“Bu, Bu, Ibu di
mana?” Teriak perempuan itu memanggil Ibunya.
“Ibu di mana, Bu.
Di mana, Bu?” Kali ini di sela-sela senguk-tangisnya.
Lalu perempuan itu
diam. Hanya bisa pandangi gambar hitam-putih di pangkuannya. Dengan jejari
keriputnya ia bawa gambar masa lalunya ke mulutnya. Ia kecup penuh haru. Biru.
“Bu, Bu, Ibu. Sini,
Bu. Ara sendiri, Bu.”
Teriakan panjang
menggema ke sepanjang lorong. Petugas berseragam putih masuk
berbondong-bondong. Tubuh Ara dikerumuni. Ditarik ke semua penjuru arah.
Diikat. Dan sebatang jarum meninabobokannya.
Gambar hitam-putih
itu terinjak-injak.
“Jangan. Jangan
injak Ibuku.”
Suaranya
deru-menderu bersama nafas yang satu-satu.
“Bu... Ara... Bu...”
Seiring irama nafas yang teratur, Ara pulas dipaksa tidur.
Seorang petugas
mengambil gambar di lantai. Dibersihkan dengan tangannya dan ditaruhnya di atas
meja, sebelah ranjang Ara.
“Tuh, Bu. Si Ara
kangen katanya,” kata petugas itu pada gambar hitam-putih.
Sosok dalam gambar itu
diam tidak menjawab. Senyum yang tadinya tergores di bibirnya, luntur.
Dalam tidurnya Ara
tersenyum. Mungkin Ibu datang di mimpinya. Mungkin senyum itu tidak jadi
luntur. Padahal di luar hujan mulai turun.
Tik... tik...
tik... Bunyi hujan di atas genting.
Suara Ibu
samar-samar menjauh. Ara sendiri. Lagi.
No comments:
Post a Comment