"Saya ngga mau belajar Semiotika. Ngapain tanda dipelajari."
Begitu teriak seorang anak di kosan tempat saya tinggal sekarang. Dari pembicaraannya dengan beberapa temannya saya tahu bahwa ia sedang mengerjakan tugas kuliah. Dan dari beberapa percakapannya, saya tahu bahwa ia mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya. Ah, saya lebih akrab menyebutnya Fakultas Sastra.
Seketika saya tertawa mendengar teriakannya itu. Bahkan ia tidak tahu ketika ia berteriak seperti itu, itu juga sudah merupakan suatu tanda. Tidakkah ia sadar bahwa di sekelilingnya penuh dengan tanda?
Seketika lagi saya tertawa karena ia tidak tahu bahwa teori yang saya ambil untuk bahan skripsi saya adalah Semiotika. Ya, ilmu tentang tanda itulah yang bisa mengantarkan saya keluar dari bangku perkuliahan.
Saya sedih. Ketika ia berkata demikian, tidakkah dia sadar bahwa ia telah melecehkan dirinya sendiri sebagai mahasiswa Fakultas Sastra? Hm, mungkin sastra sendiri tidak bisa memengaruhi apa yang ada di kepalanya.
Jangan panggil kamu mahasiswa sastra, jangan bilang kamu tahu apa itu sastra kalau ternyata hidupmu tidak berkembang karena sastra. Saya tidak sombong, saya tidak omong kosong, dan saya tidak melebih-lebihkan karena saya sadar bahwa sedikit banyak sastra memengaruhi cara pandang saya terhadap apa yang saya sedang dan akan saya pikirkan.
Tidak ada salahnya kita mencuri ilmu dari buku yang kita baca bukan?
Ia dan saya masih sama-sama belajar. Kami masih sama-sama belajar. Tapi ternyata tujuan kami sebagai anak Fakultas Sastra berbeda.
No comments:
Post a Comment