Thursday, December 27, 2012

Selamat Natal 2012


dari google

SELAMAT NATAL!
Ho Ho Ho..
SELAMAT NATAL!

Harap kami masih sama, semoga kami dapat beribadah di gedung Gereja kami sendiri. Semoga perjuangan selama 23 tahun ini berhasil kami dapatkan. Dan semoga, tidak ada polisi yang siaga berjaga di depan gereja-gereja kami. Beribadat dengan penjagaan itu tidak pernah membuat saya nyaman, merasa ada yang diburu dan yang memburu. Harap kami masih sama.

Semoga damai Natal akan senantiasa hadir di tengah-tengah kita. Jadilah terang dan garam dunia. Bersorak-sorailah karena Ia sudah datang.

Tuhan memberkati.

Saturday, December 22, 2012

22 Desember 2012

21 Desember 2012 katanya kiamat.
Tapi nyatanya hari ini para Ibu kembali dibanggakan oleh mereka yang pernah tinggal di dalam rahimnya.

Selamat hari Ibu bagi semua Ibu yang telah meminjamkan rahimnya untuk sebuah kehidupan.

Foto: Google

Pulang - Leila S. Chudori


Rumah adalah tempat kita bisa pulang.

Kira-kira itulah yang diucapkan Dimas Suryo ketika mengingat apa itu yang dinamakan rumah. Dimas ingin pulang, ingin kembali ke rumah, tapi oleh kekejaman pemerintah ia tidak bisa menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya.

Membaca Pulang merupakan angin segar beberapa minggu ini. Setelah beberapa minggu ini mata berkutat pada buku terjemahan, buku ini mengingatkan bahwa masih ada sastrawan Indonesia yang patut diapresiasi. Anak emas sastra Indonesia, Leila S. Chudori, berhasil menyelesaikan Pulang setelah enam tahun lamanya.

Dengan berbagai riset tentang peristiwa G30S (yang diujungnya ditambahkan PKI), gerakan Mei 1968 di Paris, dan peristiwa Mei 1998, Leila menulis novel ini berdasarkan fakta-fakta yang ada. Sebuah fiksi tentang kenyataan keluarga korban dari ketika peristiwa berdarah tersebut (ah, gerakan Mei 1968 di Paris mungkin tidak tepat disebut peristiwa berdarah).

Kepustakaan Gramedia Populer, Batu Api, Layar Kita, dan Jurusan Jurnalistik Unpad pun mengadakan diskusi dan launching buku ini pada tanggal 18 Desember 2012 kemarin. Kebetulan saya yang sengaja menghabiskan buku ini sebelum tanggal tersebut pun datang. Dan nyatanya, mungkin dari 30-40 orang yang hadir, saya hanyalah salah satu atau salah dua dari mereka yang membacanya.

Pembicara Seno Gumira Ajidarma dan Leila S. Chudori. Beberapa yang datang mungkin malah untuk melihat Seno, bukan untuk Pulang bersama Leila. Lalu sesi tanya-jawab yang absurd berlangsung. Saya harus bersabar mendengar beberapa pertanyaan, misalnya, mengapa Leila mengambil setting G30S, apa alasan Leila menerbitkan buku dengan tema itu pada saat ini, apakah membuat fiksi dari sebuah fakta tidak malah mengubah anggapan pembaca, apa tanggapan Seno tentang karyanya yang dianggap pragiat (astaga!), dan mengapa-apa yang lain. Dua kali Seno menjawab dengan pertanyaan balik pada penanya, "Saya malah ingin bertanya, bagaimana pemikiranmu sampai kamu bisa menanyakan pertanyaan seperti itu", dan "Saya malah mau bertanya tentang pertanyaanmu karena saya tidak mengerti apa yang kamu tanyakan". Sesi tanya-jawab itu sungguh absurd!

Pulang, kisah perjalanan hidup Dimas Suryo yang dianggap sebagai bagian dari sayap kiri. Padahal Dimas tidak memilih ikut bersama yang kiri atau yang kanan. Hanya karena ia berkecimpung dan hidup bersama kaum gerakan kiri, ia dianggap bagian dari mereka.

Dalam novel ini saya menemukan beberapa kesamaan tentang tokoh Dimas Suryo, Hananto Prawiro, dan Sagara Alam. Mereka diceritakan memiliki wajah yang rupawan dan bentuk tubuh yang bagus. Karisma yang mereka miliki pun sama, sama-sama mampu memikat kaum hawa dan entah sudah berapa perempuan yang naik ranjang bersama mereka. Kesan jantan menguar dari tubuh mereka. Berbeda dengan sosok Tjai, Risjaf, Nara, dan Bimo yang tidak terlalu populer karena mereka digambarkan sebagai sosok yang tidak jantan seperti penggambaran Dimas, Hananto, dan Alam--meskipun wajah Nara dan Bimo termasuk rupawan.

Entah mungkin kebetulan atau tidak, perbedaan penggambaran tokoh-tokoh laki-laki tersebut menjadikan perbedaan peran pula dalam novel ini. Dimas, Hananto, dan Alam menjadi tokoh sentral dan Tjai, Risjaf, Nara, serta Bimo menjadi tokoh pendamping.

Begitu pula tokoh sentral perempuan, Vivienne Deveraux, Lintang Utara, dan Surti Anandari. Para perempuan itu digambarakan memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang menarik. Memiliki mata dan bibir yang memikat para pria.

Lintang merupakan anak dari pasangan Dimas dan Vivienne. Hidup Dimas ditarik dari dua sisi berseberangan, Paris (Vivienne) dan Indonesia (Surti). Pun begitu dengan Lintang, ditarik dari dua sisi berseberangan, Paris (Nara) dan Indonesia (Alam). Dimas dan Lintang sama-sama pula merasakan Indonesia adalah tempat pulang.

Menurut saya, Dimas Suryo ingin pulang bukan karena ia rindu pada tanah kelahirannya itu melainkan karena sosok Surti yang tidak bisa lepas dari bayangannya. Sosok Surti ditandai dengan setoples cengkih dan setoples kunyit yang selalu diletakkan Dimas di rumahnya. Dan meskipun di akhir cerita tidak dilanjutkan apa yang dipilih oleh Lintang, saya bisa menyimpulkan bahwa Lintang lebih memilih Indonesia dan Alam. Karena kesamaan-kesamaan yang terdapat pada sosok Dimas dan Lintang.

Dimas pulang, dia berpulang. Dalam tanah merah di Karet ia berpulang setelah rezim Orde Baru runtuh. Dimas berpulang dan Lintang memilih pulang.

Ah, ketika sesi tanda tangan, Leila dengan wajah gembira berkata bahwa pasti saya sudah membaca bukunya. Dengan gembira pula saya menjawab 'ya'. Lalu ia bertanya nama saya dan memberikan tanda tangannya pada dua buku Pulang yang saya miliki. Saya mendapat satu buku karena bisa menjawab pertanyaan Seno. Buku yang lama saya jual dengan setengah harga pada Chagie untuk menggenapi perkataanya bahwa ia akan mendapat Pulang dari saya. Ya, dariku Pulang untukmu :D

Fragmen Malam

Sementara... teduhlah, hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara... ingat lagi mimpi
Juga janji-janji
Jangan kau ingkari lagi

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Jangan henti disini

Sementara... lupakanlah rindu
Sadarlah, hatiku
Hanya ada kau dan aku
Dan, sementara... akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita berdua

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara
Untuk sementara saja

Sementara... teduhlah, hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara... ingat lagi mimpi
Juga janji-janji
Jangan kau ingkari lagi

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Jangan henti disini

Sementara... lupakanlah rindu
Sadarlah, hatiku
Hanya ada kau dan aku
Dan, sementara... akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita berdua

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara

Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara
Untuk sementara saja

Sementara teduhlah hatiku 
Tidak lagi jauh 
Belum saatnya kau jatuh
 
Sementara ingat lagi mimpi
Juga janji janji
Jangan kau ingkari lagi
 
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui 
Jangan henti di sini
 
Sementara lupakanlah rindu 
Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku
Dan sementara akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata 
Untuk asa kita berdua
 
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui 
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah 
Nikmatilah lara 
Jangan henti di sini
 
Float - Sementara 

Teruntuk kalian yang membuatku rindu dalam fragmen malam. Tiap tetes keringat akan segera menguap dan kita akan memulai lagi segalanya dari pori-pori nafas segar pagi ini.

Saturday, December 15, 2012

Andika



Saya yang sering sulit tidur kadang memunculkan beberapa kenangan. Kadang kenangan itu muncul sendiri tanpa diminta. Semalam, dalam gelap kamar, seorang teman yang sudah tenang di surga muncul dalam kepala saya.

Halo, Ndi. Sedang apa di sana? Surga pasti penuh hiasan Natal ya?

Andika sudah pergi mendahului kami nyaris tiga tahun yang lalu. Atau dua tahun lalu? Bener kan, Ndi? Sebentar lagi tahun baru dan tidak ada SMS darinya lagi yang mengajak kami bakar-bakar makanan di rumah salah seorang teman.

Yang paling saya rindukan dari Andika adalah pesan singkat ketika perayaan Natal, Paskah, tahun baru, dan ulang tahun saya. Andilah yang pertama memberi ucapan pada perayaan-perayaan itu karena sejak SMA kelas 3 ia pindah ke Australia. Waktu di sana lebih cepat dan SMS-nyalah yang pertama kali masuk.

Hari itu, ketika berulang tahun ada yang aneh padanya. Saya telah menunggu SMS darinya sepanjang hari. Hal itu selalu hal yang saya nantikan karena Andi memang ingat pada hal-hal kecil tentang teman-temannya. Namun, bahkan sampai hari berganti pun SMS takkunjung datang. Bulan Maret tiba, dan Andi akan berulang tahun. Lalu, siang itu sebuah telepon tidak dikenal masuk. Saya yang baru bangun tidur mengangkatnya setengah tidak sadar.

Teman SMP saya menelepon. Kabar yang disampaikannya sampai membuat saya bangun seperti disiram air. Andika meninggal. Berkali-kali saya tanyakan apakah hal itu benar, takut saya masih bermimpi. Bukankah kita baru merayakan tahun baru bersama?

Dengan kalut saya pergi ke warnet dekat kosan saya, mencoba mencari tahu lewat facebook. Jejari saya bahkan takhenti bergetar ketika menekan tuts-tuts keyboard. Air mata mulai berurai, takkunjung henti ketika melihat ucapan belasungkawa yang sudah memenuhi wall Andi. Ia pergi. Untuk selama-lamanya ia pergi.

Kepergian Andi begitu mengejutkan. Kami tidak tahu bahwa selama ini ia menderita sakit yang cukup serius karena ia tidak pernah menceritakan dan mengeluhkannya pada kami. Andi yang selama ini kami temui adalah Andi yang biasa, yang penuh dengan energi dan positivitas. Dalam tubuhnya ternyata penyakit sudah bersarang.

Ah, main futsal sama siapa di sana, Ndi? Gimana nanti tahun baru? Baik-baik yah, Ndi.

 

Life of Pi - Yann Martel



“Kata Bapu Gandhi, ‘semua agama baik adanya’. Aku cuma ingin mengasihi Tuhan,” kataku, lalu aku menunduk dengan wajah merah.
(Yann, Martel, 2007: 112)


Seorang anak lelaki India bernama Piscine Molitor Patel—yang lebih ingin dipanggil dengan sebutan Pi Patel—berusia 16 tahun saat itu ketika ia dan keluarganya bertemu dengan seorang pastor, imam, dan pedande. Ketiga pemimpin agama itu memuji Pi karena ia pemuda yang religius, yang senantiasa beribadah dengan rajin. Terkejutlah semua yang ada di sana, tidak bagi Pi. Masing-masing pemimpin agama yakin bahwa Pi memeluk agamanya dan Pi hanya bisa diam sampai akhirnya ucapan yang saya kutip di atas menutup perbincangan mereka. Kalimat itu mampu membuat pastor, imam, dan pedande pergi dengan muka merah karena telah bertengkar dengan sesamanya.

Saat itu Pi memeluk tiga agama. Agama pertamanya adalah Hindu karena ia dibesarkan dalam agama itu. Lalu, dalam sebuah liburan, ia mengenal pastor Martin yang membawanya mengenal Yesus. Pada waktu itu usianya 14 tahun. Di hari terakhir liburannya, ia kunjungi pastor Martin dan minta dibabtis. Tidak sampai setahun kemudian ia mengenal Allah dan Islam lewat seorang penjual roti.

Pi merasakan bisa dirinya bisa berhubungan dengan Tuhan lewat tiga agama yang dikenalnya itu, lewat kisah-kisah Kristiani, lewat shalat, dan lewat Dewa-Dewi Hindu. Ia menjadi pemeluk yang baik ketiga agama itu.

Setelah ketiga pemimpin agama itu tahu bahwa Pi memeluk tiga agama yang berbeda, Pi dikucilkan dari rumah ibadah masing-masing. Mereka tidak bisa menerima Pi yang percaya pada Tuhan yang lain selain agama mereka. Pi merasa sedih namun tetap percaya pada apa yang diyakininya.

Konflik-konflik agama dalam novel ini begitu segar dan membuat saya semakin mengerti bahwa kita tidak bisa lepas dari agama yang lain. Saya penasaran apa reaksi mereka yang dangkal tentang agama ketika membaca novel ini. Apa reaksi mereka ketika agama mereka dijadikan lelucon dalam novel ini. Apakah mereka akan ikut tertawa atau marah-marah karena agamanya dijadikan bahan tertawaan.

Bagi saya, Tuhan tidak seserius yang orang bayangkan, yang tidak bisa ikut tertawa bersama umatnya. Bukannya kita ciptaan-Nya dan kita dijadikan serupa dengan-Nya?

Ayah Pi pemilik suatu kebun binatang di Pondicherry, India. Pi yang besar di kebun binatang turut belajar mengenal binatang, mengenal kebiasaan dan sifat-sifat mereka. Dan ternyata, pelajaran itu sangat membantu Pi ketika suatu peristiwa yang tidak dibayangkan terjadi.

Kemelut di India membuat ayah Pi memutuskan pindah ke Kanada. Seluruh isi kebun binatang dijual. Pi dan keluarganya pindah menumpang kapal barang Tsimtsum milik Jepang pada tanggal 21 Juni 1977. Beberapa hewan turut bersama mereka dalam kapal itu, akan dijual di Amerika.

Siapa yang menyangka bahwa tenggelamnya kapan hanya milik Titanic. Meskipun tidak menabrak batu es, kapal ini tenggelam tanggal 2 Juli 1977 di samudera Pasifik. Hanya Pi yang selamat, menempati sebuah sekoci bersama seekor hyena, zebra yang kakinya patah, orang utan betina, dan seekor harimau royal bengal seberat 225 kg. Pertualangan bersama para hewan ini dimulai dalam sekoci yang panjangnya 8 meter.

Pi berhasil bertahan selama—kalau saya tidak salah ingat—227 hari, lebih dari tujuh bulan di atas sekoci. Sesuai hukum alam, rantai makanan terjadi. Hyena yang awalnya ragu karena ada superior di atasnya, harimau, akhirnya memakan zebra itu sedikit demi sedikit. Lalu pertarungan antara hyena yang jantan dan orang utan betina dimenangkan oleh hyena jantan. Dan akhirnya, keluarlah harimau itu, Richard Parker, dari tempat sembunyinya dan menyerang hyena. Tinggal Pi dan Richard Parker yang selamat di atas kapal.

Pi sadar ia akan menjadi santapan berikutnya kalau ia tidak melakukan sesuatu. Bertahan hidup di samudera luas berat dan lebih berat lagi kalau hidup bersama harimau buas di samudera luas. Selama lebih dari tujuh bulan itu Pi bertahan hidup dan mempelajari Richard Parker. Ia menyadari jika hanya ia sendiri yang berada di atas sekoci itu, ia tidak akan hidup lebih lama. Ia menyadari bahwa Richard Parker yang menjadi motivasinya untuk terus bertahan hidup.

Kisah ini kisah nyata yang sekarang filmnya sedang tayang di perbioskopan Indonesia. Karena gembar-gembor film itulah yang membuat saya kemudian membaca novel ini dan bukannya berburu film di bioskop terdekat. Saya penasaran akan seperti apa filmnya, akan seberapa banyak adegan dalam novel ini dipotong agar bisa memenuhi durasi.

Pi Patel orang yang cerdas. Terbukti bagaimana ia memandang agama, hewan, dan mampu bertahan hidup di samudera Pasifik selama tujuh bulan lebih bersama seekor harimau bengala di atas sekoci. 

Kang Agus



Semalam, dengan jelas saya mendengar suara tokek. Suara itu nyaring terdengar dari kamar saya yang kecil ini. Bunyinya menggema. Tokek itu berbunyi kencang sekitar empat kali lalu semakin pelan dan semakin panjang. Seketika saya mengingat seorang teman bernama Kang Agus.

Kang Agus adalah teman yang saya kenal ketika KKN di Tanjungsari, Cianjur, tahun 2009. Awalnya agak canggung, tapi lama-kelamaan saya mulai dekat dengannya. Kang Agus mengambil ekstensi manajemen angkatan 2007. Meskipun angkatannya lebih kecil dari saya, tapi usianya jauh lebih tua. Hahahaha... Dalam kelompok kami, hanya Kang Agus yang saya panggil dengan sebutan ‘Kang’.

Berkisah tentang tokek, pada suatu siang rumah yang ditempati kami para perempuan kedatangan tamu. Tokek berwarna hijau toska dengan bintik-bintik cerah. Ia menempel pada dinding ruang tamu yang sekaligus kami jadikan tempat rapat dan tempat tidur. Kedatangnya membuat kami kaget terutama saya yang tidak suka dengan binatang seperti itu. Saya benci cicak dan tokek begitu mirip dengan cicak bahkan tubuhnya lebih besar.

Para lelaki sibuk mengusah tokek itu pergi, kecuali Kang Agus. Ia berdiri bersama kami, menonton perang tokek dengan sapu. Lalu, tokek itu marah dan mengeluarkan suara eraman. Suaranya seperti suara kucing yang sedang marah. Dan tokek itu menggigit ijuk di sapu. Berlarilah kami yang sedang menonton, takut tokek itu lompat dan menyerang kami. Ketika sudah di luar rumah, baru saya sadar di antara kami para perempuan yang berteriak dan berlompatan ada pula Kang Agus. Ekspresinya yang paling ekspresif. Dan lalu kami yang menyadari segera tenggelam dalam tawa yang panjang. Kami meledek-ledek Kang Agus yang sama penakutnya seperti kami dan ia pun bersama kami larut dalam tawa yang tergelak-gelak.

Bukan hanya itu kejadian lucu tentang Kang Agus yang ketika mengingatnya bukan hanya senyum yang singgah, melainkan juga tawa. Kang Agus begitu lucu dengan caranya yang unik. Suaranya yang khas, cempreng-cempreng gimana gitu, kadang menjadikan suasana bukannya serius malah jadi panggung lawak. Gestur tubuh dan tindak-tanduknya tidak kala lucu pula.

Ah, di luar terdengar lagi suara tokek, Kang Agus! Jangan-jangan itu tokek yang sama dengan yang di tempat KKN! Hahahaha...

Apa kabar, Kang Agus? Sudah lama kita tidak bersua. Apa kabar kelinci angora di rumahmu itu? Sono sama Kang Agus. Sono ketawa bareng sampai perut sakit.




Friday, December 7, 2012

Kotak Surat

Ketika pekerjaan sudah selesai dikirim namun mata takmau lepas dari layar email, saya suka membuka kembali halaman-halaman email di masa lampau. Rasanya menyenangkan dan menghangatkan bahwa dulu email ini sangat berguna untuk berbagai keperluan. Saya temukan surat-surat tentang tugas kuliah, tentang percakapan remeh-temeh, tentang pengingat berbagai hari yang menyenangkan, tentang pembahasan skripsi, dan lain sebagainya. Melihat mereka membuat hati saya hangat.

Rasanya menyenangkan melihat mereka di kala kepala penuh dengan tulisan perihal pekerjaan. Rasanya tentram dapat menemukan sebuah kesenangan di balik penat surat lain yang berjejalan. Seperti ketika saya haus, ada segelas air dingin yang manis untuk melegakan.

Adakah yang ingin berbagi surat elektronik dengan saya? Dengan manis saya akan membalas kalian. Saya ingin membuat kenangan baru dalam kotak surat yang satu ini. Ingin rasanya mendapat surat di kotak masuk tanda saya hidup di luar pekerjaan saya.

Ting Tong!

Silakan masuk ^.^

Monday, December 3, 2012

The Music Never Stopped



Betapa tidak saya seketika menyukai film ini. Lagu yang diputar di awal-awal adegan adalah lagu Till There was You! Saya langsung jatuh cinta! Hahahaha...

Gabriel yang meninggalkan rumah 20 tahun yang lalu akhirnya ditemukan. Orangtua Gabe, panggilan Gabriel, bertemu dengan anaknya di rumah sakit. Dengan jenggot panjang dan lebat, Gabe nampak seperti orang yang hidup di jalan. Dan memang, ia hidup dari jalan ke jalan.

Gabe menderita tumor otak yang sudah menjalar ke seluruh otaknya. Ia mengalami amnesia. Bahkan ia tidak bisa mengingat hal-hal yang terjadi beberapa menit sebelumnya. Orangtua Gabe memutuskan untuk menaruh Gabe di rumah sakit tempat perawatan, terapi bagi penderita amnesia.

Ayah Gabe, Henry, mencari informasi dengan penyakit anaknya dan menemukan bahwa musik dapat merangsang kinerja otak. Ia pun bertemu dengan seorang profesor ahli terapi musik.

Dari situlah terapi-terapi musik dijalankan untuk Gabe. Beberapa lagu nampak bereaksi dan setelah diselidiki, ternyata lagu-lagu yang bergitu kuat dalam ingatan Gabe dapat membangkitkan kenangan-kenangan Gabe pada masa lalu.

Gabe akan bereaksi seperti orang normal ketika ia mendengarkan musik, namun ketika musik dihentikan, Gabe akan kembali menjadi orang yang linglung. Ingatan Gabe yang paling kuat adalah ketika masa-masa ia bersekolah yang bertengkar dengan ayahnya.

Gabe memberi tahu bahwa ada satu band yang sangat ia sukai, Grateful Dead. Profesor itu kemudian memberitahu Henry akan kecintaan anaknya pada Grateful Dead dan Henry menyangkal. Tidak mungkin Gabe mencintai musik yang seperti itu. Musik yang didengarkan Henry adalah musik yang didengarkan oleh Gabe. Musik yang disukai Henry adalah musik yang disukai Gabe. Kekeraskepalaan itu tentu tidak membuahkan hasil.

Namun, kasih sayang seorang ayah tidak dapat ditebak. Demi kesembuhan anaknya, ia mencari tahu musik-musik lain yang mungkin disukai anaknya. Ia mencoba menyelami anaknya.

Saya selalu suka film dengan musik yang bagus. Daftar musik film ini dapat dilihat di sini. Saya juga suka dengan perjuangan seorang ayah ketika ia turut tenggelam dalam kehidupan anaknya. Ayah adalah sosok yang unik, dengan rasa kasih sayang yang unik pula. Henry merupakan ayah yang keras, disiplin, dan mungkin kasar, namun ia begitu mencintai anaknya sehingga ia membagikan pengalamannya tentang musik kepada anaknya. Bahkan ia tidak ragu untuk berusaha mencintai musik anaknya.

Di akhir cerita, dialog ini merupakan puncak dari titik kesedihan dalam film ini.

Gabe: Ibu tahu apa judul lagu ini? Ibu tahu kapan pertama kali aku mendengar lagu ini?

Lagu yang dimaksud adalah lagu yang didengarkan oleh Gabe pertama kali dengan ayahnya. Lagu itu pula yang diputar di pemakaman ayahnya. Huhuhu...



The Reader

Perempuan itu buta huruf. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Namun, hubungannya dengan seorang pemuda membuatnya mengenal tulisan.

Perempuan itu, Hanna Schmitz, bertemu dengan Michael Berg ketika hujan lebat mengguyur Berlin, kalau tidak salah seting waktunya sekitar 1930-an atau 1940-an. Bukunya sudah saya kembalikan kepada pemiliknya, sehingga saya hanya bisa memanfaatkan memori singkat saya ini. Saat itu Michael sakit. Ia turun dari trem dan muntah di depan sebuah apartemen. Hanna-lah yang kemudian membantu Michael. Dibersihkannya muntahan Michael, dipeluknya Michael, dan diantarkannya Michael pulang. Kenangan itulah yang kemudian membangkitkan sesuatu (bukan Syahrini) dalam diri Michael.

Setelah agak membaik, Michael mengunjungi Hanna. Pertemuan itu ternyata akan membekas dalam ingatan Michael. Sosok Hanna yang sedang memakai stoking akan melekat dalam kepala Michael seumur hidupnya. Ketahuan memergoki Hanna berganti pakaian, Michael pun pergi. Namun, beberapa hari kemudian ia kembali.

Kembalinya Michael ternyata membuka pintu asmara antara Hanna dan Michael. Meskipun usia Hanna dua kali lebih tua dari Michael, ia tidak peduli. Ia merasa mencintai Hanna dan tidak akan malu jika berjalan-jalan berdua dengannya. Mereka bercinta dan mandi bersama. Begitu setiap kali ketika Michael bertamu ke rumah Hanna.

Sampai suatu hari, Hanna menyuruh Michael untuk membacakan buku. Dari situlah kegiatan mereka bertambah, membaca, bercinta, dan mandi. Dengan suara keras Michael membaca buku-buku untuk Hanna. Salah duanya adalah Odyssey (karya siapa ya?) dan The Lady with the Little Dog karya Anton Chekov.

Hubungan mereka diwarnai dengan percintaan dan pertengkaran kecil. Kecil bagi saya. Dan Michael-lah yang pada akhirnya meminta maaf.

Hanna yang tadinya bekerja kondektur di trem akan diangkat menjadi sopir (atau apa ya? saya lupa) trem tersebut. Ia tidak pernah menerima kenaikan jabatannya dan tiba-tiba menghilang.

Michael tidak mengerti mengapa Hanna tiba-tiba pergi. Berminggu-minggu ia mencari Hanna dan akhirnya menyerah. Namun bayangan-bayangan Hanna selalu muncul, bahkan dengan jelas di kepala Michael.

Pertemuan Michael dengan Hanna selanjutnya sekitar delapan tahun kemudian, ketika Michael sedang duduk di bangku kuliah. Ia mengambil hukum. Saat itu ia mengikuti sebuah sidang yang menyangkut Nazi. Kelompok kecilnya adalah kelompok yang menentang Nazi (saya rasa). Ketika nama Hanna Schmitz dipanggil sebagai terdakwa, seketika itu pula Michael mengenalinya.

Hanna Schmitz didakwa karena bekerja sebagai anggota SS (anggota apanya Nazi pokoknya mah :P) dan dituduh tidak membukakan pintu gereja ketika kebakaran terjadi. Dalam gereja itu terdapat 300 orang Yahudi dan hanya dua yang selamat. Hanna Schmitz dijatuhi hukuman seumur hidup.

Sebenarnya yang terjadi, Hanna tidak terlalu bersalah. Laporan yang katanya dituliskan oleh Hanna menyatakan bahwa pada saat itu ia-lah yang bertanggung jawab. Michael yang tahu bahwa Hanna buta huruf nyatanya hanya diam.

Bertahun kemudian, Michael mengirimkan kaset-kaset rekaman berisi buku-buku yang dibacanya untuk Hanna. Namun taksekali pun ia mengirim surat atau mengunjungi Hanna di penjara. Kaset-kaset itu ternyata yang menarik minat Hanna untuk belajar membaca dan menulis. Hingga akhirnya ia bisa menulis surat-surat pendek untuk Michael. Tulisan tangannya seperti anak kecil yang baru belajar menulis, hanya saja garis-garisnya lebih tegas dan disiplin.

Grasi pembebasan untuk Hanna dikeluarkan. Hanna akan keluar dari penjara setelah 18 tahun ia berada di sana. Kepala penjara menghubungi Michael karena hanya Michael-lah yang berhubungan dengan Hanna walaupun ia tidak pernah menulis surat dan mengunjungi Hanna. Kepala penjara berharap Michael akan mengunjungi Hanna karena seminggu lagi Hanna akan dibebaskan.

Pertemuan itu begitu canggung. Hanna menanyakan apakah Michael pernah menikah. Ya, Michael pernah menikah dan memiliki seorang puteri. Ia sekarang sudah bercerai. Michael mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan sebuah rumah kecil dan pekerjaan di tukang jahit dan berkata bahwa ia akan menjemput Hanna ketika ia keluar dari penjara.

Hari itu tiba. Namun Hanna memutuskan tidak keluar. Ia gantung diri.

The Reader, Sebuah Film

Film yang diangkat dari judul yang sama dengan novelnya (karya Bernhard Schlink) ini jauh dari kata menarik bagi saya. Tokoh Michael Berg muda yang diperankan oleh David Kross kurang lemah seperti yang diceritakan di novelnya. David Kross sebagai Michael mempunyai garis wajah yang keras, yang seolah-olah mengatakan "Apa pun akan kulakukan. Aku anak yang berani". Begitulah kira-kira. Kate Winslate sendiri saya rasa tidak begitu berhasil memerankan tokoh Hanna Schmitz yang kuat.

Karena film memang tidak bisa menampung setiap detail dari novel, begitu banyak adegan-adegan yang dipotong. Misalnya kilasan-kilasan kenangan akan Hanna tidak ditampilkan. Padahal dengan kilasan itu menandakan bahwa sebenarnya Michael, meskipun katanya ia sudah tidak merasakan apa-apa pada Hanna, nyatanya begitu mengingat Hanna bahkan sampai ia tua.


Saya suka membayangkan adegan ketika Micahel membacakan buku untuk Hanna. Waktu membaca itu pasti sangat ditunggu-tunggu oleh Hanna yang sepanjang hidupnya tidak bisa membaca. Saya juga suka membayangkan adegan ketika Hanna mendengarkan kaset berisi suara Michael ketika Hanna di penjara. Membaca dan mendengarkan sebuah buku tentu penuh kesabaran. Dan bagi Hanna, Michael adalah juru bacanya yang pertama.

Tuesday, November 20, 2012

Seorang yang Katanya Guru


Beberapa hari yang lalu, teman saya bercerita tentang masalah adiknya. Sebut saja nama adik teman saya itu Bunga. Dulu, ketika naik kelas 2 SMA ia diharuskan memilih (atau dipilihkan) jurusan, IPA atau IPS. Dilihat dari nilai akademiknya, Bunga bisa masuk IPA, Bunga menempati tiga terbesar di kelasnya. Namun sayangnya guru berpendapat lain. Bunga tidak diperbolehkan masuk IPA. Ia ditolak. Alasannya? Alasan guru ini begitu mengejutkan saya.

Bunga beragama minoritas di sekolah itu. Salah satu sekolah di Jakarta Selatan (sekali, selatan sekali). Ia ditolak masuk IPA karena di kelas IPA sudah banyak murid yang beragam minoritas. Karena sudah banyak, ia tidak bisa masuk ke kelas itu. Tentu bukan itu alasan yang diucapkan oleh guru di depan murid dan orang tuanya. Guru itu berkata bahwa Bunga pernah dipergoki sedang menyontek. Alasan itulah yang katanya menjadikan Bunga tidak bisa masuk IPA.

Teman saya geram, ketika bercerita pun ia geram. Alasan itu sungguh tidak masuk akal. Mungkinkah selama guru itu mengajar hanya adiknya saja yang pernah ketahuan menyontek? Apakah murid-murid yang lain tidak pernah mengenal contek-menyontek? Lagipula Bunga berkata bahwa ia yang dicontek, bukan ia yang menyontek.

Alasan mengenai agama itu pun baru Bunga ketahui ketika menjelang lulus. Nasi sudah basi dan murid tetap murid. Bersyukurlah Bunga tidak merasa terganggu meskipun ia harus masuk IPS. Bahkan ia menjadikan tolakan itu sebagai batu pijaknya untuk belajar lebih giat.

Cerita itu membuat saya geleng-geleng kepala berkali-kali. Saya tahu tidak semua orang yang bisa menghargai perbedaan, tapi saya tidak menyangka bahwa bahkan yang katanya seorang guru tidak bisa memandang muridnya dengan objektif. Seorang yang katanya guru (geleng-geleng kepala).

Kenapa hal-hal seperti itu seolah dijadikan mainan dan tidak serius? Apakah kehidupan orang lain bukan dinamakan kehidupan? Punya hak apa mereka melarang sesuatu karena apa yang diyakininya? Seorang yang katanya guru! Astaga!

Saturday, November 17, 2012

A Separation (2011)


Simin ingin bercerai dari Nader. Tapi Nader tidak juga memberikan tanda tangannya. Dibuka dengan peristiwa di pengadilan, dengan fokus pada Simin dan Nader. Alasan Simin ingin bercerai dengan Nader adalah bahwa Nader tidak ingin ikut Simin pindah keluar negeri. Nader tidak mau pergi dari negara itu karena ia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit alzeimer. Hak asuh anak pun tidak bisa dipegang oleh Simin. Termeh, akan tinggal bersama ayahnya.

Simin kemudian memutuskan untuk pindah sementara waktu di rumah orang tuanya. Ia berharap masih bisa membujuk anaknya untuk pergi dari rumah ayahnya. Dan karena Nader harus bekerja, ia mempekerjakan seorang perempuan untuk membersihkan rumah dan menjaga ayahnya.

Perempuan itu, Razieh, selalu datang bersama anaknya yang masih kecil, Somayeh. Ia sendiri sedang hamil. Tapi karena keluarganya sangat membutuhkan uang, ia menerima pekerjaan itu meskipun harus berangkat sangat pagi karena jarak rumahnya yang jauh. Razieh tidak memberitahu suaminya bahwa ia bekerja karena suaminya pasti marah jika tahu Razieh bahkan harus membersihkan badan ayah Nader.

Suatu hari, Nader mendapati ayahnya terjatuh dari ranjang dan tanggannya diikat pada kepala ranjang. Razieh sendiri tidak ditemukan. Nader begitu marah melihat keadaan ayahnya. Beruntung, ayahnya masih hidup. Ketika Razieh kembali, Nader langsung mengusir Razieh dari rumahnya dan bahkan menuduhnya mencuri uang di laci kamarnya. Pertengkaran terjadi sampai akhirnya Razieh didorong keluar dari rumah Nader.

Mulailah konflik di film ini meningkat. Razieh keguguran dan perkara ini dibawa ke pengadilan. Suami Razieh, yang juga ditawarkan bekerja pada Nader, akhirnya tahu bahwa selama ini Razieh bekerja pada Nader. Marahlah suami Razieh apalagi ketika tahu bahwa Nader mendorong Razieh dan menyebabkan Razieh keguguran.

Film ini tidak akan menarik jika harus saya ceritakan di sini. Hahaha.. Padahal sudah beberapa film yang saya ceritakan di blog ini.

Intinya, yang ingin saya sampaikan adalah perpisahan antara orang tua akan menyebabkan anak menderita. Termeh dan Somayeh sama-sama menderita ketika melihat kedua orang tua mereka bertengkar. Bahkan ada satu scene yang memperlihatkan keakraban Termeh dan Somayeh. Tapi ketika kedua orang tua mereka bertengkar, Somayeh melihat Termeh dengan pandangan benci. Anak kecil yang tidak bersalah harus menanggung ketidakbahagiaan kedua orang tua mereka.

Film ini begitu menyindir. Tentang keluarga, tentang agama, tentang ketidakadilan yang dialami anak-anak. Tema yang diangkat sebenarnya sederhana, namun konflik dalam film ini begitu kuat.

Konflik yang terjadi di antara orang dewasa bukan menyebabkan mereka yang terluka melainkan anak-anak kecil di sekitar mereka.

Baik yang jujur atau baik yang tidak jujur?

Apakah menjadi orang yang baik berarti tidak jujur pada diri sendiri?
Saya lupa melihat (atau mendengar)--bahkan melihat atau mendengarnya pun saya lupa--di mana dan dari siapa pertanyaan itu diajukan. Tetapi pertanyaan tersebut beberapa kali mengusik pikiran saya. Saya pun bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya orang yang baik, apakah saya tidak jujur pada diri saya sendiri.

Pertama kali melihat/mendengar pertanyaan itu, saya pikir itu pertanyaan yang salah. Tetapi, setelah saya pikirkan lagi, pertanyaan itu memang sebuah pertanyaan yang bahkan kadang tidak bisa saya jawab. Apakah saya tidak jujur pada diri saya sendiri ketika saya berusaha menjadi orang yang baik? Apakah ketika saya jujur pada diri saya sendiri berarti saya tidak sedang berusaha menjadi orang yang baik? Ah, memutarbalik pertanyaan itu tidak akan memunculkan jawaban tiba-tiba.

Ada kalanya saya tidak jujur pada diri sendiri ketika berusaha menjadi orang yang baik, tapi ada kalanya saya jujur pada diri sendiri ketika itu. Ketika saya menawarkan sesuatu kepada orang yang tidak saya suka, berarti saya tidak jujur pada diri sendiri ketika melakukan hal yang katanya baik itu.

Ya, mungkin itu yang dimaksudkan si penanya pertanyaan tersebut.

Pertanyaan kemudian sedikit saya ubah: Haruskah kita berbuat baik kepada orang yang membuat kita tidak jujur kepada diri kita sendiri?

Saya bukan orang yang suka basa-basi. Ketika di dalam sebuah ruang dengan orang-orang yang saya kenal dan mereka mengenal saya, saya tidak akan berbasa-basi pada orang yang tidak saya sukai. Saya tidak akan membuka percakapan dan menjawab dengan sesingkat mungkin jika ia bertanya pada saya. Saya berpikir, untuk apa saya berpura-pura baik jika saya tidak jujur pada diri saya dan pada orang itu.

Tapi, banyak orang yang memilih untuk berbasa-basi karena kesopanan mengharuskan yang demikian. Berarti ia sedang tidak jujur pada dirinya sendiri. Serba salah memang. Baik tapi tidak jujur, tidak baik tapi jujur, baik tapi jujur dicap tidak sombong, dan tidak baik tapi jujur tapi dicap sombong. Hahahaha..

Lebih baik kita makan es krim saja di tengah siang panas seperti ini. Selamat makaannn :D

Monday, November 12, 2012

Berawal dari Kasur, Kembali ke Kasur

Minggu, 11 November 2012

Hari ini dimulai dengan dering alarm yang seketika saya matikan kembali. Padahal pagi itu saya sudah punya janji. Beruntung tubuh tiba-tiba terbangun setengah jam kemudian. Segeralah saya bersiap.

Saya dan teman-teman dari Nalar akan pergi ke undangan salah satu teman kami di Bekasi. Kami berangkat sekitar pukul 08.30. Perjalanan bersama teman-teman selalu menyengkan.

Ya, layaknya undangan pernikahan. Demikianlah kami pulang dan merencanakan hendak ke jalan-jalan ke mana setelah ini. Hari masih siang.

Curug Cimahi. Ketika kemarin mendengar namanya saya tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Baru kemarin pertama kali ke Cimahi dan pertama kali mendengar Curug Cimahi. Kota Cimahi menyenangkan sejauh yang tampak di sepanjang perjalanan. Bangunan-bangunan klasik terpapar di sepanjang jalan. Udaranya sejuk padahal belum terlalu sore. Kontras dengan udara Bekasi yang membuat tangan takhenti mengibas-ngibas kipas.

Untuk mencapai curug (air terjun) kami harus melewati tangga-tangga yang sudah rapi dibangun. Bahkan untuk ukuran tempat wisata, tangga-tangga ini sungguh membanggakan karena lebih rapi dan 'serius digarap' daripada tempat wisata lain yang pernah saya kunjungi.

Tujuan Kami. Foto: Teh Mona

Tangga-tangga awal masih bisa tersenyum dan tertawa. Tangga-tangga pertengahan masih tersisa sedikit senyum dan tawa bekas tangga-tangga awal. Tapi di tangga terakhir, beberapa di antara kaki, kakinya gemetaran. Saya sampai takut kalau kaki saya berjalan sendiri saking gemetarnya. Hahaha...

Air yang memercik sungguh menyegarkan. Apalagi saat itu angin sepoi-sepoi membantu pergerakan percik air sehingga udara semakin segar. Sayangnya, kaki saya yang gemetaran membuat saya takut menapak batu-batu kokoh di sepanjang genangan air itu. Dan lagi, saya dari dulu takut melihat kumpulan air yang tidak bisa saya lihat ujung dalamnya.

Saat kaki gemetar. Foto: Teh Mona

Sudah nyaris gelap dan kami pulang. Membayangkan tangga-tangga yang akan saya daki membuat saya kembali gemetar. Sungguh bukan akhir yang diinginkan. Berharap ada helikopter mendekat dan membantu saya ke jalan pulang.

Bahkan baru belasan tangga saya capai, terasa perut sudah campur-aduk. Kembali membayangkan apa jadinya di tangga paling atas. Dengan nafas terputus-putus dan nyeri di perut bagian kanan, saya telusuri satu demi satu tangga itu. Beberapa teman sudah tidak terlihat dan beberapa teman masih setia menunggui, meskipun saya tahu pasti mereka kesal melihat kelambatan saya. Hahaha...

Dan, yang membuat saya terus berjalan adalah seorang bapak yang setia menunggui saya di belakang. Bapak itu memanggul dua karung sampah, masing-masing satu di bahunya, yang disangga dengan sebatang kayu. Berkali-kali saya katakan agar bapak itu lebih dahulu melintasi tangga, tapi beliau berkata bahwa silakan saya duluan, pelan-pelan saja, dan bapak tidak akan mendahului saya. Mungkin kalau tidak ada bapak itu di belakang saya, gerak saya akan semakin lambat karena tidak ada yang membuat saya merasa tidak enak.

Akhirnya, tangga terakhir (tangga ke 560 berdasarkan perhitungan teman saya) dan saya tidak bisa berkata apa-apa. Perut saya yang sakit sudah menyita seluruh kerja otak saya. Keringat dingin membanjiri dan saya ingin muntah. Tidak bisa menanggapi lelucon-lelucon teman, tidak bisa berbicara panjang, bahkan serasa tidak bisa menopang kepala.

Kami pulang, dan sebelum saya naik mobil, saya muntah. Sudah saya bilang saya ingin muntah dan legalah saya ketika saya muntah. Paling tidak rasa pahit yang sedari tadi bergelung di ujung tenggorokan bisa dilepaskan.

Ah, perjalanan yang menyenangkan dan melelahkan. Mungkin kemarin pertama dan terakhir kalinya saya mengunjungi Curug Cimahi dan tempat-tempat semacam itu. Hahahaha... Daripada merepotkan orang, lebih baik saya di kamar menonton film.

Semalam, begitu sampai di kamar, saya berganti baju dan segera tidur. Terbangun nyaris 12 jam kemudian dengan betis yang kaku seperti kayu.

Friday, November 9, 2012

SARA dan Masa Kecil

Pembicaraan mengenai SARA selalu menarik jika dibicarakan dengan sudut pandang yang benar. Tidak memihak, tidak menjatuhkan lain pihak, tidak menghina, dan tidak lain sebagainya. Saya pribadi selalu tertarik pada hal yang berhubungan dengan SARA. Saya suka membaca dan menonton yang berkaitan dengan Yahudi-Nazi, tentang Negro, tentang perang saudara, dan tentang lain sebagainya. Tahu tentang hal itu berarti saya tahu bahwa saya (dengan restu-Nya) bisa menghargai perbedaan. Terbukti saya bisa berbaur dengan orang dari latar belakang apa saja. Mungkin karena, dalam alam bawah sadar, saya mengakui bahwa saya berada di pihak yang juga di bawah.

Dulu sekali, seorang teman berkata bahwa saya termasuk kelompok sangat minoritas. Pertama, saya perempuan. Kedua, saya Tionghoa. Ketiga, saya Katolik. Kenyataan itu jelas sudah saya ketahui sejak lama, sejak saya belajar memahami bahwa dunia tidak semudah yang saya gambarkan ketika duduk di bangku sekolah dasar. Saya pun sepakat dengan perkataan teman saya itu. Dan jelas, saya tidak sendirian.

Sejak kapan perbedaan tentang SARA mencuat? Pertanyaan itu yang ditanyakan seorang teman yang lain, di kala kami sedang berbincang santai sambil melihat hujan. Saya katakan saya tidak tahu, tapi yang pasti semua ada kaitannya dengan politik pemerintahan. Ya, apa yang tidak dikaitkan dengan politik? Bahkan Tuhan pun dianggap bermain politik.

Seorang teman yang lain lagi bertanya, mengapa tidak semua orang bisa menilai masalah tentang SARA dari sudut pandang yang tidak memihak. Kali ini kami berbicara agak serius dari biasanya. Saya katakan bahwa tidak semua orang peduli bahwa itu adalah suatu masalah. Bagi saya ini masalah, belum tentu masalah juga buatmu. Begitu pula sebaliknya. Ada lagi orang yang tahu tapi akhirnya pura-pura tidak tahu karena menurutnya itu bukan urusannya. Tidak mau mencampuri urusan orang lain.

Pandangan kita sebagai manusia terbentuk dari kita kecil. Peran keluarga dan lingkungan sangat memengaruhi. Teman saya itu berkata bahwa ia bersyukur bisa lepas dari doktrin-doktrin yang salah dari keluarganya. Ia bersyukur bahwa ia mengerti perbedaan itu bukan untuk dijadikan musuh tapi untuk dihargai. Dan sayangnya, tidak semua orang bisa memilih dan mau berusaha memilih. Kebiasaan dari kecil itu sudah menjadi habitus dan sulit dilepaskan dari kepala kita.

Sama halnya ketika kita melihat lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna menjadi hijau, kita akan jalan. Teman saya (yang berbincang sambil menatap hujan) berkata bahwa sampai sekarang pun ia sulit melepaskan konsep tentang warna kulit. Orang yang berwarna kulit anu pasti orang baik atau orang yang berwana kulit anu pasti orang jahat.

Ya, begitu dalam doktrin (kalau ini bisa saya sebut doktrin) yang dimasukkan ke dalam kepala kita sedari kita kecil. Hal-hal yang sebenarnya ingin kita abaikan ternyata menancap lebih dalam dari apa yang kita inginkan. Alam bawah sadar kita seolah menjadi lebih sadar.

Sampai sekarang pun kadang saya masih merasakan bahwa pemahaman-pemahaman yang diberikan melalui keluarga masih ada di kepala saya. Tapi kini saya sudah bisa memilih. Saya memandang orang bukan dari apa warna kulitnya, apa sukunya, apa agamanya. Saya memandang orang dari apa yang ia katakan yang berasal dari isi kepala dan hatinya.

Monday, November 5, 2012

Ara, Payung Biru, dan Pria di Sudut Jalan


Rintik hujan mulai turun. Ara bergegas mengeluarkan payung birunya. Ada gunanya juga punya payung, pikirnya. Segera rintik menderas, membuat suara berisik ketika bersentuhan dengan kain payung Ara. Orang-orang di sekitar jalan mulai menyingkir, mencari atap-atap untuk berteduh. Pengendara motor segera menepi, mencari jas hujan yang terselip di bawah jok motornya. Hanya pengendara mobil yang lancar melintasi jalan.

Hujan semakin deras tapi Ara tetap berjalan. Ia ingin segera pulang ke rumahnya. Kasur dan selimut hangat sudah menunggu. Tadi pagi ditinggalkan buru-buru karena Ara sudah terlambat.

Ara tidak peduli ketika ada beberapa mulut usil yang berteriak agar ia menepi. Hujan katanya. Ara tahu saat itu hujan. Tapi ia punya payung biru. Paling tidak ia aman dari serangan air bertubi-tubi.

Di jalan setapak itu, bukan hanya Ara yang berani menjejak tanahnya. Seorang pria berjaket biru berjalan di bawah derasnya air. Ah, itu dia. Pria yang menghantui malam-malam di kala ia tidak bisa lelap. Beranikah ia menyapanya? Untuk apa? Tangkai payung semakin ia genggam erat.

Semakin dekat menuju rumahnya, Ara pelankan langkah. Ia ingin berbagi ruang di bawah payung birunya pada pria itu. Pria berbulu mata lentik dengan bola mata yang menari-nari di pikirannya.

Pria itu menuju sebuah belokan di ujung jalan. Tolong, pelankan langkahmu. Hanya kata-kata tanpa suara yang mampu Ara ucapkan. Ambil payung biruku agar kamu takkuyup disiram hujan.

Rasanya, ingin Ara percepat langkah, samai langkah pria itu. Lalu diberikan payung birunya agar pria itu takusah lagi berjalan terburu-buru. Ara hanya bisa memandangi punggungnya menghilang ke sudut jalan itu. Hujan makin deras. Tinggal Ara dan payung biru, serta bayangan pria itu.

Sunday, November 4, 2012

Kakek yang Manis

Mukamu makin penuh keriput ketika kau tersenyum. Jabat tangan biasa saja yang kauberikan aku terima, karena aku terbayar oleh senyummu. Bahkan kacamata bergagang hitam itu membuatmu semakin menarik.

Langkahmu yang tertatih membuatku jalan lebih pelan dari biasanya. Dan aku menikmatinya. Dari belakang, aku puaskan mata dengan rambut kelabumu.

Kemeja kotak-kotak dan rompi rajutan cokelat kemudian mengundang senyum di wajahku. Kau begitu manis, semanis bau yang keluar dari tubuh rentamu.

Terberkatilah seorang kakek yang duduk di pojok kiri, di depan kursi saya tadi siang di gereja. Hari ini kakek itu membuat saya jatuh cinta. Semoga panjang umurmu, Kek :)

Saturday, October 27, 2012

Skripsi, Kualitas atau Kuantitas?



Meskipun saya akhirnya sudah tidak mengenyam bangku pendidikan formal di universitas, tapi masalah kualitas dan kuantitas skripsi masih jadi pertanyaan yang menyentil bagi saya. Jelas saya mengalaminya. Jelas pula bukan hanya saya sendiri yang mengalaminya.

Skripsi saya terdiri dari 85 halaman, sampai daftar pustaka. Jika lembar data pribadi dan lembar ucapan terima kasih turut dihitung, skripsi ini berakhir di halaman 93. Bukan jumlah yang banyak bagi kebiasaan jurusan saya. Saya bisa mengatakan demikian karena sejauh yang saya tahu, masih ada dosen yang menuntut lembaran yang lebih banyak dalam skripsi tersebut.

Waktu itu saya pernah diberitahu, “Ini masih bisa lebih tebal lagi.” Kontan saya kaget dengan pernyataan itu. Saya tidak menyangka ternyata bukan mahasiswa yang menuntut tebal atau tipisnya skripsi yang ia kerjakan, melainkan dosen yang membimbingnya. Dan setelah saya bercakap-cakap dengan para kawan, jadilah dosen itu menjadi para dosen. Pantas saja mahasiswa saling membandingkan tebal-tipisnya skripsi dengan kawan-kawannya lain, toh dosen pula yang memulai menanyakan kenapa sebuah skripsi harus tipis kalau bisa dibuat tebal.

Kemudian, seorang junior yang menceritakan masalah yang sama kepada saya. Skripsinya sudah lebih dari cukup, sudah melewati batas halaman yang ditentukan dalam penulisan skripsi. Tapi nyatanya tidak cukup tebal di mata dosen yang bersangkutan. Bukan dosen pembimbinganya yang berkomentar, melainkan dosen lain yang tidak satu penjurusan dengannya. Menurut saya tidak adil membandingkan ketebalan skripsi dengan penjurusan yang berbeda. Objek pembahasan jelas berbeda, referensi, sumber data, dan lampiran jelas akan membedakan ketebalan skripsi. Tapi, lepas dari itu apakah wajar kalimat yang menanyakan ketebalan skripsi itu keluar dari mulut seorang pendidik yang kami hormati?

Saya suka jurusan saya. Saya juga menghormati para dosen di jurusan saya. Tapi ada kalanya, banyak hal yang begitu bertentangan dengan pemikiran saya. Salah satunya masalah tebal-tipis skripsi ini. Saya cukup mampu menjawab ketika dosen mempertanyakan ketipisan skripsi saya, “Saya udah ngga bisa ngarang lagi, Pak.” Jawaban yang kasar memang, tapi itu reaksi paling jujur yang bisa saya keluarkan.

Saya sadar bahwa kualitas skripsi saya sendiri masih jauh dari sempurna. Skripsi saya masih bisa dikembangkan dan diperbaiki. Namun, 85 halaman itu adalah jerih payah saya yang sudah saya kerjakan kurang lebih setahun lima bulan. Begitu juga skripsi teman-teman saya yang lain, yang menurut dosen masih bisa lebih tebal lagi. Itu adalah jerih usaha yang bisa kami kerjakan. Tidak heran jawaban, “Udah mentok” pun bisa keluar dari mulut kami, karena memang bukan masalah tebalnya skripsi yang kami pikirkan, namun bagaimana menjadikan skripsi itu selesai.

Semoga saja tidak akan ada lagi pertanyaan ataupun pernyataan tentang tebal-tipisnya skripsi dari mulut seorang dosen. Jangan menjadikan pandangan bahwa skripsi itu harus tebal. Toh, jika tebal dan isinya tidak berkualitas sama saja bukan? Terlebih, apakah nanti skripsi yang tebal itu akan dibaca sampai selesai?

Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta - Di Kaki Bukit Cibalak

Dua buku kecil kali ini menemani liburan singkat saya. Cukup kecil sehingga saya memutuskan untuk membaca mereka di kala mood membaca sedang naik-turun. Buku yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda dan Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari, merupakan buku yang menarik.



Buku pertama, seperti judulnya, menceritakan seorang pria tua yang gemar membaca kisah cinta. Pak Tua itu bisa membaca tapi tidak bisa menulis. Begitu ia membaca buku tentang kisah cinta, ia seketika jatuh cinta. Jatuh cinta tapi menderita dan yang akhirnya bahagia. Buku-buku yang seperti itu yang ia cari. 

Tapi buku itu tidak juga sepenuhnya membicarakan Pak Tua dengan buku tentang cinta yang dibacanya. Di dalamnya, dikisahkan perjuangan melawan macan kumbang betina yang mengamuk dan mengancam keselamatan orang-orang di sekitar desa tempat Pak Tua tinggal. Dan ketika membaca buku ini, saya teringat dengan buku Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.


Buku kedua berkisah tentang keteguhan hari seorang pria di desa Tangir bernama Pambudi. Bahkan pada saat itu korupsi sudah merajarela di pelosok desa. Sang lurah dengan seenaknya memupuk pundi uang dari hasil kerja keras warganya. Pambudi yang benci hal tersebut memutuskan keluar dari pekerjaannya di Balai Desa.

Selain tentang kasus yang populer bahkan sampai hari ini, dalam buku itu diceritakan pula bagaimana Pambudi termenung di malam hari memikirkan seorang wanita. Selain itu dikisahkan pula kepercayaan masyarakat pada hal-hal yang gaib.

Kalau diperhatikan, kedua judul buku ini begitu menarik jika dipertemukan: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta di Kaki Bukit Cibalak. Hahaha...

Thursday, October 25, 2012

Fakultas Ilmu Budaya, Mahasiswa Berbudaya?

Fakultas Sastra Unpad sudah tidak ada lagi. Namanya sudah berganti menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Seberapa besar perubahan nama ini memengaruhi isinya? Perubahan yang saya perhatikan, terutama tentang mahasiswa yang berada di bawah naungannya, tidak ada.

Sebuah pertunjukan teater berlangsung kemarin, 24 Oktober 2012, di PSBJ. Teater itu, Teater Djati, bermain dalam acara Bulan Bahasa. Nyatanya Fakultas Ilmu Budaya belum tentu memiliki mahasiswa yang bisa menghargai budaya. Ketika teriakan-teriakan keluar dari mulut aktor, dari luar ruangan terdengar teriakan yang sama. Teriakan menghina. Banggakah kamu yang berteriak di luar sana? Beranikah kamu mengaku bahwa kamu adalah mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya?

Seketika saya kesal, sesak, putus asa, dan ingin marah. Bukan kali pertama hal ini terjadi. Orang yang berteater masih dilekatkan pada suatu kejanggalan. Bicara yang macam-macam, pakai baju yang aneh-aneh, laki-laki kok dandan, teriak-teriak tidak jelas, ya, itu masih melekat di mata mereka tentang teater. Tapi ini Fakultas Ilmu Budaya bukan?

Di mana mahasiswa yang benar-benar ingin belajar tentang sastra dan budaya sedang duduk saat ini? Banyak yang saya lihat, mereka kuliah hanya tuntutan keadaan, bukan karena benar-benar ingin belajar. Tai kucinglah dengan niat itu! Jangan masuk fakultas ini jika kamu hanya sekadar ingin mendapat gelar sarjana! Serendah itukah nama Fakultas Ilmu Budaya di mata mereka mahasiswa pencari gelar?

Bahkan kegiatan berbudaya pun masih dianggap hal yang aneh. Seharusnya mereka itu hidup beribu tahun lalu, biar isi kepalanya lebih terisi.

Sunday, October 14, 2012

Kita di Masa Lalu

Ketika kita mencoba dewasa dan lebih dari apa yang diharapkan di luar diri kita, kita akan segera lupa bahwa masa lalulah yang mengajarkan kita. Bukankah kita pernah berkata bahwa bila kita nanti berada di masa depan, kita tidak akan menjadi manusia yang sama-sama kita benci? Dan ketika masa depan sudah seiring jalan, nyatanya kita lupa.

Ketika telinga dibutakan oleh bisikan kenikmatan pikiran, bau menyeruak selimuti diri kita di masa lalu. Mata kita yang merah tidak melihat bahwa ia adalah kita di masa lalu. Kita lupa karena kita masuk dalam euforia yang dibangun pikiran kita.

Tidakkah kita sadari bahwa kita menyakiti diri kita sendiri? Tidak menghargai mulut dan hati kita yang jujur di masa lalu. Mengikuti nafsu jahanam yang dulu kita caci-maki.

Apa bedanya kita dengan mereka yang dulu kita benci? Rupa kita nyata sama. Laku kita ikuti jejak gelap dalam kenangan haru-biru.

Banggakah kita pada apa yang kita lakukan? Tidak malukah kita pada diri kita di masa lalu? Kepada siapa selamat harus kita sampaikan kalau bukan kepada diri kita sendiri yang telah berhasil memasuki ranah kemunafikan sementara.

Kita seharusnya tidak pernah lupa bahwa dulu air mata yang menyatukan segala titik emosi, kecemasan, ketakutan, dan kelegaan. Kita seharusnya tidak pernah lupa bahwa luka yang ditoreh pada diri kita begitu sakit sampai kita mengutuk. Kita seharusnya selalu ingat bahwa kita berada di posisi yang sama hanya dipisahkan jarak waktu.

Ketika tangan-tangan dewasa, mulut-mulut dewasa, dan pikiran-pikiran kita yang dewasa mulai tumbuh, hilanglah semua kata-kata tulus yang dulu pernah mengingatkan kita bahwa kita dibangun oleh rasa sakit. Mata merah kita abai pada raut mereka yang butuh pertolongan, bukan hanya dorongan dan cacian.

Kenapa kita lupa? Kenapa kita mencoba lupa?

Hati saya ngilu ketika lihat masa lalu kita dikoyak-hancur oleh tangan kita sendiri.

Pantas luka tidak pernah kering dari detik ke detik. Kita yang tahu, kita yang acuh.

Spion

Jangan lupa pasang spion kanan dan kirimu dengan sudut yang tepat sebelum kamu melangkah. Spion akan sangat memandumu agar kau tidak disakiti dari belakang, agar kau belajar peduli bukan hanya yang ada di hadapanmu tapi juga di belakang matamu.

Tapi, jangan pula terlalu sering melihat spion sehingga kamu lupa bahwa jarak di depanmu ternyata sudah habis dimakan ketergesaan. Kau tidak hanya akan menyakiti dirimu tapi juga sesamamu.

Tidak habis bercermin, tidak habis waktu berjalan sia-sia karena sebuah cermin. Semua berbuah manis jika pupuk yang kau gunakan sesuai dengan kebutuhan. Jangan berlebihan. Jangan melenceng dari aturan. Sirami dengan penuh pengertian dan kesabaran. Dan lihat, bahwa kamu tidak berjalan sendirian.

Monday, October 1, 2012

Selamat Tiba, Oktober

Bulan favorit saya setelah bulan Februari adalah bulan Oktober. Dan kali ini ia datang tepat waktu. Eh, kapan sih waktu tidak tepat waktu? :P

Secara kebetulan banyak hal yang saya tunggu di bulan ini tahun ini. Salah duanya, peluncuran buku pertama dari penerbit tempat saya bekerja (Puji Tuhan!) dan datangnya (satu-satunya) boyband Korea yang saya sukai ke Indonesia, Bigbang. Hahahaha... Agak kontras yah yang saya tunggu-tunggu bulan ini :D

Selamat tiba kembali, Oktober. Semoga kamu menakjubkan dan diberkati. Mari berjalan beriringan bersama angin manis yang bermain di ujung jemarimu :)