Wednesday, September 12, 2012

A Long Visit


Seorang ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya. Ia bertahan hidup agar anaknya pun dapat hidup, melebihi hidupnya sendiri. Kira-kira itulah yang ada dipikiran ibu Jisuk dalam film A Long Visit (Woman's Mother).

Jisuk begitu dicintai ibunya. Mungkin karena sebelum Jisuk lahir, kakak perempuannya meninggal di usia dua tahun. Perhatian dan cinta ibunya diberikan seluruhnya pada Jisuk. Ibunya bahkan rela menanggung pukulan suaminya agar Jisuk bisa hidup lebih baik. Ia berkata, jika ia bercerai dengan suaminya, Jisuk tidak mungkin dapat pergi sekolah dan hanya bekerja mengurus rumah. Dengan kekuatan seorang ibu, ia menanggung sakit demi anaknya.

Awalnya Jisuk malu punya ibu seperti itu. Tidak mementingkan penampilan, menawar bahan makanan dengan harga yang paling murah, menabung setiap sen yang bisa ditabung. Jisuk malu. Namun, setelah sang ibu berkata bahwa ia melakukan semua untuk Jisuk, Jisuk pun berubah pikiran.

Jisuk bertekad keluar dari rumah di desa terpencil itu. Dengan ketekunan ia berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah universitas seni di Seoul. Dengan penuh kesedihan, ibu melepas Jisuk. Bahkan tidak lupa ibu membekalkan buah persik kesukaan Jisuk dan berkantong-kantong uang sen, hasil tabungannya selama Jisuk kecil.

Kuliah sambil bekerja tidak menjadi beban Jisuk. Ibu bahkan berkali-kali mengunjungi anaknya di Seoul. Ia rindu. Sampai akhirnya Jisuk yang tadinya memutuskan untuk tidak menikah karena melihat kekasaran ayahnya, bertemu dengan seorang lelaki. Berkumpulah kedua keluarga itu.

Latar belakang keluarga Jisuk membuat orang tua lelaki tidak mau menerima Jisuk. Keluarga lelaki itu kaya bahkan mampu menyekolahkan anaknya sampai ke luar negeri. Jisuk yang hanya lulusan dalam negeri dan mempunyai orang tua miskin dianggap tidak layak menjadi menantunya. Marahlah ibu Jisuk. Ia merasa tidak adil anaknya tidak bisa menikah dengan orang yang dicintainya hanya karena orang tuanya miskin dan tidak berpendidikan.

Suatu malam yang hujan, ibu Jisuk mendatangi rumah kekasih anaknya. Dengan berlutut ia meminta maaf atas kelancangannya. Dengan berurai tangis ia minta maaf bahwa ia miskin dan tidak berpendidikan. Dengan penuh pengharapan ia berharap agar Jisuk dapat menikah dengan kekasihnya. Dan ternyata ibu berhasil membuat anaknya menikah.

Jisuk hidup dengan bahagia dengan suaminya. Ia bahkan memiliki anak perempuan yang cantik. Namun kebahagiaan tentu tidak berlangsung lama. Ayahnya meninggal. Seketika ia sadar bahwa ia begitu mencintai ayahnya. Ayah yang mencintainya dengan caranya yang unik, yang tidak mampu diperlihatkannya. Bahkan ibunya pun menderita. Ia mencintai suaminya.

Jisuk mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di Seoul, namun ibu menolak. Ia berkata, ia akan tetap tinggal di rumah itu. Jika Jisuk merasa sedih, ia akan menunggu Jisuk untuk kembali ke rumah. Rumah adalah tempat seorang anak perempuan untuk pulang.

Mana yang lebih sedih, anak yang melihat orang tuanya meninggal atau orang tua yang melihat anaknya meninggal? Jisuk menderita kanker pankreas stadium akhir. Hati ibu mana yang tidak hancur ketika mengetahui umur anaknya tidak lebih dari umurnya sendiri. Terlebih anak itu adalah anak yang paling dikasihi dan dibanggakan.

Hal yang paling membahagiakan bagi ibu Jisuk adalah dapat melahirkan Jisuk dan hal yang paling menyedihkan baginya juga melahirkan Jisuk. Ibu patah hati. Ah, ibu hancur hati.

Sebuah film tentang kekuatan seorang ibu ini mampu membuat saya dan beberapa teman menyiapkan tisu ketika menontonnya. Bahkan dari awal film ini dimulai, aura sedih itu sudah muncul. Ibu mana yang tidak hancur berkeping-keping melihat anak yang dilahirkannya meninggalkannya lebih dahulu.

Jangan lupa siapkan tisu ketika menonton ya...

No comments:

Post a Comment