Sunday, July 10, 2011

Sumur Tanpa Dasar, Sebuah Pengamatan


Sebuah kursi dengan tali gantungan, letaknya di bawah panggung sebelah kanan, adalah seting pertama yang akan kita lihat ketika masuk ke Gedung Kesenian Sunan Ambu, STSI Bandung. Hari itu, Sabtu, 9 Juli 2011 diadakan pementasan teater Sumur Tanpa Dasar, naskah Arifin C. Noer dengan sutradara Irwan Jamal. Seting itu nampak menarik, dengan sorot cahaya merah dari atas tali. Saya menebak-nebak akan diapakan tali dan kursi itu.

Penonton banyak, saya kira hampir semua tempat duduk ditempati. Riuh-rendah obrolan orang masih terdengar di sana-sini. Saya sudah tidak sabar. Pementasan yang katanya dimulai pukul 19.30 ternyata diundur menjadi pukul 20.00.

Lalu seorang pria yang baru datang, duduk di belakang saya berkata, “Sekali-sekali lah nonton si A main.”. Oh, ternyata orang itu datang untuk menonton si A. Hmm.. Semoga tidak banyak yang seperti itu. Saya agak terganggu dengan para penonton yang ingin menonton pementasan teater bukan karena teater itu sendiri. Tapi saya juga mengerti, jika tidak ada penonton, maka pementasan itu juga tidak akan berhasil.

Suara seorang perempuan membuka pertunjukan. Lampu diredupkan. Seting tali dan kursi semakin membuat saya ingin tahu akan diapakan mereka. Peraturan-peraturan dibacakan, seperti biasa campur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dan akhirnya, pertunjukan dimulai.

Seorang pria berbaju abu-abu, dengan selendang di lehernya masuk dari pintu masuk penonton. Rambutnya putih, tokoh orang tua. Jalannya tidak terlalu cepat, dan sesekali dia batuk berdehem-dehem. Orang itu Jumena. Dia hampiri tali dan kursi. Saya masih menebak-nebak dia mau apa di sana. Saya rasa ia akan menggantung lehernya di sana, dan benar. Ia naik ke kursi, memasukan kepalanya ke tali gantungan, membelakangi penonton. Ia berkutat dengan tali itu, menggeram-geram seperti ada yang bertengkar di kepalanya. Kemudian ia menghadap penonton dan efek yang ditimbulkan begitu dramatis dan artistik. Pemutih yang membuat rambutnya putih, saya rasa tepung atau bedak, mulai berhamburan. Itu membuat saya takjub. Debu-debu itu berterbangan, jelas karena lampu sorot dari atas.

Ia mulai berdialog, “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.”. Ya ya ya... Saya sering kali melihat pertunjukan yang dimulai dengan dialog seperti itu.

Kemudian layar panggung terbuka dan seting panggung pun tampak. Minimalis. Hanya ada sebuah sofa dan sebuah meja kayu berwarna merah di tengah panggung. Ada pula bulatan seperti matahari di sisi atas kanan panggung. Sisanya layar hitam. Empat buah layar hitam, dibentuk tabung memanjang dari atas sisi kanan dan kiri panggung, masing-masing dua buah. Saya pikir itu adalah fondasi ruang itu.  

Sayangnya, sungguh sayangnya, ketika dialog dimulai di atas panggung, volume sang pemain tidak terdengar dari tempat saya duduk. Saya duduk sekitar lima-enam baris dari belakang, kira-kira tiga-empat (atau mungkin lima?) meter dari panggung. Saya yang tadinya bersender di kursi memajukan badan untuk memfokuskan pendengaran saya. Dan hasilnya, sungguh disayangkan, saya tetap kecewa. Saya pikir aktor-aktor lain tidak akan membuat telinga saya menjadi sensitif, tapi lagi-lagi sayangnya volume aktor-aktor berikutnya yang masuk ke panggung tidak terdengar jelas dari tempat saya duduk.

Saya belum membaca naskah Sumur Tanpa Dasar sampai selesai, jadi saya tidak bisa mengikuti pementasan ini jika volume para aktor tidak keras. Terlebih, volume pelan digabung dengan ritme dialog yang cepat. Entah apa yang diinginkan beberapa pemain ketika mengucapkan kalimat-kalimat panjang dengan ritme yang cepat sekali, mungkin aktor itu ingin mendramatisi dialog, atau ingin mengetes sebanyak apakah nafas yang ada di diafragma mereka. Atrikulasi mungkin baik, tapi volume tidak.

Sosok nyai menghibur saya, gesturnya cakap, suaranya (layaknya nyai-nyai tua) baik, tapi lagi-lagi volume suara kurang. Saya abaikan itu. Namun, semakin lama pertunjukan berjalan, gesturnya sudah tidak kuat, dan suaranya berubah menjadi nyai yang lebih muda. Mungkin ia lelah, tapi bukannya itu yang akan terjadi jika kita mementaskan teater?

Yang paling membuat saya makin tidak sabar adalah tokoh Juki. Ia tidak bisa menempatkan dirinya dengan baik di atas panggung. Ritme berdialognya selalu cepat dan volumenya selalu tidak terdengar. Begitu juga dengan tokoh Euis, istri Jumena. Ia kurang bisa memainkan tubuhnya dengan baik. Beberapa gerakan sama dan karakternya tidak ada. Tokoh Jumena pun tidak bisa mengatur tubuhnya dengan baik. Kakinya mulai menampakan bahwa sebenarnya ia tidak tua dan tidak sakit. Ia lupa bahwa kaki juga merupakan bagian dari pementasan itu.

Selain itu musik pun beberapa kali mengganggu saya. Ada kalanya ketika volume pemain tidak bisa mengimbangi volume musik. Setahu saya tim musik itu berada di belakang penonton, jadi seharusnya ia bisa mengatur sekeras atau sepelan apa volume musik itu sehingga tidak bertabrakan dengan volume pemain.

Satu-satunya peran yang saya suka adalah si orang sinting. Volumenya jelas, lantang. Artikulasi baik dan ritme juga pas. Gestur apalagi. Dan karakternya muncul dengan baik. Jika tidak ada peran ini, mungkin saya tidak bisa bertahan menyaksikan pementasan ini.

Hal lain yang saya sukai adalah permainan lampu. Rasanya saya ingin mengambil beberapa lampu untuk saya bawa pulang ke kampus. Hahaha... Permainan lampunya indah, seperti menari di setiap peristiwa. Kesan yang dihasilkan pun sangat kuat. Saya berterimakasih kepada tim lighting yang sudah menghasilkan lampu seperti itu.

Ketika babak kedua, saya mulai tidak nyaman duduk. Saya beberapa kali melihat handphone. Saya malah mulai mengotak-ngatik handphone saya. Hal ini jarang terjadi, saya bosan. Saya juga beberapa kali bertanya pada teman saya, sebut saja Boy, “Babak berapa?”. Saya tidak sabar ingin segera menyelesaikan pementasan ini karena saya tidak bisa mengikuti mereka, suara mereka tidak sampai di telinga saya. Bahkan sekali saya benar-benar mendengar dialog yang hanya “Sssss... ssssss... ssss.... ss....” dan tokoh satunya juga sama, “Sss... ssss... sssssss... ss... sss...”. Jadi itu hanya percakapan “Sssss” saja. Hhh...

Dan satu lagi yang disayangkan adalah tali dan kursi yang sudah begitu artistik hanya digunakan sekali, pada awal pertunjukan. Padahal itu spot yang menarik dan saya rasa bisa digunakan pada babak terakhir.

Pada akhirnya saya salut terhadap mereka yang bisa menampilkan dua jam pementasan. Belum tentu saya dan komunitas teater yang saya ikuti bisa menampilkan pementasan seperti itu.

Setelah pertunjukan selesai, saya keluar bersama teman-teman saya, Boy dan satu lagi Man, sebut saja ia seperti itu. Kami mulai berkomentar tentang pertunjukan itu. Dan kami sepakat banyak yang disayangkan dalam pertunjukan itu. Boy berkata, “Kita dikutuk! Kita ngga bisa menikmati pertunjukan karena kita juga orang-orang yang terlibat dalam teater.” Saya hanya bisa tertawa, tertawa karena mengakui. Ketika tidak bisa mengikuti dialog-dialog pemain, saya lebih fokus pada keaktoran, seting panggung, seting pempat, dan sebagainya. Saya dikutuk! Hahaha...

No comments:

Post a Comment