Friday, September 28, 2012

Undangan


            Satu kedip. Dua. Tiga. Berkali-kali Ara mengedipkan mata, nama itu tidak berubah. Sebuah nama yang membangkitkan kenangan yang sudah ia simpan di hatinya yang paling bawah. Nyaris berdebu sampai ia melihat nama itu lagi.
            Sebuah undangan pernikahan dengan nama yang sama. Lagi-lagi Ara berkedip. Masih nama yang sama. Dan seketika degupan jantung berpacu dengan gerak bibir yang membaca kata demi kata pada layar komputer Ara. Udangan elektronik itu ia baca berkali-kali. Mungkin berharap mendapatkan nama yang berbeda. Nyatanya seratus kali pun ia berkedip, nama dan tanggal pernikahan itu tetap sama. Sakit. Bahkan melihat undangan pernikahannya pun sakit.
            Jarinya perlahan mengklik sebuah gambar. Ya, itu dia. Lutut Ara lemas, seolah bangku yang ia duduki tidak mampu menampung dirinya. Itu dia. Dia menikah dengan perempuan yang tidak Ara kenal. Cantik. Ah, tidak. Tapi memang cantik. Tapi...
            Sudah lama Ara takbertemu pria itu, bahkan salam dan basa-basi menanyakan kabar pun entah kapan berlalu. Ia menarik hatinya dari pria itu bertahun yang lalu. Merasa sudah selesai, merasa mampu meninggalkan kenangan bahagia yang dikumpulkan bersama pria itu. Tapi, nampaknya separuh hati Ara masih tertinggal di pemilik senyum berlesung pipi itu.
            Ara sulit jatuh cinta. Dan pria itu membuat Ara tahu apa yang dinamakan cinta. Tidak terlalu terlambat untuk tahu bahwa pria dan wanita bisa berbagi perasaan yang seperti itu. Lagi-lagi undangan pernikahan itu membuat hati Ara tergerus luka.
            Diambilnya telepon genggam dari dalam tasnya. Diketiknya sebuah kalimat. Dihapus. Diulangi. Dihapus lagi. Ara ragu. Haruskah ia mengirim pesan pada pria itu? Sekadar ingin tahu kebenarannya? Atau, ingin menambah gerus di hatinya?
            Akhirnya beberapa kalimat berhasil diketiknya. Pesan terkirim. Berdebar-debar Ara menunggu jawaban. Akankah lama? Mungkin ia sibuk. Ah, tidak. Sebuah pesan masuk. Dari pria itu. Pertanyaan basa-basi tentang kabar memulai. Nada bahagia. Dan benar, ia akan menikah. Dua minggu lagi katanya. Ara harus datang sebagai teman lama. Ya, teman lama. Kebahagiaan membuat ia lupa.
            Ucapan selamat Ara sampaikan. Dan berjanjilah bahwa ia akan datang. Tidak begitu jujur ia ucapkan bahwa ia ikut senang.
            Ternyata waktu hanya berhenti pada diri Ara. Pria itu terus berjalan dan melewati pagar yang dulu Ara bangun di sekitarnya.
            Ruang kamarnya lalu kabur di matanya.

No comments:

Post a Comment