Kemarin (29 Oktober 2011), lagi-lagi,
kebetulan saya menyaksikan pementasaan GSSTF. Tadinya saya hanya ingin mampir
sejenak di Nalar untuk bertemu dengan kawan-kawan di sana. Tapi ternyata Teh
Mona memberitahu bahwa pukul 19.00 akan ada pementasan GSSTF di Gor Pakuan.
Saya pun dengan senang hati akan menontonnya. Kali ini GSSTF mementaskan sebuah drama karya Nano Riantiarno.
Entah saya harus merasa senang atau gelisah,
ternyata beberapa orang mengenal saya ketika saya diperkenalkan. Saya sudah
diberitahu bahwa catatan saya tentang pementasan GSSTF sebelumnya di-share di
group GSSTF di facebook. Saya pasti senang karena ternyata banyak
yang mengapresiasi tulisan saya, tapi saya juga gelisah, takut banyak yang
memandang negatif terhadap tulisan saya.
Beberapa orang kemudian meminta saya untuk
menulis catatan tentang pementasan kali ini. Dari awal saya memang sudah
berniat untuk menulis, namun diminta secara verbal malah membuat saya was-was
dan semakin gelisah.
Ketika lampu dinyalakan, seorang pastor
bangkit dari sebuah kursi goyang di kiri panggung. Kursi itu letaknya di
sebelah kiri pintu. Seting panggung membentuk ruang tamu/keluarga sebuah rumah.
Saya mencoba menggambarnya. Kira-kira seperti di bawah ini. Maaf jika ternyata gambar
saya sama buruknya dengan tulisan saya :P
Keterangan:
- Kursi goyang
- Pintu masuk
- Jendela
- Pintu menuju dapur
- Jam Antik
- Pintu menuju kamar
- Dua buah lukisan
- Meja dapur + kompor
- Rak baju
- Rak buku
- Meja seterika
- Sofa
Adegan dimulai. Tokoh Mama sibuk di dapur.
Lalu ia sibuk membangunkan anaknya, Benny. Sambil berteriak “Bangun!” Mama
memukulkan tangannya di wadah besar yang terbuat dari kaleng. Ketika melihat
adegan ini, saya kembali teringat akan pementasan yang lalu. Mama, kebetulan,
diperankan oleh Iska. Pementasan yang lalu Iska memerankan tokoh perempuan
tanpa mulut, sekaligus pengamen, dan hansip. Adegan itu sedikit mengganggu
saya. Mungkin akibat pukulan kaleng yang bertubi-tubi. Ia hendak membangunkan
anaknya, yang akhirnya berhasil, dan ia juga hendak membangun suasana yang
tidak menyenangkan bagi penonton, dan itu juga berhasil.
Sayangnya, muka Mama tertutup oleh rambut yang
tidak sepenuhnya terikat sehingga saya kurang jelas melihat mimik muka ketika
ia berbicara. Meskipun tokoh Mama adalah seorang wanita tua yang miskin dan
tidak terlalu memperdulikan penampilan, yang ditonjolkan oleh rambut, hal itu
menghalangi penonton untuk melihat wajah Mama jika ia berbicara menyamping.
Lagi-lagi saya menyayangkan tempo pembicaraan
yang cepat. Meskipun secara keseluruhan semua tokoh mempunyai vokal yang kuat
dan artikulasi yang baik, tempo bicara setiap tokoh terlalu cepat sehingga saya
juga tergesa-gesa menangkap setiap kalimat yang dilontarkan. Imbasnya, respon
dari tiap kalimat dan beberapa kalimat penting pun jadi terlewatkan maknanya.
Tapi saya kemudian berpikir, mungkin terlinga saya sajalahnya yang terlalu lama
menangkap suara :P
Lalu Mama mulai memungut pakaian-pakaian yang
berserakan di ruang itu. Saya kira itu baju kotor, tapi ternyata itu baju
bersih karena kemudian Mama mulai menyeterikanya. Sepengalaman saya dan setahu
saya, baju yang dibiarkan tergeletak adalah baju kotor, baju yang telah
dipakai. Karena terlalu malas, saya kemudian menaruh baju kotor itu sembarang.
Lagi pula, setelah beberapa saat menyeterika, Mama menyuruh mengambil baju
bersih di dalam kamar.
Saya pikir adegan menyeterika itu merupakan
adegan yang ‘berbahaya’. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan. Jika itu
lewat, akan mudah sekali ketahuannya. Misalnya, Mama mencolokan seterika ke
sebuah terminal di bawah meja. Biasanya kita akan menunggu seterika itu panas
baru menggunakannya. Tapi ternyata setelah beberapa detik seterika itu dicolok,
Mama segera menyeterika. Kalau benar dialiri listrik, pasti seterika itu belum
panas.
Contoh lain, ketika Magda, anak perempuan
Mama, melanjutkan menyeterika, Magda mengambil minum di dapur padahal baju yang
sedang ia seterika belum selesai. Lagi-lagi, sepengalaman dan setahu saya, jika
kita ingin melakukan hal lain yang masih bisa ditunda ketika menyeterika,
misalnya pergi ke kamar mandi, minum, dan sebagainya, kita akan menyelesaikan
satu baju yang sedang diseterika. Beda halnya ketika ada telepon atau ada orang
yang mengetuk pintu, kita akan menunda dulu menyeterika.
Lalu, ketika Mama pergi sejenak keluar untuk
menitipkan belanjaannya, Mama meninggalkan seterika dalam keadaan hidup.
Padahal mereka adalah orang miskin yang seharusnya peka terhadap biaya hidup
yang mereka tanggung.
Saya kagum dengan seting ruang dalam
pementasaan ini. Ada pintu dan jendela sebagai sekat, tapi ternyata para pemain
tidak konsisten dengan ruang yang telah mereka bangun. Ketika Magda dan Benny
berbicara di depan, di dekat pintu menghadap penonton, saya berpikir, apakah
mereka tidak tahu bahwa mereka itu berbicara dengan tembok, bukan dengan
penonton. Sama halnya ketika Mama berbicara dengan Papa. Malah sebenarnya
mereka telah menabrak tembok yang tidak kasat mata itu. Karena tidak ada tembok
yang terlihatlah kemudian mereka lupa bahwa sebenarnya ada tembok di hadapan
mereka.
Saya kemudian bermain-main sedikit dengan
imajinasi saya. Di bayangan saya, saya akan menukar posisi pintu masuk dengan
jendela. Atau bahkan saya akan menambahkan sebuah jendela di sebelah kanan
pintu masuk. Dengan adanya sebuah jendela tambahan di depan, tentu akan
membantu membangun sebuah motif ketika ingin berbicara di depan. Itu juga
membantu membuat batas ruang menjadi lebih jelas sehingga penonton tidak malah
lebih memperhatikan kaki dibandingkan dialog-dialog pemain.
Ada satu adegan yang menumpuk di sofa. Awalnya
di sofa duduk Papa dan Magda. Kemudian Magda pergi sejenak dan duduklah Benny
di sebelah Papa. Setelah Magda kembali, saya kira ia akan duduk di kursi kecil
di sebelah sofa. Tapi ternyata Magda lebih memilih duduk di belakang Benny.
Sofa itu cukup kecil, sehingga dengan adanya dua orang mendudukinya, itu sudah
lebih dari cukup. Padahal ada sebuah kursi yang disediakan di kiri sofa,
mengapa ia tidak digunakan. Karena tiga orang berada dalam satu sofa, saya
sebagai penonton merasa itu tidak lagi nyaman dilihat, janggal.
Ketika tokoh Oma muncul, saya merasa saya
pernah melihatnya. Kalau tidak salah tokoh Oma adalah perempuan yang membaca
cerpen ketika acara Open House GSSTF. Koreksi saya bila salah. Oh ya,
ini hanya intermezo J
Tokoh Oma hanya diperjelas oleh tubuh yang
bungkuk. Tata riasnya tidak menunjukkan bahwa Oma sudah tua. Nada bicaranya
juga hanya menegaskan bahwa ia seorang perempuan yang banyak bicara dan
menyebalkan. Karakternya sendiri kurang kuat. Saya penasaran, mengapa Oma
menggunakan sarung biru di bawah dress yang ia gunakan? Saya berharap
ada yang bisa memberikan tanggapan.
Berbicara tentang rias wajah, rias wajah tokoh
Mama juga tidak pas. Menurut saya malah tokoh Mama lebih muda dibandingkan
anaknya sendri, Magda. Selain rias wajah, karakter tokoh Mama juga tidak kuat.
Sifat keibuan yang biasanya muncul dari seorang ibu tidak muncul pada tokoh
Mama.
Menjelang penghujung pementasan, teman yang
menonton di sebelah saya bertanya apakah kursi goyang itu tidak difungsikan
lagi. Saya jawab, mungkin nanti akan digunakan, pasti ada fungsi lainnya. Benar
saja, Mama duduk di kursi goyang itu setelah Papa pergi. Lalu tidak lama muncul
seorang Polisi yang mengabarkan bahwa Papa meninggal dalam kecelakaan. Sudut letak
kursi goyang menurut saya tidak pas. Sisi itu terlalu sempit, dan lagi ketika
terjadi percakapan antara Mama dengan Polisi jarak mereka jadi tidak enak
dilihat karena Polisi terbentur oleh pintu masuk. Jika ia terlalu maju, maka
ketika ia bicara dengan Mama ia akan blocking.
Mungkin banyak yang berkata bahwa saya terlalu
memperhatikan hal-hal kecil yang tidak terlalu penting. Tapi bagi saya, ketika
hal-hal kecil itu dilupakan, maka ia akan menjadi sebuah hal yang besar. Tidak
ada hal besar yang tidak ditopang oleh hal kecil. Ini bukan tidak penting,
hanya saja terkadang orang malas untuk membenahinya.
Kiranya semoga kita bisa sama-sama belajar
dari setiap pengalaman yang kita alami. Mudah-mudahan saya tidak dianggap
sebagai penonton yang hanya tukang kritik. Saya kadang menyadari bahwa saya
lebih ‘ahli’ membenahi dibandingkan memainkan sebuah peran. Dan semoga tulisan
ini tidak terlalu menyedihkan karena saya sendiri masih kurang puas dengan apa
yang saya tulis.
Selamat ulang tahun GSSTF. Semoga bertambah
besar dan berumur panjang. Semoga setiap karya yang dihasilkan senantiasa lebih
baik J
NB1: sebaiknya sendal yang digunakan ditambah.
Masa satu rumah dengan empat orang keluarga hanya punya satu sendal?
NB2: mungkin akan lebih baik jika Papa
menggunakan sepatu berwarna hitam agar lebih terlihat sebagai seorang pekerja.
NB3: tidak harus jam antik, lebih penting jika
jam itu berdetak. Lagipula bunyi detak jam kadang malah membangun suasana yang
diinginkan. Meskipun akan ada persoalan ternyata jam itu hanya bergerak selama
satu jam yang seting waktunya dari pagi hingga tengah malam.
Aku dari Februari ini siapa nama sebenarnya? Atau bagaimana saya harus memanggilnya....? Apa pernah baca buku tentang dramaturgi (mungkin di pena ada)... supaya lebih tajam pisau kritik mu...
ReplyDeleteSaya setuju dengan komentarmu tentang beberapa adegan yang tidak logis. Saya menyebutnya gerak tanpa motif. Padahal logika itu unsur utama dalam naskah-naskah realis seperti "jam dinding yang berdetak" ini.
Logika-logika itu biasanya lahir dari analisa naskah yang cermat dan rajin. Memang ini memerlukan proses lama juga. Tapi itulah teater.
Saya suka tulisannya. Menurut saya ulasan yang detil dalam tulisan ini, tidak mengganggu rasa "enak dibaca"
Terima kasih.
Nama saya Fega, Kang. Kalau tidak salah waktu di Nalar, Sabtu kemarin, kita sudah berkenalan.
ReplyDeleteSeingat saya, saya membaca buku sejenis dramaturgi itu hanya sambil lalu, tidak terlalu benar-benar menyimak apa yang ditulis di dalamnya.
Memainkan naskah realis itu sebuah tantangan. Mereka dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga logika-logika dalam pementasan itu akan kentara sekali bila terlewatkan.
Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir di sini, Kang. Terima kasih.