Jika kita tidak mendapatkan atau sedikit
mendapatkan sesuatu ketika kita selesai menonton sebuah film, paling tidak ada
dua faktor yang bisa kita kaitkan dengan hal tersebut. Pertama, film yang kita
tonton tidak (terlalu) bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kedua,
kita tidak bisa menangkap apa yang disampaikan film tersebut.
Rasa kantuk dan bosan serta tidak mengena
adalah rasa yang ada ketika saya menonton film Soegija. Film yang dari
sebulan kemarin sudah diumbar wajib ditonton oleh umat Katolik ini ternyata
film yang mengecewakan bagi saya. Tidak seperti yang saya bayangkan dan apa
yang saya tangkap masih samar-samar.
Gereja menghimbau agar umat mencontoh sikap
Romo Soegija, tokoh pribumi pertama yang diangkat sebagai uskup, yang arif,
bijaksana, dan penuh dengan belas kasih. Sosok yang bukan hanya sebagai seorang
agamawan tetapi juga pahlawan pada masa itu. Tetapi, karena sosok tersebut
ditampilkan dalam media film, maka yang harus dicari permasalahannya adalah
film itu, bukan sosok asli Romo Soegija.
Para aktor utama tidak kuat memainkan
tokohnya. Nirwan Dewanto sebagai Soegija terlalu kaku, terlalu berjarak bagi
saya. Tidak seperti sosok yang dekat dengan umatnya, yang dipercaya, dan
dihormati. Tokoh itu malah seperti tokoh pemimpin yang berjarak dengan
sekitarnya, bahkan dengan tokoh Koster Toegimin (Butet Kertarajasa). Malah,
tokoh Toegimin malah lebih menarik bagi saya dibandingkan Soegija. Tokoh
tesebut lebih terlihat manusiawi.
Lepas dari apakah sosok Romo Soegija yang asli
seperti itu atau tidak, penonton yang tidak mengenal akan mencaritahu bagaimana
karakter dari Romo Soegija dari peran Nirwan Dewanto. Dan bagi saya, jika
berdasarkan film tersebut, Romo Soegija adalah sosok yang kaku, yang menutup
diri, tidak bersahabat, dan bukan sosok sebagai seorang pemimpin. Saya rasa
bukan sosok itu yang ingin disampaikan. Saya rasa.
Lalu ada tokoh Mariyem yang diperankan oleh
Annisa Hertami. Saya sebel dengan tokoh ini. Tokoh ini begitu membingungkan,
sosok yang banyak ditemukan pada masa sekarang. Sosok perempuan muda yang masih
labil. Mariyem diceritakan sebagai seorang perawat dengan karakter yang baik,
pengasih, dan sensitif. Terlalu sensitif malah. Di kala waktu, ia terlihat
begitu bahagia dalam percintaannya dengan seorang pemuda Belanda, Hendrick. Di kala
lain, ia begitu meledak-ledak dalam amarah ketika Hendrick disangkanya
menyinggungnya sebagai perempuan pribumi. Karakter Mariyem membingungkan buat saya.
Bukan berarti saya membenarkan kata-kata Hendrick yang kadang memang
membingungkan. Saya lebih menyayangkan penggambaran tokoh Mariyem yang tidak
stabil. Padahal tokoh ini merupakan tokoh sentral.
Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu
dan tidak masuk akal. Adegan pertama adalah adegan seperti gambar di bawah ini.
Pada gambar tersebut ada pertengkaran antara
dua laki-laki, saya lupa namanya. Adegan itu bagi saya tidak masuk akal karena
paduan suara tetap menyanyi sepanjang pertengkaran dua lelaki tersebut. Padahal
pertengkaran terjadi di depan barisan paduan suara. Logikanya, ketika ada yang
bertengkar pasti pusat perhatian akan tertuju pada yang bertengkar dan seketika
kegiatan akan terhenti. Tapi paduan suara tersebut tetap bernyanyi bahkan
terlihat begitu menikmati pertengkaran tersebut.
Adegan kedua adalah adegan seperti gambar di
bawah ini.
Adegan itu menurut saya tidak penting dan
tidak perlu dimasukkan. Untuk apa menunjukkan bahu Mariyam yang terbuka? Apa
motifnya? Lagipula, Mariyam sedang berganti pakaian dan menurut saya tidak
masuk akal saja ketika Mariyam melihat-lihat kondisi bahunya padahal ia hanya ingin memakai baju.
Lalu, adegan seperti gambar di bawah ini
seperti adegan di film Titanic. Pemain musik dalam kedua film tersebut
sama-sama melanjutkan permainan musik mereka meskipun bahaya sedang mengancam. Yang
menjadikannya berbeda adalah dalam film Soegija terlihat sekali tidak
naturalnya para pemain. Lebih pada sebuah paksaan. Berbeda dengan film Titanic
yang bermain musik karena keinginan masing-masing.
Dua tokoh pemimpin penjajah digambarkan
sebagai dua sosok. Pertama sebagai sosok pemimpin yang kejam. Kedua sebagai
sosok seorang ayah yang luluh pada anak kecil. Hal ini menyimpulkan bahwa
perang sebenarnya tidak lebih dari paksaan, bahkan bagi para pemimpinnya. Ketika
dihadapkan dengan anak-anak dan keluarga, hati mereka seketika rindu akan kehidupan dan tanah
air mereka sendiri.
Simpulannya, film ini tidak fokus akan hal
yang dibicarakan. Meskipun tokoh yang diangkat adalah tokoh Soegija, film ini
tidak banyak membicarakan tokoh tersebut. Saya lebih melihat banyaknya
pemusatan cerita pada tokoh Mariyem. Sehingga “Soegija, 100% Katolik 100%
Indonesia” kurang saya dapatkan dalam film ini.
Bukan hanya cerita yang penting diperhatikan
dalam pembuatan kisah fiksi, banyak hal kecil lain yang juga harus
diperhatikan. Apalagi film ini film yang bisa saja jadi sebuah hal yang
dipertentangkan dalam negeri ini. Tapi saya cukup bangga ternyata ada yang bisa
mengangkat peristiwa-peristiwa penting yang bukan hanya tentang agama, tapi
juga tentang sejarah bangsa dan kebangsaan.
Saya harap tidak semua penonton yang
mengartikan secara harafiah hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam film ini.
Banyak hal yang harus dicaritahu kebenarannya sehingga tidak timbul pemikiran
pribadi yang subjektif. Mari menjadi pentonton yang bijak.
No comments:
Post a Comment