Teringat sebuah kejadian beberapa tahun silam
di sebuah ruangan penuh orang lalu-lalang. Saya duduk di pojokan, sendiri.
Sibuk sendiri. Kejadian itu masih segar dan jelas dalam ingatan karena membuat
saya berefleksi panjang.
Awalnya saya biasa saja, toh orang yang
lalu-lalang masih saya kenal dan mereka masih menyapa saya. Tapi, saya tetap
sendirian. Sibuk dengan alat-alat rias membuat mereka takmau mengganggu. Ah,
bukan. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Toh saat itu saya
bukan penunggu, tapi yang ditunggu.
Kemudian saya sadar bahwa itu seharusnya bukan
hanya tentang saya. Itu seharusnya tentang saya dan kalian. Tapi nyatanya
sebelum sampai di ruang itu yang saya tahu saya berjuang sendirian. Dan
penyesalan selalu datang terlambat bukan?
Saya hanya bisa duduk melihat lalu-lalang itu
dengan perasaan campur aduk. Biasanya saya tidak sendirian di sana, ada kalian
yang membantu. Kali itu, dengan egoisnya, saya lupa bahwa saya punya kalian.
Rasanya sama seperti sekarang. Saya sendirian.
Dan kalian entah di mana. Lalu, pikiran tahun itu kembali berbayang, akankah
kalian datang atau harus saya yang menunggu kalian mengulurkan tangan. Ini
bukan hanya tentang saya, tapi juga tentang kalian. Tapi tanya tidak pernah terlontar
dan saya hanya bisa menjawab dalam diam.
Tahukah kalian bahwa sampai sekarang beban itu
belum lepas dari pundak saya? Ketika tidak ada lagi yang bantu menopang, pada
siapa saya harus meminta? Tolong, tanya saya. Biarkan saya menjawab tidak dalam
diam. Biarkan saya tahu bahwa kalian masih ada dan mengerti bahwa ini bukan
hanya tentang saya, tapi juga tentang kalian.
Ah, ya. Kadang tempat singgah hanya untuk
pelancong yang ingin beristirahat dan mencari kedamaian. Ketika damai sudah
datang, alas kaki akan kering lagi.
Maafkan saya yang terlalu banyak menuntut.
Pada akhirnya, saya yang akan menunggu kapan saya berani bertanya pada kalian.
No comments:
Post a Comment