Tulani, Borno pun sepakat akan belajar mengemudi sepit.
Borno pasti tidak pernah menyangka bahwa dari sepit inilah
kehidupannya nanti akan berubah. Meskipun hari-hari awal ia belajar sepit, ah
tidak, lebih tepat dikatakan dijadikan pesuruh oleh Bang Togar, terasa berat,
Borno menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Untung ada Pak Tua yang senantiasa
menemani dan sangat bijaksana dalam melihat satu kejadian.
Kisahnya sebagai pemuda bermula pada sepucuk angpau merah
yang jatuh pada lantai sepitnya. Ia yakin pemilik angpau merah itu adalah
seorang gadis cantik berwajah oriental yang naik sepitnya. Takpelak lagi
bayang-bayang gadis itu muncul dalam kepala Borno.
Hari-hari berikutnya dilalui Borno dengan harapan dapat
bertemu dengan gadis itu. Ia ingin mengembalikan angpau itu, karena mungkin
angpau itu tidak sengaja jatuh ke sepitnya. Dan hari yang ditunggu pun tiba.
Ternyata gadis itu membawa angpau yang sama ketika Borno
bertemu dengannya. Saat itu menjelang imlek dan gadis itu sedang
membagi-bagikan angpau di dermaga sepit. Kecewalah hati Borno ketika tahu bahwa
ternyata angpau yang ia temukan ternyata tidak istimewa.
Namanya Mei. Nama yang berdasarkan bulan kelahiran yang
bagi Borno terlihat lucu. Hal itu pula yang ia sampaikan kepada Mei ketika kali
lain ia bertemu, ketika Borno mulai menunggu di urutan tiga belas. Urutan itu
sengaja diatur oleh Borno setelah ia tahu jadwal keberangkatan Mei.
Perjalanan yang disengaja, yang hanya memerlukan waktu lima
belas menit untuk mengarungi sungai Kapuas menjadi saat yang paling ditunggu
Borno. Perjalanan singkat yang membuat perasaan Borno makin kuat pada Mei. Mei
pun berbalas, menurut pandangan saya. Jika Mei tidak menaruh rasa pada Borno,
tidak mungkin Mei dengan senang hati bertemu dengan Borno apalagi sampai minta
diajarkan untuk mengemudi sepit.
Selain mengemudi sepit, Borno juga sering membantu di
bengkel sahabatnya, Andi. Dari bengkel itulah ternyata diketahui bakat lain
yang terpendam dalam diri Borno. Ia mahir dengan mesin. Ayah Andi pun menaruh
harapan besar pada Borno, berharap kelak dapat membesarkan bengkel bersama
Borno. Mei yang tahu kemahiran Borno terhadap mesin membelikan sebuah buku
tentang mesin, hadiah untuk Borno. Betapa senang hati Borno ketika ia
mendapatkan hadiah istimewa itu.
Perjalanan asmaranya tentu tidak berjalan mulus. Jika
cerita ini lancar-lancar saja, tentu novel ini akan menjadi hambar. Mei harus
kembali ke Surabaya, tempat kediamannya. Peristiwa ini membuat Borno
luluh-lantak. Sedih akan kepergian Mei. Tapi Borno selalu yakin bahwa Mei akan
kembali.
Pak Tua tiba-tiba jatuh sakit. Badannya yang sudah tua
tidak mampu menerima segala macam makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Asam
uratnya menjadikan tubuh Pak Tua ringkih. Ketika tahu ada terapi asam urat di
Surabaya, Pak Tua mengajak Borno untuk ikut dengannya. Ini kesempatan untuk
bertemu dengan Mei, pikir Borno.
Hidup ini penuh dengan kebetulan. Itu pun yang dialami oleh
Borno. Ternyata tempat terapi Pak Tua sama dengan tempat terapi nenek Mei. Borno
pun kebetulan bertemu di tempat itu. Pertemuan yang pada akhirnya mempertemukan
pula Borno dengan ayah Mei.
Ayah Mei melarang Borno untuk bertemu dengan Mei. Borno
ketar-ketir. Ia pun berpikir, siapalah dirinya ini hingga pantas untuk Mei.
Keluarga mereka jelas-jelas berbeda. Mei dari keluarga berada sedangkan Borno
hanyalah pengemudi sepit yang tidak jelas masa depannya. Kembalinya Borno ke
Pontianak disertai pula dengan perasaan yang mengganjal tentang Mei dan
ayahnya.
Pertemuan dengan dokter gigi cantik, Sarah, merupakan kisah
yang menarik dalam novel ini. Lagi-lagi hidup penuh dengan kebetulan. Sarah
merupakan anak perempuan yang ayahnya merupakan penerima donor jantung ayah
Borno. Sarah dan keluarganya tidak pernah lupa akan kebaikan hati ayah Borno
karena berkat jantung itu ayah Sarah mampu bertahan jauh lebih lama dari yang
diharapkan.
Sarah merupakan sosok yang berbeda dibandingkan dengan Mei.
Ia gadis yang manis, ceria, periang, dan baik hati. Meskipun seorang dokter, ia
tidak segan-segan masuk dalam pergaulan Borno dan Gang Sempit. Sosok gadis ini
menjadikan novel ini lebih berwarna.
Awalnya saya mengira bahwa Borno akan jatuh hati pada
Sarah, tapi saya berpikir ulang bahwa cerita tidak akan semudah itu
dibayangkan. Dan benar saja, konflik puncak yang berhubungan dengan Mei pun
muncul.
Mei yang telah kembali ke Pontianak tiba-tiba tidak ingin
bertemu dengan Borno. Ia tidak lagi datang dan naik sepit urutan tiga belas.
Borno yang tidak mengerti berusaha mencari cara untuk bertemu dengan Mei.
Sayangnya, Mei tetap tidak memberikan jawabannya, tetap menolak untuk bertemu
dengan Borno.
Sampai akhirnya di akhir cerita, ketika sedang diadakan
final mengemudi sepit dalam rangka tujuh belasan, bibi yang bekerja di rumah
Mei mengabarkan bahwa Mei akan pergi ke Surabaya dan ia sedang sakit keras.
Semua jawaban atas pertanyaan di kepala Borno ada pada sepucuk angpau merah
yang dulu dijatuhkan oleh Mei di lantai sepit. Angpau yang bukan kebetulan
jatuh melainkan dijatuhkan dengan sengaja.
Angpau itu berisi surat pengakuan Mei. Mei adalah anak dari
dokter yang melakukan operasi ayah Borno dulu. Ibu Mei saat itu sedang haus
akan nama kebesarannya sebagai dokter. Ayah Borno sebenarnya masih bisa
diselamatkan, tapi karena hati ibu Mei yang telah dibutakan oleh nama besar, ia
lebih memilih nama besarnya dibandingkan keselamatan ayah Borno.
Ibu Mei merasa bersalah dan terus menerus memikirkan
peristiwa itu. Apalagi bayang-bayang Borno yang berteriak dan menangis membuat
ibu Mei sangat merasa bersalah. Rasa bersalahnya itu kemudian menjadikan
penyakit bagi ibu Mei. Hal itu pula yang terjadi pada Mei. Rasa bersalah Mei
pada Borno menjadikan Mei jatuh sakit. Sakit yang tidak bisa diobati oleh
dokter dan obat mana pun.
Benang merah yang dibangun oleh Tere Liye begitu rapi dan
menarik. Peristiwa-peristiwa yang disajikan juga membangun cerita ini menjadi
menarik. Setiap peristiwa membangun pula karakter dari setiap tokoh dalam novel
ini. Mungkin ada kalimat yang mengatakan bahwa hati Borno adalah hati yang
paling lurus, seperti sungai Kapuas. Tapi karakter itu tidak akan kuat ketika
peristiwa yang disajikan tidak mendukung pembentukan karakter dari setiap
tokohnya.
Kisah cinta merupakan kisah yang paling banyak dituangkan
ke dalam bentuk fiksi. Kisah ini menjadi begitu populer untuk dibaca. Meskipun
begitu, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tidak menjadikan kisah
cinta sesuatu yang menye-menye, yang labil. Dengan kedewasaan yang pas
pada pemilihan tokohnya, menjadikan novel ini dewasa dan di satu sisi tidak
meninggalkan greget masa muda.
Humor-humor ringan pun disajikan dengan pas, tidak
berlebihan. Humor yang sederhana. Ketika membacanya, pada halaman tertentu kita
bisa mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, dan di halaman berikutnya kita
bisa pula ikut tertawa bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Humornya tidak pasaran,
tidak kita temui di buku lain yang mungkin memilih humor yang sedang menjadi
tren.
Selain itu, novel ini juga berisi sentilan-sentilan bagi
masyarakat modern masa sekarang. Ketika banyak novel membicarakan cinta dan
metropolitan, Tere Liye malah memilih sungai Kapuas, Pontianak, bengkel, Gang
Sempit, dan dermaga sepit. Tokoh Mei dan Sarah sendiri menjadi tokoh
‘pemberontak’ yang diciptakan Tere Liye untuk menggambarkan bahwa status sosial
bukanlah hal yang membuat suatu jarak.
Selain itu, penamaan tokoh dalam novel ini pun memberitahu
kita bahwa bangsa kita, Pontianak khususnya, penuh dengan kebudayaan. Perbedaan
budaya itu, Borno yang asli Pontianak, Bang Togar yang orang Batak, Koh Acong
yang orang Tionghoa, Cik Tulani yang melayu, merupakan perbedaan yang
memperkuat, bukan perbedaan yang malah menjatuhkan.
Saya rasa, novel ini menjadi angin segar bagi pembaca muda
ketika kita kehilangan arah untuk memilih sebuah bacaan. Tidak perlu mengarah
ke barat untuk mengenal yang lain, cukup bukalah novel ini dan kita pun tahu
bahwa ada penulis yang bisa menulis dengan baik.
No comments:
Post a Comment