Sunday, September 30, 2012

Mawar Jepang - Rei Kimura

"Aku tidak membenci siapa pun. Ini perang dan darah semua orang tertumpah di semua pihak, dan pada akhirnya, takada yang benar-benar menang."

Kalimat itu diucapkan oleh Reiko, sahabat satu-satunya yang dimiliki Sayuri Miyamoto semasa Jepang berperang melawan Amerika. Saat itu, Sayuri dan Reiko mendaftarkan dirinya menjadi perawat di rumah sakit di Tokyo. Mereka pergi meninggalkan hangatnya keluarga dan desa kecil mereka yang nyaman untuk bergabung bersama pemuda dan pemudi mengadapi perang di Tokyo. Tapi, hal yang paling utama mendorong mereka pergi adalah kepergian adik lelaki Sayuri, Hiro, dan tunangan Reiko, Yukio, yang dipanggil untuk menjadi tentara.

Jepang menyerang Pearl Harbor, seolah membangkitkan macan tidur. Amerika pun tidak tinggal diam, dengan senang hati mengajak Jepang dalam peperangan. Pada saat itu, pemerintah mengharuskan pemuda-pemuda di atas 20 tahun untuk bergabung dalam militer. Lalu, usia diturunkan, bagi pemuda yang sudah berusia 17 tahun wajib bergabung dengan militer. Hati ibu mana yang rela melepaskan anak laki-lakinya untuk bergabung dalam perang yang kemungkinan untuk hidupnya kecil. Hiro, yang saat itu nyaris berusia 18 tahun dipaksa masuk militer.

Sayuri Miyamoto adalah seorang perempuan yang menyamar menjadi laki-laki, yang bergabung dalam angkatan udara. Ia mendaftarkan diri sebagai pilot kamikaze. Rencana tempur Jepang yang saat itu paling dibanggakan oleh Jepang, menabrakan pesawatnya dengan pesawat musuh. Pilot-pilot kamikaze inilah yang nantinya akan mengemudi pesawat bunuh diri demi negara itu.

Berbekal nafsu membalaskan dendam atas kematian adik dan sahabatnya, Sayuri memotong rambut hitam panjangnya. Tanda ia memutuskan dirinya dengan kehidupan dan masa lalunya sebagai perempuan. Peraturan militer menolak perempuan menjadi bagian di dalamnya dan dengan tekat kuat, Sayuri memalsukan jati dirinya. Digunakannya nama adiknya, Hiro Miyamoto.

Bahkan Sayuri tidak menyangka pada akhirnya seorang pemuda mengetahui identitasnya dan mereka jatuh cinta. Takushi, kekasih Sayuri, merupakan pelatih para pilot kamikaze. Ia sendiri adalah seorang pilot kamikaze yang sedang menunggu tanggal terbangnya.

Perasaan cinta membuat niat Sayuri perlahan luntur. Ia ingin memadu cinta lebih lama dengan Takushi. Tapi jika identitas perempuannya diketahui oleh pemimpin angkatan udara, nyawa mereka belum tentu bisa selamat. Mereka bisa saja ditembak mati dengan tidak terhormat. Maka, berlanjutlah hidup mereka sambil menunggu tanggal kematian mereka.

Saatnya tiba. Takushi mendapatkan tanggalnya dan berhasil menempatkan nama Sayuri pada tanggal yang sama. Mereka akan berbang sebagai Angin Tuhan pada saat yang sama.

Pesawat Takushi berhasil menabrakkan diri, tapi tidak dengan pesawat Sayuri. Pesawatnya ditembak oleh musuh dan jatuh di laut. Ia kemudian diselamatkan oleh musuh dan dijadikan tawanan negara. Pihak Amerika bertanya-tanya mengapa seorang perempuan boleh menjadi seorang pilot kamikaze padahal setahu mereka posisi itu hanya untuk para lelaki. Sayuri hanya berkata dalam tiap-tiap introgasinya bahwa ia pilot kamikaze.

Jepang setuju saling menukar para tahanan. Kembalilah Sayuri dengan perasaan malu, sedih, dan tidak berdaya. Pada saat itu, pilot kamikaze yang selamat merupakan aib yang paling memalukan. Ketika dalam pelatihan, otak mereka dicuci bahwa kamikaze adalah tugas yang paling mulia untuk mengharumkan nama negara. Pulang dengan selamat merupakan hal yang paling memalukan.

Bersama para pilot kamikaze yang selamat lainnya, Sayuri tinggal dalam sebuah kamp. Di tempat itu mereka disebut idiot, tidak berjiwa patriot, dan dianggap pengecut karena berhasil selamat dari sebuah pertempuran. Sayuri yang masih berpura-pura menjadi laki-laki merasa sangat tertekan. Ia telah menipu negaranya, menyamar menjadi laki-laki, berhasil menjadi pilot kamikaze, tapi berhasil hidup. Sebuah aib bukan hanya bagi angkatan udara tapi juga bagi negara itu.

Bahkan negeri mereka sendiri tidak menyambut mereka sebagai warga negara. Mereka diperlakukan seperti tawanan perang asing. Meski pulang ke Jepang, mereka tidak benar-benar pulang. Berjam-jam mereka dimaki, dijatuhkan harga dirinya karena tidak berhasil mati untuk negara dan membuat malu kaisar dan Jepang. 

Suatu hari, akan diadakan pengecekan fisik para tahanan. Saat itulah Sayuri mendatangi pimpinan kamp dan memberitahu siapa dirinya. Sebuah hukuman menantinya. Ia tahu ia tidak akan keluar tanpa adanya hukuman yang dilimpahkan padanya. Ia harus memilih, membunuh Sayuri Miyamoto dan menjadi Rika Kobayashi serta tidak berhubungan lagi dengan keluarganya atau tetap menjadi Sayuri Miyamoto tapi ia dan seluruh keluarganya akan dibunuh. Sayuri memilih yang pertama.

Keluarganya diberitahu bahwa Sayuri meninggal dalam suatu misi perang. Diadakan acara pemakaman bagi dirinya. Sayuri mati bersama kenangannya di masa lalu. Ia kemudian hidup dengan nama Rika Kobayashi.

Sejarah hidupnya sebagai pilot kamikaze perempuan akhirnya bisa ia ceritakan pada seorang sejarawan. Pada awalnya ia selalu menolak jika ada yang menanyakan Sayuri Miyamoto. Tapi ia sudah tua dan tidak kuat menampung cerita muram itu. Berpuluh tahun bayangan Reiko, Hiro, dan Takushi menghantui. Trauma-trauma muncul dalam mimpi-mimpi buruk. Dan sebelum ia mati, ia ingin membagi kisahnya.

Tidak ada perang yang tidak merugikan. Semua korban adalah anak, suami, istri, atau kekasih seseorang. Darah yang ditumpahkan dari semua pihak tidak ada yang sedikit. Dan banyak kenyataan yang ditutupi agar sebuah negara tidak malu pada kesalahan rakyatnya. Sayuri Miyamoto adalah perempuan yang dibungkam oleh perang. Tidak ingin memalukan sejarah kamikaze, ia disuruh membunuh hidup dan masa lalunya.

Tidakkah mereka yang berperang tahu bahwa perang akan terus berlanjut karena mereka yang mengelukan balas dendam. Sedangkan balas dendam sendiri akan terus muncul dan tenggelam. Tapi nyatanya, di sisi hati mereka yang terkecil, mereka juga ingin agar perang segera selesai sehingga mereka bisa bertemu dengan keluarga yang tersisa.


Mawar Jepang, Kisah Pilot Kamikaze Perempuan yang Dibungkam dalam Sejarah merupakan karya Rei Kimura. Buku sebelumnya, Catatan Ichiyo, Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang, pernah pula saya tuliskan dalam blog ini. Jepang bukan satu-satunya negara yang tidak ingin memperlihatkan sejarah yang sebenarnya. Banyak pula kisah-kisah yang dibungkam karena tidak ingin menjelekkan nama negaranya. Orang-orang kecil dibungkam. Dibiarkan merana dalam kenangan buruknya sendiri terhadap perang.


Friday, September 28, 2012

Namaku Hiroko - Nh. Dini

Namanya Hiroko. Saya sempat bertemu dengan Hiroko ketika duduk di bangku SMA. Nama itu mengisi selembar atau dua lembar buku pelajaran bahasa Indonesia. Ketika membaca sepenggal cerita itu, saya penasaran ingin tahu cerita sebelum dan sesudahnya. Tidak banyak cerita yang dikutip begitu panjang dalam sebuah buku pelajaran, dan cerita itu melekat pada kepala saya.

Sampai akhirnya saya utuh bertemu dengan Hiroko. Nh. Dini menceritakan Hiroko dengan begitu keras. Ia buat hidup Hiroko begitu rumit. Anak dari keluarga yang tidak berada, tidak bisa melanjutkan sekolah, menjadi pembantu rumah tangga, pindah ke pulau lain dan kembali lagi menjadi rumah tangga. Dibuatnya Hiroko akhirnya hidup sedikit mapan namun malah menjadi penari telanjang dan menjalin hubungan terlarang dengan pria milik perempuan lain. Betapa kerasnya hidup Hiroko.

Namun, Hiroko tidak mengeluh. Tujuan hidupnya hanyalah untuk uang, untuk benda-benda yang dapat ia lihat dan ia sentuh. Bahkan ia tidak merasa terjerumus dalam dunia malam tetapi menikmati karena bisa mendapatkan uang tambahan. Menjadi simpanan pria beristri pun bukan hal yang tidak diinginkan. Ia berpikir semua demi uang yang akan memenuhi isi tabungannya.

Mengambil latar tempat di Jepang, menjadikan novel ini lebih segar dibandingkan beberapa novel Nh. Dini yang pernah saya baca. Sosok Hiroko pun lebih menarik ketimbang perempuan-perempuan lain yang pernah Nh. Dini buat, lagi-lagi sejauh yang pernah saya baca.

Hiroko bahkan tidak peduli dengan sebutan "perempuan simpanan". Ia merasa hidupnya bahagia meskipun pria yang mungkin dicintainya itu adalah suami sahabatnya sendiri. Entah mana yang lebih kejam, Nh. Dini atau hidup ini sendiri. Tapi toh Hiroko menikmatinya. Tidak ingin ambil pusing karena rumah idaman sudah didapat dan uang tidak akan pergi ke mana-mana.

Undangan


            Satu kedip. Dua. Tiga. Berkali-kali Ara mengedipkan mata, nama itu tidak berubah. Sebuah nama yang membangkitkan kenangan yang sudah ia simpan di hatinya yang paling bawah. Nyaris berdebu sampai ia melihat nama itu lagi.
            Sebuah undangan pernikahan dengan nama yang sama. Lagi-lagi Ara berkedip. Masih nama yang sama. Dan seketika degupan jantung berpacu dengan gerak bibir yang membaca kata demi kata pada layar komputer Ara. Udangan elektronik itu ia baca berkali-kali. Mungkin berharap mendapatkan nama yang berbeda. Nyatanya seratus kali pun ia berkedip, nama dan tanggal pernikahan itu tetap sama. Sakit. Bahkan melihat undangan pernikahannya pun sakit.
            Jarinya perlahan mengklik sebuah gambar. Ya, itu dia. Lutut Ara lemas, seolah bangku yang ia duduki tidak mampu menampung dirinya. Itu dia. Dia menikah dengan perempuan yang tidak Ara kenal. Cantik. Ah, tidak. Tapi memang cantik. Tapi...
            Sudah lama Ara takbertemu pria itu, bahkan salam dan basa-basi menanyakan kabar pun entah kapan berlalu. Ia menarik hatinya dari pria itu bertahun yang lalu. Merasa sudah selesai, merasa mampu meninggalkan kenangan bahagia yang dikumpulkan bersama pria itu. Tapi, nampaknya separuh hati Ara masih tertinggal di pemilik senyum berlesung pipi itu.
            Ara sulit jatuh cinta. Dan pria itu membuat Ara tahu apa yang dinamakan cinta. Tidak terlalu terlambat untuk tahu bahwa pria dan wanita bisa berbagi perasaan yang seperti itu. Lagi-lagi undangan pernikahan itu membuat hati Ara tergerus luka.
            Diambilnya telepon genggam dari dalam tasnya. Diketiknya sebuah kalimat. Dihapus. Diulangi. Dihapus lagi. Ara ragu. Haruskah ia mengirim pesan pada pria itu? Sekadar ingin tahu kebenarannya? Atau, ingin menambah gerus di hatinya?
            Akhirnya beberapa kalimat berhasil diketiknya. Pesan terkirim. Berdebar-debar Ara menunggu jawaban. Akankah lama? Mungkin ia sibuk. Ah, tidak. Sebuah pesan masuk. Dari pria itu. Pertanyaan basa-basi tentang kabar memulai. Nada bahagia. Dan benar, ia akan menikah. Dua minggu lagi katanya. Ara harus datang sebagai teman lama. Ya, teman lama. Kebahagiaan membuat ia lupa.
            Ucapan selamat Ara sampaikan. Dan berjanjilah bahwa ia akan datang. Tidak begitu jujur ia ucapkan bahwa ia ikut senang.
            Ternyata waktu hanya berhenti pada diri Ara. Pria itu terus berjalan dan melewati pagar yang dulu Ara bangun di sekitarnya.
            Ruang kamarnya lalu kabur di matanya.

Saturday, September 22, 2012

Hilang


            Ia hanya bisa pandangi tubuh lemah di hadapannya. Takhenti tangannya eluskan semangat. Berharap semua akan baik-baik saja.
            Baginya, dunia gelap. Hujan turun begitu deras sampai lupa memanggil pelangi. Udara begitu dingin, bahkan matahari malas menggantung tinggi.
            “Kamu pasti baik-baik aja, Ra. Kamu pasti kuat, Ra,” tapi air mata terus menetes. Jatuh dari setiap semangat yang diucapkan.
Hidupnya tidak akan lagi sama. Hatinya tidak akan lagi sempurna. Separuhnya jiwanya hilang dibawa istrinya yang takberdaya.
Ia abaikan denyut jantung yang menurun. Ia abaikan kenyataan yang ada di hadapannya.
“Kamu ngga sendiri, Ra. Bangun, Ra.”
Dan bunyi panjang tanpa putus ternyata menyadarkannya bahwa hidup bukan miliknya. Tinggal tangan yang mendingin yang menyambungkan hatinya pada istrinya dan tetes air mata yang mengantarkannya.

Ibu Meluntur


“Bu, Bu, Ibu di mana?” Teriak perempuan itu memanggil Ibunya.
“Ibu di mana, Bu. Di mana, Bu?” Kali ini di sela-sela senguk-tangisnya.
Lalu perempuan itu diam. Hanya bisa pandangi gambar hitam-putih di pangkuannya. Dengan jejari keriputnya ia bawa gambar masa lalunya ke mulutnya. Ia kecup penuh haru. Biru.
“Bu, Bu, Ibu. Sini, Bu. Ara sendiri, Bu.”
Teriakan panjang menggema ke sepanjang lorong. Petugas berseragam putih masuk berbondong-bondong. Tubuh Ara dikerumuni. Ditarik ke semua penjuru arah. Diikat. Dan sebatang jarum meninabobokannya.
Gambar hitam-putih itu terinjak-injak.
“Jangan. Jangan injak Ibuku.”
Suaranya deru-menderu bersama nafas yang satu-satu.
“Bu... Ara... Bu...” Seiring irama nafas yang teratur, Ara pulas dipaksa tidur.
Seorang petugas mengambil gambar di lantai. Dibersihkan dengan tangannya dan ditaruhnya di atas meja, sebelah ranjang Ara.
“Tuh, Bu. Si Ara kangen katanya,” kata petugas itu pada gambar hitam-putih.
Sosok dalam gambar itu diam tidak menjawab. Senyum yang tadinya tergores di bibirnya, luntur.
Dalam tidurnya Ara tersenyum. Mungkin Ibu datang di mimpinya. Mungkin senyum itu tidak jadi luntur. Padahal di luar hujan mulai turun.

Tik... tik... tik... Bunyi hujan di atas genting.

Suara Ibu samar-samar menjauh. Ara sendiri. Lagi.

Delapan Enam

Jadi, mana yang lebih berat, Mbi? Hidup jadi anak petani, hidup jadi pegawai negeri, hidup dalam penjara, atau hidup dari uang "delapan enam"?

Mana yang lebih menyenangkan, Mbi? Ketika kamu tidak punya uang tapi jujur atau ketika kamu punya banyak tabungan tapi jujur kamu tinggalkan?

Katanya kamu mau berhenti hidup dari uang jualan shabu-shabu. Katanya kamu tidak ingin anakmu kenal penjara dan uang haram. Tapi ternyata hidup butuh uang bukan, Mbi?

Semua serba delapan enam. Hidup dipermudah dengan delapan enam. Sayangnya waktu tidak bisa dikompromi dengan delapan enam.

Lalu cermin bertanya, kapan kamu dan orang-orang yang kenal delapan enam akan meninggalkan delapan enam; kapan kejujuran lebih penting dari setumpuk uang. Perut butuh makan yah, Mbi? Cinta apa lagi yah, Mbi? Orang tuamu bagaimana? Televisi lebih kejam dari dunia nyata loh, Mbi.

Ah, tidak. Dunia nyata jauh lebih kejam, Mbi. Lihat saja orang-orang yang membeli segalanya dengan uang. Delapan enam yah, Mbi. Harga dirimu tidak delapan enam kan, Mbi?

Tuesday, September 18, 2012

Oldboy (2003)


Kalimat pertama yang saya ucapkan setelah menonton film ini adalah Sutradaranya gila! Film ini gila! Bayangkan saja ternyata alasan Oh Dae-su diculik dan dipenjara selama lima belas tahun ternyata karena masa lalunya yang mungkin ketika ia sendiri pada waktu diculik sudah dilupakan.

Bermula dari kantor polisi, Dae-su diamankan karena menggoda kekasih orang. Keadaannya sudah sangat mabuk saat itu, sampai akhirnya ia dibawa pulang oleh temannya. Dalam perjalanan pulang Oh Dae-su menelepon rumahnya, berbicara pada anak perempuannya yang hari itu berulang tahun. Ketika gagang telepon berpindah ke tangan temannya, saat itulah Dae-su diculik.

Dae-su tidak tahu di mana ia berada dan apa alasan ia ditempatkan di suatu kamar dengan fasilitas yang lengkap. Ia pun tidak tahu harus berapa lama ia mendekam dalam penjara itu. Katanya, kalau ia tahu mungkin ia akan bisa lebih mengantisipasi, atau bahkan ia tidak bisa.

Menulis buku harian adalah cara yang dipilihnya untuk tetap sadar dan tidak gila. Temannya hanya sebuah televisi. Tapi televisi hanya dapat didengarkan dan ditonton, tidak dapat mendengarkan dan disentuh.

Sambil mengisi waktu, Dae-su membuat dirinya kuat. Ia belajar tinju seorang diri, ditemani tembok yang digambarinya sesosok tubuh manusia. Ketika sebuah lagu dikumandangkan, asap akan keluar dari sebuah pipa dan ia akan tertidur.

Ada kalanya ia merasa ada semut yang keluar dari dalam kulitnya. Kelak, seorang perempuan akan memberitahunya bahwa ketika seseorang kesepian, ia akan memikirkan segerombolan semut.

Sebuah garis ia torehkan tahun demi tahun di dekat pergelangan tangan kirinya. Ia menghitung tahun yang telah ia lewat dalam penjara itu. Tembok dekat kasurnya dibolonginya dengan menggunakan sumpit. Saya kira ia pada akhirnya bisa lolos dengan cara itu, seperti dalam film Shawshank Redemtion. Tapi, pada suatu malam, ketika ia tertidur karena asap sudah memenuhi kamarnya, seorang wanita datang dan menghipnotisnya.

Dae-su terbangun dan berada dalam sebuah koper di atas sebuah apartemen. Di situlah dulu ia diculik. Jalan yang telah berubah menjadi gedung. Lima belas tahun menjadikan dirinya gagu.

Seorang pengemis memberinya sebuah telepon genggam dan dompet. Segera ia memasuki restoran Jepang dan memesan sesuatu yang hidup. Seorang gadis muda melayaninya. Telepon genggamnya berdering, dijawabnya pertanyaan-pertanyaan itu. Ketika tangannya disentuh oleh gadis muda itu, dia pingsan.

Dari situlah bermula hubungan Dae-su dengan gadis muda itu, Mi-do. Dengan bantuan Mi-do, Dae-su mencari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan penjara yang ia diami dulu. Beberapa kenangan dipakai Dae-su sebagai sumber informasi sampai akhirnya ia tahu di mana letak penjara itu.

Dae-su datang dengan palu terpegang di tangan. Ia habisi para penjaga penjara itu, namun mereka bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua peristiwa itu.


Mi-do chating dengan seorang pria. Ternyata pria itu kenal dengan Dae-su. Berbekal informasi itu, ia mencari tahu. Ia datangi teman yang menjemputnya di kantor polisi dulu, Jo-hwan. Jo-hwan memiliki sebuah warung internet. Dan segera ia tahu bahwa lelaki yang chating dengan Mi-do bernama Lee Woo-jin yang tinggal di sebelah apartemen Mi-do. Segera Dae-su mendatanginya.

Woo-jin merelakan dirinya dibunuh oleh Dae-su. Tapi jika Dae-su membunuhnya, Dae-su tidak akan pernah tahu kenapa ia dipenjara selama lima belas tahun itu. Woo-jin memperingatkan Mi-do yang sendirian di kamar dan kembalilah Dae-su ke kamar Mi-do.

Mi-do diikat pada kasur yang diberdirikan, dibiarkan setengah telanjang dan dikelilingi para lelaki. Mereka adalah orang-orang penjaga penjara yang dihajar oleh Dae-su. Pemimpin penjaga itu ingin membalas dendam karena Dae-su telah mencongkel giginya dengan menggunakan palu. Tapi pengawal Woo-jin masuk dan membawa sekoper uang dan mereka meninggalkan kamar itu.

Mi-do pernah berkata bahwa ia akan menyanyikan lagu kesukaan Dae-su ketika ia siap menerima Dae-su. Dan malam itu, Mi-do bernyanyi. Dalam sebuah hotel mereka bercinta.


Woo-jin ternyata adik dari seorang gadis yang dulu memikat perhatian Dae-su. Mereka ternyata satu SMA. Dan gadis itu ternyata sudah meninggal. Tenggelam di sungai. Teringatlah Dae-su, dulu sebelum ia pindah ke Seoul, ia pernah memergoki Woo-jin sedang bercinta dengan kakaknya sendiri. Rahasia itu diberitahukannya pada Jo-hwan. Dan menyebarlah berita itu di sekolah.

Woo-jin berkata bahwa ia dan kakaknya saling mencintai, dan karena lidah Dae-su kakaknya bunuh diri. Tapi dengan melihat foto yang terpajang di ruangan tempat Woo-jin tinggal, Dae-su tahu bawa Woo-jin lah yang membunuh kakaknya.

Sebuah kotak berwarna ungu dipersiapkan Woo-jin untuk Dae-su. Tempat rahasia Dae-su terungkap. Mi-do adalah anak perempuannya sendiri. Betapa nelangsanya Dae-su. Ia sudah bercinta dengan anak kandungnya sendiri. Balas dendam yang gila!

Tidak hanya Dae-su nyatanya yang dihipnotis. Mi-do juga korban hipnotis. Dengan kode-kode yang diucapkan Dae-su ketika makan di restoran tempat Mi-do bekerja, hipnotis pada Mi-do berhasil. Ia akan jatuh cinta pada Dae-su.


Dae-su memotong lidahnya dan memohon pada Woo-jin agar kotak yang sama, yang sudah dipersiapkan untuk Mi-do tidak diperlihatkan kepada Mi-do. Ia rela menjadi anjing, pesuruh, apa pun bagi Woo-jin asal kebenaran tidak diungkapkan pada Mi-do.

Di akhir cerita, Dae-su dibebaskan dan Woo-jin menembak kepalanya. Balas dendamnya sudah selesai dan ia tidak tahu untuk apa lagi ia hidup. Dae-su mengunjungi perempuan yang menghipnotisnya dan memohon untuk membuatnya lupa bahwa Mi-do adalah anaknya karena ia terlanjur mencintai Mi-do. Hilanglah sisi monster dalam diri Dae-su.


Film yang berdurasi nyaris dua jam ini harus kalian tonton kalau kalian suka dengan film misteri, horor, dan thriller. Ceritanya tidak bisa ditebak dan sangat menegangkan. Film ini gila! Sungguh! Gila! Tidak salah bahkan rating film ini di IMDB adalah 8.4!

Sunday, September 16, 2012

Anak Kosan yang Anak Sastra

"Saya ngga mau belajar Semiotika. Ngapain tanda dipelajari."

Begitu teriak seorang anak di kosan tempat saya tinggal sekarang. Dari pembicaraannya dengan beberapa temannya saya tahu bahwa ia sedang mengerjakan tugas kuliah. Dan dari beberapa percakapannya, saya tahu bahwa ia mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya. Ah, saya lebih akrab menyebutnya Fakultas Sastra.

Seketika saya tertawa mendengar teriakannya itu. Bahkan ia tidak tahu ketika ia berteriak seperti itu, itu juga sudah merupakan suatu tanda. Tidakkah ia sadar bahwa di sekelilingnya penuh dengan tanda?

Seketika lagi saya tertawa karena ia tidak tahu bahwa teori yang saya ambil untuk bahan skripsi saya adalah Semiotika. Ya, ilmu tentang tanda itulah yang bisa mengantarkan saya keluar dari bangku perkuliahan.

Saya sedih. Ketika ia berkata demikian, tidakkah dia sadar bahwa ia telah melecehkan dirinya sendiri sebagai mahasiswa Fakultas Sastra? Hm, mungkin sastra sendiri tidak bisa memengaruhi apa yang ada di kepalanya.

Jangan panggil kamu mahasiswa sastra, jangan bilang kamu tahu apa itu sastra kalau ternyata hidupmu tidak berkembang karena sastra. Saya tidak sombong, saya tidak omong kosong, dan saya tidak melebih-lebihkan karena saya sadar bahwa sedikit banyak sastra memengaruhi cara pandang saya terhadap apa yang saya sedang dan akan saya pikirkan.

Tidak ada salahnya kita mencuri ilmu dari buku yang kita baca bukan?

Ia dan saya masih sama-sama belajar. Kami masih sama-sama belajar. Tapi ternyata tujuan kami sebagai anak Fakultas Sastra berbeda.

Friday, September 14, 2012

Pearl of China - Anchee Min

Akhirnya setelah satu bulan saya bisa menyelesaikan satu buku bacaan. Selain si mood membaca entah jalan-jalan ke mana, saya masih belum bisa beradaptasi dengan waktu. Oke, ini bukan salah waktu, ini salah saya. Tapi akhirnya, akhirnya, akhirnya, saya bisa menamatkan sebuah novel yang judulnya Pearl of China karangan Anchee Min.


Buku ini terinspirasi dari kehidupan Pearl S. Buck.. Bagi yang belum tahu siapa itu Pearl S. Buck., kamu bisa membacanya di sini.

Berbicara tentang Buck berarti berbicara tentang negara Cina. Meskipun fisiknya Amerika, jiwanya sangat Cina (nah, kalimat barusan agak aneh). Bahkan bahasa Mandarin adalah bahasa pertama yang digunakannya.

Pearl of China diambil dari sudut pandang teman masa kecil Buck, Willow Yee. Bagaimana pengalaman masa ketika mereka kecil, remaja, tua, dan akhir dari hidup mereka. Sambil membaca buku ini, kita juga mendapat pengetahuan tentang sejarah Cina. Saya bahkan bisa berdiskusi tentang Cina dengan seorang teman. Padahal referensinya berasal dari buku sejarah dan referensi saya dari buku novel ini.

Keluarga kecil Buck sangat memengaruhi perubahan di kota kecil kediaman mereka. Ayah Buck, Absalom, adalah seorang pendeta yang ditugaskan di daerah Chin-Kiang. Dengan penuh semangat ia mencari umat yang mau mengakui Kristus dan masuk ke Gerejanya. Ayah Willow termasuk salah satunya, meskipun pada awalnya niat masuk Gereja karena di sana terdapat makanan, namun kelak perjuangannya akan sama besarnya dengan perjuangan Absalom.

Awalnya  Willow dan Pearl tidak saling menyukai. Pearl membenci Willow karena Willow sering mencuri dari rumahnya. Tapi siapa sangka pada akhirnya mereka akan menjadi sahabat karib yang bertukar pikiran dan saling mengenal sampai akhir hidup mereka.

Ah, kalian baca saja yah bukunya. Tidak akan menyesal kok. Ternyata mood membaca sedang berjalan-jalan dengan mood menulis. Hahaha...

Wednesday, September 12, 2012

A Long Visit


Seorang ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya. Ia bertahan hidup agar anaknya pun dapat hidup, melebihi hidupnya sendiri. Kira-kira itulah yang ada dipikiran ibu Jisuk dalam film A Long Visit (Woman's Mother).

Jisuk begitu dicintai ibunya. Mungkin karena sebelum Jisuk lahir, kakak perempuannya meninggal di usia dua tahun. Perhatian dan cinta ibunya diberikan seluruhnya pada Jisuk. Ibunya bahkan rela menanggung pukulan suaminya agar Jisuk bisa hidup lebih baik. Ia berkata, jika ia bercerai dengan suaminya, Jisuk tidak mungkin dapat pergi sekolah dan hanya bekerja mengurus rumah. Dengan kekuatan seorang ibu, ia menanggung sakit demi anaknya.

Awalnya Jisuk malu punya ibu seperti itu. Tidak mementingkan penampilan, menawar bahan makanan dengan harga yang paling murah, menabung setiap sen yang bisa ditabung. Jisuk malu. Namun, setelah sang ibu berkata bahwa ia melakukan semua untuk Jisuk, Jisuk pun berubah pikiran.

Jisuk bertekad keluar dari rumah di desa terpencil itu. Dengan ketekunan ia berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah universitas seni di Seoul. Dengan penuh kesedihan, ibu melepas Jisuk. Bahkan tidak lupa ibu membekalkan buah persik kesukaan Jisuk dan berkantong-kantong uang sen, hasil tabungannya selama Jisuk kecil.

Kuliah sambil bekerja tidak menjadi beban Jisuk. Ibu bahkan berkali-kali mengunjungi anaknya di Seoul. Ia rindu. Sampai akhirnya Jisuk yang tadinya memutuskan untuk tidak menikah karena melihat kekasaran ayahnya, bertemu dengan seorang lelaki. Berkumpulah kedua keluarga itu.

Latar belakang keluarga Jisuk membuat orang tua lelaki tidak mau menerima Jisuk. Keluarga lelaki itu kaya bahkan mampu menyekolahkan anaknya sampai ke luar negeri. Jisuk yang hanya lulusan dalam negeri dan mempunyai orang tua miskin dianggap tidak layak menjadi menantunya. Marahlah ibu Jisuk. Ia merasa tidak adil anaknya tidak bisa menikah dengan orang yang dicintainya hanya karena orang tuanya miskin dan tidak berpendidikan.

Suatu malam yang hujan, ibu Jisuk mendatangi rumah kekasih anaknya. Dengan berlutut ia meminta maaf atas kelancangannya. Dengan berurai tangis ia minta maaf bahwa ia miskin dan tidak berpendidikan. Dengan penuh pengharapan ia berharap agar Jisuk dapat menikah dengan kekasihnya. Dan ternyata ibu berhasil membuat anaknya menikah.

Jisuk hidup dengan bahagia dengan suaminya. Ia bahkan memiliki anak perempuan yang cantik. Namun kebahagiaan tentu tidak berlangsung lama. Ayahnya meninggal. Seketika ia sadar bahwa ia begitu mencintai ayahnya. Ayah yang mencintainya dengan caranya yang unik, yang tidak mampu diperlihatkannya. Bahkan ibunya pun menderita. Ia mencintai suaminya.

Jisuk mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di Seoul, namun ibu menolak. Ia berkata, ia akan tetap tinggal di rumah itu. Jika Jisuk merasa sedih, ia akan menunggu Jisuk untuk kembali ke rumah. Rumah adalah tempat seorang anak perempuan untuk pulang.

Mana yang lebih sedih, anak yang melihat orang tuanya meninggal atau orang tua yang melihat anaknya meninggal? Jisuk menderita kanker pankreas stadium akhir. Hati ibu mana yang tidak hancur ketika mengetahui umur anaknya tidak lebih dari umurnya sendiri. Terlebih anak itu adalah anak yang paling dikasihi dan dibanggakan.

Hal yang paling membahagiakan bagi ibu Jisuk adalah dapat melahirkan Jisuk dan hal yang paling menyedihkan baginya juga melahirkan Jisuk. Ibu patah hati. Ah, ibu hancur hati.

Sebuah film tentang kekuatan seorang ibu ini mampu membuat saya dan beberapa teman menyiapkan tisu ketika menontonnya. Bahkan dari awal film ini dimulai, aura sedih itu sudah muncul. Ibu mana yang tidak hancur berkeping-keping melihat anak yang dilahirkannya meninggalkannya lebih dahulu.

Jangan lupa siapkan tisu ketika menonton ya...

Tuesday, September 11, 2012

Perihal Patah Hati

Kali ini seorang teman bercerita tentang patah hati. Bagaimana kakinya seketika takmampu melawan gravitasi bumi. Saya hanya bisa anggukan kepala, bukan tanda setuju, tapi saya mengerti.

Katanya, ia ingin tahu bagaimana caranya lupa. Lagi-lagi saya anggukan kepala. Saya mengerti.

Dia bertanya, mengapa saya hanya anggukan kepala tanpa seucap kata. Saya bilang padanya bahwa saya mengerti. Lanjutnya, saya katakan bahwa tidak ada cara untuk bisa lupa. Agak sedikit sok bijak saya katakan bahwa hanya waktu yang bisa membuatmu lupa. Nyatanya perasaan lebih banyak hidup di hati, bukan di kepala.

Kali ini ia angguk-angguk kepala. Mungkin dia agak setuju dengan pemikiran saya.

Betapa tidak. Itu berdasarkan pengalaman. Bahkan butuh lebih dari dua tahun bagi saya untuk bisa lupa pada seseorang dari masa lalu itu. Selama itu untuk bisa merasa sedikit tidak sakit ketika namanya disebut.

Semakin kamu mencoba lupa, semakin sulit kamu melupakan. Bahasa gaulnya mah "Let it flow". Biarkan ia mengalir jauh bersama waktu.

P.S. I Love You. Eh, salah. Ini sebuah judul. *krik krik krik krik. kok garing ya?*

NB: Ketika takada yang mau mendengar, datanglah padaku. Telinga ini siap menampung seluruh keluh-kesahmu.

Friday, September 7, 2012

Malam, Jalan, dan Saya yang Perempuan

Dari dulu saya tidak akrab dengan malam. Ia sering membuat saya gelisah. Terlebih karena saya perempuan. Malam, jalan, dan saya yang perempuan sama sekali tidak akrab. Kami gelisah jika berdekatan.

Hal yang paling saya benci ketika malam adalah jalan sendirian. Saya ditakdirkan sendirian menghadapi malam. Dan mata-mata merah itu takcukup memenuhi jalan. Dengan mulut kotor dan tubuh sengit, mereka tega membuat saya tidak nyaman.

Lagi-lagi tanya memenuhi kepala. Kenapa? Kenapa harus peduli saya jalan sendirian? Kenapa harus peduli saya perempuan? Kenapa harus takcukup mata yang bicara?

Jangan salahkan saya jika membalas mata-mata merah itu dengan kejijikan dan kewaspadaan. Malam yang mengajarkan saya.

Thursday, September 6, 2012

Ciptagelar

Sekadar foto.

Terima kasih kepada Risna yang sudi meminjamkan kameranya di kala ia tidak menggunakannya.

"asepan"
Nini-Risna
Aki-Risna
Lihat! Teh Mona!
"topi"
Intip kamera
Sinden
Saya kepergok
Wayang

Wednesday, September 5, 2012

RIP Sakagawea


“Ia telah menentukan sendiri namanya: Sakagawea. Perempuan bebas yang memilih untuk tidak dilahirkan ke dunia, melainkan ke surga.”

RIP ST. Sakagawea DA. Kamu pasti jadi ratu bidadari di surga.

Duka cita teramat sangat untuk ibu, Diar, dan ayah, Ozenk. Semoga kalian dikuatkan dan akan diberi kebahagiaan lebih.

Teringat perkataan seorang filsuf Yunani bahwa orang yang mati tua adalah yang paling tidak beruntung, yang mati muda sedikit beruntung, dan mereka yang tidak pernah dilahirkan adalah yang paling beruntung. Bayi perempuan itu, Sakagawea, dengan bebasnya memilih menuju surga. Beruntunglah kamu menuju taman firdaus lebih dahulu. Selamat bermain dengan kupu-kupu cantik di taman indah abadi.