Sunday, July 31, 2011

Selamat Berpuasa.

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
(Matius 22:36)

Tidak ada salahnya mengucapkan selamat kepada teman-teman yang berbeda keyakinan bukan?

Selamat berpuasa bagi semua teman yang menjalankan. Semoga semua diberkati, diridhai, dan barokah. Amin :)

Ah, sekadar menyampaikan pendapat tentang banyaknya komentar terhadap ucapan maaf yang di-copy-paste sebelum dikirimkan kepada handai taulan. Menurut saya, apa pun medianya, apa pun bahasanya, dan bagaimana mereka merangkainya dengan seindah atau sesederhana mungkin, doakanlah mereka, hargailah mereka. Yang penting bukan caranya, yang terpenting adalah niatan seseorang ketika mengirimkannya.

Sekali lagi, selamat berpuasa :)

Estetika dan Kenyaman Penampilan

Saya bukan pengamat fashion tapi tidak ada salahnya bukan saya berkomentar tentang itu karena saya sebagai manusia juga tahu apa itu etika dan estetika *loh :P

Saya akan mengutip sebuah twit dari seorang teman. Twit ini berhubungan dengan pemandangan yang saya tadi saksikan di angkot.

Jadi, ceritanya tadi ketika sedang di angkot dalam perjalanan pulang ke kosan, saya seangkot dengan tiga mahasiswi lainnya. Awalnya saya tidak terlalu memerhatikan penampilan mereka. Tapi ketika turun, bergumamlah saya, "Astaga...". Dua dari tiga mahasiswi itu menggunakan bando dengan pita yang besar, sama-sama di sebelah kiri. Memang tidak ada salahnya mereka menggunakan bando seperti yang sering saya lihat digunakan anak-anak SMP, tapi saya sebagai seorang pengamat beranggapan bahwa bando itu sudah tidak enak lagi dilihat ketika dipakai oleh orang yang usianya hampir sama dengan saya. Annoyed.

Itu contoh kecil. Tidak seberapa. Saya akan melampirkan sebuah twit lagi dari teman saya yang sama.


Kasus ini banyak saya jumpai. Tidak hanya di kampus, di mall, atau di tempat-tempat lainnya, bahkan menurut saya beberapa teman saya pun mengalaminya. Mereka menggunakan sepatu 'cantik' karena ingin dilihat dan dipuji sepatunya, tapi ketika selesai menggunakan itu, mereka diam-diam memijat kaki mereka dengan balsam dan cairan-cairan lainnya. Annoyed. Apakah sebegitunya pengorbanan seorang perempuan untuk menjadi cantik di mata orang lain? Kalau memang sebegitu menyiksanya, menjadi cantik akan menjadi perioritas saya yang paling bawah. Dan begitu adanya. Saya lebih memilih sendal jepit dan sepatu kets yang nyaman di kaki (udah kaya iklan :P).

Satu lagi twit yang akan saya lampirkan.


Berkeliaranlah di Jatinangor, kalian akan menemukan banyak yang seperti itu. Saya terkadang bingung melihat mahasiswi-mahasiswi yang mengenakan 'hotpens' tapi juga menggunakan sweater atau jaket di malam hari, di Jatinangor. Mereka tentu sudah tahu Jatinangor dingin makanya mereka menggunakan jaket, tapi apakah tidak akan aneh ketika jaket itu disandingkan dengan 'hotpens' a.k.a celana minim sekali? Di mana estetikanya? Di mana kemudian fungsionalnya sebuah jaket?

Saya pernah keterlaluan suatu ketika. Saat itu tengah malam, saya dan beberapa teman berdiri di pinggir jalan raya. Tiba-tiba mobil angkot yang dikenal dengan nama Elp berhenti tidak jauh dari kami berdiri. Yang turun adalah sepasang kekasih. Pasti sepasang kekasih karena mereka saling bergandengan tangan. Melihat yang perempuan saya berkomentar, "Yaelah. pake hotpens, high heels, tapi turun dari elp.". Waktu itu memang lucu, tapi ketika saya berpikir sekarang kalimat itu sungguh keterlaluan.

Jadi, perempuan itu menggunakan hotpens yang hotpens sekali (pokoknya pendek banget!), baju yang pas di badan (atau mungkin lebih kecil satu ukuran), semacam bolero, dan menggunakan sepatu berhak tinggi.

Ketika saya berkomentar demikian, posisi saya adalah membelakangi mereka. Jarak mereka kira-kira dua-tiga meter dari saya. Dan saya kurang beruntung. Saat itu saya sedang flu, jadi kuping agak terganggu sehingga saya tidak tahu ternyata suara yang tadinya saya kira hanya dapat didengar oleh teman-teman saya ternyata juga terdengar oleh pasangan itu. Ketika saya membalikan badan, yang terjadi adalah mata sang pria menatap mata saya. Terdiamlah kami seketika. Tapi untungnya (yah, namanya juga orang Indonesia), pasangan itu pergi tanpa menggubris saya (meskipun begitu saya agak ketar-ketir).

Saya bukannya meremehkan orang-orang yang 'fashionable' yang naik angkutan umum, tapi saya menyayangkan mereka. Apakah mereka merasa nyaman ketika menggunakan pakaian seperti itu ketika naik angkutan umum yang tidak semuanya acuh pada kebebasan? Lagi pula, untuk ukuran Indonesia, hal itu bisa mengundang kejahatan bukan?

Saya menyayangkan perempuan yang ingin tampil menarik tapi tidak tahu apa itu estetika dari sebuah penampilan yang menarik. Ah, saya sok tahu sepertinya. Tapi sebagai seorang perempuan, paling tidak saya tahu apa itu pantas dan apa yang tidak pantas. Saya sendiri lebih nyaman menggunakan kaos dengan celana pendek atau celana jins. Saya bukannya tidak berani bereksperimen dengan lemari baju saya, hanya saja untuk apa saya memakai pakaian yang ketika dipakai pun membuat saya tidak nyaman.

Saya hanya percaya kecantikan itu ada di dalam hati setiap wanita. Seberapa buruknya dia, jika hatinya baik, tulus, dan ikhlas, dia akan cantik. Dan itu lebih abadi dibandingkan kecantikan buatan apapun di dunia ini. 

Pada akhirnya, saya mengetuk kepala saya dan berkata: Don't judge a book by it's cover.

Saturday, July 30, 2011

Dari Jendela SMP - Mira W.


Saya selalu memilih bacaan seperti ini ketika kepala sudah mumet dengan bacaan-bacaan yang lebih berat. Selain ringan, kisah-kisah Mira W. sederhana dan mengalir begitu saja. Bacaan 'sekali duduk'. Membaca Dari Jendela SMP membuat saya ingin punya pacar. Hahahaha.. Sebaiknya bacaan seperti ini tidak saya baca sering-sering. Hahahaha...

Ketika membaca novel ini, saya tahu dulu saya sudah pernah membacanya. Hanya saja saya lupa kapan dan di mana. Inilah akibat terlalu banyak membaca tapi tidak pernah ditulis :)

Cerita awalnya sederhana. Seorang anak babu yang membersihkan sekolah, Joko, jatuh cinta pada ketua kelas, Wulan. Derajat hidup mereka yang berbeda membuat mereka tidak berani terang-terangan saling menyukai di depan umum. Ternyata konflik pun tidak hanya tentang derajat ekonomi. Konflik banyak terjadi di akhir cerita.

Joko akhirnya tahu bahwa ia bukan hanya anak babu, ia juga anak haram. Ayahnya adalah Pak Prapto, kepala sekolah tempat ia dan ibunya bekerja, tempat ia dan Wulan bersekolah. Pantas saja Joko dan Ibunya bisa bekerja di sana, bisa belajar tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Konflik lain adalah ketika Wulan yang baru berusia 15 tahun hamil. Seorang murid favorit di sekolah favorit hamil. Ayahnya tentu saja Joko. Dengan keterbatasan pengetahuan tentang seks, mereka melakukannya.

Akhir kisah, semua tiba-tiba muram. Joko yang tahu bahwa ia anak haram kabur dari rumah dan mulai menenggak alkohol. Ia bahkan memukul penjaga minuman dengan botol karena tidak mau memberikan alkohol sebelum Joko membayarnya. Kaburlah Joko. Joko tidak tahu Wulan hamil, ia juga tidak tahu Wulan akan dinikahkan dengan salah satu karyawan ayahnya, supaya keluarga itu tidak mendapat malu.

Banyak kata malu dalam novel ini. Joko malu karena ia hanya anak dari seorang babu. Ibu Joko malu karena anaknya yang hanya anak babu malah sering berkelahi dan bahkan menghamili anak orang kaya. Pak Prapto malu karena anak-anak sahnya, Indro dan Kresno, ternyata punya gangguan mental dan bodoh, dan anak haramnya menghamili teman sekelasnya. Wulan malu karena ia yang murid favorit ternyata hamil di luar nikah. Ayah dan ibu Wulan malu karena anaknya hamil di luar nikah.

Semua serba pelik. Apakah memang hidup itu pelik seperti novel ini? Padahal novel ini dibuat sudah lama sekali, menurut saya.

Akhir cerita, Wulan melahirkan. Ia tidak jadi menikah. Joko ditangkap dan dimasukan ke tempat rehabilitasi anak-anak nakal, karena umurnya baru menginjak 16 tahun. Pak Prapto meninggal karena serangan jantung yang datang bertubi-tubi. Indro harus dimasukan ke rumah sakit jiwa karena ketakutan pada ayahnya. Semua serba muram.

Saya semakin percaya ketika membaca novel ini, bahwa tidak ada keluarga di Indonesia yang sempurna. Kami masih banyak memandang hal sebagai hal yang tabu. Padahal menurut saya tidak ada salahnya kita diperkenalkan, dijelaskan, dan diberitahu agar hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Masalah lain adalah masalah ekonomi. Banyak orang tua yang tidak mengizinkan anaknya pacaran dan menikah dengan anak dari keluarga yang ekonominya tidak memadai. Mereka tidak memandang cinta, hanya memandang kelas sosial.

Bukankah sebuah kisah paling tidak menggambarkan situasi tempat penulisnya berada? Ia merupakan cermin kehidupan yang diolah dengan serangkaian kata-kata indah. Sampai kapankah kecacatan-kecacatan kecil itu akan mewarnai novel-novel di Indonesia? We'll see :)

Saving Fish From Drowning - Amy Tan


Setelah hampir dua minggu, akhirnya saya bisa menyelesaikan buku ini, Saving Fish From Drowning karya Amy Tan. Bukannya membosankan, tapi buku ini mengajak saya untuk lebih dalam menyelaminya. Ia banyak menceritakan tentang sejarah, sejarah Burma atau yang kita kenal juga dengan nama Myanmar.

Saya selalu suka dengan karya dari penulis yang memiliki dua atau lebih kebudayaan. Amy Tan sendiri setahu saya merupakan orang Cina yang besar di Amerika. Karya-karya dari penulis seperti ini lebih banyak diisi dengan hal-hal yang berhubungan dengan budaya.

Novel setebal 552 halaman ini berkisah tentang hilangnya sebelas wisatawan Amerika di Burma. Sosok pencerita adalah arwah Bibi Chen yang 'turut serta' dalam rombongan itu. Perjalanan itu telah direncanakan jauh hari sebelum Bibi Chen meninggal dan ia merupakan pemimpin rombongan tersebut. Menurut saya tidak ada klimaks atau antiklimas dalam novel ini. Semua datar. Tapi penggambarannya tidak membosankan karena saya selalu suka dengan sejarah dan budaya.

Sebelas wisatawan itu diculik oleh masyarakat asli Burma, suku Karen. Mereka juga menyebut dirinya Laskar Tuhan. Salah satu dari rombongan itu dipercaya merupakan Saudara Muda Berkulit Putih, Rupert. Mereka percaya bahwa Rupert akan menyelamatkan mereka, membuat mereka tidak terlihat, dan tidak bisa ditembus oleh peluru-peluru tentara militer yang mengincar mereka. Mereka korban dari rezim militer di Burma pada masa itu.

Saya tertarik dengan penjelasan mengenai kepercayaan-kepercayaan di Burma dan di Cina. Sebelum ke Burma, rombongan itu mengunjungi salah satu daerah di Cina. Mereka sangat menghormati tempat-tempat pemujaan, pagoda, stupa, dan sebagainya. Tidak hanya masyarakat setempat yang menghormatinya, wisatawan juga diharuskan menghormati tempat-tempat pemujaan itu.

Di akhir kisah, diceritakan bahwa rombongan wisatawan itu selamat. Mereka belajar banyak selama 'diculik' di Tempat Tak Bernama oleh suku Karen. Tidak hanya menguatkan satu dengan yang lainnya, mereka juga membantu suku Karen lepas dari jerat militer.

Friday, July 29, 2011

Bersama Keponakan

Kemarin lusa saya bertemu dengan salah satu keponakan saya, Cikal namanya. Ibu Cikal teman sejurusan saya. Sejak kelahirannya, saya tidak pernah beruntung bertemu dengan Cikal, sampai kemarin. Umurnya sudah delapan bulan. Dengan mata yang besar dan pipi yang tembam, saya tidak bisa mengalihkan mata saya dari wajahnya. Terlebih ketika melihat ia tertawa dengan gelinya. Lucu. Lucu sekali.

Karena tidak ada tempat untuk bermalam, saya menawarkan kamar kosan saya. Dan di sinilah kami bertiga semalam.

Semalam saya tidak bisa tidur. Mungkin karena saya tidak terbiasa tidur bersama bayi yang ada di sebelah saya. Sedikit gerakan darinya saja bisa membuat saya membuka mata. Saya rasa saya takut dengan gerakan saya berguling-guling di kasur untuk mendapatkan posisi yang tepat ketika tidur dapat membangunkannya.

Beberapa kali Cikal menangis. Refleks tangan saya mengelus-elus punggungnya. Ibunya terlihat santai. Jelas, ia ibunya dan ia sudah tidur dengannya selama delapan bulan dan hampir sepuluh bulan menyedikan tempat di perutnya.

Saya pikir, mungkin ini yang terjadi pada setiap ibu yang baru memiliki bayi. Saya sendiri tidak berpikir untuk memiliki satu bayi pun. Saya terlalu takut untuk menjadi ibu yang salah. Oh, abaikan pernyataan saya ini :)

Pengalaman semalam menyenangkan sekali. Meskipun kurang tidur, ketika Cikal bangun rasa kantuk saya hilang. Saya dapat bermain dengan puas bersamanya. Saya mendapatkan tawa yang lebih banyak dan lebih lama darinya. Dan baunya itu memenuhi kamar saya.

Hal yang paling menarik dari Cikal adalah rasa ingin tahunya terhadap bunyi-bunyian. Ketika ia dinyanyikan sebuah lagu, atau saya mengetukkan tangan saya di meja, menggoyang-goyangkan tangan saya, matanya yang besar melihat dengan rasa ingin tahu. Lalu ia akan mulai tersenyum dan tertawa, memamerkan gusinya yang masih merah itu.

Peluk dan cium dari tante di sini buat Cikal :)

Ibu Penjaga Kosan

Karena koneksi modem yang tiba-tiba aneh sejak hari Rabu, saya tidak bisa mem-posting sebuah cerita yang ingin saya bagikan kepada kalian. Kali ini, koneksi modem cukup bersahabat. Baiklah...

Beberapa hari yang lalu saya bermain ke kosan teman yang letaknya tidak jauh dari kosan saya. Saya sering ke sana. Cukup tahu apa yang mesti diperbuat dengan keadaan di sekitar sana. Tapi, hari itu, saya baru mengalami kejadian yang sama sekali tidak pernah terjadi pada saya. Saya dan teman-teman saya dimarahi oleh ibu kosan itu. Hmmm... Begini ceritanya.

Abi, sebut saja begitu, sedang mengerjakan skripsinya dengan netbook-nya di lantai. Dari netbook-nya terdengar lagu-lagu yang lembut. Di sudut lain, di depan komputer, Abe, sebut saja begitu, sedang berselancar di dunia maya sambil mendengarkan lagu-lagu rock. Muncullah rasa jahil Abu, yah, sebut saja begitu, yang sedang duduk di kasur bersama saya. Dia mengambil gitar dan memainkan nada-nada yang campur aduk. Jadilah isi kamar itu suara-suara lagu yang tidak bisa diketahui alirannya.

Tidak berapa lama, muncul ibu kos di depan pintu. Dua-tiga detik berdiri, kemudian dia berkata (kurang lebihnya seperti ini), "Ibu dari tadi dengar suara gitar. Tolong ya, jangan main gitar lagi. Ibu ngga mau ada berisik-berisik suara gitar lagi. Lagian ini sudah mau magrib. Ibu sedang tidak enak badan. Tolong ya.". Dan berlalulah ibu kosan itu, tertinggalah rasa tidak nyaman dalam kamar yang kami berempat tempati.

Saya sudah sering mendengar bahwa ibu kosan itu memang tidak menyenangkan, dan akhirnya saya tahu seberapa tidak menyenangkannya ibu kosan itu. Kami berempat serentak tidak bisa berbicara. Lalu mulai mengeluarkan komentar dan (mungkin) menjelek-jelekan ibu kosan.

Saya aneh. Kalau memang ia ingin mencari ketenangan, kenapa tidak tinggal di kamar paling belakang yang pasti terjamin kesepiannya. Dan setahu telinga saya, suara gitar yang dihasilkan dari petikan tangan Abu tidak seberapa kencang. Lalu akhirnya saya juga tahu bahwa alasan 'ibu sedang tidak enak badan' itu memang sering diungkapkannya bila ia tidak ingin mendengar suara berisik. Alasan lain adalah 'anak ibu sedang tidak enak badan'.

Saya tidak tahu apakah benar ibu itu atau anaknya tidak enak badan atau memang hanya alasan yang ia buat saja. Saya hanya tidak suka cara ibu itu berbicara seolah-olah kami ini pengganggu besar yang terpaksa ia tampung di kosan yang dijaganya. Kalau ia membuat-buat alasan anaknya sedang tidak enak badan, sekejam apakah ibu itu hingga menjadikan anaknya sebagai tameng dari ketidakinginannya diganggu. Ckckckck...

Efek yang dihasilkan dari 'teguran' itu berlangsung lama, sampai akhirnya saya pulang. Suasana di kamar itu jadi tidak enak. Kami yang ingin bernyanyi atau tertawa keras-keras berusaha menjaga volume suara agar tidak mengganggu ibu penjaga kosan.

Saya hanya berharap semoga ibu kosan itu bosan dengan lingkungan kosan dan mencari rumah sendiri di daerah sepi dan tenang.

Tuesday, July 26, 2011

Rapunzel, A Tangled Tale

Sedikit terlambat sepertinya, tapi saya baru menonton film Rapunzel, A Tangled Tale. Film ini asik. Mengingatkan saya pada kisah-kisah yang saya baca ketika muda dulu (lho) dan memang film ini diangkat dari kisah-kisah dongeng yang mungkin dibacakan oleh orangtua kepada anaknya ketika akan tidur.

Saya bertanya-tanya bagaimana bisa seorang perempuan memiliki rambut sepanjang itu. Rambut keemasan yang ajaib. Tentu saja bisa. Semua yang ada di imajinasi bisa dibuat seperti apapun. Imajinasi toh tidak merugikan siapa pun. Jadi saat ini saya berimajinasi memiliki rambut panjang seperti Rapunzel. Tidak emas, tapi hitam. Tidak ajaib juga tidak apa-apa. Tapi jika ajaib, itu lebih baik. Hahahaha... Kalau rambut saya dipotong, dia akan berubah warna menjadi keemasan. Berbalik dari rambut Rapunzel.

Pada dasarnya film ini ingin mengajarkan kita untuk memandang hal dari sudut pandang yang lain. Ini menurut saya. Rapunzel mengenal dunia dari ibunya. Sehingga ia menjadi percaya bahwa dunia di luar rumahnya begitu jahat. Ia tidak berani berpikir yang lain karena ia takut. Tapi ketika ia mendapatkan kepercayaan dirinya dan didorong oleh sebuah keinginan, ia mencoba untuk mencari tahu seperti apa dunia di luar itu. Dengan bantuan Flynn, dia pun berhasil.


Lagu-lagunya juga indah. Klasik, menarik, mudah dicerna, dan mengajak kita untuk turut bersenandung. Saya suka lagu-lagu dalam film ini. Sebaiknya saya mencarinya nanti.

Saya selalu suka dengan dongeng. Dongeng mengajarkan saya untuk terus berimajinasi dan berkreasi dengan apa yang saya miliki. Ia tidak terbatas pada kata, pada waktu, pada tempat, tidak terbatas pada apapun. Imajinasi itu tidak mengharapkan kepintaran, yang diharapkan hanyalah kejujuran dan keinginan. 

Jangan lupa untuk nonton filmnya ya. Jangan lupa juga untuk berimajinasi. Toh itu tidak merugikan :)

Sunday, July 24, 2011

Our Deepest Fear (Marianne Williamson)

“Our deepest fear is not that we are inadequate. Our deepest fear is that we are powerful beyond measure. It is our light, not our darkness that most frightens us. We ask ourselves, Who am I to be brilliant, gorgeous, talented, fabulous? Actually, who are you not to be? You are a child of God. Your playing small does not serve the world. There is nothing enlightened about shrinking so that other people won't feel insecure around you. We are all meant to shine, as children do. We were born to make manifest the glory of God that is within us. It's not just in some of us; it's in everyone. And as we let our own light shine, we unconsciously give other people permission to do the same. As we are liberated from our own fear, our presence automatically liberates others.”

Saya menemukan kalimat di atas dari film Akeelah and The Bee. Saya begitu penasaran dengan teks tersebut sehingga saya mencarinya. Hasilnya, ternyata kalimat-kalimat itu begitu menakjubkan.

Silakan tonton filmnya dan kemudian baca novelnya. Dua-duanya menarik dan tidak membosankan.

NZT

Saya butuh NZT. Mungkin tiga atau empat butir cukup. Dua butir untuk mengerjakan skirpsi, satu butir untuk sidang sarjana, dan satu lagi untuk keberuntungan. Hahahaha...

Ini efek nonton film Limitedless yang aduhai itu.

Padahal nonton film itu baru dua kali, tapi NZT melekat begitu kuat.

Ini efek lain dari keputusasaan juga sepertinya.

Selamat malam :)

Saturday, July 23, 2011

Sarjana

Kemarin, beberapa teman saya sidang skripsi. Dua orang teman seangkatan saya, dua orang teman di atas angkatan saya, dan dua orang teman di bawah angkatan saya. Lagi-lagi saya tidak tahu apakah perasaan saya itu senang atau sedih. Keduanya hanya beda tipis, mungkin setipis rambut yang dibelah tujuh. Perasaan itu lalu-lalang di sepanjang hari.

Memberikan mereka semangat di kala sidang sudah merupakan kewajiban bagi saya. Tapi entah kenapa, kemarin saya agak ragu ke kampus. Saya seolah mendapatkan suatu perasaan bahwa akan ada sesuatu di sana. Hal ini pasti berhubungan dengan belum lulusnya saya.

Saya mencoba menjauh dari beberapa dosen. Tapi takmungkin. Beberapa dosen mulai menyapa dan menanyakan kapan saya akan lulus. Rasa bersalah dan malu saya tunjukan dengan tawa dan mimik muka lucu. Beberapa kalimat gurauan pun saya buat untuk menjadi tameng. Saya tidak tahu apa jawaban yang harus saya berikan.

Beberapa waktu lalu teman saya bercerita bahwa ia dan beberapa orang teman pun membicarakan saya. Mereka bertanya-tanya sebenarnya apa yang saya tunggu. Saya bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya saya tunggu saat ini. Saya tidak punya target sehingga saya pun tidak bisa menjawab pertanyaan tentang itu. Saya gagu.

Awalnya saya menetapkan target itu di depan mata saya. Tapi bulan demi bulan berlalu dan saya masih di sini. Akhirnya saya putuskan menjauhkan target itu. Saya hanya pastikan bahwa waktu itu akan tiba, cepat atau lambat dia akan tiba dan saya percaya bahwa ia akan indah pada waktunya.

Sebuah tamparan lain datang kemarin. Seorang teman yang sidang dari angkatan di bawah saya bertanya, "Sekarang kerja di mana?". Bang! Saya serasa dihantam dengan pohon tumbang. Dengan sigap, lelucon, dan serius saya seketika menjawab, "Pale lo kerja. Lulus aja gw belom.". Hahahahaha... Kasar? Ya, saya memang kasar. Tapi kasar dengan jujur itu perbedaannya tidak kalah tipis dengan senang dan sedih.

Mungkin seharusnya saya bangga karena saya sudah diharapkan lulus entah dari kapan. Tapi kembali lagi ke pertanyaan teman-teman saya, saya tidak tahu apa yang saya tunggu sebenarnya. Teman-teman yang lebih beruntung keluar dari bangku kuliah ini membuat saya makin bertanya-tanya apa yang sebenarnya saya tunggu.

Yudisium dibacakan. Semua teman yang sidang lulus dengan hasil yang tidak mengecewakan. Saya senang. Saya sedih. Dan keluar dari ruang sidang, saya hanya bisa menghela nafas. Rasanya makin lama makin terasa berat keluar dari ruang sidang itu. Bulan demi bulan dan rasanya dada saya semakin sesak dengan ketidaktahuan dan ketidakpastian. Rasanya semakin berat harus merelakan teman pergi terlebih dahulu.

Saya sedang berjalan bersama angin sepoi-sepoi di suatu sore. Menikmati mereka bermain-main di pipi saya. Ujung jalan itu taktampak. Saya taktahu apakah ia berbelok ke kanan, ke kiri, atau lurus sampai suatu akhir yang indah. Saya bahkan taktahu apakah itu ternyata sebuah jalan buntu dengan tembok bata tinggi yang tidak bisa saya jangkau. Saya hanya sedang berjalan bersama angin. Melihat bayang-bayang menari dengan sinar matahari senja.

Thursday, July 21, 2011

Pengalaman Tidak Terduga Lainnya

Saya tiba-tiba teringat sebuah catatan di tahun 2009. Angkot yang berbeda, tujuan yang berbeda, dan pengalaman yang berbeda. Kali ini yang saya temui adalah anak SD. Silakan menikmati :)


-Jatinangor, 24 Agustus 2009, 23.39 PM-


Tadi siang saya melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Dari Jatinangor ke alun-alun kota Bandung. Dari alun-alun ke Gedebage. Saya ingin berbagi rasa ketika saya berada di angkutan umum. 

Saya naik angkot jurusan Stasiun Hall – Gedebage. Di tengah perjalanan naiklah segerombolan anak-anak SD. Anak-anak yang riang meskipun udara sangat panas dan mereka sedang berpuasa. Gerombolan itu terdiri dari satu laki-laki dan lima perempuan. Mereka masuk dengan tertawa, dengan canda. Senang rasanya melihat canda dan tawa mereka. Tawa mereka membuat saya sejenak melupakan panas di dalam mobil itu. 

Yang menjadi pusat perhatian saya adalah anak laki-laki. Anak itu berbadan lebih kecil dibandingkan teman-teman perempuannya. Wajar, karena pertumbuhan anak perempuan jauh lebih cepat. Anak itu penuh dengan canda. Teman-teman perempuannya dibuatnya tertawa karena candaan dan isengannya. Anak itu memamerkan sebuah koin satu sen. Dia menawarkan uang itu kepada teman-temannya. Dan dengan lugunya ada satu anak perempuan yang membeli uang satu sen itu dengan selembar uang seribuan. Sambil tertawa anak laki-laki itu memberikan uang satu sen itu dan berkata bahwa dia telah berbohong. Meledaklah tawa mereka di dalam mobil itu. Dan saya juga ikut tersenyum melihat adegan manis itu. 

Lalu saya berpikir, apakah saya dulu seperti mereka? Rasanya tidak. Dulu saya naik jemputan. Mungkin banyak teman yang satu jemputan dengan saya, tapi saya tidak merasakan sensasi bahagia seperti mereka. Mereka yang masih SD itu sudah mandiri, pulang naik angkutan umum. Dan pikiran lain lewat, ke manakah orangtua mereka? Mengapa anak sekecil itu dibiarkan pulang naik angkutan umum? Yah, biarlah orangtua mereka yang menjawab.

Lalu kelima anak perempuan itu turun. Rupanya mereka hendak mengunjungi rumah salah satu temannya. Tinggallah anak laki-laki itu sendiri. Anak itu kemudian pindah tempat duduk. Dengan lucunya anak itu menggenggam koin satu sen dan kemudian berkomat-kamit. Entah apa yang ia maksudkan. Tapi adegan itu membuat saya kembali tersenyum. Lugunya anak laki-laki itu membuat saya iri.

Setelah bosan, anak itu memejamkan mata. Mungkin dia mengantuk. Udara yang panas dan perjalanan yang panjang membuatnya mengantuk. Tiba-tiba dia tersentak bangun dan menyadari bahwa dia sudah melewati tempat yang seharusnya dia turun. Dengan berbegegas dia menghentikan mobil dan turun. Lagi-lagi saya tertawa melihat kejadian itu. Dan panas pun mulai menyerang saya, dan saya merasa kehilangan peristiwa yang unik itu.

Saya berpikir, jika saya tetap berpikiran seperti mereka apa jadinya. Mereka yang masih lugu membuat saya terkagum-kagum akan keluguan mereka itu. Tanpa pikir panjang apa yang mereka pikirkan langsung mereka utarakan atau mereka lakukan. Sejenak saya iri dengan mereka. Namun saya tahu bahwa masa-masa seperti itu sudah lewat. Saya sudah lebih dahulu mengalami masa-masa seperti itu. Dan mudah-mudahan saja ketika mereka dewasa, mereka bisa bertemu dengan peristiwa manis itu. 


Pengalaman Tidak Terduga

Rusaknya kartu perdana saya mengakibatkan komunikasi yang tidak lancar. Entah kenapa tiba-tiba si kartu rusak. Mungkin memang sudah waktunya.

Kemarin, saya dan dua orang teman saya (sebut saja Bunga dan Mawar) ke Bandung. Kami melunasi janji kami bertiga untuk memuaskan lapar kami di salah satu mall di Bandung. Saya pun sekalian pergi ke galeri perdana saya untuk menukar kartu perdana. Sayangnya, stok kartu dengan nomer seperti saya ternyata habis. Pulanglah kami ke Jatinangor.

Dari seorang teman saya tahu bahwa di dekat Jatinangor, di Rancaekek juga ada galeri yang sama. Saya putuskan untuk pergi ke sana tadi siang.

Dengan bekal denah yang kurang jelas, tidak adanya sarana komunikasi, dan saya mengabaikan pertolongan teman saya untuk menemani saya (saya tidak ingin merepotkan), saya pun naik angkot menuju Rancaekek.

Kata teman saya (sebut saja Melati), saya tinggal duduk manis sampai angkot itu berhenti. Saya ragu, karena saya tidak tahu di mana angkot itu akan berhenti akhirnya. Jatinangor pun menghilang, masuklah saya ke Rancaekek. Galeri yang saya cari belum terlihat.

Tiba-tiba, saya merasa bahwa saya telah salah jalan. Cari-cari, saya sudah di Majalaya. Hahaha... 

Saya putuskan untuk turun. Ternyata tempat saya turun agak aneh. Di depan pabrik-pabrik yang sepi. Sambil menunggu angkot yang akan mengantar saya kembali, saya jadi pusat tontonan pengguna kendaraan di sana. Saya tahu pasti aneh, karena saya berdiri di tempat yang tidak tepat. Hahahaha...

Datanglah angkot tujuan saya. Isinya penuh dengan anak SMP. Sebelas orang di belakang dan satu orang di depan. Angkot itu penuh dengan celotehan mereka. Saya tiba-tiba dilanda rindu.

Satu persatu turun. Tinggal beberapa orang lagi. Dua orang sedang membicarakan temannya, sepertinya teman laki-lakinya, tiga orang sedang membicarakan gurunya yang galak, sudah tua, tapi belum juga menikah, satu orang lagi sedang duduk sendirian di pojok angkot. Saya duduk di tengah-tengah mereka, dengan baju hitam dan celana jeans hitam. Rasanya mencolok sekali di antara siswa-siswa itu.

Saya tersenyum ketika mereka membicarakan lawan jenisnya. Dari percakapan itu saya tahu ada gejolak suka di sekitar mereka. Ini pasti masa-masa mereka puber. Mereka mulai melirik lawan jenis dan lawan jenis itu pasti dekat sekali dengan lingkungan pergaulan mereka.

Saya jadi teringat ketika masa SMP hal seperti itu juga terjadi pada saya dan teman-teman saya. Saya hanya bisa tersenyum ketika membandingan anak-anak SMP di angkot tempat saya berada dengan teman-teman dan saya sendiri. Hal ini sungguh menyenangkan.

Lalu mereka turun, tinggal seorang anak perempuan di pojok angkot. Sesampainya di jalan besar, ia turun. Ia memberikan uang Rp10.000 kepada sopir angkot dan sopir memberikan kembalian. Setelah anak itu menghitung kembalian, ternyata kembalian yang diberikan berlebih, ia kembali lagi ke sopir angkot dan memberikan Rp1.000 yang lebih itu. Saya terharu. Saya bangga kepada anak perempuan itu. Ia jujur dengan hatinya yang jujur. Ah, saya rasanya saat itu juga ingin memeluk anak perempuan itu.

Dalam sebuah perjalanan singkat saya telah diajarkan banyak hal. Yang awalnya saya kesal karena kartu perdana saya rusak, saya malah bersyukur bertemu dengan anak-anak manis itu dan sopir angkot yang baik dan lucu. Sopir angkot itu tidak segan-segan ikut masuk dalam pembicaraan anak-anak kecil. Saya tidak bisa melihat matanya dari kaca spion karena ia memakai kacamata. Dari dari senyum-senyum di bibirnya, saya tahu ia juga menikmati pembicaraan anak-anak itu seperti juga saya yang menikmati pembicaraan mereka.

Sepertinya, saya harus sering-sering melakukan perjalanan tidak direncanakan seperti itu. Siapa tahu saya akan menemukan hal baru yang sama menyenangkannya seperti hari ini.

FYI, kartu perdana saya sekarang sudah aktif lagi. Saya senang J

Tuesday, July 19, 2011

Takada yang lain selain Merindu Kalian

merindu kalian
                                                                     
Yang Fana adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
        Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?
tanyamu. Kita Abadi.

                                (1978)
  Sapardi Djoko Damono

Don't Stop Believing

Masih banyakkah di antara kalian yang dulu semasa kecil dibacakan sebuah cerita sebelum tidur? Berbahagialah kalian yang pernah merasakannya karena saya tidak pernah sekali pun dibacakan sebuah cerita sebelum tidur. Saya membayangkan seperti apakah rasanya saat-saat itu. Mungkin itu akan menjadi saat-saat yang saya nantikan sebelum tidur karena saya suka cerita. Apa pun cerita itu. Mungkin nanti, setelah saya punya anak saya akan membacakan beribu-ribu cerita kepadanya sebelum ia tidur.

Semalam, saya menonton Bedtime Stories (entah keberapa kalinya) sebelum saya tidur. Berharap dengan menonton film itu saya dapat mimpi indah. Namun, jejak yang ditinggalkan tidak begitu indah. Saya malah banyak berpikir apakah hidup itu juga semudah film-film yang saya tonton.

Kalimat "Tidak ada akhir yang bahagia di dunia nyata" sangat mengena bagi saya. Saya sering berpikir seperti itu. Ya, saya pesimis. Saya tidak bisa disalahkan bukan? Lihat saja sekeliling kalian. Banyakkah kehidupan yang benar-benar indah? Melihat mereka kadang merupakan cermin bagi saja. Kesedihan, keterpurukan, dan mungkin itu berlebihan. Hahahaha...

Tapi, ada satu kalimat lagi yang sangat mengena bagi saya, "Don't stop believing". Ya, kadang kita berhenti percaya pada diri kita sendiri, pada orang lain, pada apa pun yang kita yakini. Beberapa bulan ini saya sering tidak percaya pada banyak hal. Yang paling sering terjadi adalah saya tidak percaya pada diri saya sendiri. Efeknya, percaya pada orang lain pun terkadang sulit.

Percaya padahal cuma-cuma. Tidak ada takaran harga yang pantas. Itu yang saya lupakan. Saya lupa untuk percaya. Saya mungkin bersyukur, tapi kadang saya lupa untuk percaya. Sesakit apakah sehingga saya lupa untuk percaya? Saya tidak bisa menjawabnya. Saya kadang membangun tembok dari besi baja, untuk keselamatan saya sendiri mungkin. Saya kadang tidak tahu mengapa saya membangun tembok seperti itu.

Hahahaha...

Kadang tulisan ini pun membuat saya tidak percaya mengapa saya bisa menulis demikian.

Selamat siang. Semoga hari kita baik senantiasa. Semoga saya tidak berhenti untuk percaya dan berharap bahwa ada kebahagian di akhirnya nanti. Don't stop believing!

Monday, July 18, 2011

Detak Jantung

Buka jejaring sosial Facebook lagi-lagi membuat saya sedih bercampur senang. Satu lagi teman saya yang mengganti foto profilnya dengan foto dia menggunakan toga. Melihat recent update di status BBM juga sedih bercampur senang. Seorang teman baru mengganti display picture dengan foto ia menggunakan toga. Hhhh... Saya hanya bisa menghela nafas dan bertanya pada diri sendiri, "Kapan foto lo kaya gitu, Fe?".

Oke, ini sebuah kecemasan (atau kegalauan) saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tuhan memang bersama mahasiswa tingkat akhir, tapi Dia juga bersama mahasiswa di bawah tingkat akhir dan di bawahnya juga dan di bawahnya lagi dan lagi dan lagi. Hanya percaya tanpa usaha pun hasilnya tetap nihil.

Mendapat kabar bahwa beberapa teman akan sidang tanggal 22 Juli ini pun membuat saya senang sambil ketar-ketir. Terlebih mendapat kabar bahwa adik angkatan saya pun ada yang turut sidang. Tiba-tiba kepala saya pusing dan badan saya lemas. Saya dan teman-teman saya yang masih bertahan mulai didahului. Rasanya ingin teriak dan mengatakan "Kamu masih ada tahun depan, Dik!". Hahahaha...

Rasanya sungguh bodoh memikirkan hal itu. Yang membuat saya berbeda dengan adik angkatan itu adalah ia rajin mengerjakan skripsi dan saya rajin membaca novel, nonton film, bermain bersama teman, dan malas mengerjakan skripsi. Hahahaha...

Oke. Ini sekadar curhatan galau di sore hari. Mari mandi dan memulai hari. Belakangan ini siang menjadi pagi dan subuh menjadi malam. Ini pilihan saya dan saya menikmatinya (jika tidak melihat ada teman lagi yang memakai toga). Ini sebuah kejujuran :P

Sunday, July 17, 2011

The Lovely Bones Movie


Baru saja saya selesai menonton film The Lovely Bones. Filmnya tidak berkesan, jauh dibandingkan dengan novelnya. Banyak adegan dalam novel yang tidak tertampung dalam film ini. Adegan-adegan yang tidak dipindahkan dalam film kemudian membuat film ini sedikit berbeda dengan novelnya.


Tidak jelas batas antara bumi dengan dunia lain tempat Susie setelah meninggal. Sehingga gambaran-gambaran antara keduanya jadi tidak jelas dan hanya berdasarkan kebetulan-kebetulan. Klimaks dan antiklimaks pun kurang. Sayang sekali padahal ceritanya sudah begitu bagus. Tapi saya rasa memang sulit untuk memindahkan situasi dalam novel ke dalam media film, terutama bagian dunia tempat Susie berada setelah ia meninggal.

Ya, tulisan ini begitu tergesa-gesa, tapi saya memang tidak terlalu berkesan dengan filmnya. Menurut saya, bacalah bukunya :P

The Lovely Bones



"Namaku Salmon, seperti nama ikan, dan nama depanku Susie. Umurku empat belas saat dibunuh pada tanggal 6 Desember 1973."

Novel ini dibuka dengan kalimat di atas. Seketika saya langsung menyukainya. Itu tidak lazim sebagai kalimat pembuka sebuah novel. Novel ini, The Lovely Bones karya Alice Sebold, merupakan novel yang menakjubkan.

Mungkin saya membacanya begitu terlambat karena buku ini diterbitkan pertama kali di Indonesia tahun 2008 dan saya membacanya hari ini. Terlebih lagi novel ini sudah difilmkan, bahkan saya lebih dahulu mempunyai film daripada bukunya. Saya belum menonton film itu karena kebiasaan buruk saya. Jika saya tahu suatu film diangkat dari sebuah novel atau cerpen, saya tidak akan menontonnya sampai saya membaca dahulu bukunya.

Novel ini begitu dinamis. Ia tidak statis pada kemungkinan-kemungkinan pikiran saya. Saya yakin pengarangnya begitu cerdas.

Ketika kita membaca novel detektif, kita akan dibawa ke hasil akhir di akhir cerita, misalnya ketika itu merupakan kasus pembunuhan maka di akhir cerita akan ada pelaku pembunuhan; ketika itu merupakan kasus pencurian maka di akhir cerita akan ada tersangka pencurian. Tapi di novel ini, kita akan tahu siapa pembunuhnya dan bagaimana korban dibunuh di awal cerita. Saya menebak akan dibawa ke mana cerita ini.

Novel ini tidak sakadar menceritakan bagaimana pembunuhnya dengan cerdik dapat menutupi pembunuhannya dan bahkan ia tidak pernah ditangkap. Saya pikir mungkin di akhir cerita si pembunuh itu akhirnya akan tertangkap, namun penulis lebih memilih menceritakan kematian si pembunuh itu sesaat sebelum ia melakukan pemerkosaan dan pembunuhan lainnya.

Susie adalah pencerita dalam novel ini. Setelah ia mati, ia pindah ke alam yang lain. Ia bertemu dengan arwah-arwah yang lain, bahkan ia berteman dengan arwah yang seusia dengannya. Ia dapat melihat orang-orang yang ia kasihi tapi mereka tidak bisa melihat Susie. Susie dapat meminta apa saja di alam barunya, kecuali satu, kembali ke bumi.

Ada kisah yang lebih dalam dari sakadar cerita pembunuhan Susie. Novel ini mengisahkan kehancuran keluarganya setelah ia mati. Susie tahu semua permasalahan setiap anggota keluarganya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Kematiannya membuat Susie dan keluarganya menjadi terkenal. Tapi kehilangan itu pula membuat keluarganya kacau. Ayah dan ibunya yang tidak bisa menerima kematian Susie mulai tidak bisa berkomunikasi satu dengan yang lainnya, mereka tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Adik perempuan Susie, Lindsey, mejadi sorotan di SMP-nya karena ia adalah adik dari korban pembunuhan yang tidak pernah terjadi di daerah mereka tinggal. Buck, adik laki-laki Susie, menyimpan caranya sendiri untuk mengenang kakaknya.

Hubungan aneh pun terjadi pada Ray dan Ruth setelah kematian Susie. Mereka menjadi sahabat. Ray adalah cinta pertama Susie, begitu pula sebaliknya, dan Ruth adalah seorang teman yang pertemuannya begitu singkat namun mengesankan keduanya. Hubungan ini menjadi pemanis lain dalam novel ini.

Saya mengharapkan akhir yang happy ending seperti, pembunuh Susie, George Harvey, tertangkap dan dijatuhi hukuman mati karena ternyata Susie bukanlah korban satu-satunya dan tulang-tulang Susie, yang dibuang oleh George, dapat ditemukan sehingga rasa kosong dalam keluarga Salmon dapat tertutupi. Namun nyatanya George Harvey mati dan tulang-tulang itu tidak ditemukan.

Meskipun Susie tidak dapat tumbuh di alam lain itu, ia bisa menyaksikan keluarga dan teman-temannya tumbuh dan bertambah tua. Ibu dan ayahnya bersatu kembali, Lindsey menikah dengan pacarnya, Samuel, dan memiliki anak, Buck sedang mengalami masa remajanya dengan persoalnya pada kepercayaan dirinya, Ray menjadi dokter, dan Ruth menjalani apa yang ia yakini. Kekosongan keluarga itu pun dapat diisi kembali dengan cinta.

Pembunuhan, kematian, kehilangan, pendewasaan, cinta, dan keputusasaan diracik dengan ringan dan menyatu dengan yang lainnya. Awal dan penutup yang tidak terduga. Bahkan ceritanya pun tidak bisa diduga. Entah ini sebuah novel detektif ataukah novel romantis, kisahnya mengagumkan.

Thursday, July 14, 2011

Pengaruh Iklan Shampoo, Pemutih Tubuh, dan Pelangsing Tubuh pada Banyak Perempuan di Indonesia


Keberadaan media di Indonesia tidak lepas dari iklan-iklan yang sudah menjadi bagian di dalamnya. Dengan iklan, media-media tersebut menjadi lebih berkembang dan dapat mencapai target yang diharapkan. Masyarakat kini sudah terbiasa dengan adanya iklan. Dari brosur yang disebarkan, baliho dan spanduk yang ada di pinggiran jalan, sampai koran, radio, dan televisi banyak memasang iklan dengan tujuan tertentu.
            Iklan yang dibuat secara persuasif, tentu memikat keingintahuan masyarakat akan produk yang diiklankan. Dengan warna yang mencolok, dengan kata-kata yang menarik, bahkan dengan pamor artis, iklan-iklan itu menawarkan produknya. Dengan demikian, akan banyak masyarakat yang terpengaruh dan akhirnya membeli produk itu meskipun mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Contohnya saja iklan yang menjual produk kecantikan untuk wanita.
            Tidak dapat dipungkiri keberadaan iklan selain sebagai sumber informasi, juga merupakan hiburan tersendiri. Namun dengan banyaknya iklan yang ditawarkan, masyarakat tidak lagi peduli dengan penawaran maupun tampilan iklan tersebut, kecuali iklan itu dibuat dengan sangat kreatif sehingga dapat menarik perhatian dan membuat masyarakat teringat pada iklan tersebut. Iklan dapat membantu mencapai sebagian besar sasaran komunikasi.
Tayangan-tayangan iklan yang menarik menjadikan pikiran masyarakat tertuju pada produk yang telah disampaikan. Iklan memiliki pengaruh yang sangat luar biasa terhadap masyarakat. Iklan adalah alat paling jitu untuk memperkenalkan sebuah produk pada konsumen. Yang sebelumnya tidak tertarik serta tidak mengetahui jadi tertarik akibat pengetahuan akan iklan tersebut. Upaya untuk meningkatkan konsumsi secara massal melalui publikasi media massa dalam bentuk iklan.
Televisi merupakan sarana penunjang iklan yang tidak asing lagi. Iklan menonopoli media televisi karena mungkin televisi merupakan media yang paling dekat dengan masyarakat. Hampir semua orang mengenal televisi. Orang yang buta huruf pun dapat menikmati media televisi dari suaranya. Dengan adanya televisi, maka iklan pun makin berkembang dengan pesat.
Iklan sudah bukan barang baru lagi dalam pertelevisian Indonesia. Bahkan iklan telah beranjak dari posisinya yang hanya “jualan” menjadi bagian dari tontonan. Dengan durasi yang hanya beberapa saat, iklan bagaikan sebuah drama pendek dengan berbagai tema romantis, komedi, bahkan horor. Salah satu tayangan mendominasi layar kaca adalah iklan-iklan kosmetik. Tidak terhitung banyaknya iklan yang mengangkat tema seputar tubuh wanita ini. Mulai dari iklan shampoo hingga iklan deodoran.
Seiring dengan perkembangan kebudayaan dan pemikiran masyarakat, kecantikan seorang wanita pun dinilai semakin berkembang. Pada masa lalu, wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki badan yang gemuk dan berisi, namun pada masa sekarang, image kecantikan wanita sudah bergeser. Saat ini, wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki tubuh yang tinggi dan langsing, rambut indah terurai, dan kulit yang putih. Keberadaan image wanita cantik saat ini juga tidak lepas pengaruhnya dari keberadaan iklan.
Satu teknik para pembuat iklan agar produk yang dipasarkannya bisa laku adalah memulai dengan perempuan-perempuan “tidak normal” sebagai ikon produknya. Dengan memamfaatkan psikologi kaum perempuan yang selalu menganggap diri dan tubuhnya tidak sempurna maka kesempurnaan tubuh seorang perempuan dalam iklan produk kecantikan dan perawatan tubuh dicitrakan dan diidealisasikan sebagai sosok seorang perempuan yang jauh berbeda dengan sebagian besar perempuan. Mereka jauh lebih tinggi, kulitnya jauh lebih putih dan halus, kakinya jauh lebih panjang, mereka jauh lebih kurus, dan sebagainya. Hasilnya, karena sebagian besar perempuan tidak seperti para model di iklan tersebut, maka mereka pun berlomba-lomba membeli produk-produk tersebut agar dirinya bisa seperti model di iklan tersebut.
Banyak iklan produk-produk kecantikan dan perawatan tubuh selalu menampilkan model yang memiliki profil yang digambarkan sebagai sosok perempuan sempurna. Di Indonesia selalu digambarkan dalam sosok perempuan tinggi, berkulit putih dan halus, memiliki ukuran pinggang yang kecil, sangat tinggi, berambut panjang, hitam dan lurus dsb menggantikan ikon perempuan cantik Indonesia sebelumnya yang digambarkan berkulit kuning langsat.
Dengan adanya image yang dibangun oleh sebuah iklan, perempuan sebagai sasaran iklannya akan terhegemoni dan terobsesi menjadi seperti model iklan tersebut. Banyak yang tidak peduli apakah hal tersebut sesuai dengan kepribadian masing-masing atau tidak. Hal kepentingan sudah digantikan dengan rasa butuh. Kebutuhan itu yang kemudian memacu konsumen untuk mengonsumsi produk-produk yang diiklankan.
Saya akan mengambil beberapa contoh iklan yang kemudian akan saya bahas. Iklan yang akan saya bahas adalah iklan shampoo, pemutih tubuh, dan iklan pelangsing yang belakangan ini membuat perempuan-perempuan Indonesia “tergiur”.
Iklan shampoo yang akan saya bahas adalah iklan shampoo untuk rambut lebih lurus, panjang, dan lebih indah. Dengan adanya image tersebut, banyak perempuan yang kemudian berbondong-bodong untuk meluruskan rambutnya. Muncullah trend me-rebonding­ rambut. Padahal belum tentu rambut yang lurus itu sesuai dengan bentuk wajah dan kepribadian pemiliknya. Banyak yang lebih mementingkan trend dibandingkan maksudnya sendiri.
Contoh lain terdapat pada iklan shampoo untuk rambut rontok. Iklan shampoo untuk rambut rontok mengajak masyarakat untuk membeli produknya karena bisa mengurangi rambut rontok dalam waktu cepat. Tapi jika kita perhatikan ada beberapa catatan kaki pada setiap iklan. Contohnya pada iklan Sunsilk. Slogan iklan tersebut adalah “Mengurangi rambut rontok dari 100 menjadi 2”, sungguh iklan yang menggiurkan bagi masyarakat yang mempunyai masalah pada kerontokan rambut. Tapi ternyata ada catatan kaki dalam iklan itu, yaitu “*rontok karena patah”.
Secara logika, ketika kita membaca catatan kaki tersebut, tidak semua masalah kerontokan dapat ditanggulangi dengan memakai produk dari iklan tersebut. Jika kita tidak membaca catatan kaki yang ditulis dengan huruf yang lebih kecil, kita pasti tergoda untuk menggunakan produk tersebut, padahal khasiatnya belum tentu benar.
Kebanyakan iklan shampoo untuk rambut rontok mempunyai catatan kaki yang sama, contoh lain iklan Dove. Selain catatan kaki tersebut, ada juga catatan kaki “*bila dipakai dengan teratur”. Setiap catatan kaki ditulis dengan huruf yang kecil dan munculnya pun sangat cepat sehingga tidak terlalu terlihat oleh kita. Ketika kita membeli dan ternyata hasilnya tidak sesuai yang kita harapkan, kita akan merasa sangat kecewa. Tapi itulah fungsi iklan, menyugesti masyarakat untuk tertarik pada produknya sehingga membelinya.
Iklan pemutih pun mendapat sambutan hangat bagi konsumennya. Banyak wanita berbondong-bondong untuk menjadikan kulitnya lebih putih. Bagi yang mempunyai banyak uang mungkin dapat memutihkan kulitnya di dokter yang terkenal dengan biaya-biaya yang tidak terduga. Dan yang tidak terlalu memiliki banyak uang, produk yang ditawarkan iklan pada suatu media akan sangat menarik minat pendengarnya. Produk yang ditawarkan tentu saja tidak mahal dan dapat terjangkau. Dan lagi-lagi dengan menggunakan model yang sudah dicitrakan sebagai sosok yang ideal.
Produk yang ditawarkan tentu beraneka macam dan beraneka keunggulan. Ada yang dapat memutihkan kulit dalam jangka waktu tertentu (dengan catatan kaki yang sangat kecil: *bila dipakai dengan teratur), ada yang dapat menjadikan kulit wajah tampak putih dan merah merona, dan sebagainya. Iklan-iklan ini yang mengajak perempuan membeli produknya.
Produk pemutih kulit pun banyak yang akhirnya malah menimbulkan koplikasi pada kulit seperti menjadi terlalu sensitif terhadap sinar matahari bahkan beberapa produk akhirnya ditarik oleh Departemen Kesehatan karena mengandung mercury yang memang bisa memutihkan kulit tapi akhirnya juga dalam mengakibatkan kanker.
Bahaya-bahaya seperti itu kadang tidak diperhatikan oleh konsumen sebelum menggunakan produk yang katanya dijamin aman. Rasa kebutuhan perempuan akan kecantikan menjadikan perempuan tidak mencaritahu efek samping apa yang dapat ditimbulkan jika menggunakan produk tersebut.
Dan yang terakhir adalah iklan untuk melangsingkan badan. Berbagai iklan ditampilkan dengan menarik. Dari iklan pelangsing yang dapat melangsingkan tubuh dengan cepat, sampai iklan pelangsing yang menggunakan bahan-bahan yang alami, yang tidak mempunyai efek samping yang negatif.
Bentuk badan yang diidealkan sekarang membuat perempuan terobsesi untuk membentuk tubuhnya menjadi lebih kurus. Banyak perempuan kemudian terlalu terobsesi untuk memiliki tubuh seperti yang ada pada model-model pada iklan tersebut. Mereka mulai melakukan diet ketat, bahkan ada sebagian perempuan akibat terlalu terobsesinya kemudian mengalami gangguan psikologis seperti penderita bulimia, mereka makan secara normal tapi kemudian berusaha memuntahkannya kembali. Dan sebagian perempuan lainnya ada yang sampai meninggal akibat kekurangan gizi dan asupan makanan akibat diet yang terlalu ketat.
Dengan besarnya minat konsumen pada iklan yang ditawarkan, membuat produsen juka turut berlomba-lomba menciptakan sebuah produk yang lebih baik lagi. Tidak jarang produk yang dihasilkan kemudian menjadi produk ilegal yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah. Disadari atau tidak, masyarakat selaku konsumen memiliki andil yang besar terhadap peredaran produk-produk tersebut. Kondisi ini menunjukkan hubungan sangat sederhana yaitu selama ada permintaan, penawaran akan terus belanjut.
Citra cantik dengan rambut yang panjang dan terurai, kulit putih merona, dan tubuh langsung sudah melekat pada pandangan sebagian perempuan di Indonesia. Tidak diperhitungkan dampak apa yang terjadi bila kita mengonsumsi produk-produk tersebut secara berlebihan.
Karena itu sangat diperlukan kampanye dan penyadaran bagi kaum perempuan untuk segera melepaskan diri dari citra-citra cantik yang diciptakan oleh para produsen produk kecantikan dan perawatan kulit yang akhirnya membelenggu konsep perempuan cantik dan ideal. Perempuan cantik tidaklah harus berambut panjang, hitam dan lurus, banyak perempuan yang berambut ikal, agak kemerah-merahan, pendek, dan sebagainya, yang tidak kalah cantik, perempuan bertubuh mungil pun seringkali tampak menarik. Tapi yang pasti tubuh perempuan haruslah menjadi milik perempuan itu sendiri, setiap perempuan itu unik dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. 

Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir

Awalnya, kemarin saya tidak berniat ke kampus, tapi setelah mendapat beberapa kabar bahwa kampus ramai, saya pun bergegas mandi dan berberes. Sebelum mandi, saya sedang mengubah posisi beberapa barang di kamar saya, untuk yang kesekian kalinya. Siapa tahu bisa menghasilkan sebuah inspirasi yang positif :P

Ternyata benar, kampus ramai. Mereka sudah berkumpul di Atep. Mungkin ini tempat favorit saya di kampus, penuh dengan kebersamaan. Dengan wajah memerah akibat kepanasan (Jatinangor panas!), saya hampiri mereka. Mereka teman-teman seangkatan saya, teman-teman satu angkatan di atas saya, dan beberapa teman dari jurusan lain.

Yang saya perhatikan tentu jumlah teman seangkatan saya. Kerinduan terhadap teman seangkatan itu tidak pernah habis. Bahkan kunjungan ke kampus pun menjadi kegiatan yang menyenangkan jika bisa menatap muka-muka yang familiar.

Mungkin bagi beberapa orang hal itu tidak ada yang spesial, tapi bagi saya dan mungkin bagi beberapa teman saya, ini hal yang spesial. Kami yang tertinggal (baca: belom lulus :P) hanya tersisa segelintir orang. Mungkin ketika melihat satu sama lain dapat menghasilkan suatu dorongan yang tidak kasat mata. Suatu semangat timbul, entah bagi diri sendiri, entah bagi orang lain.

Saya senang dapat bertemu dengan mereka, meski tentu saja sebenarnya orangnya itu-itu saja. Tapi posisi mereka di hati saya mendapatkan porsi yang cukup besar. Kami sudah lima tahun bersama dan kami yang bertahan (baca: belom lulus :P). Hahahaha... Itu bukan suatu kebanggaan sebenarnya bukan?

Kami pun berfoto bersama, dua belas orang. Sudah lebih dari cukup. Gelak tawa membahana di sana. Orang-orang bahkan melihat kepada kami, mungkin ingin tahu apa yang kami bicarakan sehingga tawa kami sampai ke telinga mereka. Saya nyaman. Saya senang.

Foto itu mungkin merupakan satu pembuktian bahwa kami masih bersama ketika hal yang baik atau buruk terjadi. Mungkin juga ingin membuat iri teman-teman kami yang lebih beruntung (baca: udah lulus duluan :P). Terberkatilah sarana media komunikasi sekarang. Dengan Blackberry, Facebook, dan Twitter kami membagi kebahagiaan kami. Saya yakin, ketika foto itu di­-share, tujuan kami hanya satu, ingin membuat iri teman-teman kami yang lebih beruntung itu. Hahahaha... Pancingan kami pun berhasil. Beberapa teman memberikan komentar. Saya senang. Tujuannya tercapai.

Ini mungkin tidak bisa dibanggakan tapi toh ini menyenangkan. Jarang sekali kami yang masih tersisa ini dapat berkumpul bersama. Kami bukan butuh keeksistensian, yang sedang maraknya di kampus saya, kami butuh penguatan dan pegangan satu dengan yang lain. Kami butuh keyakinan bahwa kami di kampus tidak sendiri.

Semoga minggu depan saya mendapatkan hal yang sama. Semoga saya mendapatkan kabar bahwa kampus ramai dengan teman-teman angkatan saya. Tuhan bersama mahasiswa tingkat akhir J


                                 Bawah, kiri ke kanan: Adhi, Fega, Teti, Cimot, Chagie.
                           Atas, kiri ke kanan: Ridha, Yulis, Yuki, Arif, Eka, Yoga, Acep

Monday, July 11, 2011

Waktu.

Kata-kata klasik ini “Setiap ada perjumpaan pasti ada perpisahan” selalu benar. Hari ini saya membantu teman membereskan barang-barangnya di kosan. Dia akan segera pergi dari kota kecil penuh kenangan ini. Ternyata sudah lima tahun kami di sini, dan dia sudah lulus, dia harus pulang.

Melihat kamarnya yang kosong saya jadi berpikir, nanti saya juga akan merasakan hal ini. Nanti ketika saya sudah siap untuk lulus dan kembali pulang. Saya tahu dia sedih, rasa sedihnya itu sampai di hati saya .Saya merasakan dia begitu kehilangan kamar kosannya. Barang-barang yang sudah dibereskan menumpuk di tengah ruang. Ruang itu sudah bukan kamar lagi. Rasanya sudah berbeda. Siapa yang tidak sedih harus pergi dari rutinitas lima tahun, dari tempat yang sudah lima tahun ini ia jejaki. Dia harus lebih dulu masuk di dunia nyata.

Saya benci perpisahan. Saya benci kondisi saat saya harus melepaskan kepergian seseorang, apalagi saya sudah terbiasa dengan keadaan yang saya jalanin bersamanya. Tapi lagi-lagi kata-kata klasik itu muncul.

Entah sudah berapa orang yang saya relakan untuk pergi dari rutinitas saya. Mereka lebih beruntung (atau mungkin sial atau mungkin biasa-biasa saja) untuk masuk ke dunia nyata, dunia pekerjaan. Mereka lebih dulu lulus dibandingkan saya. Saya pernah menghibur diri saya tentang hal itu. Saya berkata, “Saya sedang berjalan ringan bersama dengan angin. Angin itu indah. Sepoi-sepoi. Saya berjalan santai dengan mereka.”. Dan di sinilah saya, masih berkutat dengan skripsi yang tidak kunjung saya kerjakan lagi.

Kata seorang dosen, membahas puisi untuk skripsi sama saja bunuh diri. Sekarang saya merasakannya. Saya seolah-olah sedang menyayat nadi hidup saya pelan-pelan. Awalnya saya percaya saya mampu, tapi setelah terjun lebih dalam saya kehabisan nafas. Tapi apa yang telah saya mulai memang harus diselesaikan bukan? Saya hanya butuh waktu untuk menjauhkan rasa takut akan ketidaksanggupan mengerjakan skripsi itu. Saya malu. Saya sombong ketika membiarkan diri saya untuk percaya saya mampu membahas metafora-metafora itu. Saya hanya butuh waktu.

Lalu tadi adik saya bertanya, “Kapan sidang? Gw ditawarin kerjaan nih. Gw belom tau mau apa ngga. Lo mau ngga?”. Kerja? Itu dunia nyata. Saya takut dengan dunia nyata yang sebenarnya. Dan ini memang sudah saatnya saya masuk ke sana. Umur saya sudah lebih dari cukup. Keluarga saya sudah menuntut, bahkan hati kecil saya pun menyuruh-nyuruh. Ternyata sang waktu berlari di depan saya. Dia sangat cepat membawa saya masuk ke dunia nyata.

Teringat percakapan saya dengan teman-teman SMA di group BBM. Seorang teman menge-share:
            Just to remind you.
1.      Windows XP was released 10 years ago, in 2001.
2.      The New Millennium is more than a decade old.
3.      Pierce Brosnan last acted as James Bond 9 years ago.
4.      It’s been 10 years since 9/11.
5.      “The Matrix” came out 12 years ago, Keanu Reeves is 46 today.
6.      Mother Theresa and Lady Diana have been dead for 14 years.
7.      Macaulay Culkin is 30 today. “Home Alone” came out over 20 years ago.
8.      “Terminator 2” is 20 years ago. Edward Furlong who portrayed kid John Connor is 33 now.
9.      Sean Connery is 80 years old and retired.
10.  The youngest Spice Girl is 35, the oldest Backstreet Boy 39, Gwen Stefani is 41, Madonna 52.
11.  The first “Harry Potter” book came out 14 years ago.
12.  The first season of “F.R.I.E.N.D.S” was aired 17 years ago.
13.  Kids born in 1993 can legally drive, drink, and vote this year.
14.  “Jurassic Park” is older than Justin Bieber.
15.  Bryan Adams cult song “Summer of 69” was released 26 years ago.
16.  Kids whom you remenber in their diapers are now posting their pics on Facebook.
17.  Facebook has been around for 7 years.
Got it? Yes you right! We are O-L-D already dude!

Bagaimana mungkin waktu berjalan begitu cepat tapi saya tidak menyadarinya? Mungkin saya sadar tapi saya pura-pura tidak tahu.

Ketika saya membaca posting-an teman saya itu, saya sedih. Bahkan ada beberapa teman saya yang juga sedih. Kami merasa kami belum ingin dewasa dan bertambah tua. Tapi, siapakah yang bisa melawan waktu? Bahkan ketika saya mengetik ini pun, satu detik yang lalu telah menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mungkin bisa diulang. Bahkan saya pun sebenarnya sedang berlari bersama waktu.

Semalam saya frustasi. Ini bukan kali pertama. Saya ingin sekali segera lulus dan menyadarkan diri saya bahwa sudah waktunya saya berkutat dengan dunia nyata yang sesungguhnya. Sudah seharusnya saya kerja untuk membuktikan kepada siapa pun, atau mungkin kepada diri saya sendiri, bahwa saya sudah berjalan beriringan bersama waktu. Tapi bagaimana mungkin saya bisa lulus jika saya tidak menuliskan satu huruf pun di BAB III skripsi saya? Hhh... Saya sendiri bingung menjawabnya. Ah, saya tahu seharusnya saya mengerjakannya jika saya memang ingin lulus.

Lama-lama blog ini menjadi media curhat saya. Hahaha...

They come and go. Saya harus bisa menerimanya. Toh saya nanti juga akan menjadi orang yang akan meninggalkan para teman saya di kota menyenangkan ini. Posisi saya pada saat ini akan berubah nanti. Dan saya pun akan semakin tua. Madonna akan semakin tua dan kisah seperti Harry Potter pun mungkin akan tergantikan dengan kisah-kisah yang lain.

Semua ini hanya butuh waktu. Butuh proses. Pada dasarnya kita bersama waktulah yang menentukan apa yang akan terjadi satu detik setelah kita berpikir sekarang.

                                           
                                                              Fega, Bagus, Teti, Hawi

Sunday, July 10, 2011

Totto-chan's Children


Pernahkah kalian membaca Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi? Kalau sudah, tidak ada salahnya membaca karya beliau yang lain, Totto-chan's Children.

Sampul buku Totto-chan's Childern ini menarik. Dengan ilustrasi gambar anak-anak yang memikat, lucu, menyenangkan. Namun ternyata isinya tidak selucu dan semenyenangkan sampulnya. Tidak seperti Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela.

Saya diajak berkenalan oleh Tetsuko. Berkenalan dengan ribuan anak-anak yang berada di separuh bumi jauhnya dari tempat saya berada. Ribuan anak-anak yang tidak saya kenal. Namun Tetsuko membawa saya begitu dekat dengan mereka.

Anak-anak itu adalah anak-anak miskin di benua Afrika. Saya baru berkenalan dengan anak-anak di benua itu, karena saya baru menjajaki beberapa lembar buku ini dan tidak tahan untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan dalam bentuk tulisan.

Tetsuko yang pada saat itu didaulat menjadi duta UNICEF, memulai perjalanannya ke Afrika. Dan perjalanannya itu membuat saya tenggelam dalam haru-biru. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus berhadapan langsung dengan anak-anak yang hebat itu.

Mereka tumbuh dengan tidak sempurna. Bahkan ada yang tidak bisa bertahan menjadi dewasa karena tidak bisa bertahan dari keganasan dunia. Entah siapa yang harus disalahkan atas ketidakberuntungan mereka itu. Namun yang pasti, contoh ketidakberuntungan itu adalah anak-anak di sana.

Buku ini dilengkapi oleh foto-foto selama perjalanan Tetsuko. Foto anak-anak yang membuat kita merasa tersayat. Foto keluguan, keberanian, perjuangan hidup dalam diri anak-anak.

Saya sampai pada bab di mana terdapat anak-anak yang kekurangan gizi. Saking kurang gizinya, banyak anak yang tidak mampu berdiri, hanya bisa merangkak di atas tanah yang dingin. Tidak ada makanan dan bahkan tidak ada air bersih yang bisa diminum. Mereka harus menggali tanah, menunggu tanah itu mengeluarkan air, dan kemudian menampung air bercampur lumpur itu untuk dibawa ke rumah.

Membaca bagian ini, saya teringat akan sebuah peristiwa. Waktu itu saya berkumpul bersama beberapa teman di suatu tempat makan. Menjelang tengah malam ada tiga orang pemuda yang datang dan memesan makanan. Salah satunya memesan air mineral botol dingin. Saat itu saya merasa tidak ada yang luar biasa. Namun, setelah saya membaca buku ini, sesuatu mengusik hati saya.

Setelah makan, ketiga pemuda itu pulang. Pelayan membersihkan meja. Tidak lama, pelayan itu berkata, “Wah, airnya cuma diminum sedikit.” Saya dan teman-teman saya lantas melihat ke arah meja itu. Dan benar saja, botol air itu hanya berkurang seperempatnya saja. Bahkan masih terlihat seperti air yang baru dikeluarkan dari lemari pendingin. Dengan bergurau saya berkata, “Ya udah, habisin saja.” Serentak kami tertawa.

Jika waktu saya telah membaca buku ini, mungkin saya tidak akan tertawa. Saya pasti akan marah. Saya marah pada seorang pemuda yang memesan air mineral botol dingin dan tidak dihabiskan. Saya marah karena anak-anak dalam buku ini begitu menderitanya karena tidak ada air. Mereka rela berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan air bercampur lumpur untuk mereka minum. Dan di sini, di tempat saya berada ini, sebotol air tidak dianggap berharga.

Di kepala saya terekam dua buah gambar. Gambar pertama adalah sebuah meja yang di atasnya berdiri sebuah botol yang berisi air. Dari luarnya kita tahu bahwa air itu begitu dingin. Dan gambar kedua adalah dua orang anak yang sedang menampung air bercampur lumpur dalam cawan-cawan kecil, sebuah gambar yang ada di dalam buku ini. Kedua gambar itu begitu melekat di mata saya, sampai-sampai saya rasa saya bisa menyentuh botol air itu dan memberikannya kepada kedua anak-anak itu.

Lalu, saya kembali teringat akan suatu peristiwa yang saya alami sesaat sebelum saya membaca buku ini. Hujan lebat mengguyur daerah tempat saya tinggal. Hujan bercampur angin membuat saya takut berada sendirian di dalam kamar. Dan kemudian, saya merasakan ada yang basah di lantai kamar saya. Ternyata air sudah menggenang, air yang berasal dari pintu kamar saya. Rupanya angin membawa masuk air hujan ke dalam kamar saya.

Dengan kesal saya mengeluarkan air itu. Semakin kesal saya keluarkan, semakin banyak air yang masuk ke dalam kamar saya. Dan saat ini ketika saya telah membaca buku ini, saya menyesal telah menyalahkan air yang masuk ke dalam kamar saya.

Saya bisa membayangkan di saat saya memaki-maki air hujan yang masuk, di sana, di tempat anak-anak hebat itu berada, mereka sedang berjalan dalam terik matahari untuk mencari kehidupan. Di saat saya membuang air hujan itu ke kamar mandi, mereka sedang mengais tanah dan menunggu air keluar ke permukaannya. Bayangan mereka begitu membuat saya menderita akan kelakuan saya tadi. Bertapa saya pun hanya bisa marah-marah ketika air mengganggu saya.

Saya bisa membayangkan mereka menunggu datangnya hujan karena hujan bisa memuaskan rasa haus mereka. Dan saya bisa membayangkan banyak teman-teman saya yang mengutuk hujan turun begitu lebatnya sehingga mereka tidak bisa keluar untuk bersenang-senang di akhir pekan. Saya bisa membayangkan semuanya di depan mata saya.

Anak-anak itu begitu nyata dalam buku ini, dan mereka memang nyata. Saya hanyalah seorang pembaca yang tidak tahu harus berbuat apa ketika membaca buku ini. Saya hanya bisa merasa bersalah karena saya sebagai orang dewasa ternyata jauh lebih lemah dari pada mereka, anak-anak hebat itu.

Dalam buku ini ada seorang kepala desa yang sudah tua berkata kepada Tetsuko, “Miss Kuroyanagi, saat anda berada kembali ke Jepang, ada satu hal yang saya ingin Anda ingat: orang dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka, tapi anak-anak hanya diam. Mereka mati dalam kebisuan, di bawah daun-daun pisang, memercayai kita, orang-orang dewasa.” Ya, saya sebagai orang dewasa ternyata tidak lebih kuat dibandingkan seorang anak yang menunggu kematian dalam kebisuan di tanah kelahirannya.

Sumur Tanpa Dasar, Sebuah Pengamatan


Sebuah kursi dengan tali gantungan, letaknya di bawah panggung sebelah kanan, adalah seting pertama yang akan kita lihat ketika masuk ke Gedung Kesenian Sunan Ambu, STSI Bandung. Hari itu, Sabtu, 9 Juli 2011 diadakan pementasan teater Sumur Tanpa Dasar, naskah Arifin C. Noer dengan sutradara Irwan Jamal. Seting itu nampak menarik, dengan sorot cahaya merah dari atas tali. Saya menebak-nebak akan diapakan tali dan kursi itu.

Penonton banyak, saya kira hampir semua tempat duduk ditempati. Riuh-rendah obrolan orang masih terdengar di sana-sini. Saya sudah tidak sabar. Pementasan yang katanya dimulai pukul 19.30 ternyata diundur menjadi pukul 20.00.

Lalu seorang pria yang baru datang, duduk di belakang saya berkata, “Sekali-sekali lah nonton si A main.”. Oh, ternyata orang itu datang untuk menonton si A. Hmm.. Semoga tidak banyak yang seperti itu. Saya agak terganggu dengan para penonton yang ingin menonton pementasan teater bukan karena teater itu sendiri. Tapi saya juga mengerti, jika tidak ada penonton, maka pementasan itu juga tidak akan berhasil.

Suara seorang perempuan membuka pertunjukan. Lampu diredupkan. Seting tali dan kursi semakin membuat saya ingin tahu akan diapakan mereka. Peraturan-peraturan dibacakan, seperti biasa campur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dan akhirnya, pertunjukan dimulai.

Seorang pria berbaju abu-abu, dengan selendang di lehernya masuk dari pintu masuk penonton. Rambutnya putih, tokoh orang tua. Jalannya tidak terlalu cepat, dan sesekali dia batuk berdehem-dehem. Orang itu Jumena. Dia hampiri tali dan kursi. Saya masih menebak-nebak dia mau apa di sana. Saya rasa ia akan menggantung lehernya di sana, dan benar. Ia naik ke kursi, memasukan kepalanya ke tali gantungan, membelakangi penonton. Ia berkutat dengan tali itu, menggeram-geram seperti ada yang bertengkar di kepalanya. Kemudian ia menghadap penonton dan efek yang ditimbulkan begitu dramatis dan artistik. Pemutih yang membuat rambutnya putih, saya rasa tepung atau bedak, mulai berhamburan. Itu membuat saya takjub. Debu-debu itu berterbangan, jelas karena lampu sorot dari atas.

Ia mulai berdialog, “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.”. Ya ya ya... Saya sering kali melihat pertunjukan yang dimulai dengan dialog seperti itu.

Kemudian layar panggung terbuka dan seting panggung pun tampak. Minimalis. Hanya ada sebuah sofa dan sebuah meja kayu berwarna merah di tengah panggung. Ada pula bulatan seperti matahari di sisi atas kanan panggung. Sisanya layar hitam. Empat buah layar hitam, dibentuk tabung memanjang dari atas sisi kanan dan kiri panggung, masing-masing dua buah. Saya pikir itu adalah fondasi ruang itu.  

Sayangnya, sungguh sayangnya, ketika dialog dimulai di atas panggung, volume sang pemain tidak terdengar dari tempat saya duduk. Saya duduk sekitar lima-enam baris dari belakang, kira-kira tiga-empat (atau mungkin lima?) meter dari panggung. Saya yang tadinya bersender di kursi memajukan badan untuk memfokuskan pendengaran saya. Dan hasilnya, sungguh disayangkan, saya tetap kecewa. Saya pikir aktor-aktor lain tidak akan membuat telinga saya menjadi sensitif, tapi lagi-lagi sayangnya volume aktor-aktor berikutnya yang masuk ke panggung tidak terdengar jelas dari tempat saya duduk.

Saya belum membaca naskah Sumur Tanpa Dasar sampai selesai, jadi saya tidak bisa mengikuti pementasan ini jika volume para aktor tidak keras. Terlebih, volume pelan digabung dengan ritme dialog yang cepat. Entah apa yang diinginkan beberapa pemain ketika mengucapkan kalimat-kalimat panjang dengan ritme yang cepat sekali, mungkin aktor itu ingin mendramatisi dialog, atau ingin mengetes sebanyak apakah nafas yang ada di diafragma mereka. Atrikulasi mungkin baik, tapi volume tidak.

Sosok nyai menghibur saya, gesturnya cakap, suaranya (layaknya nyai-nyai tua) baik, tapi lagi-lagi volume suara kurang. Saya abaikan itu. Namun, semakin lama pertunjukan berjalan, gesturnya sudah tidak kuat, dan suaranya berubah menjadi nyai yang lebih muda. Mungkin ia lelah, tapi bukannya itu yang akan terjadi jika kita mementaskan teater?

Yang paling membuat saya makin tidak sabar adalah tokoh Juki. Ia tidak bisa menempatkan dirinya dengan baik di atas panggung. Ritme berdialognya selalu cepat dan volumenya selalu tidak terdengar. Begitu juga dengan tokoh Euis, istri Jumena. Ia kurang bisa memainkan tubuhnya dengan baik. Beberapa gerakan sama dan karakternya tidak ada. Tokoh Jumena pun tidak bisa mengatur tubuhnya dengan baik. Kakinya mulai menampakan bahwa sebenarnya ia tidak tua dan tidak sakit. Ia lupa bahwa kaki juga merupakan bagian dari pementasan itu.

Selain itu musik pun beberapa kali mengganggu saya. Ada kalanya ketika volume pemain tidak bisa mengimbangi volume musik. Setahu saya tim musik itu berada di belakang penonton, jadi seharusnya ia bisa mengatur sekeras atau sepelan apa volume musik itu sehingga tidak bertabrakan dengan volume pemain.

Satu-satunya peran yang saya suka adalah si orang sinting. Volumenya jelas, lantang. Artikulasi baik dan ritme juga pas. Gestur apalagi. Dan karakternya muncul dengan baik. Jika tidak ada peran ini, mungkin saya tidak bisa bertahan menyaksikan pementasan ini.

Hal lain yang saya sukai adalah permainan lampu. Rasanya saya ingin mengambil beberapa lampu untuk saya bawa pulang ke kampus. Hahaha... Permainan lampunya indah, seperti menari di setiap peristiwa. Kesan yang dihasilkan pun sangat kuat. Saya berterimakasih kepada tim lighting yang sudah menghasilkan lampu seperti itu.

Ketika babak kedua, saya mulai tidak nyaman duduk. Saya beberapa kali melihat handphone. Saya malah mulai mengotak-ngatik handphone saya. Hal ini jarang terjadi, saya bosan. Saya juga beberapa kali bertanya pada teman saya, sebut saja Boy, “Babak berapa?”. Saya tidak sabar ingin segera menyelesaikan pementasan ini karena saya tidak bisa mengikuti mereka, suara mereka tidak sampai di telinga saya. Bahkan sekali saya benar-benar mendengar dialog yang hanya “Sssss... ssssss... ssss.... ss....” dan tokoh satunya juga sama, “Sss... ssss... sssssss... ss... sss...”. Jadi itu hanya percakapan “Sssss” saja. Hhh...

Dan satu lagi yang disayangkan adalah tali dan kursi yang sudah begitu artistik hanya digunakan sekali, pada awal pertunjukan. Padahal itu spot yang menarik dan saya rasa bisa digunakan pada babak terakhir.

Pada akhirnya saya salut terhadap mereka yang bisa menampilkan dua jam pementasan. Belum tentu saya dan komunitas teater yang saya ikuti bisa menampilkan pementasan seperti itu.

Setelah pertunjukan selesai, saya keluar bersama teman-teman saya, Boy dan satu lagi Man, sebut saja ia seperti itu. Kami mulai berkomentar tentang pertunjukan itu. Dan kami sepakat banyak yang disayangkan dalam pertunjukan itu. Boy berkata, “Kita dikutuk! Kita ngga bisa menikmati pertunjukan karena kita juga orang-orang yang terlibat dalam teater.” Saya hanya bisa tertawa, tertawa karena mengakui. Ketika tidak bisa mengikuti dialog-dialog pemain, saya lebih fokus pada keaktoran, seting panggung, seting pempat, dan sebagainya. Saya dikutuk! Hahaha...