Satu
kedip. Dua. Tiga. Berkali-kali Ara mengedipkan mata, nama itu tidak berubah. Sebuah
nama yang membangkitkan kenangan yang sudah ia simpan di hatinya yang paling
bawah. Nyaris berdebu sampai ia melihat nama itu lagi.
Sebuah
undangan pernikahan dengan nama yang sama. Lagi-lagi Ara berkedip. Masih nama
yang sama. Dan seketika degupan jantung berpacu dengan gerak bibir yang membaca
kata demi kata pada layar komputer Ara. Udangan elektronik itu ia baca
berkali-kali. Mungkin berharap mendapatkan nama yang berbeda. Nyatanya seratus
kali pun ia berkedip, nama dan tanggal pernikahan itu tetap sama. Sakit. Bahkan
melihat undangan pernikahannya pun sakit.
Jarinya
perlahan mengklik sebuah gambar. Ya, itu dia. Lutut Ara lemas, seolah bangku
yang ia duduki tidak mampu menampung dirinya. Itu dia. Dia menikah dengan
perempuan yang tidak Ara kenal. Cantik. Ah, tidak. Tapi memang cantik. Tapi...
Sudah
lama Ara takbertemu pria itu, bahkan salam dan basa-basi menanyakan kabar pun
entah kapan berlalu. Ia menarik hatinya dari pria itu bertahun yang lalu. Merasa
sudah selesai, merasa mampu meninggalkan kenangan bahagia yang dikumpulkan
bersama pria itu. Tapi, nampaknya separuh hati Ara masih tertinggal di pemilik
senyum berlesung pipi itu.
Ara
sulit jatuh cinta. Dan pria itu membuat Ara tahu apa yang dinamakan cinta. Tidak
terlalu terlambat untuk tahu bahwa pria dan wanita bisa berbagi perasaan yang
seperti itu. Lagi-lagi undangan pernikahan itu membuat hati Ara tergerus luka.
Diambilnya
telepon genggam dari dalam tasnya. Diketiknya sebuah kalimat. Dihapus. Diulangi.
Dihapus lagi. Ara ragu. Haruskah ia mengirim pesan pada pria itu? Sekadar ingin
tahu kebenarannya? Atau, ingin menambah gerus di hatinya?
Akhirnya
beberapa kalimat berhasil diketiknya. Pesan terkirim. Berdebar-debar Ara
menunggu jawaban. Akankah lama? Mungkin ia sibuk. Ah, tidak. Sebuah pesan
masuk. Dari pria itu. Pertanyaan basa-basi tentang kabar memulai. Nada bahagia.
Dan benar, ia akan menikah. Dua minggu lagi katanya. Ara harus datang sebagai
teman lama. Ya, teman lama. Kebahagiaan membuat ia lupa.
Ucapan
selamat Ara sampaikan. Dan berjanjilah bahwa ia akan datang. Tidak begitu jujur
ia ucapkan bahwa ia ikut senang.
Ternyata
waktu hanya berhenti pada diri Ara. Pria itu terus berjalan dan melewati pagar
yang dulu Ara bangun di sekitarnya.
Ruang
kamarnya lalu kabur di matanya.
No comments:
Post a Comment