Saturday, September 22, 2012

Ibu Meluntur


“Bu, Bu, Ibu di mana?” Teriak perempuan itu memanggil Ibunya.
“Ibu di mana, Bu. Di mana, Bu?” Kali ini di sela-sela senguk-tangisnya.
Lalu perempuan itu diam. Hanya bisa pandangi gambar hitam-putih di pangkuannya. Dengan jejari keriputnya ia bawa gambar masa lalunya ke mulutnya. Ia kecup penuh haru. Biru.
“Bu, Bu, Ibu. Sini, Bu. Ara sendiri, Bu.”
Teriakan panjang menggema ke sepanjang lorong. Petugas berseragam putih masuk berbondong-bondong. Tubuh Ara dikerumuni. Ditarik ke semua penjuru arah. Diikat. Dan sebatang jarum meninabobokannya.
Gambar hitam-putih itu terinjak-injak.
“Jangan. Jangan injak Ibuku.”
Suaranya deru-menderu bersama nafas yang satu-satu.
“Bu... Ara... Bu...” Seiring irama nafas yang teratur, Ara pulas dipaksa tidur.
Seorang petugas mengambil gambar di lantai. Dibersihkan dengan tangannya dan ditaruhnya di atas meja, sebelah ranjang Ara.
“Tuh, Bu. Si Ara kangen katanya,” kata petugas itu pada gambar hitam-putih.
Sosok dalam gambar itu diam tidak menjawab. Senyum yang tadinya tergores di bibirnya, luntur.
Dalam tidurnya Ara tersenyum. Mungkin Ibu datang di mimpinya. Mungkin senyum itu tidak jadi luntur. Padahal di luar hujan mulai turun.

Tik... tik... tik... Bunyi hujan di atas genting.

Suara Ibu samar-samar menjauh. Ara sendiri. Lagi.

No comments:

Post a Comment