Thursday, September 26, 2013

Tes Pauli dan Perkenalan Tanpa Nama


Ceritanya Senin dan Selasa kemarin saya mengikuti tes di salah satu stasiun televisi. Kalau kamu pencari kerja seperti saya, pasti kamu tahu stasiun televisi itu. Mereka buka pendaftaran di berbagai kota, rasanya jadi seperti ajang pencarian bakat.

Pun ketika tiba di tempat saya merasa sedang mengikuti audisi pencarian bakat. Pelamar via web ada 2500-an orang, belum lagi ditambah yang melamar di tempat. Antriannya panjaaaaaannngggggg sekali.

Nah, hari Senin saya sama sekali tidak menyapa seorang pun. Saya kan sebenarnya pemalu. Jadilah tidak mendapat kenalan sama sekali. Tes hari itu adalah tes psikologi dan tes pengetahuan umum. Selama ini saya tidak pernah berkesempatan mengikuti tes psikologi semacam itu, jadi ini kali pertama.

Tes pertama adalah tes Pauli atau tes koran karena lembar kertasnya besar seperti koran. Isinya angka, sejauh mata memandang hanya ada angka. Cara mengisinya adalah dengan cara menjumlahkan dua angka, lalu dua angka berikutnya, dan berikutnya.


Mata sampai berkabut karena tes ini. Tapi seru sih, nanti rencananya mau saya print terus saya kerjain di rumah. Saking ngga ada kerjaannya. Hahahahaha...

Hari kedua tes wawancara. Hari yang panjang. Berangkat dari pukul 05.00 dan sampai di rumah pukul 21.30. Padahal sudah tidak berharap lolos tes hari pertama. Tapi ternyata nama saya ada di list dan datanglah saya di hari kedua, di tes wawancara.

Hari itu saya memutuskan akan membuat pertemanan baru. Tapi ternyata ketika antre, perempuan di belakang saya suka sekali ngobrol. Nah, saya kurang suka pada orang seperti itu. Satu per satu diajaknya ngobrol. Karena saya berdiri di depannya, saya tidak diajak ngobrol karena saya tidak membalikan badan. Sampai akhirnya tidak ada yang bisa diajak ngobrol, saya pun kena. Dia bertanya, saya menjawab. Tapi saya tidak balas bertanya. Untuk apa? Toh, sejak dari pintu masuk sampai ke meja registrasi saya tahu semua ceritanya.

Sampai akhirnya saya diajak ngobrol oleh seorang laki-laki. Awalnya basa-basi. Lalu datang seorang laki-laki lagi. Namanya tidak ada di pengumuman, ternyata ia salah informasi. Mulailah kami bertiga ngobrol dengan seru. Dari tanya ini sampai cerita itu. Sayangnya laki-laki dua harus pulang. Buat apa pula ia di sana, namanya tidak ada. Jadinya tinggal saya dan laki-laki pertama. Kami pindah tempat duduk, masuk ke ruangan. Dan bertemu lagi dengan seorang laki-laki dari Bandung.

Kami bertiga, saya, laki-laki pertama, dan laki-laki ketiga, selalu bersama dari siang sampai kami masuk ruang wawancara. Ngobrol ke sana ke mari, mengeluh sama-sama, makan bersama, pokoknya semua bersama. Tapi yang lucu adalah tidak ada di antara kami yang tahu nama masing-masing. Hahahahaha... Saya menunggu ditanya, bukan karena saya tidak mau bertanya, tapi saya penasaran kapan kami akan mulai mengenalkan identitas masing-masing. Rasanya lucu saja, kami akrab tapi nama pun kami tidak tahu.

Yah, semoga kami bertiga diterima dan nanti saya akan memperkenalkan diri dengan benar. Sampai jumpa kalian-kalian. Semoga kita beruntung :)

Sunday, September 22, 2013

Kecemasan pada Angin

Hidup saya tidak luput dari segala bentuk kecemasan, baik kecemasan yang muncul akibat lingkungan sekitar maupun kecemasan yang muncul akibat pemikiran diri sendiri. Sejak saya mengenal rasa cemas, ia terus mengganggu. Bahkan saya membiarkannya terus berkembang, tanpa mencari tahu bagimana cara menghilangkannya. Saya hanya abai, tanpa berusaha keluar dari zona ketidaknyamanan itu.

Setelah nyaris tujuh tahun hidup dalam zona nyaman lingkungan kampus, saya harus kembali pulang. Mungkin kalian yang dekat dengan saya, atau yang mengikuti perkembangan catatan saya di blog ini akan bosan mengetahui bagaimana saya membicarakan hidup saya. Tapi, tulisan adalah satu-satunya cara (yang saya kuasai) untuk melepaskan kecemasan itu.

Pulangnya saya membuat kecemasan bukannya berkurang. Saya dihadapkan lagi dengan proses adaptasi. Betapa tidak saya merasa canggung melihat lingkungan tempat saya tumbuh telah berubah, berproses tanpa saya hadir di dalamnya.

Sampai sekarang saya masih canggung bertemu dengan tetangga-tetangga yang dulu rumahnya masih berupa lahan kosong tempat ilalang berkembang. Ingatan saya hanya sebatas masa lalu, tidak mengikuti proses lingkungan yang ada. Saya kembali harus beradaptasi.

Tapi, saya menyadari toh semua bertumbuh. Saya seketika takjub melihat anak-anak di sekitar saya tumbuh begitu menakjubkan. Terlebih tiga anak laki-laki. Dulu, tiba-tiba saya benci kata ini, mereka masih kecil, masih menggayut di tangan ibu. Mereka masih anak-anak lucu yang menyapa-disapa. Mengetahui tubuh mereka berkembang begitu indah begitu menakjubkan. Mereka menjadi sosok laki-laki di awal kedewasaannya.

Saya merasa kecil, merasa tidak berkembang melihat pertumbuhan mereka. Betapa mereka tiba-tiba menjauh dan asing. Merindukan suara-suara teriakan di sela permainan mereka. Mereka bertumbuh dan saya harus beradaptasi dengan itu.

Kecemasan tidak berhenti di sana. Ia kemudian muncul dalam bentuk perbandingan dan pertanyaan. Harus memulai menjawab tanya tanpa bisa lepas bertanya. Anak kecil tumbuh dengan bertanya. Saya, di usia saya sekarang, tumbuh dengan menjawab. Menjawab segala pertanyaan yang tidak ada habisnya. Menjawab pertanyaan yang tidak pernah saya sukai. Tapi sebagai orang dewasa, saya harus menjawab demi etika dan teman-temannya.

Ada kalanya saya menyalahi kecemasan. Kenapa hidup tidak hanya sekadar memikirkan hari ini. Padahal Tuhan telah bersabda bahwa cukuplah kekhawatiran sehari hanya untuk sehari karena besok akan ada lekhawatirannya sendiri. Tapi saya berlomba-lomba mengumpulkan kecemasan bahkan untuk tahun depan.

Mulut berkata "masa bodoh", tapi hati yang paling tahu. Ia merenyit, mengatakan bahwa bohong pada diri sendiri itu jauh lebih menyakitkan daripada membohongi orang lain.

Dulu saya menghibur diri dengan mengatakan bahwa saya sedang jalan-jalan santai bersama angin yang membelai pipi, tapi benarkah angin punya waktu untuk jalan santai bersama saya?

Tuesday, September 17, 2013

Pernikahan

kalau nikah cuma biar enak dilihat, yah nikahlah sekarang.
tapi, kalo lo berdua belom punya apa-apa untuk dibawa ke rumah tangga lo, cari dulu baru nikah.
Terkadang saya jago bikin kalimat-kalimat sok bijaksana seperti di atas. Tapi sungguh, itu keluar dari berbagai pertimbangan dan pemikiran.

Menikah buat saya bukan hal yang mudah. Bukan sekadar menyatukan dua pribadi dan dua keluarga. Menikah itu juga berarti penyesuaian, kebahagiaan, keabadian, penyelarasan, ketidakbosanan, kesanggupan, dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya yang akan panjang jika saya tuliskan di sini.

Ketika perkataan itu keluar dari kepala saya, saya hanya ingin berharap agar pernikahan itu bukan hanya kata "sekadar" tapi "akhir", bukan "akhirnya". Ngerti maksudnya? Ngga? Sama, saya juga. Hahahaha...

Bagi saya, pernikahan itu di atas sakral. Sangat rumit. Sangat...

Malas Berbahasa

Tahu berita tentang Vicky Prasetyo? Iya, yang itu, yang bahasanya tinggi tapi kacau itu. Tulisan ini bukan sekadar ikut-ikutan membahas orang itu. Hanya saja ada hal kebetulan yang ingin saya sampaikan.

Beberapa minggu yang lalu, sebelum kasus Vicky ini terangkat di media, saya dan beberapa teman sedang asik mengobrol tentang bahasa. Bagaimana awalnya saya lupa, hanya saja poin ini yang paling saya ingat betul, masalah penggunaan kata-kata yang rumit.

Si A berkata bahwa ia suka menggunakan suatu kata yang rumit dalam beberapa tulisannya. Hanya suka saja, tapi tidak mengerti makna sebenarnya dari kata itu apa. Si B berkata bahwa ia suka menggunakan kata-kata yang rumit yang sebenarnya tidak nyambung dengan tulisannya, di blog pribadinya. Tapi Si B tahu arti setiap kata yang ia gunakan. Si B ingin mengetes pembaca blognya apakah protes atau tidak ketika ia menggunakan kata yang salah. Dan ternyata pembacanya tidak ada yang mempermasalahkan itu.

Tiba-tiba Vicky muncul. Kebetulan yang memang kebetulan. Tiba-tiba obrolan kami diberi contoh yang paling nyata. Penggunaan bahasa tingkat tinggi yang kerap salah tempat membuat Vicky jadi bahan omongan masyarakat luas. Bahkan tidak mempertanyakan kasus yang Vicky hadapi hingga membuatnya ada di penjara.

Vickyisme memang nampak baru, tapi sebenarnya kesalahan berbahasa sudah terjadi jauh sejak kemunculan Vicky. Banyak orang yang menggunakan kata-kata rumit agar terlihat keren dan berpendidikan. Apalagi ketika Vicky berbicara sebagai calon kepala desa yang notabene tidak semua warganya berpendidikan tinggi. Mereka mungkin saja percaya bahwa orang ini, yang menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti, yang bahasanya rumit, yang baru saya dengar sekarang, adalah orang yang pintar dan tahu banyak hal.

Namun sayangnya, para penikmat televisi banyak yang tingkat pendidikannya jauh lebih tinggi sehingga tahu bahwa apa yang dikatakan Vicky itu aneh, tidak jelas, apa sih maksudnya. Bahkan menganggap Vicky sok pintar, sok ngenglish, dan sok sok yang lainnya. Lalu Vicky pun jadi bahan olokan di banyak tempat dan di banyak komunitas.

Contoh Si A, yang dengan sadar, sering menggunakan kata yang rumit untuk tulisannya pun membuat saya tergelitik. Si A tidak mengerti makna kata itu apa, tapi karena kata itu keren jadi ia gunakan dan pembacanya pun tidak ada yang protes.

Di obrolan dengan teman yang lain saya berkata bahwa kebanyakan orang Indonesia itu malas berbahasa. Malas mencari kata dengan padanan yang tepat dan masih mengagungkan "ketinggian" bahasa kita. Seberapa rumit dan susahnyakah kita mencari padanan yang lebih tepat atau mencari kata yang lebih sederhana untuk bahasa yang kita gunakan?

Dalam Pikiran Rakyat, 14 September 2013, Matdon mengatakan bahwa bahasa adalah satu-satunya hiburan yang murah-meriah. Saya sepakat dengan Matdon. Lihat bagaimana ikon-ikon dengan bahasa yang aneh akhirnya banyak ditiru orang. Menjadikan bahasa sebagai hiburan sekaligus sebagai pelecehan.

Tapi saya rasa, fenomena berbahasa seperti ini akan sulit dihilangkan. Masih banyak orang seperti Vicky di luar sana, hanya saja kebetulan saja ia bukan tunangan seorang penyanyi dangdut sehingga tidak masuk tayangan televisi :D