Saturday, July 30, 2011

Dari Jendela SMP - Mira W.


Saya selalu memilih bacaan seperti ini ketika kepala sudah mumet dengan bacaan-bacaan yang lebih berat. Selain ringan, kisah-kisah Mira W. sederhana dan mengalir begitu saja. Bacaan 'sekali duduk'. Membaca Dari Jendela SMP membuat saya ingin punya pacar. Hahahaha.. Sebaiknya bacaan seperti ini tidak saya baca sering-sering. Hahahaha...

Ketika membaca novel ini, saya tahu dulu saya sudah pernah membacanya. Hanya saja saya lupa kapan dan di mana. Inilah akibat terlalu banyak membaca tapi tidak pernah ditulis :)

Cerita awalnya sederhana. Seorang anak babu yang membersihkan sekolah, Joko, jatuh cinta pada ketua kelas, Wulan. Derajat hidup mereka yang berbeda membuat mereka tidak berani terang-terangan saling menyukai di depan umum. Ternyata konflik pun tidak hanya tentang derajat ekonomi. Konflik banyak terjadi di akhir cerita.

Joko akhirnya tahu bahwa ia bukan hanya anak babu, ia juga anak haram. Ayahnya adalah Pak Prapto, kepala sekolah tempat ia dan ibunya bekerja, tempat ia dan Wulan bersekolah. Pantas saja Joko dan Ibunya bisa bekerja di sana, bisa belajar tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Konflik lain adalah ketika Wulan yang baru berusia 15 tahun hamil. Seorang murid favorit di sekolah favorit hamil. Ayahnya tentu saja Joko. Dengan keterbatasan pengetahuan tentang seks, mereka melakukannya.

Akhir kisah, semua tiba-tiba muram. Joko yang tahu bahwa ia anak haram kabur dari rumah dan mulai menenggak alkohol. Ia bahkan memukul penjaga minuman dengan botol karena tidak mau memberikan alkohol sebelum Joko membayarnya. Kaburlah Joko. Joko tidak tahu Wulan hamil, ia juga tidak tahu Wulan akan dinikahkan dengan salah satu karyawan ayahnya, supaya keluarga itu tidak mendapat malu.

Banyak kata malu dalam novel ini. Joko malu karena ia hanya anak dari seorang babu. Ibu Joko malu karena anaknya yang hanya anak babu malah sering berkelahi dan bahkan menghamili anak orang kaya. Pak Prapto malu karena anak-anak sahnya, Indro dan Kresno, ternyata punya gangguan mental dan bodoh, dan anak haramnya menghamili teman sekelasnya. Wulan malu karena ia yang murid favorit ternyata hamil di luar nikah. Ayah dan ibu Wulan malu karena anaknya hamil di luar nikah.

Semua serba pelik. Apakah memang hidup itu pelik seperti novel ini? Padahal novel ini dibuat sudah lama sekali, menurut saya.

Akhir cerita, Wulan melahirkan. Ia tidak jadi menikah. Joko ditangkap dan dimasukan ke tempat rehabilitasi anak-anak nakal, karena umurnya baru menginjak 16 tahun. Pak Prapto meninggal karena serangan jantung yang datang bertubi-tubi. Indro harus dimasukan ke rumah sakit jiwa karena ketakutan pada ayahnya. Semua serba muram.

Saya semakin percaya ketika membaca novel ini, bahwa tidak ada keluarga di Indonesia yang sempurna. Kami masih banyak memandang hal sebagai hal yang tabu. Padahal menurut saya tidak ada salahnya kita diperkenalkan, dijelaskan, dan diberitahu agar hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Masalah lain adalah masalah ekonomi. Banyak orang tua yang tidak mengizinkan anaknya pacaran dan menikah dengan anak dari keluarga yang ekonominya tidak memadai. Mereka tidak memandang cinta, hanya memandang kelas sosial.

Bukankah sebuah kisah paling tidak menggambarkan situasi tempat penulisnya berada? Ia merupakan cermin kehidupan yang diolah dengan serangkaian kata-kata indah. Sampai kapankah kecacatan-kecacatan kecil itu akan mewarnai novel-novel di Indonesia? We'll see :)

No comments:

Post a Comment