Janji saya takpenuh. Saya sendiri yang membatalkannya. Terhitung seminggu sejak pembuatan janji, saya kembali memasuki jejaring sosial. Hahaha...
Alasannya? Skripsi saya ternyata tidak juga jalan meskipun saya tidak menyentuh jejaring sosial. Toh saya sendiri tahu permasalahannya ada di dalam diri saya, bukan apa yang ada di luar diri saya. Lagi pula beberapa teman menganggap saya mulai gila karena memilih tidak bersosialisasi. Hahahaha...
Ya, saya rasa ini lebih baik. Saya juga lebih menikmatinya dibandingkan tidak berjejaring sosial seminggu itu. Kali ini saya lebih lega, lebih plong.
Mari memulai kembali. Memulai apapun rencana yang sudah terpikirkan namun belum dijalankan. Mari.
Sunday, November 20, 2011
Saturday, November 12, 2011
Alarm Tawa
Pagi ini saya terbangun dengan tawa di bibir saya. Jadi, pagi ini saya terbangun dengan alarm tawa saya sendiri. Saya tidak sadar saya tertawa di dunia nyata. Saya kira saya masih bermimpi, tapi ketika melihat ada gerakan dari teman yang tidur di sebelah saya, saya tiba-tiba tersadar bahwa saya tidur sambil tertawa. Hahahaha...
Semalam saya bermimpi empat cerita.Semuanya baik dan mimpi keempat adalah mimpi yang paling lucu. Jelas lucu karena membuat saya tertawa.
Saya bermimpi sedang menonton Nunung dalam acara Opera van Java. Dalam mimpi itu tingkah Nunung begitu lucu. Dia sedang dikerjai oleh salah seorang pemain, sampai kejar-kejaran. Dan puncak yang membuat saya tertawa adalah Nunung kena tipu. Tertawalah Nunung dan seluruh pemain. Tertawa pulalah saya.
Rasanya lucu sekali terbangun dengan cara seperti itu. Baru kali ini saya merasakan perasaan hati yang ceria karena mimpi yang lucu. Saya bersyukur atasnya. Ini menyenangkan!
Semalam saya bermimpi empat cerita.Semuanya baik dan mimpi keempat adalah mimpi yang paling lucu. Jelas lucu karena membuat saya tertawa.
Saya bermimpi sedang menonton Nunung dalam acara Opera van Java. Dalam mimpi itu tingkah Nunung begitu lucu. Dia sedang dikerjai oleh salah seorang pemain, sampai kejar-kejaran. Dan puncak yang membuat saya tertawa adalah Nunung kena tipu. Tertawalah Nunung dan seluruh pemain. Tertawa pulalah saya.
Rasanya lucu sekali terbangun dengan cara seperti itu. Baru kali ini saya merasakan perasaan hati yang ceria karena mimpi yang lucu. Saya bersyukur atasnya. Ini menyenangkan!
Kisah-kisah Tengah Malam - Edgar Allan Poe
Membaca Kisah-kisah Tengah Malam karya
Edgar Allan Poe membuat saya masuk pada teror yang tidak bisa saya bayangkan.
Begitu kelam, menakutkan, tapi saya pun dibuat penasaran.
Buku ini merangkum tiga belas cerita. Namun
tidak semua cerita dapat saya nikmati benar. Cerita yang paling tua ditulis pada tahun 1833
dan paling muda ditulis pada tahun 1949. Lagi-lagi saya bertemu dengan kisah
klasik.
Penggambaran yang begitu detail kadang membuat
saya kelabakan untuk membangun gambarannya di kepala saya. Saya begitu
menikmati sampai-sampai teror itu ternyata muncul di hadapan saya. Tokoh-tokoh
yang diceritakan begitu gusar, begitu gelap, dan begitu menyakitkan.
Berbeda dengan kisah-kisah horor lain yang
pernah saya baca, karya Poe membuat setiap kejadian menyeramkan itu begitu
tidak terbayangkan. Kebanyakan kisah-kisah dalam buku ini berkutat
pada teror terhadap diri sendiri. Tokoh utama mengalami kejadian buruk sehingga
secara tidak sadar menjadikan dirinya sebagai teror yang menakutkan. Tidak
jarang proses pembunuhan yang tidak lazim pun menjadi gambaran yang begitu
menakutkan.
Kisah-kisah yang panjang dan penuh detail, baik
penggambaran ruang, karakter, dan masalah, tidak membuat akhir kisahnya mudah
ditebak. Memang ada beberapa yang bisa saya tebak, tapi ada pula yang tidak
saya sangka-sangka. Misalnya dalam cerita Kucing Hitam saya sudah tahu bahwa lelaki itu akan membunuh kucing kesayangannya, namun saya tidak menduga pada akhirnya ia akan tidak sengaja pula membunuh istrinya. Ia tidak merasa bersalah atau pun takut, bahkan ia mengubur tubuh istrinya di tembok ruang tanah rumahnya untuk menghilangkan jejak.
Mungkin membaca buku ini ketika tengah malam akan membuat kita semakin masuk ke dalam kisah-kisahnya. Sayangnya saya membaca buku ini ketika matahari masih di atas kepala. Bisa jadi karena saya tahu kisahnya akan menakutkan saya di malam-malam gelap saya di kamar kosan :D
Mungkin membaca buku ini ketika tengah malam akan membuat kita semakin masuk ke dalam kisah-kisahnya. Sayangnya saya membaca buku ini ketika matahari masih di atas kepala. Bisa jadi karena saya tahu kisahnya akan menakutkan saya di malam-malam gelap saya di kamar kosan :D
Friday, November 11, 2011
Black Beauty - Anna Sewell
Cover-nya berwarna
hitam. Dengan gambar anak perempuan kecil sedang membelai seekor kuda berwarna
hitam. Begitu manis dan memikat saya ketika melihatnya. Ternyata, ketika
membacanya saya tidak bisa berhenti. Saya habisnya buku setebal 374 halaman ini
dalam setengah hari. Rasanya seperti mereguk es jeruk di siang yang terik.
Segar.
Black Beauty karya Anna Sewell berkisah tentang kehidupan seekor kuda bernama Black Beauty. Sudut pandangnya adalah kuda itu sendiri. Selama setengah hari saya hidup sebagai kuda. Rasanya saya bisa merasakan surai halus di leher saya.
Black Beauty karya Anna Sewell berkisah tentang kehidupan seekor kuda bernama Black Beauty. Sudut pandangnya adalah kuda itu sendiri. Selama setengah hari saya hidup sebagai kuda. Rasanya saya bisa merasakan surai halus di leher saya.
Novel ini dijual oleh Anna pada tahun 1877.
Sayangnya, lima bulan setelah novel ini terbit, Anna wafat pada usia 58 tahun.
Ia taksempat menyaksikan suksesnya novel ini. Saya selalu tertarik dengan
kisah-kisah klasik. Mereka membawa saya masuk pada masa-masa yang hanya bisa
saya temui di imajinasi saya.
Black Beauty dilahirkan dari keturunan yang
baik di sebuah perternakan kuda. Badannya besar, kuat, dan indah. Ia juga
dipelihara dengan baik. Sama seperti manusia, perlakuan yang baik dari kecil
akan menjadikan dia sosok pribadi yang baik ketika dewasa nanti. Dengan cinta
dan kebaikan, Black Beauty tumbuh menjadi kuda yang disayangi oleh pemiliknya.
Rumah pertamanya adalah istal milik Hakim
Gordon. Di sana ia dirawat dengan baik dan penuh kasih sayang. Pada suatu
kesempatan ia akhirnya tahu bahwa kuda sebelumnya, yang meninggal pada suatu
kecelakaan, adalah saudara kandungnya. Pada akhirnya ia harus dijual karena
Hakim Gordon memutuskan untuk pindah ke luar negeri karena penyakit istrinya.
Tentu saja tidak semua pemilik Black Beauty
baik. Ada beberapa tuan yang tidak mempedulikannya. Makannya tidak dijaga,
tubuhnya tidak disikat, dan ia tidak dibisiki oleh kata-kata yang menyenangkan.
Padahal kuda suka mendengarkan suara-suara yang lembut dan menenangkan.
Berbagai pekerjaan ia jalani, dari kuda
tunggangan, kuda penarik barang, sampai kuda taxi. Black Beauty melakukan semua
pekerjaannya dengan sepenuh hati. Ia ingat akan didikan ibunya. Meskipun
tuannya tidak baik, ia selalu rendah hati dan sabar, mengerjakan pekerjaannya
dengan sepenuh hati.
Sebuah kecelakaan menjadikan lutut depannya
luka. Penampilannya tidak lagi indah, sehingga banyak pembeli yang tidak
menginginkannya. Namun karena sifatnya yang baik dan menyenangkan, ia terkadang
mendapatkan tuan yang baik pula.
Keberuntungan akhirnya berada di pihak Black
Beauty. Di akhir kisah diceritakan Black Beauty kembali diurus oleh pemuda yang
dulu pernah mengurusnya di istal Hakim Gordon. Ia tidak pernah dijual lagi. Ia
hidup tenang dan bahagia di sana.
Secara tegas novel ini menolak adanya
perlakuan tidak baik terhadap kuda. Banyak tokoh yang menyerukan tindakan
menganiaya, memukul, dan mencaci-maki kuda bukan tindakan yang terpuji. Bahkan
Anna tegas menolak kuda dijadikan ajang fashion yang ramai pada masa
itu. Buntut-buntut kuda dipotong agar nampak indah, kuda dipasangi check-rein
yang membuat kepala kuda itu berdiri tegak sehingga tidak bisa bergerak dengan
leluasa. Kuda juga punya perasaan, dan dengan ringan Anna menceritakan
kehidupan kuda dari sudut pandang kuda itu sendiri.
Hari H
Hari ini, 10 November 2011, saya melakukan
perjanjian dengan diri saya sendiri tentang jejaring sosial yang sering kali
saya gunakan. Terhitung sejak pukul 00.00 saya menghapus aplikasi twitter dan
facebook di ponsel saya. Saya berjanji tidak akan bermain dengan mereka
sampai saya selesai mengerjakan skripsi saya.
Di satu sisi saya bertanya, apa hubungannya
jejaring sosial itu dengan skripsi saya. Belakangan malah saya jarang
menggunakan kedua jejaring sosial itu, jadi apa gunanya tidak membuka mereka.
Mungkin ini salah satu langkah awal yang saya pilih untuk memfokuskan diri
saya. Acap kali saya menggunakan jejaring sosial itu sebagai media keluh-kesah,
dan saya tidak ingin keluh-kesah saya semakin menjadi-jadi. Tapi masih ada
blog. Ya, masih ada blog ini! Saya pun berjanji tidak akan mengungkapkan
keluh-kesah saya di sini. Ini keluh-kesah saya yang terakhir mengenai hidup
saya yang berhubungan dengan skripsi.
Pemicu saya menjauh dari jejaring sosial
adalah wisuda teman-teman angkatan di bawah saya. Kemarin, 9 November 2011,
saya menghadiri wisuda yang kebanyakan teman-teman angkatan di bawah saya.
Tadinya saya tidak ingin hadir sampai seorang teman mengabarkan bahwa ia datang
dari Riau untuk menghadiri wisuda pacarnya. Pergilah saya ke sana.
Saya pun mencari teman-teman seangkatan saya
yang diwisuda, namun begitu tidak beruntungnya saya sehingga saya tidak bertemu
dengan mereka. Saya bahkan tidak bertemu dengan seorang sahabat saya yang diwisuda
kemarin. Entah kenapa, sulit sekali mendapatkan damri dan jalan macet di
mana-mana. Jadilah saya terlambat datang ke sana.
Melihat teman saya yang dari Riau itu membuat
saya senang, tapi rasa senang saya tidak sebanding dengan rasa gelisah yang
saya rasakan ketika menatap wajah-wajah bahagia adik-adik saya itu. Rasanya
membuat saya tidak nyaman. Saya jadi sedih dan murung. Mungkin berkaitan pula
dengan belum lulusnya saya sampai saat ini. Tambah sedih lagi ketika saya tidak
bertemu dengan sahabat dan teman-teman seangkatan saya.
Saya tidak lama bersama mereka. Saya
sebenarnya tidak enak hanya bertemu sejenak dengan teman lama saya itu, namun
saya tidak ingin membuat suasana menjadi tidak nyaman dengan kegelisahan yang
saya alami. Dengan tergesa kemudian saya mencari damri untuk mengantarkan saya
kembali ke Jatinangor.
Saya semakin berkejaran dengan waktu. Rasanya
saya lupa bagaimana rasanya berjalan santai bersama dengan waktu. Kali ini saya
ingin mengerjarnya kembali, agar nanti bisa berdampingan dengannya. Doakan
saya, kawan. Saya butuh suntikan semangat yang ekstra!
NB: (11 November 2011) ternyata dua hari ini
saya tidak melakukan apa-apa. Saya masih linglung dan meraba-raba dalam
keremangan.
Perpustakaan Universitas Indonesia
Beruntunglah Universitas Indonesia memiliki
perpustakaan yang menakjubkan. Sebelum ke sana, saya sudah sering mendengar
betapa besar dan megahnya perpustakaan ini dan ketika ke sana, ternyata saya
tidak menduga sebuah perpustakaan akan semenakjubkan seperti itu. Lihat saja
tampak luar bangunan ini. Seperti sebuah kastil yang muncul dari bawah tanah.
Letaknya di sebelah danau yang terkenal di
kampus itu. Begitu asri dengan pepohonan yang menghiasi halamannya. Begitu
bersih pula! Begitu masuk, saya tampak akrab dengan bangunannya, mirip Teater
Kecil Taman Ismail Marzuki.
Lobinya ada beberapa dan luas dengan tempat
duduk yang nyaman. Beberapa mahasiswa asyik bercengkrama di sana. Bagian
informasi dan tempat penitipan barang pun rapi dan kelihatan tidak main-main.
Apalagi ketika kita melihat komputer yang digunakan. Hemmm.. Seketika saya
ingin menjadi orang jahat, ingin mencuri perangkat itu! Hahaha...
Waktu saya ke sana, bangunan belum rampung
seluruhnya. Masih banyak perbaikan di sana sini, namun itu tidak membuat
bangunan ini kehilangan keindahannya. Saya begitu takjub dan segera merasa
betah. Apalagi ketika melihat buku-buku bertebaran di rak-rak besi sepanjang
empat lantai. Melihat mereka tersusun (meskipun belum tersusun rapi) membuat
saya nyaman.
Tujuan saya ke sana adalah mencari referensi
untuk skripsi saya. Saya ke bagian skripsi, letaknya di lantai tiga. Dan puji
Tuhan saya mendapatkan beberapa. Ketika mencari, saya menemukan pula
skripsi-skripsi yang dibuat pada tahun 60-an. Jilidnya begitu sederhana dan
kertasnya mulai menguning. Skripisi tentang linguistik yang ditulis oleh bukan
orang pribumi, seperti Tjoa Tiong Kwan dan Tan Ta Son. Saya bahkan menemukan
skripsi yang dibimbing oleh Harimurti Kridalaksana. Nama Harimurti Kridalaksana
sebelumnya saya dapatkan pada buku-buku teori yang saya gunakan semasa kuliah,
begitu menakjubkannya saya memegang skripsi yang dibimbing oleh beliau.
Hahaha... Saya mungkin agak berlebihan, tapi memang itu yang saya rasakan
ketika membaca nama beliau di lembar pengesahan.
Yang agak membuat saya tidak nyaman adalah
dengan adanya beberapa tempat makan dan tempat bersantai di dalam bangunan itu.
Seketika saya merasa sedang masuk ke sebuah mal. Mungkin tujuan dibangunnya
tempat-tempat itu adalah untuk memudahkan pengunjung yang ingin sekadar
menikmati kopi dan kelaparan, tapi rasanya sayang menggabungkan dua hal itu
dalam satu bangunan.
Ada hal menarik saya temukan di dinding pintu
masuk perpustakaan. Dinding setinggi tiga-empat (atau lima?) meter itu penuh
berisi ukiran tulisan. Tulisan yang saya ketahui hanya dalam dua bahasa, yaitu
‘baca’ dan ‘read’. Saya tidak tahu apakah secara keseluruhan tulisan-tulisan
itu berarti ‘baca’ atau tidak. Sebenarnya mungkin saja karena ada kata ‘read’
di sana.
Monday, November 7, 2011
Mimpi Buruk Kaki Buntung
Semalam saya bermimpi buruk. Bermimpi saya kehilangan kaki kiri saya, dari lutut ke bawah. Entah bagaimana kejadian yang menyebabkan kaki saya hilang, dalam mimpi saya itu saya tidak merasakan kesakitan apapun. Awalnya saya malah biasa-biasa saja, gembira-gembira saja. Sampai tiba di kampus, para teman dan sahabat memandang kaki saya dengan perasaan iba.
Memang, semalam saya agak sulit tidur. Biasanya jika saya di rumah, saya akan mudah sekali tidur. Namun semalam saya sampai beberapa kali pindah posisi baru bisa tidur, itu juga tidak lelap karena setengah jam kemudian saya terbangun, berkeringat (padahal kamar dingin dan saya tidak mimpi buruk) dan pergi ke kamar mandi. Barulah akhirnya saya tertidur kembali dan terbangun dengan mimpi buruk yang menempel di kepala.
Saya ingat dalam mimpi saya itu saya begitu tertekan. Saya tidak suka dikasihani, karena saya sendiri pun menganggap bahwa kaki saya yang hanya satu tidak menjadi masalah. Lagipula saya berjalan pun ditopang oleh dua buah tongkat. Saya mampu melakukan kegiatan rutin seperti biasa. Sampai akhirnya pandangan iba orang-oranglah yang membuat saya tertekan.
Para teman dan sahabat yang seharusnya memberi semangat malah mulai menjauhkan saya. Tadinya saya menerima senyuman dari mereka, malah pandangan iba yang saya terima. Semua tiba-tiba enggan bermain bersama saya. Saya sendirian dan saya kesepian.
Saya rasa saya tahu mengapa tiba-tiba saya memimpikan kaki saya buntung. Kemarin pagi saya menonton acara yang mengulas orang-orang dengan tubuh tidak sempurna namun mampu berprestasi. Saya begitu kagum dengan mereka, dalam keterbatasan mereka begitu berkilauan semangat. Mungkin rasa kagum saya kemudian mengendap sehingga menjadi bunga tidur semalam.
Barusan saya tergiur untuk mencari arti mimpi saya itu. Beruntunglah setelah saya unduh ternyata tidak ada yang menjelaskan tentang mimpi kaki buntung sehingga saya tidak terlalu tersugesti dengan apa yang saya baca.
Semoga mimpi itu tidak menjadikan hari saya buruk pula. Semoga ini memang hanya sekadar mimpi.
The Story Girl, Kerudung Pengantin Si Putri Sombong
Saya
sudah sering kali mendengar bahwa karya-karya Lucy M. Montgomery indah,
mengasyikan untuk dibaca. Baru kali ini saya berkesempatan memiliki bukunya.
Itu juga karena saya mendapatkannya diskon di salah satu toko buku. Buku yang
saya beli adalah The Story Girl.
Novel
ini menceritakan tentang liburan musim panas keluarga King muda di tanah milik
keluarga King. Mereka adalah Gadis Dongeng (nama aslinya Sara Stanley), Bev,
Felix, Felicity, Cecily, Dan, Peter, dan Sara Ray. Tidak banyak cerita
melibatkan Sara Ray, jadi saya tidak akan terlalu banyak menyebutnya juga.
Anggap saja ini kisah tentang Gadis Dongeng dan enam sahabatnya. Sudut pandang
pencerita adalah Bev.
Seperti
namanya, Gadis Dongeng sangat pandai mendongeng. Ia dikaruniai suara yang indah
dan kemampuan bercerita yang mengagumkan. Meskipun beberapa cerita sudah acap
kali didengar, tetapi tidak ada yang bosan mendengarnya jika yang menceritakan
adalah Gadis Dongeng.
Kisah
yang paling saya suka dari Gadis Dongeng adalah kisah tentang Kerudung Pengantin Si Putri Sombong.
Ketika Gadis Dongeng dan enam sahabatnya sedang menikmati udara di suatu siang, terlihat awan tipis yang mirip dengan renda panjang. Bentuknya mengingatkan mereka pada kerudung pengantin. Gadis Dongeng pun menceritakan dongeng tentang kerudung pengantin itu.
Kisahnya, pada zaman dahulu hiduplah seorang putri yang cantik. Ia adalah putri yang tercantik di dunia dan semua raja dari seluruh negeri datang untuk melamarnya, Tapi, putri itu menolak mereka semua karena kesombongan akan kencantikannya. Ia menertawakan dan menghina mereka. Ketika ayahnya mendesaknya untuk memilih salah satu di antara mereka untuk menjadi suaminya, putri itu memberikan sebuah syarat yaitu ia akan menikah dengan raja yang mampu mengalahkan semua raja. Ia akan menjadi permaisuri seorang raja yang menguasai dunia. Lalu berperanglah raja-raja tersebut. Pertumpahan darah dan penderitaan di mana-mana dan putri itu malah tertawa-tawa, tidak peduli.
Ia dan pelayannya membuat sebuah kerudung pengantin yang indah untuk dikenakannya nanti pada hari pernikahannya. Di belakangnya, para pelayan berbisik-bisik mengatakan bahwa kerudung indah itu tersulam kematian setiap laki-laki dan kehancuran hati para perempuan. Banyak yang akhirnya membenci putri yang sombong itu karena penderitaan yang telah ia timbulkan di mana-mana.
Pada suatu hari, terdengar suara terompet di gerbang istana. Seorang pria bertubuh tinggi dengan senjata lengkap, helm tertutup rapat, datang mengendarai kuda putih. Ia ingin melamar sang putri karena ia telah mengalahkan semua raja. Pria itu menyeramkan dan membuat putri takut. Tapi karena kesombongannya, ia akan menikah dengan raja yang terkuat, ia pun menerima lamaran tersebut.
Pernikahan pun dilangsungkan. Putri dihias dengan cantik dan ia menggunakan kerudung panjang yang sudah dipersiapkan bertahun-tahun. Namun sang pria tidak melepas helmnya sehingga tidak ada seorang pun dapat melihat wajahnya. Pernikahan itu tidak dipenuhi dengan gelak tawa dan kebahagiaan.
Setelah pernikahan usai, sang putri dinaikan pria itu ke atas kuda putihnya. Ayah sang putri dan para pelayannya pun naik ke kuda mereka masing-masing. Mereka akan pergi ke tempat pria itu. Makin jauh perjalanan, langit makin gelap dan angin makin kencang menderu. Tepat sebelum senja, mereka memasuki sebuah lembah gelap, penuh dengan kuburan di sana-sini.
Pria itu berkata, "Inilah kerajaanku. Ini adalah kuburan semua raja yang telah kutaklukan. Ketahuilah, Putri yang Cantik, aku adalah Kematian." Kemudian pria itu melepaskan helmnya, muncul wajah yang sangat mengerikan. Dipacunya kuda, memasuki tanah perkuburan itu. Ayah sang putri dan para pelayan dengan berat hati kembali ke kerajaan mereka.
Sejak saat itu tidak ada lagi yang pernah melihat keberadaan si Putri Sombong. Namun, ketika awan putih yang panjang itu berarak di langit, orang-orang yang hidup di negeri tempat sang putri tinggal akan mengatakan, "Hei, lihat, itu kerudung pengantin si Putri Sombong."
Tidak hanya penuh dengan cerita-cerita dongeng, novel ini juga berisikan konflik-konflik khas remaja. Marah-marah kecil, ngambek karena tidak mau mengalah, rasa suka yang mulai muncul, dan cerita tentang persahabatan dikisahkan oleh Lucy dengan menarik dan ringan.
Angkutan Umum
Saya tidak terlalu tertarik menggunakan jasa angkutan umum, baik yang besar seperti bus dan kereta maupun yang kecil seperti mikrolet dan taxi. Jika bisa saya lebih suka menghindari mereka. Kadang saya sendiri bertanya-tanya mengapa saya lebih memilih menaiki mikrolet yang kosong dibandingkan dengan yang penuh. Padahal yang kosong akan jalan lebih lama dibanding yang penuh. Kemarin ketika naik sebuah bus, saya menemukan jawabannya.
Seperti cerita saya sebelumnya, saya menumpangi bus Jepang 45 jurusan Cililitan-Blok M untuk menuju rumah teman saya. Di tengah perjalanan naiklah dua pengamen, mungkin ayah dan anak. Hari itu hari Jumat, bukan hari libur dan ketika itu masih belum pukul 08.00. Awalnya saya berpikir anak ini tidak sekolah, tapi kemudian saya berpikir ulang mungkin ia masuk siang.
Dengan sound sederhana, lagu diputar dan anak itu bernyanyi. Yang membuat tenggorokkan saya sesak adalah ketika mendengar suara anak laki-laki itu. Suaranya sengau, nyanyinya dipaksakan. Suaranya seperti suara orang yang sakit tenggorokkan dan suaranya hilang. Saya rasa ini karena keadaan. Keadaannya membuat suara anak itu berubah. Dia harus bernyanyi dengan suara lantang entah berapa puluh kali tiap harinya. Saya pikir ia sudah terbiasa dengan sengau di suaranya. Tapi ia masih anak kecil!
Jawaban dari pertanyaan saya di atas adalah dalam angkutan umum terlalu banyak rasa. Saya sulit menjelaskan apa 'rasa' yang saya maksud di sini. Mungkin bisa dikatakan seperti perasaan. Rasa pengguna angkutan umum itu begitu semerbak di indera saya. Saya tidak bisa mengaturnya, tidak bisa mengontrol mereka. Saya cukup sensitif terhadap rasa, mungkin karena kebiasaan saya memerhatikan orang sehingga saya begitu peka pada lirikan mata, tarikan bibir, dan gerakan tangan yang begitu sederhana sekalipun. Banyaknya rasa yang meruap itulah yang membuat saya gelisah berada di tengah banyak orang dalam satu tempat. Saya kemudian sadar ini tidak hanya berlaku di angkutan umum tapi juga berlaku pula di tempat-tempat yang ramai. Di tempat ramai saya masih bisa 'kabur' dan pergi mencari tempat yang sepi, namun dalam angkutan umum, saya tidak bisa semata-mata turun. Bisa jadi tujuan yang saya tuju masih jauh.
Sering kali berada di keramaian membuat saya gugup. Jika di dalam angkutan umum, saya akan berusaha memandang ke luar. Sebisa mungkin tidak memerhatikan para penumpang yang lain meskipun mereka memerhatikan saya. Rasa mereka terlalu bermacam-macam, tidak semuanya positif.
Saya suka ketika kemarin saya naik bajaj. Bunyinya, meskipun memekakkan telinga ketika gas ditarik, lebih nyaman di telinga dibandingkan dengan bunyi klakson motor atau mobil yang dibunyikan bertubi-tubi di saat macet. Saya suka kendaraan beroda tiga ini. Mereka unik dan yang pasti tidak sesak orang :D
Saya juga menikmati naik Commuter Line dari stasiun Cawang ke stasiun UI. Waktu itu bukan jam-jam sibuk sehingga kereta tidak terlalu penuh penumpang. Stasiun pun tidak terlalu ramai, sehingga tidak banyak kegelisahan yang harus saya hadapi. Saya dan teman saya duduk di gerbong yang memang dikhususkan untuk penumpang perempuan. Ada beberapa pria yang masuk ke gerbong itu merasa heran mengapa isinya perempuan semua, tapi ketika mereka sadar, mereka mulai mencari gerbong yang lain. Rasanya makin nyaman.
Yang paling tidak nyaman selama perjalanan dua hari kemarin adalah ketika naik mini bus Deborah jurusan Depok-Lebak Bulus. Saya tidak begitu beruntung mendapatkan tempat duduk, sehingga saya harus berdiri dari Depok sampai Lebak Bulus. Tidak terlalu menjadi masalah buat saya, yang menjadi masalah adalah ketika harus berdiri berdesakan dengan penumpang yang lain yang kebanyakan laki-laki. Tidak terlalu nyaman bagi saya. Selain itu jalanan teramat sangat macet sekali (penggunaan kata yang tidak ekonomis karena memang begitu situasinya). Saya makin kesal ketika bus yang hanya bisa menampung sekian orang kemudian masih dijejali dengan penumpang. Saya tahu dengan cara itulah mereka mencari uang, namun bus yang penuhnya berlebihan tidak menjamin keselamatan tidak ada masalah bukan? Sering kali saya melihat Deborah ini sudah miring ke kiri karena kelebihan penumpang. Terkadang saya takut bus itu akan terguling saking berat sebelahnya.
Saya bahkan kemarin sempat berdoa, semoga nanti ketika saya lulus dan bekerja, saya tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Saya berharap saya mendapatkan pekerjaan di kota-kota lain selain Jakarta. Bagi saya ibu kota ini terlalu menyeramkan dan banyak sisi gelap yang tidak sanggup saya hadapi. Permasalahan angkutan umum dan kemacetan tentu sebagian hal kecil dibanding hal-hal lain yang bertebaran di sini. Saya juga berharap semoga ibu kota kita ini akan semakin baik menata dirinya. Semakin nyaman tempatnya, orang yang diam di dalamnya juga akan semakin tentram.
Seperti cerita saya sebelumnya, saya menumpangi bus Jepang 45 jurusan Cililitan-Blok M untuk menuju rumah teman saya. Di tengah perjalanan naiklah dua pengamen, mungkin ayah dan anak. Hari itu hari Jumat, bukan hari libur dan ketika itu masih belum pukul 08.00. Awalnya saya berpikir anak ini tidak sekolah, tapi kemudian saya berpikir ulang mungkin ia masuk siang.
Dengan sound sederhana, lagu diputar dan anak itu bernyanyi. Yang membuat tenggorokkan saya sesak adalah ketika mendengar suara anak laki-laki itu. Suaranya sengau, nyanyinya dipaksakan. Suaranya seperti suara orang yang sakit tenggorokkan dan suaranya hilang. Saya rasa ini karena keadaan. Keadaannya membuat suara anak itu berubah. Dia harus bernyanyi dengan suara lantang entah berapa puluh kali tiap harinya. Saya pikir ia sudah terbiasa dengan sengau di suaranya. Tapi ia masih anak kecil!
Jawaban dari pertanyaan saya di atas adalah dalam angkutan umum terlalu banyak rasa. Saya sulit menjelaskan apa 'rasa' yang saya maksud di sini. Mungkin bisa dikatakan seperti perasaan. Rasa pengguna angkutan umum itu begitu semerbak di indera saya. Saya tidak bisa mengaturnya, tidak bisa mengontrol mereka. Saya cukup sensitif terhadap rasa, mungkin karena kebiasaan saya memerhatikan orang sehingga saya begitu peka pada lirikan mata, tarikan bibir, dan gerakan tangan yang begitu sederhana sekalipun. Banyaknya rasa yang meruap itulah yang membuat saya gelisah berada di tengah banyak orang dalam satu tempat. Saya kemudian sadar ini tidak hanya berlaku di angkutan umum tapi juga berlaku pula di tempat-tempat yang ramai. Di tempat ramai saya masih bisa 'kabur' dan pergi mencari tempat yang sepi, namun dalam angkutan umum, saya tidak bisa semata-mata turun. Bisa jadi tujuan yang saya tuju masih jauh.
Sering kali berada di keramaian membuat saya gugup. Jika di dalam angkutan umum, saya akan berusaha memandang ke luar. Sebisa mungkin tidak memerhatikan para penumpang yang lain meskipun mereka memerhatikan saya. Rasa mereka terlalu bermacam-macam, tidak semuanya positif.
Saya suka ketika kemarin saya naik bajaj. Bunyinya, meskipun memekakkan telinga ketika gas ditarik, lebih nyaman di telinga dibandingkan dengan bunyi klakson motor atau mobil yang dibunyikan bertubi-tubi di saat macet. Saya suka kendaraan beroda tiga ini. Mereka unik dan yang pasti tidak sesak orang :D
Saya juga menikmati naik Commuter Line dari stasiun Cawang ke stasiun UI. Waktu itu bukan jam-jam sibuk sehingga kereta tidak terlalu penuh penumpang. Stasiun pun tidak terlalu ramai, sehingga tidak banyak kegelisahan yang harus saya hadapi. Saya dan teman saya duduk di gerbong yang memang dikhususkan untuk penumpang perempuan. Ada beberapa pria yang masuk ke gerbong itu merasa heran mengapa isinya perempuan semua, tapi ketika mereka sadar, mereka mulai mencari gerbong yang lain. Rasanya makin nyaman.
Yang paling tidak nyaman selama perjalanan dua hari kemarin adalah ketika naik mini bus Deborah jurusan Depok-Lebak Bulus. Saya tidak begitu beruntung mendapatkan tempat duduk, sehingga saya harus berdiri dari Depok sampai Lebak Bulus. Tidak terlalu menjadi masalah buat saya, yang menjadi masalah adalah ketika harus berdiri berdesakan dengan penumpang yang lain yang kebanyakan laki-laki. Tidak terlalu nyaman bagi saya. Selain itu jalanan teramat sangat macet sekali (penggunaan kata yang tidak ekonomis karena memang begitu situasinya). Saya makin kesal ketika bus yang hanya bisa menampung sekian orang kemudian masih dijejali dengan penumpang. Saya tahu dengan cara itulah mereka mencari uang, namun bus yang penuhnya berlebihan tidak menjamin keselamatan tidak ada masalah bukan? Sering kali saya melihat Deborah ini sudah miring ke kiri karena kelebihan penumpang. Terkadang saya takut bus itu akan terguling saking berat sebelahnya.
Deborah yang saya naiki ban depannya tidak kempes seperti yang ini :P |
Saya bahkan kemarin sempat berdoa, semoga nanti ketika saya lulus dan bekerja, saya tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Saya berharap saya mendapatkan pekerjaan di kota-kota lain selain Jakarta. Bagi saya ibu kota ini terlalu menyeramkan dan banyak sisi gelap yang tidak sanggup saya hadapi. Permasalahan angkutan umum dan kemacetan tentu sebagian hal kecil dibanding hal-hal lain yang bertebaran di sini. Saya juga berharap semoga ibu kota kita ini akan semakin baik menata dirinya. Semakin nyaman tempatnya, orang yang diam di dalamnya juga akan semakin tentram.
Kakek dan Cucu Perempuan
Saya selalu suka ke gereja pada hari Sabtu malam. Entah kenapa rasanya begitu menyenangkan. Begitu pula misa (ibadat) Sabtu malam kemarin di Gereja MKK, Meruya. Ini bukan gereja saya. Gereja saya meminjam bangunan gereja MKK karena gereja saya sendiri belum mendapat izin untuk dibangun. Jadilah kami harus mencari tempat yang bisa dipinjam untuk tempat ibadat.
Yang paling menyenangkan sepanjang ibadat kemarin adalah seorang anak perempuan kecil yang duduk bersama kakeknya. Mereka hanya berdua saja. Manis. Anak perempuan itu kita-kira usianya tiga tahun dan kakeknya kira-kira 60-70 tahun. Saya tahu itu kakeknya karena anak itu memanggil "Kung-kung" yang artinya kakek.
Saya selalu suka melihat hubungan antara kakek dengan cucu perempuannya. Beda dengan kakek yang bersama dengan cucu laki-lakinya atau nenek dengan cucu perempuan atau laki-lakinya. Seorang kakek dengan cucu perempuannya itu menarik. Melihat mereka seperti melihat keajaiban. Hati saya jadi tentram. Perbedaan umur yang mencolok itu malah menjadikan mereka begitu manis.
Tingkah laku anak itu begitu menggemaskan. Sesekali ia tersenyum pada Kung-kungnya. Senyumnya begitu mencairkan hati saya. Matanya yang berbinar begitu mencuri hati saya. Oh! Anak perempuan itu begitu menggemaskan! Entah berapa kali saya tersenyum melihat anak kecil itu.
Sang kakek dengan sabar meladeni cucunya. Diberinya biskuit. Setelah habis, kakek mengeluarkan sapu tangan dan mengelap tangan cucunya. Kemudian kakek itu menyodorkan tempat minum. Semuanya dilakukan dengan hati-hati, tidak terburu-buru, dan tidak canggung. Rasanya saya puas melihat pemandangan seperti itu.
Ketika homili (khotbah), pastor bercerita tentang seorang manusia yang didatangi oleh malaikat Tuhan. Malaikat itu memberitahu bahwa ia akan meninggal dalam waktu lima belas menit. Apa yang akan kamu lakukan dalam waktu lima belas menit itu? Lima belas menit terakhir di sisa hidupmu.
Pikiran saya kemudian mencari. Kira-kira apa yang akan saya lakukan dalam waktu lima belas menit. Jika ditilik dari kebiasaan saya, saya mungkin akan menghabiskan sekitar lima menit untuk bertanya-tanya apakah benar saya akan mati lima belas menit nanti. Lalu sekitar lima menit kemudian untuk serangan panik yang biasa saya dapatkan ketika menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Tersisalah lima menit terakhir, apa yang harus saya lakukan? Saya tahu, saya akan duduk manis selama lima menit terakhir itu. Jika ada seorang kakek dan cucu perempuannya duduk di depan saya, saya akan menghabiskan lima menit terakhir saya untuk menikmati mereka.
Bagi saya, tidak adil jika saya bertobat dalam waktu lima belas menit padahal saya melakukan dosa di seumur hidup saya. Apakah dengan waktu lima belas menit dapat menjamin saya masuk surga? Toh bukan saya yang menentukan akan ke mana nantinya saya setelah saya hilang dari dunia ini. Tidak adil pula saya meminta maaf pada orang-orang yang saya benci karena saya akan meninggal. Berarti itu tidak saya rencanakan sebelumnya, tidak tulus dari hati saya. Akan lebih baik bagi saya untuk duduk dan menanti apa yang akan terjadi pada diri saya.
Saya akan selalu menanti-nantikan momen menyenangkan seperti malam kemarin. Bayangan kakek dan cucu perempuannya itu begitu melekat di kepala saya. Saya begitu bersyukur karena hal-hal ajaib muncul secara ajaib pula. Selamat menunggu keajaiban :)
Yang paling menyenangkan sepanjang ibadat kemarin adalah seorang anak perempuan kecil yang duduk bersama kakeknya. Mereka hanya berdua saja. Manis. Anak perempuan itu kita-kira usianya tiga tahun dan kakeknya kira-kira 60-70 tahun. Saya tahu itu kakeknya karena anak itu memanggil "Kung-kung" yang artinya kakek.
Kung-kung dan Cucu Perempuannya |
Saya selalu suka melihat hubungan antara kakek dengan cucu perempuannya. Beda dengan kakek yang bersama dengan cucu laki-lakinya atau nenek dengan cucu perempuan atau laki-lakinya. Seorang kakek dengan cucu perempuannya itu menarik. Melihat mereka seperti melihat keajaiban. Hati saya jadi tentram. Perbedaan umur yang mencolok itu malah menjadikan mereka begitu manis.
Tingkah laku anak itu begitu menggemaskan. Sesekali ia tersenyum pada Kung-kungnya. Senyumnya begitu mencairkan hati saya. Matanya yang berbinar begitu mencuri hati saya. Oh! Anak perempuan itu begitu menggemaskan! Entah berapa kali saya tersenyum melihat anak kecil itu.
Sang kakek dengan sabar meladeni cucunya. Diberinya biskuit. Setelah habis, kakek mengeluarkan sapu tangan dan mengelap tangan cucunya. Kemudian kakek itu menyodorkan tempat minum. Semuanya dilakukan dengan hati-hati, tidak terburu-buru, dan tidak canggung. Rasanya saya puas melihat pemandangan seperti itu.
Ketika homili (khotbah), pastor bercerita tentang seorang manusia yang didatangi oleh malaikat Tuhan. Malaikat itu memberitahu bahwa ia akan meninggal dalam waktu lima belas menit. Apa yang akan kamu lakukan dalam waktu lima belas menit itu? Lima belas menit terakhir di sisa hidupmu.
Pikiran saya kemudian mencari. Kira-kira apa yang akan saya lakukan dalam waktu lima belas menit. Jika ditilik dari kebiasaan saya, saya mungkin akan menghabiskan sekitar lima menit untuk bertanya-tanya apakah benar saya akan mati lima belas menit nanti. Lalu sekitar lima menit kemudian untuk serangan panik yang biasa saya dapatkan ketika menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Tersisalah lima menit terakhir, apa yang harus saya lakukan? Saya tahu, saya akan duduk manis selama lima menit terakhir itu. Jika ada seorang kakek dan cucu perempuannya duduk di depan saya, saya akan menghabiskan lima menit terakhir saya untuk menikmati mereka.
Bagi saya, tidak adil jika saya bertobat dalam waktu lima belas menit padahal saya melakukan dosa di seumur hidup saya. Apakah dengan waktu lima belas menit dapat menjamin saya masuk surga? Toh bukan saya yang menentukan akan ke mana nantinya saya setelah saya hilang dari dunia ini. Tidak adil pula saya meminta maaf pada orang-orang yang saya benci karena saya akan meninggal. Berarti itu tidak saya rencanakan sebelumnya, tidak tulus dari hati saya. Akan lebih baik bagi saya untuk duduk dan menanti apa yang akan terjadi pada diri saya.
Saya akan selalu menanti-nantikan momen menyenangkan seperti malam kemarin. Bayangan kakek dan cucu perempuannya itu begitu melekat di kepala saya. Saya begitu bersyukur karena hal-hal ajaib muncul secara ajaib pula. Selamat menunggu keajaiban :)
Cucu memegang lengan kakeknya ketika kakeknya sedang berdoa |
Sunday, November 6, 2011
Catatan 3-4 November 2011
Perjalanan menembus ibu kota dengan menggunakan transportasi angkutan umum ternyata menyenangkan dan memberi warna tersendiri. Saya jarang menggunakan angkutan umum karena beberapa hal (mungkin saya akan menulisnya dalam catatan tersendiri) dan dua hari kemarin (3-4 November), mau tidak mau, suka tidak suka saya harus memanfaatkannya. Kebiasaan berjalan kaki di Jatinangor pun kemudian terbawa hingga ke ibu kota. Biasanya saya yang sering menggunakan ojeg lebih memilih berjalan kaki di sini.
Bermula dari niatan mencari bahan-bahan skripsi, saya janjian dengan dua orang teman di Universitas Atma Jaya. Dari rumah saya ke sana cukup sekali naik bus, patas 44 jurusan Ciledug-Senen. Sekitar pukul 08.00 saya sudah duduk manis di bus. Perjalanan cukup menyenangkan dan menyebalkan. Menyebalkan karena macet. Ya, kapan ibu kota ini tidak mengenal kata 'macet'? Entah di jalan besar atau kecil, macet sudah akrab dengan masyarakat.
Lepas dari kurang beruntungnya saya mencari bahan, saya cukup menikmati kunjungan singkat di mantan kampus saya itu. Dulu saya sempat terdaftar sebagai mahasiswa di sana sampai akhirnya saya memutuskan untuk masuk Unpad.
Siangnya, saya dan kedua teman saya menghabiskan waktu di mall sebelah kampus Atma. Lagi-lagi itu menyenangkan. Saya pikir alasan kami lebih tepat ingin mengunjungi mall dibandingkan ke perpustakaan bahasanya sendiri. Hahaha...
Seorang sahabat lama saya pun mendatangi saya ketika ia tahu saya ada di Semanggi. Selesai bertugas ia langsung pergi mengunjungi saya. Berkutatlah kami di Semanggi hingga malam tiba.
Tadinya saya tidak berniat menginap di kosannya, di Cawang, tapi karena saya tidak berani pulang malam dengan angkutan umum (mungkin belum terbiasa) saya pun memutuskan menginap di kosan sahabat saya itu. Pergilah kami menggunakan taxi.
Esoknya, saya dan kedua teman saya kembali memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Tujuan kami ke perpustakaan pusat Universitas Indonesia, perpustakaan yang katanya termegah di Asia (Tenggara?) itu.
Dari Cawang saya ke rumah teman dulu, daerah Kemang. Naiklah saya bus Jepang 45 jurusan Cililitan-Blok M. Kenapa nomernya 45? Secara kebetulan bus itu buatan Jepang dan nomernya 45, mengingatkan saya pada... Semangat 45! Hahahaha...
Dari rumah teman saya itu kemudian kami kembali lagi ke Cawang. Menuju jalan raya kami naik bajaj! Ya, bajaj! Sudah lama saya tidak naik transportasi yang satu ini dan rasanya masih menyenangkan! Lalu menuju Cawang kami naik bus, bukan bus Jepang, dan saya lupa nomer berapa jurusan apa. Di cawang kami naik kereta, Commuter Line, sampai stasiun UI.
Perpustakannya menyenangkan. Saya betah dan betah dan betah. Beberapa referensi saya dapatkan. Rencananya nanti saya akan membuat satu tulisan tentang perpustakaan UI ini.
Sore menjelang dan kami harus pulang. Saya putuskan untuk naik mini bus Deborah menuju Lebak Bulus. Bukan perjalanan yang menyenangkan. Paling tidak saya bersyukur saya dapat sampai Lebak Bulus dengan selamat.
Dari Lebak Bulus saya naik angkutan umum C14 jurusan Lebak Bulus-Ciledug. Perjalanan panjang lain yang harus saya tempuh. Sampai di Ciledug saya menyambung satu angkutan umum lagi untuk sampai di depan perumahan saya.
Perjalanan dua hari ini penuh pengalaman dan kesan. Penuh rasa yang dapat saya hirup dalam pori-pori tubuh saya. Dan yang pasti, perjalanan dua hari ini begitu melelahkan.
NB: SAYA BENCI MACET DAN BUNYI KLAKSON!
Bermula dari niatan mencari bahan-bahan skripsi, saya janjian dengan dua orang teman di Universitas Atma Jaya. Dari rumah saya ke sana cukup sekali naik bus, patas 44 jurusan Ciledug-Senen. Sekitar pukul 08.00 saya sudah duduk manis di bus. Perjalanan cukup menyenangkan dan menyebalkan. Menyebalkan karena macet. Ya, kapan ibu kota ini tidak mengenal kata 'macet'? Entah di jalan besar atau kecil, macet sudah akrab dengan masyarakat.
Lepas dari kurang beruntungnya saya mencari bahan, saya cukup menikmati kunjungan singkat di mantan kampus saya itu. Dulu saya sempat terdaftar sebagai mahasiswa di sana sampai akhirnya saya memutuskan untuk masuk Unpad.
Siangnya, saya dan kedua teman saya menghabiskan waktu di mall sebelah kampus Atma. Lagi-lagi itu menyenangkan. Saya pikir alasan kami lebih tepat ingin mengunjungi mall dibandingkan ke perpustakaan bahasanya sendiri. Hahaha...
Seorang sahabat lama saya pun mendatangi saya ketika ia tahu saya ada di Semanggi. Selesai bertugas ia langsung pergi mengunjungi saya. Berkutatlah kami di Semanggi hingga malam tiba.
Tadinya saya tidak berniat menginap di kosannya, di Cawang, tapi karena saya tidak berani pulang malam dengan angkutan umum (mungkin belum terbiasa) saya pun memutuskan menginap di kosan sahabat saya itu. Pergilah kami menggunakan taxi.
Esoknya, saya dan kedua teman saya kembali memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Tujuan kami ke perpustakaan pusat Universitas Indonesia, perpustakaan yang katanya termegah di Asia (Tenggara?) itu.
Dari Cawang saya ke rumah teman dulu, daerah Kemang. Naiklah saya bus Jepang 45 jurusan Cililitan-Blok M. Kenapa nomernya 45? Secara kebetulan bus itu buatan Jepang dan nomernya 45, mengingatkan saya pada... Semangat 45! Hahahaha...
Dari rumah teman saya itu kemudian kami kembali lagi ke Cawang. Menuju jalan raya kami naik bajaj! Ya, bajaj! Sudah lama saya tidak naik transportasi yang satu ini dan rasanya masih menyenangkan! Lalu menuju Cawang kami naik bus, bukan bus Jepang, dan saya lupa nomer berapa jurusan apa. Di cawang kami naik kereta, Commuter Line, sampai stasiun UI.
Perpustakannya menyenangkan. Saya betah dan betah dan betah. Beberapa referensi saya dapatkan. Rencananya nanti saya akan membuat satu tulisan tentang perpustakaan UI ini.
Sore menjelang dan kami harus pulang. Saya putuskan untuk naik mini bus Deborah menuju Lebak Bulus. Bukan perjalanan yang menyenangkan. Paling tidak saya bersyukur saya dapat sampai Lebak Bulus dengan selamat.
Dari Lebak Bulus saya naik angkutan umum C14 jurusan Lebak Bulus-Ciledug. Perjalanan panjang lain yang harus saya tempuh. Sampai di Ciledug saya menyambung satu angkutan umum lagi untuk sampai di depan perumahan saya.
Perjalanan dua hari ini penuh pengalaman dan kesan. Penuh rasa yang dapat saya hirup dalam pori-pori tubuh saya. Dan yang pasti, perjalanan dua hari ini begitu melelahkan.
NB: SAYA BENCI MACET DAN BUNYI KLAKSON!
Tuesday, November 1, 2011
GSSTF, Sabtu, 29 Oktober 2011
Kemarin (29 Oktober 2011), lagi-lagi,
kebetulan saya menyaksikan pementasaan GSSTF. Tadinya saya hanya ingin mampir
sejenak di Nalar untuk bertemu dengan kawan-kawan di sana. Tapi ternyata Teh
Mona memberitahu bahwa pukul 19.00 akan ada pementasan GSSTF di Gor Pakuan.
Saya pun dengan senang hati akan menontonnya. Kali ini GSSTF mementaskan sebuah drama karya Nano Riantiarno.
Entah saya harus merasa senang atau gelisah,
ternyata beberapa orang mengenal saya ketika saya diperkenalkan. Saya sudah
diberitahu bahwa catatan saya tentang pementasan GSSTF sebelumnya di-share di
group GSSTF di facebook. Saya pasti senang karena ternyata banyak
yang mengapresiasi tulisan saya, tapi saya juga gelisah, takut banyak yang
memandang negatif terhadap tulisan saya.
Beberapa orang kemudian meminta saya untuk
menulis catatan tentang pementasan kali ini. Dari awal saya memang sudah
berniat untuk menulis, namun diminta secara verbal malah membuat saya was-was
dan semakin gelisah.
Ketika lampu dinyalakan, seorang pastor
bangkit dari sebuah kursi goyang di kiri panggung. Kursi itu letaknya di
sebelah kiri pintu. Seting panggung membentuk ruang tamu/keluarga sebuah rumah.
Saya mencoba menggambarnya. Kira-kira seperti di bawah ini. Maaf jika ternyata gambar
saya sama buruknya dengan tulisan saya :P
Keterangan:
- Kursi goyang
- Pintu masuk
- Jendela
- Pintu menuju dapur
- Jam Antik
- Pintu menuju kamar
- Dua buah lukisan
- Meja dapur + kompor
- Rak baju
- Rak buku
- Meja seterika
- Sofa
Adegan dimulai. Tokoh Mama sibuk di dapur.
Lalu ia sibuk membangunkan anaknya, Benny. Sambil berteriak “Bangun!” Mama
memukulkan tangannya di wadah besar yang terbuat dari kaleng. Ketika melihat
adegan ini, saya kembali teringat akan pementasan yang lalu. Mama, kebetulan,
diperankan oleh Iska. Pementasan yang lalu Iska memerankan tokoh perempuan
tanpa mulut, sekaligus pengamen, dan hansip. Adegan itu sedikit mengganggu
saya. Mungkin akibat pukulan kaleng yang bertubi-tubi. Ia hendak membangunkan
anaknya, yang akhirnya berhasil, dan ia juga hendak membangun suasana yang
tidak menyenangkan bagi penonton, dan itu juga berhasil.
Sayangnya, muka Mama tertutup oleh rambut yang
tidak sepenuhnya terikat sehingga saya kurang jelas melihat mimik muka ketika
ia berbicara. Meskipun tokoh Mama adalah seorang wanita tua yang miskin dan
tidak terlalu memperdulikan penampilan, yang ditonjolkan oleh rambut, hal itu
menghalangi penonton untuk melihat wajah Mama jika ia berbicara menyamping.
Lagi-lagi saya menyayangkan tempo pembicaraan
yang cepat. Meskipun secara keseluruhan semua tokoh mempunyai vokal yang kuat
dan artikulasi yang baik, tempo bicara setiap tokoh terlalu cepat sehingga saya
juga tergesa-gesa menangkap setiap kalimat yang dilontarkan. Imbasnya, respon
dari tiap kalimat dan beberapa kalimat penting pun jadi terlewatkan maknanya.
Tapi saya kemudian berpikir, mungkin terlinga saya sajalahnya yang terlalu lama
menangkap suara :P
Lalu Mama mulai memungut pakaian-pakaian yang
berserakan di ruang itu. Saya kira itu baju kotor, tapi ternyata itu baju
bersih karena kemudian Mama mulai menyeterikanya. Sepengalaman saya dan setahu
saya, baju yang dibiarkan tergeletak adalah baju kotor, baju yang telah
dipakai. Karena terlalu malas, saya kemudian menaruh baju kotor itu sembarang.
Lagi pula, setelah beberapa saat menyeterika, Mama menyuruh mengambil baju
bersih di dalam kamar.
Saya pikir adegan menyeterika itu merupakan
adegan yang ‘berbahaya’. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan. Jika itu
lewat, akan mudah sekali ketahuannya. Misalnya, Mama mencolokan seterika ke
sebuah terminal di bawah meja. Biasanya kita akan menunggu seterika itu panas
baru menggunakannya. Tapi ternyata setelah beberapa detik seterika itu dicolok,
Mama segera menyeterika. Kalau benar dialiri listrik, pasti seterika itu belum
panas.
Contoh lain, ketika Magda, anak perempuan
Mama, melanjutkan menyeterika, Magda mengambil minum di dapur padahal baju yang
sedang ia seterika belum selesai. Lagi-lagi, sepengalaman dan setahu saya, jika
kita ingin melakukan hal lain yang masih bisa ditunda ketika menyeterika,
misalnya pergi ke kamar mandi, minum, dan sebagainya, kita akan menyelesaikan
satu baju yang sedang diseterika. Beda halnya ketika ada telepon atau ada orang
yang mengetuk pintu, kita akan menunda dulu menyeterika.
Lalu, ketika Mama pergi sejenak keluar untuk
menitipkan belanjaannya, Mama meninggalkan seterika dalam keadaan hidup.
Padahal mereka adalah orang miskin yang seharusnya peka terhadap biaya hidup
yang mereka tanggung.
Saya kagum dengan seting ruang dalam
pementasaan ini. Ada pintu dan jendela sebagai sekat, tapi ternyata para pemain
tidak konsisten dengan ruang yang telah mereka bangun. Ketika Magda dan Benny
berbicara di depan, di dekat pintu menghadap penonton, saya berpikir, apakah
mereka tidak tahu bahwa mereka itu berbicara dengan tembok, bukan dengan
penonton. Sama halnya ketika Mama berbicara dengan Papa. Malah sebenarnya
mereka telah menabrak tembok yang tidak kasat mata itu. Karena tidak ada tembok
yang terlihatlah kemudian mereka lupa bahwa sebenarnya ada tembok di hadapan
mereka.
Saya kemudian bermain-main sedikit dengan
imajinasi saya. Di bayangan saya, saya akan menukar posisi pintu masuk dengan
jendela. Atau bahkan saya akan menambahkan sebuah jendela di sebelah kanan
pintu masuk. Dengan adanya sebuah jendela tambahan di depan, tentu akan
membantu membangun sebuah motif ketika ingin berbicara di depan. Itu juga
membantu membuat batas ruang menjadi lebih jelas sehingga penonton tidak malah
lebih memperhatikan kaki dibandingkan dialog-dialog pemain.
Ada satu adegan yang menumpuk di sofa. Awalnya
di sofa duduk Papa dan Magda. Kemudian Magda pergi sejenak dan duduklah Benny
di sebelah Papa. Setelah Magda kembali, saya kira ia akan duduk di kursi kecil
di sebelah sofa. Tapi ternyata Magda lebih memilih duduk di belakang Benny.
Sofa itu cukup kecil, sehingga dengan adanya dua orang mendudukinya, itu sudah
lebih dari cukup. Padahal ada sebuah kursi yang disediakan di kiri sofa,
mengapa ia tidak digunakan. Karena tiga orang berada dalam satu sofa, saya
sebagai penonton merasa itu tidak lagi nyaman dilihat, janggal.
Ketika tokoh Oma muncul, saya merasa saya
pernah melihatnya. Kalau tidak salah tokoh Oma adalah perempuan yang membaca
cerpen ketika acara Open House GSSTF. Koreksi saya bila salah. Oh ya,
ini hanya intermezo J
Tokoh Oma hanya diperjelas oleh tubuh yang
bungkuk. Tata riasnya tidak menunjukkan bahwa Oma sudah tua. Nada bicaranya
juga hanya menegaskan bahwa ia seorang perempuan yang banyak bicara dan
menyebalkan. Karakternya sendiri kurang kuat. Saya penasaran, mengapa Oma
menggunakan sarung biru di bawah dress yang ia gunakan? Saya berharap
ada yang bisa memberikan tanggapan.
Berbicara tentang rias wajah, rias wajah tokoh
Mama juga tidak pas. Menurut saya malah tokoh Mama lebih muda dibandingkan
anaknya sendri, Magda. Selain rias wajah, karakter tokoh Mama juga tidak kuat.
Sifat keibuan yang biasanya muncul dari seorang ibu tidak muncul pada tokoh
Mama.
Menjelang penghujung pementasan, teman yang
menonton di sebelah saya bertanya apakah kursi goyang itu tidak difungsikan
lagi. Saya jawab, mungkin nanti akan digunakan, pasti ada fungsi lainnya. Benar
saja, Mama duduk di kursi goyang itu setelah Papa pergi. Lalu tidak lama muncul
seorang Polisi yang mengabarkan bahwa Papa meninggal dalam kecelakaan. Sudut letak
kursi goyang menurut saya tidak pas. Sisi itu terlalu sempit, dan lagi ketika
terjadi percakapan antara Mama dengan Polisi jarak mereka jadi tidak enak
dilihat karena Polisi terbentur oleh pintu masuk. Jika ia terlalu maju, maka
ketika ia bicara dengan Mama ia akan blocking.
Mungkin banyak yang berkata bahwa saya terlalu
memperhatikan hal-hal kecil yang tidak terlalu penting. Tapi bagi saya, ketika
hal-hal kecil itu dilupakan, maka ia akan menjadi sebuah hal yang besar. Tidak
ada hal besar yang tidak ditopang oleh hal kecil. Ini bukan tidak penting,
hanya saja terkadang orang malas untuk membenahinya.
Kiranya semoga kita bisa sama-sama belajar
dari setiap pengalaman yang kita alami. Mudah-mudahan saya tidak dianggap
sebagai penonton yang hanya tukang kritik. Saya kadang menyadari bahwa saya
lebih ‘ahli’ membenahi dibandingkan memainkan sebuah peran. Dan semoga tulisan
ini tidak terlalu menyedihkan karena saya sendiri masih kurang puas dengan apa
yang saya tulis.
Selamat ulang tahun GSSTF. Semoga bertambah
besar dan berumur panjang. Semoga setiap karya yang dihasilkan senantiasa lebih
baik J
NB1: sebaiknya sendal yang digunakan ditambah.
Masa satu rumah dengan empat orang keluarga hanya punya satu sendal?
NB2: mungkin akan lebih baik jika Papa
menggunakan sepatu berwarna hitam agar lebih terlihat sebagai seorang pekerja.
NB3: tidak harus jam antik, lebih penting jika
jam itu berdetak. Lagipula bunyi detak jam kadang malah membangun suasana yang
diinginkan. Meskipun akan ada persoalan ternyata jam itu hanya bergerak selama
satu jam yang seting waktunya dari pagi hingga tengah malam.
November Tiba
November tiba. Saya masih sosok yang sama,
masih terpaku pada hal-hal wajib yang harus saya benahi. Saya masih terlalu
lambat mendayung sampan yang saya naiki. Saya tahu, ada hamparan pasir yang
menunggu saya, tapi saya ragu apakah kaki saya masih dapat menjejak kuat di
atasnya.
Saya masih sosok yang sama, masih suka
berandai-andai dengan masa depan. Masih terpaku pada masa lalu yang tersisa
pada keping-keping kenangan. Masih berharap saat ini adalah saat yang tepat
untuk melaju menembus ketidakpastian.
November tiba. Harapan saya masih sama. Atau
mungkin sedikit berubah karena ternyata kenyataan terlalu menyeramkan untuk
diterima. Saya mungkin masih bisa menunggu, tapi kadang waktu tidak suka
menunggu.
Subscribe to:
Posts (Atom)